Miya mengeratkan pegangan pada kemudi stir, ia meremas kuat kemudi stir itu."Aku akan memberimu pelajaran yang tak akan bisa kamu lupakan selamanya!" sengit Miya bermonolog sendiri.Miya mengeluarkan handphonenya dan mulai menelepon seseorang."Mas, lakukanlah sesuatu pada Mira. Aku tak tenang selama Mira masih berdiri tegak dan bernafas," ucap Miya meminta pada seseorang yang ada di seberang telepon untuk melenyapkan nyawa Mira."Maskudmu kita harus melenyapkan Mira selamanya dari muka bumi ini?" tanya orang itu."Benar. Tapi, bukan kita. Melainkan kamu seorang, aku tidak mau terseret kedalamnya dan masuk penjara," ucap Miya."Jangan enak sendiri! Jika aku tertangkap maka kamu pun sama, kamu pikir aku mau meringkuk di jeruji besi yang dingin itu sendirian, ha?!" sentak orang itu marah.Miya terdiam, ia tak berkutik ketika orang itu sudah marah. Miya tak melanjutkan ucapannya, ia memilih untuk menghentikan sambungan telepon itu dari pada harus bertengkar dan ujung-ujungnya dirinya di
"Jangan-jangan Miya adalah ... gawat jika benar!" ucap Sani ketakutan sendiri."Apa yang harus aku lakukan? Mengadukannya pada Alan atau menyelidikinya sendiri? Jika menyelidikinya sendirian kalau ketahuan sama Miya akan sangat berbahaya, apa aku cerita saja sama Mas Karto? Mas Karto tak bisa diandalkan, aahhh! Pusing!" ucap Sani bermonolog sendiri.Sani meninggalkan kamar Mira, ia pergi ke dapur sesuai rencana awalnya. Sepanjang jalan ia terus berpikir. Tanpa ia sadari, ia telah salah ambil jalan. Sani bukannya ke dapur justru malah pergi ke taman belakang.Begitu menyadari Sani menggerutu sendiri,"aduh kenapa malah ke taman? Dasar!" Sani memutar arah membalikan badan kembali ke dapur. Sesampainya di dapur tidak ada siapa-siapa."Kemana pembantu itu?" tanya Sani bergumam pada dirinya sendiri."Jadi pembantu di sini kerjanya enak banget, cuma beres-beres doang. Selesai beres-beres masuk kamar mainan HP. Bukannya nyiapin makanan buat Ibu mertuanya makan malam, malah pada enggak ada di
Miya tersenyum lalu raut wajahnya berubah sedih. "Apa pun akan aku lakukan demi untukmu!" ucap Miya sendu. Tak terasa air matanya menetes."Kenapa hidupku seperti ini?" rintihnya dalam hati, ia meratapi perjalanan hidupnya yang tak seindah bayanganya."Bagaimana caranya agar aku bisa terlepas darinya?" kembali Miya bergumam dalam hatinya.Ia dengan cepat menyelesaikan mandinya dan bersiap untuk menyambut suaminya Alan.Miya gegas memakan baju rumahan dan memulas wajahnya dengan make up tipis.Miya mengambil ponselnya, ia menghubungi seseorang yang ada di kontak teleponnya."Halo," terdengar suara barito dari seberang telepon."Halo, bos," sapa Miya membalas sapaan laki-laki itu."Ada apa? Kupikir kamu sudah melupakanku setelah menikahi seorang CEO perusahan Real Estate," ucap laki-laki itu."Tentu saja tidak Bos, anda tetap ada dalam pikiranku," ucap Miya."Hahaha ... hanya dalam pikiranmu. Jadi ketika kamu membutuhkanku saja baru ingat aku, benar?" ucap laki-laki itu."Katakan ada ap
Miya beringsut turun dari ranjang panasnya, ia membersihkan tubuhnya dengan mandi kembali.Miya keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di dadanya, rambut basahnya di tutupi handuk kecil yang di sanggul ke atas.Alan menatap mesum tubuh Miya yang hanya di balut oleh handuk saja, paha mulusnya nampak begitu menggoda, Alan menelan slavinanya seteguk demi seteguk.Alan turun dari ranjang menghampiri Miya, ia memeluk pinggang Miya dari belakang lalu mengecup tengkuk lehernya yang panjang dan mulus.Miya mengedikkan bahunya menahan geli."Kamu begitu menggoda, aku tersihir oleh pesonamu. Seandainya waktu maghrib masih panjang aku ingin kita melakukannya sekali lagi," rayu Alan sambil terus menciumi dan menghisap aroma tubuh Miya yang begitu segar."Kita lakukan nanti malam saja, bagaimana? Kamu bisa melakukannya sepuasnya," ucap Miya menghibur Alan dengan memberi angin segar padanya."Baik. Kalau begitu aku akan mandi sekarang," ucap Alan dengan nada senang.Miya
Miya beringsut turun dari ranjang panasnya, ia membersihkan tubuhnya dengan mandi kembali.Miya keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di dadanya, rambut basahnya di tutupi handuk kecil yang di sanggul ke atas.Alan menatap mesum tubuh Miya yang hanya di balut oleh handuk saja, paha mulusnya nampak begitu menggoda, Alan menelan salivanya seteguk demi seteguk.Alan turun dari ranjang menghampiri Miya, ia memeluk pinggang Miya dari belakang lalu mengecup tengkuk lehernya yang panjang dan mulus.Miya mengedikan bahunya menahan geli."Kamu begitu menggoda, aku tersihir oleh pesonamu. Seandainya waktu maghrib masih panjang aku ingin kita melakukannya sekali lagi," rayu Alan sambil terus menciumi dan menghisap aroma tubuh Miya yang begitu segar."Kita lakukan nanti malam saja, bagaimana? Kamu bisa melakukannya sepuasnya," ucap Miya menghibur Alan dengan memberi angin segar padanya."Baik. Kalau begitu aku akan mandi sekarang," ucap Alan dengan nada senang.Miya m
Alan meninggalkan mereka berdua, ia lelah. Alan pergi ke ruang kerjanya dan memutuskan untuk mengunci pintunya.Alan sedang tak ingin di ganggu, hatinya terasa sakit saat mengenang Mira. Ada rasa kehilangan yang teramat sangat dalam relung hatinya yang terdalam.Alan menelungkupkan wajahnya di meja kerjanya dengan berbantalkan kedua tangannya yang di lipat."Perasaan apa ini? Kenapa rasanya begitu sakit?" gumam Alan."Kenapa juga kini aku merasakan kehilangan pada Mira?" tanya Alan pada dirinya sendiri.Alan menengadahkan wajahnya, ia menjambak rambutnya dengan kedua tangannya."Kenapa jadi begini? Seharusnya aku bahagia bersama Miya, orang yang selama ini aku cintai. Tapi, kenapa sekarang justru tumbuh perasaan kehilangan padanya? Aaarrrggghhhh!" Alan berteriak setelah ia bergumam."Sialan!" maki Alan pada dirinya sendiri.Pintu kamar ada yang mengetuk, Alan menghiraukannya.Ia saat ini sedang ingin sendiri dan tak ingin di ganggu.Bahkan dirinya belum sempat menemui ibunya yang baru
"Miya, kamu layani mereka sampai puas. Jangan khawatir, aku akan menambahkan bayarannya jika mereka puas dengan pelayananmu. Tapi, sebaliknya jika mereka tidak puas dan sampai menolak keeja sama dengan perusahaanku maka aku akan membuatmu menyesal telah meminta bantuan padaku," ancam laki-laki pada Miya sambil tersenyum mengejek."Perjanjiannya tidak seperti ini. Kamu menipuku!" sentak Miya pada laki-laki itu."Siapa yang telah menipumu? Aku? Hahaha ... kamu keliru. Aku tak pernah menipumu, coba kamu ingat-ingat kembali apa yang telah aku ucapkan padamu. Aku mengatakan padamu kalau aku akan menghubungimu jika aku menginginkamu. Aku tak pernah mengatakan kalau kamu harus melayaniku 'kan?" jelas laki-laki itu pada Miya.Miya diam, ia mencerna setiap kalimat yang laki-laki itu ucapkan. Apa yang dikatakan padanya benar adanya, Miya merasa telah ditipu. Namun, ia tak mampu melakukan apa pun selain menuruti semua keinginannya.Laki-laki itu pergi keluar dari kamar hotel meninggalkan Miya ber
Karto sedang sibuk memindahkan kaki istrinya yang menindih perutnya dengan perlahan.Lalu ia dengan berjingjit berjalan menghampiri lemari di mana Sani menyimpan peehiasan hasil mencurinya.Karto membuka pintu lemari dengan sangat hati-hati agar tak terdengar suara sekecil apa pun yang bisa membangunkan Sani dari tidurnya.Karto menyingkap tumbukan baju di mana Sani menyimpan perhiasan itu tapi, ternyata Karto tak menemukannya."Sial! Di mana gqjah bunting menyimpan perhiasan itu?" gerutu Karto dalam hati.Karto masih terus mencari kotak peehiasan itu dengan sangat hati-hati sambil sesekali melirik ke arah Sani yang masih tertidur pulas. Suara dengkurannya nyaring terdengar menyanyikan kesyahduan.Karto masih dengan setia mengubrak abrik isi lemari, hingga tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang ada di balik tumpukan baju paling atas.Karto seketika tersenyum, "pasti ini benda yang aku cari." gumamnya lirih dengan senyum yang semakin mengembang lebar. Lalu ia pun mengambil benda
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap