Hingar bingar musik dengan beat yang cepat dan cukup kencang di sebuah night club di salah satu hotel mewah di kota Ini. Dentuman musik yang tengah mengalun keras membuat jantung bahkan gendang telinga jasmine serasa mau pecah.Belum lagi lampu yang berkelap kelip dengan tempo yang cepat menari-nari mengikuti irama musik di ruangan ini. Sehingga sangat mengganggu pandangan Jasmine untuk melihat di sekitarnya.Gadis itu meminum minumannya yang telah disediakan Cindy di pesta ulang tahunnya yang ke 21, untuk menghilangkan rasa ketidaknyamanan yang ia rasakan sedari awal ia memasuki ruangan ini.Untungnya minuman tersebut bukanlah sesuatu yang haram disediakan oleh Cindy. Yaitu berupa minuman cola dan minuman ringan lainnya.Hanya saja minuman tersebut tak bisa membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Ia butuh air murni."Nih, minum," tawar Retha yang mengeluarkan air mineral berukuran sedang dari tasnya."Makasih, Ta," ucap Gadis itu dengan jemarinya.Jasmine mengambil botol be
Jasmine kembali ke area parkiran yang lain untuk mencari mobilnya Retha yang sebenarnya. Namun dikarenakan ia tak sanggup lagi berjalan, akhirnya gadis itu memilih berjongkok di samping mobil.Gadis itu bersembunyi diantara mobil-mobil yang lain dengan kepala yang masih sedikit berdenyut serta rasa mual yang masih terasa. Ia memuntahkan isi perutnya kembali.Sementara itu, Retha yang baru saja tiba di parkiran dan bersiap-siap membuka pintu mobilnya. Seketika itu juga Ia mendengar seseorang yang muntah dari balik mobilnya.Retha memutari mobilnya untuk memastikan sumber suara yang ia dengar saat ini. Retha terhenyak kaget saat mendapati Jasmine sedang berjongkok sedang memuntahkan isi perutnya."Ya ampun, Jasmine," teriak Retha.Lalu gadis itu sedikit membungkukkan tubuhnya untuk memijit-mijit pelan tengkuk Jasmine agar memudahkan temannya itu meluapkan rasa mual yang menderanya saat ini."Udah enakan?" tanya Retha setelah Jasmine berhenti.Jasmine hanya mengangguk pelan seraya meraup
"Hmm, kalau boleh tau, Kapan ulang tahun kamu, Cin?" tanya Indra tiba-tiba."Ngapain lu tanya-tanya soal ulang tahunnya bini gue," Jawab Andra sewot."Ceile, cemburu amat, sih. Gue tu cuma nanya soal tanggal dan tahun yang terjadi di tahun itu?" jawab Indra sewot."Emang penting? lagian kan udah lewat, bro. Mereka bertiga pun ga mau di bahas lagi- nya, "cibir Andra."Ya, gue mau mastiin aja, jika emang bener terjadinya di tahun itu. Di tanggal dan bulan berapa kejadiannya. itu aja, kok," sahut Indra"Alah, udah jadi ma...,". Ucapan pria itu terhenti, saat Cindy mengungkapkan dua kata secara tiba-tiba,"11 Januari,"."Ulang tahunku 11 Januari," ucapnya lagi. Lalu melirik Andra sebal lantaran suaminya itu memperdebatkan pada hal yang tak penting."11 Januari. Itu kan waktu aku mengadakan pesta pertunangan dengan Meyriska, istriku. Ya, kan, sayang," ujar Indra lalu menoleh ke Mey, istrinya yang berada di sampingnya."Hmm, Iya. Kenapa?" tanya Mey."Ya. Yang ga datang waktu itu cuma si Ju
Jasmine mengerjap pelan matanya saat matahari masuk dari celah jendela kaca kamar kostnya."Udah pagi. Hmm, Cepat kali pun," keluhnya di hati.Tubuhnya masih terasa lelah dan netranya pun masih mengantuk. Kejadian semalam berefek pada kondisi fisiknya pagi ini. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi jendela dengan niat melanjutkan tidurnya. Jasmine masih enggan untuk bangun, apalagi untuk melanjutkan kegiatannya hari ini.Akan tetapi, dikarenakan alarm ponselnya terus berbunyi sebagai peringatan ujian pertengahan semester di jam kedua. Akhirnya gadis itu pun terpaksa bangkit dari tempat tidurnya dengan bermalas-malasan menuju kamar mandi. Jika bukan karena ujiannya, pingin rasanya ia melanjutkan tidurnya hingga siang.Beberapa saat kemudian...Jasmine tiba di kampus lima menit sebelum ujiannya di mulai. Gadis itu pun mampu menyelesaikan ujian pertengahan semester tersebut dalam kurun waktu empat puluh menit. Lalu disusul Retha dan yang lainnya."Jasmine," panggil Retha yang menyusuri la
Pandangan Jasmine kembali tertunduk setelah Merry menuntaskan cerita tentang dirinya untuk yang kedua kalinya. Ia tersenyum kikuk ketika netra semua orang tertuju padanya. Meskipun Merry telah meminta maaf padanya. Namun tetap saja ia merasa kembali seperti maling tertangkap tangan."Biasa tu, Mine. Ga usah canggung gitu. Kan ga sengaja ceritanya. Lagian pun itu cuma di mobil. Masih bisa di bersihkan," ucap Satria yang mengerti arti sikap Jasmine sekarang ini.Namun tidak bagi seseorang, yang kini sedang menatap Jasmine dengan segudang pertanyaan di kepalanya."Bagaimana bisa kisahnya begitu mirip? Benarkah gadis itu?atau jangan-jangan memang benar dia?jika memang benar, kenapa aku tidak menyadarinya sedari dulu? Mengapa aku begitu bodoh?".Ia teringat bagaimana kisah konyolnya di mulai pada saat itu. Dengan mengendarai mobilnya sendiri menuju ke apartemennya. Ia terpaksa pulang dengan hot pants serta singlet yang melekat di tubuh atletisnya.Pria itu gagal menghadiri undangan seora
Entah apa yang dirasakan oleh keduanya saat menyadari ada sesuatu yang lain ketika mereka saling menatap. Terutama seorang Jasmine. Pandangannya menunduk tatkala menyadari ada perasaan yang aneh di dirinya. Jantungnya berdetak kencang. Namun ia ingat betul bagaimana desir darahnya. Serta debaran yang ia rasakan. Sama persis pada kejadian di malam itu."Ya, Tuhan. Perasaan ini muncul lagi,".Sementara Justin masih menatap Jasmine dengan penuh tanya. Sampai akhirnya ia bangkit dari duduknya dan menghampiri wanita itu, dan mengulurkan tangannya."Ayok kita pulang?"ajaknya.Jasmine menuruti ajakan iparnya itu dan berjalan menuju lift. Di dalam ruangan yang hanya mampu menampung beberapa orang itu. Keduanya saling diam. Meskipun kedua tangannya saling bertaut. Larut dalam di jalan pemikirannya masing-masing.Pintu lift terbuka dengan sendirinya. Mereka berdua keluar. Keduanya masih membisu. Meskipun sudah berada di dalam mobil."Kenapa belum jalan?" tanya Jasmine heran saat melihat iparny
"Terima kasih sudah mengantarkan saya pulang," ucap Jasmine setelah berhasil membuka safebeltnya. Ia bersiap turun."Jasmine," panggil pria itu. Wanita itu menoleh."Apa tanggapan kamu mengenai tadi?". Justin memberanikan diri bertanya. Di sepanjang jalan pria itu ingin mengetahui isi hati dari seorang Jasmine di masa dulu."Maksudnya?" tanya perempuan itu bingung."Aku ingin kita bisa lebih," sahut pria itu."Lebih?"gumam Jasmine ragu."Ya, melebihi yang tadi?" sahut pria itu.Mendengar pernyataan dari Justin. Sontak membuat wanita itu tersenyum miring. Ia tau dan sangat mengerti ke arah mana maksud dari pembicaraan ini.Sesuatu yang lebih. Melebihi yang tadi. Seorang Duda beranak dua. Meminta lebih padanya. Apalagi jika bukan yang satu itu. "Oh, Tuhan, Apalagi ini?" teriaknya di hati."Bagaimana? Apa Kamu mau?jika kamu mau. Saya akan mempersiapkan segala sesuatu- nya. Agar lebih pasti buat kamu, nantinya," ujar Justin."Untuk apa? Dan kenapa?" tanyanya heran. "Karena memang harus be
Bukan Mona namanya jika membiarkan kesempatan terbuka di depan mata. Ia mulai mendekati Jasmine perlahan dengan dalih cucu. Mona sengaja memaksa Justin untuk menjemput dua cucunya agar kembali ke rumah selama dirinya ada di rumah putranya itu.Justin datang menghampiri rumah Arfan, sang mertua. Di mana ia berharap bertemu seseorang selain dua darah dagingnya."Daddy," panggilan senang dari dua bocah tersebut terdengar kencang."Hallo my girl, my boy," siapanya yang ikutan senang. Ia berlutut lalu merangkul tubuh dua bocah itu."Daddy kapan nyampe-nya?" tanya Keyra."Baru aja sayang," sahut Justin sambil memeluk erat tubuh putrinya."Mana bunda?" tanyanya dengan netranya menelisik ke segala arah."Hmm, kayaknya di kamar, deh. Mau Keyra panggil?"tawar gadis itu."Apa baru pulang kerja, ya?" tanyanya pria ituP lagi."Iya, unda Balu aja puyang kelja," timpal Dean lalu berteriak memanggil, Undaaaaaa, Daddy udah Puyang,"."Eits, udah jangan di panggil, sayang. Biar aja bunda istirahat," te
Sebuah maskapai mendarat dengan selamat di kota Jakarta. Baik Justin dan Jason segera turun dan menyegerakan diri kembali ke rumah. Mereka membayangkan jika Jasmine sudah berada di kediamannya Ardiansyah saat ini.Namun kenyataannya, jauh seperti yang mereka bayangkan. Ternyata, Jasmine tak pernah kembali. Jasmine tak pernah muncul di hadapan mereka."Serius, Ma?"tanya Justin saat melihat Mama dan Papanya yang masih berada di Bandara."Mm, Iya. Udah tiga jam Mama nunggu di sini, tapi istri kamu ga nongol-nongol juga. Mama pikir Jasmine pulangnya sama kamu," sahut Mona rada kesal.Justin terdiam seraya memikirkan keberadaan Jasmine yang sebenarnya. Lalu seketika ia teringat akan apartemen rahasia milik Midea."Apakah dia ke situ?"pikirnya. Lalu ia mendekati Arfan dan meminta kunci mobil dari pria itu"Pa, pinjem mobil,". Arfan tanpa bertanya apapun, langsung saja memberikan kunci tersebut ke putranya itu.Justin menerimanya dan berniat segera pergi dari situ. Namun di cegah Mona yang b
Matahari menyeruak masuk melalui celah gorden jendela kamar hotel. Cahaya hangat itu menerpa wajah manis dari seorang wanita yang di panggil Jasmine. Pemilik netra hitam pekat itu membuka matanya secara perlahan demi mendapatkan rasa nyaman, saat cahaya itu langsung menerobos mengenai pupil netranya.Netranya menelisik ke segala ruangan, dan tersadar jika Justin telah membawanya ke sini. Apalagi sebuah tangan kekar melingkari perutnya. Ia menyadari jika Justin tengah memeluknya dari belakang. Ia membiarkan sejenak pelukan itu, sebelum rasa amarah membuatnya meradang kembali. Wanita itu memutuskan untuk meninggalkan Justin, lantaran rasa benci menyelimuti hatinya. Jasmine yang kini mengingat dirinya nya juga sebagai Midea. Ingatannya perlahan kembali. Ia mengingat semua hal yang berkaitan dengan Justin.Dadanya terasa sesak. Mengingat rasa sakit yang diberikan oleh suaminya itu. Jalan satu- satunya adalah pergi. Ia muak melihat wajah pria itu. Berbekal pakaian yang telah di siap kan
"Jasmine," pekiknya saat melihat kondisi istri nya yang begitu memprihatinkan. Betapa murkanya ia, saat melihat tubuh Jasmine hanya di tutupi oleh sehelai selimut saja. Ia menetap pria yang tak lain adalah koleganya sendiri."Mr, Aqio," desisnya geram. Ia mengepal tangannya dan mulai meninju wajah pria itu."Brengsek!" makinya."Kau, Sialan! Berani-beraninya kau merusak kesenanganku dan menyerangku!" hardik pria yang hampir seusia Jason.Keduanya saling beradu ketangkasan fisik. Baik Justin dan Mr. Aqio tak mau mengalah, dan merasa benar atas apa yang mereka lakukan. Mempertahankan yang menjadi miliknya.Justin yang masih memiliki stamina bagus berhasil mendorong dan mengunci pria itu di sudut dinding kamar."She is Mine! That is my wife! Kenapa kau menculiknya, Mister!"teriak Justin di depan wajah Aqio.Aqio tersenyum miring lalu tertawa remeh, dan berkata ketus," Dia milikku, jauh sebelum kamu, Justin!""Kau yang merenggutnya dariku, brengsek!" umpat Aqio, lalu dengan amarah yang me
Di keheningan malam, Justin terus melajukan mobilnya sembari menatap layar ponselnya, demi memperhatikan posisi mobil yang sedang dibawa Jasmine.Alisnya bertaut memperhatikan mobil yang dibawa Jasmine, tak bergerak sama sekali. Untungnya Jaraknya semakin dekat dengan dengannya. Justin menepikan mobilnya saat melihat Alan, sang asisten, yang tengah memeriksa kondisi mobil sang istri. Segera ia keluar untuk mencari tau mengenai apa yang terjadi."Alan, mana istri saya?"tanyanya saat tak melihat sosok istrinya."Sepertinya ibu di culik, pak," sahut Alan seraya menunjukkan hasil pencariannya melalui daschcam yang terdapat di mobilnya Jasmine.Seketika itu juga ia terhenyak kaget, dan berteriak panik, "Apa!"Tanpa menunggu, ia pun segera mengambil tindakan,"Kerahkan anak buah kamu, Alan!"."Baik, pak," sahut pria itu mantap.Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi seraya memberitahukan pada Arfan tentang keadaan Jasmine yang sebenarnya."Bagaimana bisa, Justin?" tanya Arfan dari seber
Seminggu Sebelumnya...Seorang pria tengah memperhatikan wajah seseorang yang selama ini dicarinya. Ia tersenyum samar saat mengetahui jika wanita yang ia cari-cari selama ini ada di hadapannya."Mm, jadi kamu ada di sini sekarang," gumam pria itu seraya menatap ke arah wanita yang berada di koridor kantor salah satu koleganya."Dia sedang bermain peran wanita Sholehah ternyata. Baiklah, Sayang. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu. Aku membiarkanmu. Silahkan nikmati kebebasanmu untuk sekarang, tapi setelah itu, ku pastikan kau kembali kepadaku untuk selamanya," ucap pria itu pelan. Lalu menyesap rokoknya kembali.Ia membiarkan wanitanya pergi. Namun ia tak lupa menyuruh orang-orangnya agar terus memperhatikan dan mengikuti kemana wanita itu pergi.Hingga akhirnya, Ia berhasil mengikuti kemana wanitanya melajukan mobilnya di kegelapan malam. Ia memang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil miliknya yang kabur karena ulah agency yang di percayainya selama ini.Dengan cekatan anak buahnya
Sakit hati, itu yang dirasakan oleh wanita yang kini mulai mengingat dirinya sebagai Midea. Meskipun tak semua memorinya kembali. Namun serpihan memori akan kekerasan dan kekejaman dari seorang Justin mulai tampak jelas di benaknya.Ia memperhatikan kamar yang berantakan karena ulahnya, tapi ia tak perduli. Jika bisa ia hancurkan dengan menggunakan bom, pasti akan ia lakukan sekarang juga.Namun nyatanya, Ia hanya bisa duduk meringkuk di sudut ranjang. Memperhatikan kamar yang seperti habis perang. Memang pun ia sedang berperang. Perang perasaan. Perasaan yang tak mampu ia ungkapkan lewat kata. Ia hanya bisa melampiaskan dengan barang.Ia tertawa dalam kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan. Lelah sudah pasti. Dadanya sakit. Nafasnya terasa Bahkan tangisnya tak lagi bersuara. Matanya terasa berat. Lalu tertidur dengan tubuh meringkuk di sudut ranjang."Apakah ia benar-benar tertidur?". Tentu saja tidak. Jasmine tak benar-benar terlelap dalam pejaman matanya. Pikirannya masih bermain den
"I-iya, Sebenarnya di malam itu Aku lah yang telah...," Justin tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Berat rasanya mengakui dosanya yang satu ini.Karena dirinya lah Jasmine, Midea menderita, tapi karena keegoisannya saat itu membuat ia tak merasa bahwa dirinyalah iblis yang sebenarnya.Ia menatap Jasmine yang berusaha tenang dan tegar, meskipun didalamnya hancur dan remuk. Ia kembali menundukkan pandangannya. Merasa malu dan bersalah pastinya."Iya, kamu pria itu?benar, kan?" tanya Jasmine memastikan.Justin mengangguk pelan. Tak mampu berucap. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata jujur. Keduanya saling diam. Jasmine menatap Justin dengan tatapan yang menahan amarah. Ia tak tau harus bagaimana meluapkannya."Aku minta maaf, Jasmine. Aku pernah cari kamu. Tapi ga pernah ketemu," ucap pria itu tiba-tiba."Aku menyesalinya. Setiap hari aku berdoa dan berusaha agar kita dipertemukan kembali," ungkap pria itu jujur.Sedangkan Jasmine terdiam menatap Justin dengan ujung matanya. Ia belum
Kepalanya kini begitu sesak di penuhi dengan segala pertanyaan yang berhubungan dengan malam itu. "Bagaimana bisa benda ini ada di sini? Bagaimana bisa? Apa kaitannya Justin dengan ini?".Dadanya bergemuruh saat pikirannya mulai berspekulasi pada apa yang di bayangkannya.Suara dengungan terdengar keras di telinga hingga memenuhi ruang kepalanya. Sakit. Itu yang dirasakannya sekarang. Dengungan itu melengking kuat di telinganya bersamaan petir dan guruh yang datang menyambar apa yang di suka.Kepalanya mulai berdenyut nyeri. Satu persatu memori yang tersembunyi muncul di permukaan secara acak. Berputar. Ia berteriak saat tak kuasa menahan hantaman hebat di otaknya. Namun sayangnya, teriakan itu tak cukup terdengar di telinga orang-orang yang berada di rumah itu.Hanya Jasmine seorang. Ia berusaha kuat menahan sakit di kepalanya dengan memeluk kepalanya sendiri."Aaaaaaaaakh,". Kali ini teriakannya lebih kuat melebihi dari yang sebelumnya. Sehingga cukup terdengar di telinga seseorang
Hujan semakin deras seiring petir yang akan menyambar apa saja yang lewat. Mungkin sebagian orang merasa panik dan takut pada cuaca yang tiba-tiba ekstrim tersebut.Namun tidak bagi wanita itu. yang berada di ruangan yang sebagian dindingnya di pasang kedap suara. Sesekali netranya mengarah ke jendela dan mengetahui jika hujan dan petir telah datang bersamaan. Akan tetapi, ia tak perduli. Pikirannya hanya berfokus pada tulisan tangannya Midea. Entah kenapa, Ia merasa seolah-olah dirinya lah yang menulis semua keluh kesah itu.Jasmine termangu pada kalimat terakhir.*Midea adalah sebuah nama yang entah milik siapa di sandangkan pada ku. Yang semenjak aku menyandangnya seluruh hidupku merasa hampa lalu menderita. Benarkah nama ku Midea?? Dan benarkah aku seorang Midea Hasxander?*."karena di saat aku merenung sendiri. Aku merasa aku bukan lah aku"Serr...darah Jasmine berdesir kuat, saat membaca kalimat akhir dari tulisan tangan seorang Midea Hasxander, mantan istrinya Justin."Aku mer