Lisa masih berlarian panik. Takut jika ada polisi yang mengejar di belakangnya meski ia sudah jauh dari tempat itu. Bagus pasti sudah ditangkap dan bisa saja dia berkhianat dan membuka mulut. Sial!Satu-satunya harapan Lisa hanya Rama. Pria itu pasti akan mencarinya dan memberinya kesempatan. Sudah belasan tahun waktu yang mereka lewati. Rama bisa memakluminya jika dia bilang dirinya kesepian dan khilaf. Lisa berhenti saat ia merasa napasnya terengah-engah dan dadanya terasa sakit. Sudah terlalu lama dia berlari. Sekarang dirinya ada di mana? Dia mendongak pada jalanan besar yang terang benderang dengan papan reklame iklan beraneka ragam. Di mana ini? Ia menoleh ke sana kemari untuk mencari petunjuk. Bukannya dapat arah, Lisa malah melihat petugas polisi berjaket hijau tengah mondar-mandir di trotoar. Entah apa yang mereka lakukan di malam-malam begini. Ia langsung berbalik dengan jantung memburu cepat. Jangan sampai dia ditangkap. Ia akan mencari cara untuk menemui Rama terlebih
Nayna tidak mengerti mengapa Rama berbuat sejauh ini. Tiga hari berada di rumah sakit bersama Vina, selama itu pula Rama terus muncul dan membantu. Memperhatikan sampai detail terkecil, membawakan makanan dan minuman, menyiapkan alas kaki, sampai memanggil dokter untuk rutin memeriksa luka di kakinya. Lelaki itu membuatnya bingung. Harusnya dia membenci Nayna dan tak ingin muncul di hadapannya lagi. Semestinya ia mencari Lisa dan meminta penjelasan, bukan terus berada di sisinya. “Kamu nggak perlu melakukan ini lagi,” ucap Nayna saat lagi-lagi Rama berlutut lalu mengangkat kakinya dan memasangkan sandal yang nyaman dipakai. Rama mengabaikan. “Jangan jalan-jalan terus. Kaki kamu bisa sakit lagi.” Dia bahkan menepuk-nepuk telapak kaki Nayna, membersihkan debu yang menempel lalu memasangkan alas kaki. Sebuah perhatian yang berharga, tapi rasanya tidak benar bagi Nayna. Ia sudah menipu Rama dan mempermainkannya. Memanfaatkan kebaikan lelaki itu dan merahasiakan soal perselingkuhan
Mobil Rama berhenti di depan bekas rumah Mirna. Nayna menyebutkan alamat itu alih-alih alamat kos Vina yang lebih damai.“Kamu serius kita bakal tinggal di sini, Nay?”Nayna hanya mengangguk singkat sambil membantu Vina turun dari mobil, sedangkan Rama sudah membuka bagasi untuk mengeluarkan kursi roda Vina. “Iya, rumah ini lebih luas ketimbang kamar kos kamu. Jadi, kamu bebas bergerak dengan kursi roda. Perabotannya juga udah aku ganti.” Vina mengernyit ragu saat Nayna mendorongnya memasuki rumah Bagus. Apa Nayna akan baik-baik saja tinggal di sini di mana dia akan kepikiran dengan Bagus dan mertua jahatnya setiap saat? Saat Nayna membuka pintu, Vina mendapati suasana yang berbeda sejak terakhir kali dia datang ke rumah ini. Tak ada jejak Mirna ataupun Bagus yang tersisa. Sofa besar berwarna ngejreng terganti dengan sofa berukuran kecil dengan warna kecokelatan yang tidak menyilaukan mata. TV lebar milik Mirna sepertinya sudah Nayna enyahkan dan diganti dengan televisi kecil yang
“Kalau gitu manfaatkan saja sepuas kamu.” Nayna terpaku dengan kepala yang tak mampu menoleh. Digigitnya bibirnya, sebab baru pertama kali dia temukan lelaki sebaik Rama atau justru lelaki senaif Rama. Alih-alih senang, ia malah merasa miris. Alasan apa yang membuat Lisa berpaling dari pria seperti itu? Padahal Nayna dengan mudah terpana dengan semua kebaikan dan kesopanannya. Rama mengingatkan Nayna pada dirinya yang dulu. Jika terus dibiarkan, Rama akan tetap naif dan menganggap bahwa dia bisa menyerahkan segalanya kepada orang lain seperti orang bodoh. Maka, Nayna mengabaikannya.“Terlalu naif nggak baik buat diri sendiri.” Ia melanjutkan kegiatannya membereskan kamar. Pakaian Vina ada di mana-mana dan sepertinya ia akan berada cukup lama bersama Rama di sini. “Saya tidak keberatan bersikap naif ke kamu.” Nayna hampir terjungkal sebab suara dengan nada rendah itu tiba-tiba terdengar di belakangnya. Ia nyaris terjatuh ke atas kasur andai Rama tidak menahan punggungnya. Dengan
Rama langsung mengambil semua barang dari tangannya sesaat setelah Nayna membuka pintu kamar kos Vina. Lelaki itu tak mengatakan apa-apa dan berjalan lurus menuju mobil lalu bolak-balik mengambil barang Vina dari dalam kamar.Nayna hanya mampu menghela napas ketika menaiki mobil. Rama menyetir dalam keheningan, yang terdengar hanya suara deru lembut mesin mobil dan angin yang berembus masuk lewat celah-celah jendela mobil.Diam-diam Nayna melirik wajah Rama dari samping. Ia baru tersadar, apa rahang Rama memang setajam itu? Dagu lelaki itu cukup runcing dengan tulang hidung yang menonjol, serta pipi tirus yang terawat. Dari segi paras, Rama memang sangat cocok dengan Lisa. Mereka sama-sama rupawan. Namun, lelaki ini terlalu sempurna untuk Lisa. Dia adalah pria tampan baik-baik yang akan diperjuangkan oleh wanita yang menginginkan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Andai saja ia bertemu dengan Rama dalam keadaan yang baik, bukan di waktu yang mengharuskan dirinya untuk menghancurk
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.