Malam ini kondisi Gus Aaraf lebih stabil, jadi kami bisa menghadiri acara pelantikan di aula pondok. Kami mengenakan pakaian dengan warna senada, sepanjang jalan tanganku juga terus menggamit mesra lengan kekar Gus Aaraf. Kami selayaknya pasangan bahagia, tanpa ada yang tahu kalau badai di dalam dadaku hampir memporak-porandakan kewarasanku.Aula besar ini sudah tertata banyak kursi dan meja, Gus Aaraf lantas menuju tempat Abah dan para ustadz. Sedangkan aku menuju tempat Umik yang tengah sibuk berkoordinasi dengan santri senior."Bagaimana, Umik?" tanyaku yang lantas membuat Umik berpaling."Semuanya sudah selesai, Nduk. Kita tinggal menunggu beberapa menit lagi, ayo kita duduk di sana."Aku mengangguk dan lantas mengikuti Umik yang menggandeng tubuhku menuju meja deretan depan. Umik terus menggenggam tanganku. Ah, beliau memang sangat menyayangiku.Sesekali ujung netraku melirik ke tempat Gus Aaraf duduk. Pria tampan itu tampak asyik berbincang dengan para ustadz, semoga saja Gus Aa
Mobil mewah yang kami tumpangi ini memasuki halaman saung sederhana bergaya jawa yang terletak di tengah sawah, pandanganku mengedar ke sekeliling, ada beberapa mobil yang terparkir di sini. Gus Aaraf mengajakku keluar dan kami melangkah bersama memasuki saung."Aku dulu waktu masih kuliah sering makan di sini, Kay. Semoga kamu juga cocok sama makanannya," ucap Gus Aaraf seraya keluar dari mobil.Pria tampan itu menggandeng tanganku saat kami membelah kerumunan orang-orang yang tengah mengantre memesan makanan, sontak saja jantungku berlompatan, aku bahkan bisa merasakan detak jantungku sendiri."Tumben banget pagi-pagi sudah rame." Suamiku itu masih celingak-celinguk mencari tempat duduk yang kosong. Hingga akhirnya dia kembali menggandeng tanganku menuju saung yang terletak di pinggir sungai kecil."Kita duduk di sini saja, ya," ucapnya yang lantas aku angguki.Kami duduk berhadapan dipisahkan dengan meja kecil, dengan posisi ini aku bisa memperhatikan wajah tampan Gus Aaraf. Walaup
Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, saat itu juga aku langsung memejamkan mata. Bukannya tidak ingin mengantarkan suamiku ke depan, tetapi aku takut tidak kuasa saat sadar suamiku hendak bertemu wanita lain.Beberapa menit kemudian terdengar deru mobil meninggalkan halaman, saat itu juga air mataku langsung luruh. Aku benci pada diriku sendiri yang tidak berdaya dan hanya bisa menangis. Aku iri pada Ayrani yang dicintai sebegitu dalamnya oleh suamiku.Saking lelahnya menangis, tanpa terasa kelopak mataku semakin berat. Aku tertidur entah jam berapa, yang pasti saat ini kepalaku rasanya juga sangat pusing. ***Pagi hari."Loh, kok kamu di sini ...?!" Aku langsung menghambur pada pelukan Adele saat mendapati sahabatku itu baru saja turun dari mobilnya.Niatku pagi ini ingin menemani Umik menyimak ngaji harus terhenti saat melihat mobil yang bagiku tidak asing itu baru saja berhenti di halaman luas kediaman Abah, sepersekian detik kemudian Adele keluar dengan senyum merekah."Kayshilla .
"Gus Aaraf nggak mencintai aku, Del."Sahabatku itu tertegun, ia langsung menatap tajam ke arahku, sedangkan aku memilih terus menunduk. Rasanya sangat sesak sekali, aku membutuhkan teman bicara yang mana dia tidak akan tersakiti dengan sikap Gus Aaraf.Aku tidak pernah jujur kepada Abah dan Umik karena takut Mertuaku akan sakit hati memikirkan putranya. Akhirnya aku memilih Adele."Dia tidak mencintaimu?"Aku mengangguk. "Gus Aaraf bilang sendiri. Dan hari ini dia pergi janjian sama wanita lain, kekasihnya sendiri, Del. Bukan aku yang Gus Aaraf inginkan, tapi wanita lain!" pekikku tertahan.Adele langsung menggandeng tanganku untuk pergi dari kedai ini, ia membawaku ke mobil, dan berhenti di alun-alun kota. Adele turun terlebih dahulu kemudian aku mengikutinya yang berhenti di depan penjual es krim."Kamu beli es krim sejauh ini?" tanyaku tidak percaya.Adele hanya terdiam, tetapi senyum manisnya sudah menjawab semua pertanyaanku. Ia membeli dua buah eskrim, dan berpindah ke penjual
"Janjiannya jam berapa, Dek?"Aku menoleh pada pria di sampingku yang tengah fokus pada kemudinya. Mahesa, pria berusia matang yang sekarang menjadi calon suamiku. Kami akan menikah enam bulan lagi, lantaran Mas Mahesa yang baru saja menjabat menjadi kepala yayasan."Jam sepuluh, Mas.""Nanti kamu masuk sendirian?" tanyanya lagi yang lantas aku angguki.Yeah! Hari ini aku hendak bertemu dengan seseorang. Seorang pria yang sempat menjadi tempatku menitipkan hatiku kepadanya, dan sekarang aku akan mengambil lagi hatiku itu.Seorang pria yang mungkin, beberapa hari lalu hampir membuatku gila. Hingga takdir membawa Mas Mahesa kepadaku, sampai akhirnya aku mendapatkan kewarasan kembali.Gus Aaraf. Pria tampan berusia matang yang sudah memberikan seluruh hatinya untukku, tetapi ia juga yang mematahkannya. Pria yang telah mengajarkan apa itu cinta, sekaligus pria yang mengajarkan apa itu patah hati."Kita janjian di kedai Ling Ling, Mas. Di jalan subroto nomor 21.""Oh, aku tahu itu."Aku me
Flashback on."Nah, Nduk ... di sini kamu akan mondok, Insya Allah kamu akan belajar banyak hal. Ada madrasah umumnya juga, jadi kamu nggak akan ketinggalan sama teman-temanmu di luar sana." Paman berbicara dengan pandangan berbinar, tangannya menepuk bahuku, seraya nadanya tegas.Pagi ini Paman Zaki mengantarku mondok ke salah satu pesantren besar di Kota Kediri, kota kelahiranku. Beliau berjalan seraya membawa tasku dan aku mengikutinya dari belakang. Paman menuju rumah megah dan besar yang merupakan kediaman Pak Yai dan Bu Nyai.Paman Zaki menitipkan aku di sini. Aku harus tinggal di ndalem lantaran kurangnya biaya, lagi pula aku merasa tidak enak kalau harus merepotkan Paman lagi dengan menanggung biaya ku di sini. Mulai sekarang aku tidak boleh banyak bergantung kepada Paman, meskipun aku hanya seorang wanita, tetapi aku harus bisa berjalan di atas kakiku sendiri. Kasihan kalau di usianya yang sudah renta dan saatnya beristirahat, Paman dan Bibi masih harus menanggung biaya sekol
"Ini.""Apa ini, Gus?" tanyaku seraya menerima paper bag yang diulurkan Gus Aaraf.Kami berpapasan saat aku baru saja membuang sampah, dan ia kebetulan sedang lewat di samping kediamannya. Ah, semoga saja tidak ada yang melihat kami, karena aku khawatir akan mengundang prasangka dari santri atau keluarga ndalem."Itu buku kumpulan syair arab yang aku janjikan kemarin, ada juga syair dari beberapa bahasa. Semoga kamu suka."Aku masih melongo, pasalnya aku tidak menyangka kata-katanya kemarin serius. Aku mengira hanya sekadar basa-basi."Ini banyak banget, Gus!""Biar kamu puas." "Gus yakin meminjamkan sebanyak ini kepada saya? Saya, loh, sebenarnya bisa ke perpustakaan." Aku tidak enak dan takut merepotkannya."Aku malah senang."Aku hendak mengeluarkan protes, tetapi urung saat melihat senyumnya yang begitu manis. Aku terpaku melihat bibir indah itu melengkung dengan pandangan teduhnya yang menatapku."Kamu punya bakat, sayang banget kalau nggak di dukung sama fasilitas. Aku juga tah
Aku dan Gus Aaraf semakin dekat, apa lagi saat kelulusan sekolahku, ia menghadiahkan banyak buku. Aku memendam hubungan kami selama satu tahun setengah, bahkan Mbak Naya tidak tahu sama sekali.Gus Aaraf tidak pernah bertindak tidak menyenangkan terhadapku, ia selalu manis. Namun, ia masih menyembunyikanku dari Abah Yai dan Bu Nyai. Sampai akhirnya hari ini Gus Aaraf mengajakku ke suatu bukit yang terletak tidak begitu jauh dari Pondok Pesantren."Aku mau bikin perusahaan, Ay. Aku mau bikin usaha sendiri di luar nama Abah."Aku sontak menoleh, "kenapa, Gus?""Aku lelah kalau harus menjadi bayang-bayang. Aku nggak bisa menjadi diriku sendiri saat menjalankan pabrik.""Njenengan sudah yakin?"Gus Aaraf menganggukkan kepala, sesekali ia akan menghela napas dalam, dan menghembuskannya kasar. Angin sore di atas bukit ini begitu sepoi, tetapi sepertinya Gus Aaraf merasakan sesak yang begitu menghimpit di dadanya."Aku bisa menebak pasti Abah akan marah.""Kenapa dilanjutkan? Bukannya ridho
Semua orang mengucap syukur dokter menyatakan kondisi Shaynala sudah baik-baik saja, meskipun wanita itu tetap harus rawat inap sampai kondisinya benar-benar stabil.Arsen terus menggenggam tangan sang istri, bibirnya terus meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuat Shaynala seperti ini."Tidak apa-apa, Mas. Saat itu aku juga sedang kalut, jadi tidak berpikir dulu kalau mau bertindak," ujar Shaynala dengan suara lirih."Aku akan menebus semua kesalahanku, Dek. Dengan apapun caranya, aku akan membuatmu bahagia."Shaynala mengangguk, entah sudah yang ke berapa kalinya Arsen mengatakan hal seperti itu.Ia melihat penyesalan besar di mata suaminya, bahkan kedua mata elang itu masih memerah karena terlalu banyak menangis."Sekarang kamu harus fokus untuk kesembuhanmu, Dek. Nanti kita akan memulainya dari awal, aku berjanji akan selalu jujur dan terbuka dan berusaha hal seperti ini tidak akan terulang lagi," jelas Arsen yang membuat Shaynala langsung mengangguk."Mama sudah dibunuh D
Tujuh hari berlalu dan Aaraf baru kembali ke rumah sakit untuk melihat putrinya. Selama tujuh hari sebelumnya, ia menyiapkan acara doa untuk kematian Kaindra. Namun, setiap hari pria paruh baya itu tetap berinteraksi melalui video call agar tahu kondisi putrinya.Namun, baru saja menginjakkan kakinya di depan ruang rawat Shaynala, Aaraf dikejutkan dengan tangis semua orang yang ada di sana."Ada apa ini?" Aaraf langsung memeluk tubuh Kayshilla. "Ada apa, Kay? Kenapa semuanya menangisi?""Dokter tadi mengatakan tubuh Shaynala menunjukkan reaksi yang menolak jantung barunya, Bi. Shaynala kejang-kejang, Ummi takut melihatnya. Ummi takut ..," jelas Kayshilla yang sontak membuat Aaraf melongo."Bukankah kata dokter, sejak kemarin aman?" tanya Aaraf dengan suara lirih."Iya. Tapi pagi tadi saat Ummi mau menyeka tubuhnya, Shaynala kejang-kejang." Kayshilla menangis tertuju pilu di dalam pelukan Aaraf, hal itu tak ayal juga membuat Aaraf turut menitikkan air mata.Sementara Arsen terus berdir
Kondisi Kaindra semakin memburuk, bahkan pria itu sempat kejang-kejang. Kayshilla baru saja tiba bersama keluarga Danang, wanita paruh baya itu sampai pingsan beberapa kali memikirkan kondisi Shyanala dan Kaindra."Ndra, kamu dengar Abi?" bisik Aaraf, saat ini ia berada di dalam ruangan Kaindra karena dokter menyuruhnya masuk beberapa saat lalu.Kaindra terus memanggil-manggil Abinya, matanya terbelalak ke atas dengan napas yang seperti orang tengah mengorok."Laa ilaha illallah," bisik Aaraf tepat di telinga Kaindra.Pria itu mengikuti dengan napas tersengal, bibirnya bergerak hebat dengan keringat basah yang mulai membasahi pelipis.Aaraf menggenggam punggung tangan Kaindra, sebelah tangannya lagi mengelus lembut kening yang terasa panas. Sambil bibirnya terus membisikkan kalimat tauhid."Syahadat, Ndra. Di dalam hati tidak apa-apa," bisik Aaraf yang langsung diangguki oleh Kaindra.Kaindra tampak mengambil napas dalam, terdengar serak dan seperti sangat kesakitan.Aaraf menguatkan
Aaraf tidak kuasa menahan beban tubuhnya saat mendengar penjelasan panjang tentang kejadian yang menimpa putrinya tadi, kedua matanya semakin deras mengalirkan cairan bening, dengan seluruh hatinya yang hancur berkeping-keping.Bibirnya terus memanggil-manggil nama Shaynala, membuat siapapun tidak tega melihatnya."Kenapa putriku harus mengalami seperti ini?" gumam Aaraf. "Dia tidak salah apa-apa, dia tidak tahu apa-apa. Tapi malah menjadi korban."Arsen menundukkan tubuh yang masih bersimpuh di bawah Aaraf, ia seperti tidak punya keberanian untuk mengangkat kepala.Hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya, meskipun tidak mendapat sahutan dari Aaraf."Shaynala ..," bisik Aaraf.Pria paruh baya itu memejamkan kedua kelopak mata, detik berikutnya ia membuka lagi mata yang terpejam dan menatap ke arah Arsen."Bangunlah, Nak. Ini bukan salahmu, Abi paham kamu dijebak," ucap Aaraf sambil membantu menantunya untuk berdiri.Arsen semakin tergugu saat Aaraf dengan enteng merangkul tubuhnya, p
PLAKK!Wajah Arsen terhantam ke samping saat Rafael menamparnya dengan kencang, tanpa rasa iba Rafael mengangkat kasar dagu putranya dan kembali melayangkan bogeman mentah hingga membuat darah segar mengucur deras dari hidung."Papa kecewa sama kamu!" desis Rafael.Beberapa saat lalu Rafael memang mencari Arsen karena Adele yang mengatakan bahwa Kayshilla mencari putrinya. Kata Kayshilla, Shyanala pergi tidak lama setelah Arsen meninggalkan rumah dan sampai malam belum ada kabar.Tanpa pikir panjang Rafael langsung melacak keberadaan Arsen dan menyusul ke rumah yang digunakan sebagai tempat pertemuan Arsen dengan Kinara. Beruntung Rafael masih sempat bertemu Diego di gang masuk rumah itu, sehingga pria paruh baya itu langsung menyetop mobil Diego dan menginterogasinya."Apa yang akan kamu jelaskan pada mertuamu sekarang, hah?! Bagaimana bisa kamu tidak sadar kalau istrimu sedang mengikuti? Sekarang... papa tidak bisa lagi melindungi kamu, Sen," ucap Rafael.Arsen tidak menyahut, waja
Hujan turun tanpa diduga, Shaynala tetap nekat menerobos hujan tanpa peduli bajunya basah."Dek!" Arsen tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang, membuatnya sontak berteriak."Aaargh ... lepaskan aku, Mas! Jangan sentuh!" Shaynala berusaha melepaskan tubuhnya, tetapi pelukan Arsen sangat erat.Wanita itu meneteskan air mata, bersatu dengan lebatnya air hujan yang rasa dinginnya semakin menusuk kulit. Udara malam menjadi saksi betapa panasnya hati pasangan tersebut, kedua insan itu sama-sama terluka dengan keadaan yang terus memicu masalah."Lepaskan aku, Mas, lepaskan aku ...," bisik Shaynala di sela-sela isak tangisnya. "Aku nggak bisa seperti ini terus, aku terluka saat tahu kamu akan punya anak dari perempuan lain. Mamamu juga meminta kita bercerai, Mas."Arsen tersentak dan tanpa sadar pelukannya sedikit melonggar, membuat Shaynala dengan mudah melepaskan diri.Shaynala berjalan cepat, tanpa peduli tanah basah yang mengotori sepatunya."Aku mencintaimu, Dek! Aku tidak akan mencerai
David berlari menuju ruang UGD, ia segera menemui Dokter yang ada di sana dan menanyakan bagaimanakah kondisi Kaindra."Benturan yang dialami pasien menyebabkan adanya pendarahan serius di dalam otak, Pak. Pasien juga mengalami patah tulang di beberapa bagian, dan terdapat banyak luka lecet. Kami baru saja memberikan transfusi darah karena pasien kehilangan banyak darah saat dibawa ke sini," jelas dokter.David mengangguk dengan lesu, ia duduk di sana dengan tatapan kosong yang terarah ke depan.Ia sudah menganggap Kaindra seperti seorang kakak, Kaindra sering membantunya bahkan memberikan banyak bonus di luar bonus perusahaan.Mendengar kondisi orang yang ia sayangi yang sedang kritis di dalam sana, membuat David merasa tidak berdaya. Meskipun ia terkenal tegas, tetapi ketika menyangkut keselamatan Kaindra, ia juga bisa menjadi rapuh."Mungkin nanti akan ada operasi kecil, Pak. Mohon Bapak menghubungi anggota keluarga lain untuk mengurus persetujuan operasi tersebut," kata Dokter.Se
Mobil milik Arsen baru saja berhenti di halaman luas Pesantren Al-Mubarok. Sesuai janjinya, dua minggu sekali ia akan datang ke sini untuk mengunjungi istrinya.Ia langsung duduk di sofa ruang tamu, menemani Abi mertuanya yang duduk sendirian di sana. Pria paruh baya itu terlihat tidak bersemangat, padahal Arsen tahu perusahaannya sudah berjalan stabil."Abi kemarin bertemu dengan Kaindra, Sen. Abi tidak bisa tenang," ucap Aaraf dengan suara lirih.Hening! Arsen tidak menyahut."Kaindra sibuk terus dan belum bisa ditemui, malah hari ini rencananya dia pergi ke luar kota lagi untuk pertemuan bisnis." Pria paruh baya itu menghela napas kasar. "Abi juga tidak enak mengganggu waktunya. Segan, Sen. Abi 'kan pernah mengecewakan dia," lanjutnya."Satu bulan lagi hari pernikahannya, pasti Kaindra akan mengundang Abi. Mungkin itu bisa jadi waktu yang tepat untuk Abi berbincang dengan Kaindra," sahut Arsen.Aaraf tampak berpikir. "Apakah Kaindra akan mengundang Abi? Sedangkan kemarin Abi bilang
"Kita akan menginap di sini, Tante?" tanya Larissa."Iya, rumahnya Arsen juga tidak jauh dari hotel ini. Jadi cocok sekali kalau kita menginap di sini untuk sementara waktu," sahut Kinara.Larissa mengangguk setuju. Di usia kandungannya yang sudah memasuki sembilan bulan, Larissa tidak bisa banyak protes dan hanya bisa menurut saja. Yang terpenting nanti kebutuhannya dan anaknya terjamin."Wanita itu masih di luar kota, Tante?"Kinara menoleh ke arah Larissa dengan kening mengernyit. "Maksud kamu Shaynala?""Iya, Tante. Dia," sahut Larissa yang sontak membuat Kinara tergelak."Sampai sebegitunya kamu nggak mau menyebut namanya, La." Kinara menjeda ucapannya barang sejenak. "Iya, dia masih di luar kota. Dan ini menjadi kesepakatan bagus untuk kita mengawasi Arsen."Wanita paruh baya itu memang menempatkan beberapa anak buah di sekitar kediaman Arsen untuk mengawasi Arsen dan mendapatkan banyak informasi."Tapi kalau kita langsung muncul, apa Arsen tidak akan marah? Dia 'kan membenciku,"