Ibu berhasil menidurkanku lagi di atas ranjang.
Malam itu, aku pun akhirnya terlelap dengan satu pelukan hangat yang hadir di sekujur tubuh.
Ya!
Ibu memeluk erat seperti malam-malam yang lain. Tetapi kali itu, ada yang sedikit berbeda.
Karena aku bisa merasakannya betul.
Dalam napasnya yang mendayu-dayu naik dan turun, sesekali, ada isaknya yang masih saja muncul.
Pikiranku selalu saja bertanya-tanya setiap kali isak itu terdengar.
Apakah kesedihan ibu itu, karena ulah ayah, kenakalanku, atau akibat penyesalan karena sudah melahirkanku.
Pikiran itu, selalu saja menghantui.
Aku lalu memeluk ibu dengan sama eratnya. Bahkan, dalam tidur yang semakin terlarut, aku sempat menggenggam baju kaos putihnya yang masih lembab karena derai air matanya.
Aku tidak mau kehilangannya. Dan aku tahu, ibu pun menginginkan hal yang serupa.
Bayang-bayang kisah itu sesekali muncul dalam lamunan. Tetapi aku tidak mengerti, kenapa kenangan itu masih saja hadir. Terutama jika aku, terjerembab dalam kesendirian.
“Berulah lagi. Hmm.. Ibu harus ngomong pakai bahasa apalagi ya sama kamu, Lukman. Mungkin memang sekolah ini bukan tempat yang cocok untuk mendidik kamu. Ada pertanyaan?”
Guru perempuan yang berkacamata dan bertampang sangar itu melotot persis di depanku. Kedua bola matanya yang benar-benar dibuat bulat, seperti hendak dilontarkan tepat ke wajah.
Aku hanya melengos membuang muka. Sebentar lagi, pasti dia akan menyindir dengan kalimat saktinya yang sama.
“Dasar… Sampah!! Tidak punya masa depan!!”
Betulkan?!
Aku tidak peduli lagi dia mau bicara apa. Bagiku sama saja. Semuanya, bangsat.
Sejenak aku melirik ke papan nama kecil yang bersanding di dada kirinya. Rohayati. Atau kalau boleh, aku menyebutnya si Wanita Iblis.
Wanita yang selalu saja membatasi kebebasan untuk mencari makna kehidupan. Wanita yang mempunyai tugas lain selain mengajar mata pelajaran Ekonomi yang tidak bermanfaat itu. Yaitu tugas sebagai orang yang sok mengatur semua anak yang katanya nakal dan tidak waras, agar kembali ke jalan yang benar.
Ah, bullshit!!
Seperti dirinya sudah benar saja. Kau atur saja dirimu sendiri, wahai perawan tua.
“Maksudmu apa menatap ibu seperti itu? Marah? Marah saja sama ulahmu sendiri. Malu kamu, sama orang tuamu!”
Ah, perawan tua. Kenapa kau bawa-bawa keluargaku dalam urusan ini?
Aku membuang wajah lagi. Seolah lebih mulia menatap lantai ruangan tempat dimana berkumpulnya guru-guru yang sok teladan, dibanding harus menatap wajahnya yang sudah sangat tidak menarik itu.
“Selamat siang.”
Suara datar tanpa emosi hadir dari balik pintu kayu. Ayah tiriku.
“Selamat siang, pak Ary. Silahkan.” Ibu guru lapuk itu mempersilahkan ayah untuk duduk di satu kursi kosong yang sengaja ia letakkan di situ sejak tadi, sejak aku ditariknya ke ruangan ini.
Ayah menatapku dengan tajam. Aku sempat melihat bola matanya yang bengis. Lalu aku buang wajah ini lagi ke arah lain.
“Boleh tahu kenapa, Bu Rohayati?” tanyanya sambil sesekali melirik ke arahku.
Aku yakin, nanti setibanya di rumah, dia akan melakukan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Tetapi, apakah aku harus peduli? Kenapa juga? Toh, dia kan bukan ayahku. Kenapa harus bersusah payah mengatur anak yang bukan darah dagingnya sendiri? Lebih baik kau urus saja benih-benihmu yang tidak pernah berhasil bersemi, wahai ayah tiri.
“Lukman.” Guru Konseling itu menarik napas dan mencoba mencari kata yang tepat untuk memulai. Ayah menyimaknya dengan serius. Duduknya sejenak digeser-geser untuk mencari posisi yang nyaman.
“Dia berkelahi lagi. Dan kali ini bukan dengan sembarang orang. Bapak tahu siapa yang menjadi korban kebodohannya itu?” Dengan amat sinisnya dia menatapku. Bibir dan tenggorokannya bergerak-gerak seperti ingin menelanku bulat-bulat. Atau bahkan ingin memaki seperti di awal tadi.
“Bukan adik kelas, Pak. Atau siswa culun yang lebih pintar dari dia. Atau juga penjaga kios kantin atau penjaga sekolah. Bukan, bukan mereka. Tetapi Ini orang yang paling penting di sekolah ini.”
“Siapa?” tanya ayah penuh dengan kerutan dahi, namun aku tidak akan peduli dengan siapapun nama yang akan disebutkan oleh wanita tua itu.
“Bapak Alfredo Gultom. Sang Pemilik Sekolah dan Ketua Yayasan. Beliau sudah dibuat masuk ke UGD dan harus dirawat inap lantaran tulang rahangnya yang patah. Bukan hanya itu. Lukman, dengan polosnya sudah merusak mobil BMW beliau.”
Kembali maniknya memicing tajam ke arahku.
“Entah apa yang ada di dalam kepalanya untuk berpikir. Saya sampai sekarang masih bingung. Apakah isinya benar-benar otak, atau seonggok sampah.”
Aku melirik ke wajah ayah. Dan seperti yang sudah diduga, kedua bola matanya membelalak seperti mau dilempar.
“Kapan?”
“Tadi. Saat istirahat. Mohon maaf sebelumnya pak Ary, kalau saya harus memanggil bapak untuk datang lagi kemari. Tapi sepertinya hal ini sudah jauh dari batasan kebebasan yang berlaku di sekolah kami.”
“Maksud ibu, Lukman mau dikeluarkan?” Ayah menengok ke arahku. Wajahnya benar-benar mengamuk besar.
Aku sempat melihat ke tangan kanannya yang mengepal-ngepal tapi ditutupi dengan remasan tangan kirinya. Coba saja kalau sampai berani memainkan tangannya di sini. Bisa aku hajar balik, dia.
“Sepertinya harus, pak.”
“Tidak ada cara lain? Kesempatan lain?”
“Sepertinya sudah habis.”
Aku mengerti kalau sekolah ini adalah sekolah yang ke sepuluh yang ku jajaki di tahun ini, Tetapi, menurutmu, apakah aku peduli?
“Oke.”
Ayah menghentikan kalimatnya sebentar. Sepertinya dia mencari-cari cara untuk bisa mempertahankanku di sekolah ini. Lagi.
“Bisakah saya berbicara dengan Kepala Sekolah.”
“Mohon maaf, pak Ary. Kepala Sekolah sudah melimpahkan semua urusan dan keputusannya ke saya, pak,” tukas si Wanita Iblis ke wajah ayah yang ada di depannya persis.
“Oh, oke. Maaf kalau begitu. Tetapi, apakah saya, maksud saya, Lukman, masih diberi masa tenggang hingga saya berhasil mencarikan sekolah pengganti untuknya?” melas ayahku sopan.
“Pak Ary, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pertanyaan bapak sudah pernah bapak utarakan sebulan lalu. Bahkan sejak… enam bulan yang lalu. Satu semester lalu. Dan sudah saya jawab boleh waktu itu. Hingga hari ini pak,” jawab guru itu sopan tetapi tajam.
“Jadi sudah tidak ada kesempatan?”
“Iya pak. Mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
“Bisakah diberi waktu sedikit lagi, bu? Sepertinya akan sulit bagi saya untuk mencari sekolah lain di tengah-tengah tahun ajaran seperti ini.”
“Bapak mungkin bisa cari referensi atau informasi lain, pak. Terlebih dengan adanya internet. Sepertinya pencarian bapak akan sangat dibantu dan akan lebih mudah.”
Aku mengerti arah pembicaraan ayah. Bukan masalah pindah sekolah yang dia khawatirkan, melainkan pembiayaan yang terpaksa harus muncul agar sekolah baru mau menerimaku belajar di sana.
Tetapi sekali lagi. Aku tidak peduli.
“Baiklah bu. Jika itu adalah keputusan yang tepat.” Ayah menutup kalimatnya yang menyerah dengan satu hembusan napas yang panjang.
Tangan kanannya yang mengepal-ngepal sejak tadi, sudah kulihat lagi. Jari-jemari itu sudah ia lemaskan. Ternyata ayah sudah menyerah dengan kenakalanku.
“Terima kasih.”
“Sama-sama, pak Ary.”
“Ayo.”
Ayah segera bangkit.
Aku pun akhirnya, dengan kemalasan yang dibuat lebih berat, terpaksa ikutan bangkit bersamanya.
Kutarik tas selempang yang ku duduki sejak perbincangan kumuh ini dimulai. Kemudian ia dicantolkan ke satu bahuku.
“Ini! Jangan lupa.”
Bu Rohayati menyodorkan satu bungkus rokok filter yang kotaknya berwarna cokelat ke hadapan ayah. Tak lama, setelah ayah bertukar pandang dengannya, ia meraih bungkusan itu, lalu menyerahkannya kepadaku.
Netraku yang masih kesal segera melihat lagi ke kedua bola matanya yang menatap kosong seolah tidak punya harapan.
Dan lagi-lagi, seperti yang sudah-sudah. Aku, tidak peduli.
Ayah kemudian melangkah keluar, dan aku, mengikutinya dari belakang.
“Bebas!!” batin ini tersenyum puas.
Kutarik satu napas kebebasan dengan tarikan yang panjang sepanjang yang aku bisa.
Akhirnya aku bisa terbebas dari belenggu si Wanita Iblis itu. Tetapi, nanti, entah siapa lagi wanita iblis yang akan hadir di tempat yang baru, dengan maksud yang sama, namun berbeda rupa.
Dengan,
Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.
“Ahh,” batinku tidak peduli.Ayah terus bergerak bahkan sempat menunduk hormat sejenak ke satu penjaga gerbang sekolah yang masih setia ada di sana.Namun aku, berjalan lurus tanpa perlu memikirkan pria yang mengenakan seragam monoton itu. Gayaku benar-benar seperti, jagoan.“Memang aku jagoan. Kamu tidak percaya? Lihat saja nanti, setelah kau mengenal Brian, Agus, Toha dan beberapa barang yang berhasil kami nikmati dari jerih payah kami. Intinya, kami, The Freak Doors bangga dengan semua hal yang kami perbuat,” ucap dalam hati.“Masuk!” titah ayah dengan dagunya. Dia lalu duduk di kursi pengemudi sambil menarik dan menutup pintu mobil tuanya yang sering mogok.Aku berjalan berputar di depa
Memandang pohon yang ada di hadapanku, yang lingkar batangnya sudah besar jauh melebihi lingkar pinggang.Bibir ini pun entah mengapa tersenyum kecil ke arahnya. Ku pikir, hanya dialah saksi bisu yang sangat mengerti sejak ia dibiarkan tumbuh di atas tanah itu.Setelah membuang napas yang lelah, aku segera menegak. Dan mencoba berjalan penuh santai ke arah pagar garasi rumah, kemudian membuka bagiannya yang sudah ayah buka lebih dulu.“Assalamualaikum,” salam dari bibir ini ketika melangkahkan kaki kanan lebih dulu.Aku benar-benar menyadari apa yang dilakukan barusan. Itu adalah salah satu buah pengajaran ibu yang disampaikan berulang-ulang, bahkan sejak aku masih tinggal di rumah yang dulu.“Ah, rumah itu,
Adalah Agus dan Toha, anggota The Freak Doors yang lain. Mereka sudah menunggu kami di atas dipan panjang yang berhimpit dengan tembok belakang pertokoan itu.Aku melihat dengan bangga grafiti yang dibuat tepat di dinding yang dihimpit oleh dipan yang sedang mereka tumpu. Sebuah lambang tulisan yang tegas dan berani dengan sepasang sayap yang sedang membawanya terbang.“Brader!!! Kemana aja lo?” tanya Agus sambil berdiri mendekat dengan telapak tangan kanan yang diangkat.Tak lama, aku sambut telapak itu dan kami mulai memainkan gerakan-gerakan unik yang menjadi identitas kami, yang ditutup dengan gerakan saling meninju.“Aseeemm!!... Sabar Bray, jaga emosinya dong,” keluh Agus yang merasakan kalau tonjokanku terlalu keras dari biasanya.
Dalam keheningan yang kami isi dengan canda gurau yang khas sebagai obrolan anak jalanan, dan sesekali sambil menyanyikan beberapa lagu usang secara acapela, dimana aku, beberapa kali berdecak kagum ke sisi Brian, sosok teman yang memiliki suara yang lebih normal dikala bernyanyi dibandingkan kami semua, aku merasakan, kalau diri ini, adalah aku yang sebenarnya.Tak ada gundah, terlebih bayang-bayang dari bekas sekolah.“Ah, lupakan!” pinta batinku sambil mendendang lagu lawas andalan kami."Eh, gue baru inget,” ucap Agus sambil segera bangkit dari duduk malasnya.Kami semua melirik ke arahnya.“Apaan?”“Ada tempat nongkrong yang baru buka. Tadi
Srrrrrrrrrrtt….Satu suara seret tiba-tiba muncul di samping kiri. Sontak langsung aku melirik ke arah itu melalui kaca spion yang ternyata,“Gila lo!!!” ucapku segera dengan agak terkekeh.Disana, Brian baru saja membuat satu baretan panjang di satu mobil yang terparkir di sisi jalur kami.Aku pun memainkan ekor mata hingga melirik ke semua sisi untuk memastikan kalau ulah sintingnya tidak diketahui oleh siapapun.“Turun!” tukasku cepat sambil memutar anak kuncinya.Brian pun lekas melompat dari duduknya dengan satu dorongan yang dia berikan ke punggung sampai,“BANGSAAAT!! Sakiit,” rintihku
Terlihat begitu senang ke arah mereka. Dan tak lama, Toha mengangkat tangannya ke meja kami..Aku baru mengetahui, kalau ternyata, untuk menghampiri mejaku ini, terpaksa Agus dan Toha harus melewati meja mereka.Semoga saja nanti semua berjalan dengan aman sentosa.Namun aku masih terus merasa cemas, kalau-kalau Agus dan Toha, atau bahkan mereka yang masih mencuri-curi tatap dengan kami, membuat kekacauan baru."Lihat saja kalau berani," gumamku.Aku menoleh ke sisi Brian yang ada di samping. Dia ternyata masih mengamati kemana dan bagaimana Agus dan Toha akan datang."Itu dua kunyuk udah tau belum ya?" tanyaku dengan wajah yang ditujukan ke dua sabahat yang lain.
Menjalar bersama derai angin yang menderu-deru di samping.Laju motor itu terus ku buat berlalu sejalan dengan garis putus-putus putih yang menghiasi bagian tengah aspal jalanan raya. Dan kubiarkan pula tubuh ini tersinari oleh lampu-lampu jalan yang seolah berlari mendekat lalu meninggalkan ke belakang.“Ah… Nikmatnya malam ini.” Bibirku mengukir senyum saat mengucapkan kalimat itu di dalam pikiran.“Bray… Pada mampus nggak tuh?” tanya bibir yang mendekati telinga.Aku tak menjawabnya, aku terus fokuskan dua bola mata ini untuk menatap rute yang sudah dimantapkan,“Pulang!” tegas batinku kemudian.Brian masih melekat di bahu kanan
Dengan sigap, ibu menangkap ayunan tangannya itu. “Sabar mas.” “Lama-lama aku lelah dengan dia bu. Ini adalah kesekian kalinya dia berurusan dengan pihak yang berwajib. Mungkin yang sebelum-sebelumnya hanya sebatas hansip atau penjaga sekolah, tapi kali ini…. Hebat benar kamu ya Man, sekarang sudah betul-betul naik level,” sindir ayah dalam keheningan. Ibu tidak menimpali kalimatnya kali ini. Termasuk dua sosok polisi yang mematung di hadapanku. "Bawa segera dia pak. Biar dia lekas belajar, bahwa menjadi manusia itu harus punya hati dan nurani. Harus bisa berguna. Minimal buat hidupnya sendiri." "Masss…." lirih ibu yang suaranya hampir terdengar menghilang. Wajahku terus terdiam sambil menunduk. Dan saat kertas panggilan itu ditarik oleh satu dari mereka, aku langsung mendongak. Ku perhatikan lagi dua wajah yang hadir dengan tegasnya itu. Sebenarnya aku ingin sekali melirik ke paras ibu yang terus menahan kesedihannya, tetapi h
“HAHAHAHAHA,” tawa Denise yang terbahak-bahak sempurna."NGGAK BECUS LO!" timpalku.Diana menunduk malu. Di kelamnya suasana kolong meja, aku tahu dia barusan melepas isaknya. Tapi kesedihan itu malah membuat rasa bahagiaku makin bergejolak.Di antara tawa-tawa kami, ia terus merapikan wadah-wadah kotor, juga membersihkan ceceran minuman dan remah-remah yang ditumpahkan Denise ke lantai.PRAANG!"Uppps! Sorry."Piring kue yang Denise pesan tetiba ikutan jatuh. Isinya tumpah ke punggung Diana dan mengotori pakaian putihnya.Aku tahu kalau barusan adalah ulahnya yang betul-betul disengaja, dan kegaduhan itu pun menambah bumbu keceriaan canda kami.Kami kian tertawa lepas.Beberapa orang pengunjung pun sampai memerhatikan ulah kami yang begitu seru. Tapi tak ada yang menghiraukannya.Gadis pelayan itu makin merunduk dalam kikuk. Lalu tanpa banyak bicara, semua kotoran yang bertambah banyak itu dia ambil satu-persatu dan diletakkan ke atas nampan.Saat Diana berjongkok untuk mengambil pec
Jo tertawa lepas di depanku. Begitu pula dengan Frans. Aku pun demikian.Entah seperti apa rasanya. Tonggak yang sedang tegang-tegangnya di grasah-grusuh tanpa arah. Rasanya pasti seperti ingin patah."Aduh, aduh.. udah, Sayang. Sakit!""Ngaku! Kamu sudah main sama Anisa kan?""NGGAAAK! Ya Tuhan.""Nggak usah bawa-bawa Tuhan!"Tetiba Brian memeluk Denise dengan erat. Lalu kepalanya dibenamkan ke dalam belahan dada Denise yang montok."AAAAUUW!" jerit Denise keras-keras. Sampai-sampai suaranya itu memanggil perhatian orang lain yang ada di cafe itu. Tapi mereka kemudian tidak menghiraukannya.Dengan sekuat tenaga Denise mendorong kepala Brian agar bisa menjauh darinya. Tapi usahanya itu hanya membuahkan hasil yang sia-sia.Semakin dia mendorongnya, Brian kian mendekap lebih erat."LEPASIN!.. .AUUWCH… LEPAS! BRIANH… BRIAAAN!!""Mmmm.. Akuh mau dekap kamu terus, Sayang.""LEPASSSH!" dorong gadis itu lebih kuat sampai akhirnya Brian pun menyerah."Mmmuu–""Jaga nih mulut! Nyosor mulu!" k
Makan malam di meja makan tetap hening seperti biasanya. Semua yang hadir pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Ayah dengan lembaran korannya, yang sesekali diganggu oleh ibu dengan bujukan lauk juga gosip sepanjang hari ini. Sedang aku, sibuk mengurusi butiran nasi yang sepertinya tidak ada habis-habis."Tadi Ayah ke sekolah," ujar ayah memulai topik yang lain.Seketika perhatian Ibu berpindah. Ia pun kemudian memerhatikanku sesaat, terlebih-lebih Ayah."Kamu tahu, kenapa Ayah harus ke sekolahmu?""Apa apa lagi, Man? Apa ada, Yah?" bingung Ibu."Coba jelaskan!"Aku diam dalam kesantaian dan kesibukanku sendiri."Maan…"Perlahan telapak tangan ibu bergerak dan menyentuh punggung tangan kiriku. Aku terhenyak saat menikmati kehangatannya.Tapi kasih sayang itu segera aku tepis. Kutarik tanganku untuk menjauh darinya."Kamu punya urusan apa lagi? Kamu nggak kasihan sama Ayahmu? Sama Ibu?" ucap Ibu penuh iba.Tak lama Ayah menarik napasnya dalam-dalam. Lalu dia banting dengan begi
Pagi itu adalah hari keempat sejak kuberikan peringatan ke gadis Bazar Sosial. Gadis yang tanpa disangka-sangka bisa kubuat ingin menangis kencang di kantin namun tertahan oleh rasa malunya. Sejak hardikan itu, dia tidak berani muncul mencariku. Terlebih-lebih aku. Untuk apa mencarinya? Siapa yang peduli?Namun tanpa kuduga, panggilan dari Pak Kepala Sekolah terjadi lagi.Saat pelajaran Sejarah tengah berlangsung dalam keheningan, satu penjaga sekolah memanggil namaku dari sisi pintu kelas."Lukman! Cepat pergi! Jangan kamu buang-buang waktu pelajaran saya!" ketus ibu guru.Perlahan kubangkit dan berjalan santai ke depan kelas.Sang Guru Cantik itu menatap dengan penuh lekat. Aku pun sesekali menangkap sorotan matanya itu. Tapi aku biarkan saja. Sepertinya dia sudah tahu apa telah terjadi kemarin, dan mungkin, apa yang akan terjadi di ruang Kepala Sekolah nanti, juga yang nanti setelahnya.Apa karena dia memiliki jaringan di sekolah ini sehingga semua informasinya pasti dia ikuti? A
Carlitta tersenyum dengan bibir tipisnya yang begitu seksi.Aku sampai terhenyak ke dalam pesonanya itu. Bibir yang begitu mengkilap dengan warna merah muda yang membuat birahiku beriak-riak.Ditambah lagi liuk pinggulnya yang begitu elok membentuk."Alamak. Kenapa ini tante sekarang jadi enak dipandang ya?" decak batinku.“Tidak perlu,” jawabnya.“Jangan gitu. Gua harus bisa berterima kasih.”Wanita itu pun terkekeh kecil.“Jangan sok gaya. Mana ada sih cowok begundal yang benar-benar romantis dan tulus?”“Hahahahaha.”“Atau, karena kamu baru menang taruhan?” lanjutnya yang sedikit nakal. Satu kelopak matanya berkedip genit di hadapanku.“Mungkin. Gimana? Mau kan?"“Hmmm…” Carlitta berpikir sejenak seolah itu adalah pilihan yang amat sulit. Lalu bibirnya berucap kembali.“Ok. Rejeki tidak boleh ditolak. Pamali.”“Kamu mau apa?” tanyaku sambil meremas-remas jemarinya yang begitu halus.“Duitnya kan cuma sepuluh juta. Jangan sok kaya deh.”“Segitu juga duit. Kalo buat beli lontong–”“H
Segera kutarik resleting tas dan kutinggalkan buku tulis, buku paket Sosiologi dan pulpen di atas meja. Toh besok aku masih bertemu dengan mereka lagi, jadi untuk apa harus repot-repot dibawa pulang?“Mas, bukunya!”“Biarin, Pak!” jawabku sambil meninggalkannya sendirian di kelas.Sore itu aku ingin mampir ke basecamp, namun setelah mendapat kabar kalau dua dari tiga temanku sedang pergi keluar kota, terpaksa aku harus mencari agenda yang lain.Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala. Mataku pun sampai berbinar-binar dibuatnya."Cafe!" Lirihku kemudian.Tanpa banyak pertimbangan, segera kumainkan tuas gas motor ke cafe tempat anak-anak biasa bermain biliar."Kopi satu, Mbak!" pintaku ke pelayannya, lalu aku berjalan menyusuri meja-meja biliar yang hening.Kulihat ada satu meja yang sedang seru dikerubungi pengunjung. Aku pun langsung ke sana."Ikutan main dong?" ucapku memotong permainan mereka. Kulihat semua wajah gembiranya berubah segan untuk menyambut. "Oke, Bro?" sambungku lagi
"Hai," ucap wanita itu dengan penutup senyuman ramah.Bulu matanya yang lentik seolah menghipnotisku. Dia begitu cantik untuk usianya yang sudah tidak muda lagi. Bahkan jika boleh dikata, mungkin usianya setara dengan usia ibu. Sepertinya begitu menurut penilaianku.Ia selanjutnya duduk di tepi ranjang, lalu Brian menjamunya bak tamu yang benar-benar istimewa.Setelah dua teguk minuman di gelasnya dihabiskan bersama senda gurau kami, Brian kemudian memangku dan mulai mencumbu lehernya, yang tak lama menjalar ke pangkal dadanya. Sungguh-sungguh pemandangan yang amat menggugah gairah.Jonathan pun meletakkan gelasnya yang masih berisi bir di seperempat bagiannya. Ia rupanya sudah tak tahan untuk ikut meramaikan suasana. Jika Brian menyerang dari sisi belakang Carlitta, maka Jo memainkan perannya dari bagian depan.Aku sampai terkekeh sejenak.“Buset, kita lagi nonton live,” seringaiku ke Frans yang tak bergeming.Tak lama, pertahanan Frans pun bobol. Ia segera menaruh gelasnya dengan se
[Nise, beneran lu ngirimin gue motor? Anjir. Gua harus bilang apa? Thanks ya.] Sejenak bibirku tersenyum sendirian di keremangan kamar ketika pesan itu berhasil terkirim. Kini aku memikirkan apa yang harus kukatakan besok ke teman-teman di sekolah. Pastinya, besok adalah babak baru buatku. *** Pagi itu aku berangkat ke sekolah dengan semangat yang berapi-api. Ibu pun menangkap alasan yang membuatku bereuforia seperti itu. Dengan wajah yang berseri, kubelah jalanan kecil yang membagi kompleks perumahan, dilanjut jalanan aspal yang ramai dan bising, hingga kemudian kuparkirkan motor baru itu di sudut parkiran sekolah. Denise. Dia pun melempar senyum hangat saat aku memasuki kelas dan duduk di kursi. Dalam senyum kecilku ini, dia menangkap apa maksudnya. Saat pulang sekolah, semua kawanku terheran dan terkaget dengan apa yang aku tumpangi. “Anjir, ada anak sultan. Banyak duit lu?” “Menang lotere apa dibeliin tante girang? Wkwkwkwkwkw,” sambung Frans. Aku diam sambil mengulum se
“Come on, Sayang,” bujuknya lagi. Bibirnya kemudian digigit-gigit manja bersama kedipan bulu matanya yang kian menggoda.“Nise…. Kit–”Tanpa kusangka, Denise langsung melumat bibirku lagi dengan gairahnya. Libidoku pun meledak dan memuncak, menjalar ke sekujur tubuh untuk membangkitkan gelora liar yang lain.“Ahh…. Shit! Denise…Shhh...” desahku sambil merengkuh tubuh montoknya.“Come on, Honey.”Tanganku langsung mengacak liar di seluruh liuk tubuhnya, hingga kemudian kedua tangan ini melepaskan semua pakaian kami.Entah berapa lama aku memainkan pemanasan itu. Mungkin kali ini lebih liar dari yang sebelumnya. Denise sepertinya amat menikmati semangat kejantananku. Lidahnya dengan lincah menjilat-jilat daun telingaku, lalu turun ke leher, dada, bulu-bulu halus di atas perutku, kemudian dengan penuh kegirangan menikmati bagian keras yang berdenyut dengan gagah.“Ahh…”Permainan panas itu pun kian berlanjut ke babak yang lebih memanas. Sungguh-sungguh permainan yang luar biasa.Tak ada