Senja tidak pernah lelah menghiasi bumi meski terkadang insan tidak bisa menikmati. Namun, senja tetap akan datang setiap hari meskipun banyak yang menolak untuk berjumpa dengannya lagi. Hanya senja yang mengerti caranya pamit untuk pergi Dengan indah.Banyak orang kehilangan arah sehingga tidak tahu arah jalan pulang. Namun senja tidak pernah lupa jalan untuk ia kembali. Hanya senja yang Pergi Untuk kembali.Benar. Cuman senja yang tahu arah jalan pulang tanpa ada yang memaksa. Tidak seperti Mas Alfi. Air mataku kembali menetes membasahi pipi kala mengingat perlakuan Mas Alfi terhadapku. Dan untungnya saat ini aku sedang berada di atas motor, sehingga tidak ada yang tahu apa yang kulakukan di balik kaca helmku.Setelah menjemput Aris di rumah teh Ani, aku kembali melajukan motorku ke sekolah Aldo. Ya, aku juga harus menjemput Aldo.“Assalamualaikum Mama, Aris.” Sapa Aldo begitu Kami sampai di sekolahnya.“Waalaikumsalam anak ganteng Mama. Gimana perjalanannya, sayang?” Tanyaku setela
Aku berlengah ke kamar, terlebih dahulu membersihkan diri di kamar mandi, kemudian menunaikan salat wajib empat rakaat untuk memulai mimpi indahku.Aku bersujud memohon ampun dan perlindungan kepada sang Maha Pencipta.Tidak lupa pula aku memohon kebaikan untuk rumah tangga kami, semoga Allah memberikan cahayanya dalam keluarga kami.Aku menggunakan lingerie seksi, menggunakan make up tipis, lipstik dengan warna bibir, untuk membuat diriku semakin menarik. Ya. Aku harus bisa menaklukkan Mas Alfi supaya ia melupakan sang pelakor. Aku harus mengikuti ajaran adik iparku yang sedikit sebleng. Karena ajarannya memang sesuai dengan yang aku perlukan saat ini.Tidak ada salahnya bukan menggoda suami sendiri. Bahkan bisa memberikan pahala untukku yang sukarela menggoda suamiku sendiri.Meskipun Aku harus menggadai harga diriku saat ini. Cinta harus mengalahkan egoku di saat yang kubutuhkan. Itulah yang ada di benakku.Sakit hati dan kekecewaan telah ku tepikan dari hatiku. Kini hanya semangat
Bab 12“Jangan pernah memberitahukan keadaan kakak sama mama. Kakak nggak mau mama kepikiran. Mama kalu banyak pikiran darah tingginya bisa kambuh,” ucapku memperingati Nadia. “Meskipun Kakak nggak menceritakannya sama Mama, Mama pasti bisa merasakan apa yang kakak rasakam,” balas adik iparku. “Iya, kamu benar. Ketika Kakak lagi ribut-ribut parah sama Mas Alfi,p Mama sering menghubungi kakak. Bahkan sekarang pun Mama sering menghubungi Kakak untuk menanyakan Mas Alfi. Kakak selalu memberikan alasan sedang kerja. Kakak juga pakai uang mama kemarin untuk beli skin care,” beberku pada Nadia. Aku memang selalu merasa nyaman dengan adik iparku itu. “Kalau kakak mau, aku akan bantu Kakak untuk biaya ke salon. Kakak harus mempercantik diri Kakak melebihi sang pelakor,” uca adik iparku menggebu. “Kecantikan rupa akan pudar seiring berjalannya waktu,” sahutku yang langsung dipotong oleh Nadia. “Kecantikan akhlak akan abadi selamanya. Ingat kak, akhlak itu baru terlihat di saat orang itu te
Bab 13 Aku membuka mataku perlahan dan beberapa kali mengucek ulang mataku yang baru terbuka. Aku tidak menyangka jika yang ada di dalam cermin itu adalah pantulan diriku. Rambutku yang lurus kini disulap menjadi ikal bergelombang layaknya sosis yang dijual di pinggir jalan. Beberapa kali aku menarik rambutku yang seperti per itu. Alisku dicabut, membentuk menjadi sebuah ukiran. Lipstik yang berwarna senada dengan bibirku dengan tambahan tinta berwarna pink membuat penampilanku begitu memukau. Bulu mataku memang telah lentik dari produknya. “Bagaimana tuan Putri? Apakah anda sudah bangun dari tidur panjang anda?” bisik Adek iparku dibalik daun telingaku. “Apa ini wajah kakak, dik?” tanyaku kepada Nadia untuk meyakinkan diriku sendiri. “Bukan, Itu jelmaan kakak yang telah lama tertidur.” Ceplos adik ipar sebleng-ku itu. “Masa jelmaan Kakak lebih cantik dari kakak?” Sombong ku. “Wow amazing,” gumam ku mengagumi pantulan diriku sendiri di cermin. Ternyata benar apa kata orang-oran
bab 14Sekarang mereka dimana?” Tanya Mas Alfi dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan rumah kami untuk mencari kedua buah hatiku. “Mereka di sekolah,” jawabku singkat. “Bukannya ini udah jam pulang? Hari ini kan Jumat, biasanya mereka balik lebih awal,” ujar Mas Alfi sambil terus menetap ke arah. “Mereka bersama Nadia. Katanya Mereka ingin menginap di tempat pamannya.”aku masih tetap bersikap acuh tak acuh kepada Mas Alfi. “Aku sudah memberitahu Nadia, jika aku akan pulang siang ini.” Gumam Mas Alfi. Namun, aku sangat malas untuk menimpali. “Kamu habis dari mana?” tanya Mas Alfi kemudian. “Enggak dari mana-mana. Memangnya kenapa? Kok Mas tanya seperti itu?” jawabku penuh selidik. Tumben tumbenan iya perhatian sama aku. Selama Mas Alfi berselingkuh dengan Mutia, Dia seolah menganggapku tiada. Setiap detik yang terlewatkan hanya ada Mutia di dalam angan Mas Alfi. “Enggak. Kamu terlihat cantik.” Puji Mas Alfi yang berpindah duduk ke sampingku. Aku hanya melirik ke arah
Bab 15. Main cantik menghadapi pelakor.Lama aku melihat Mas Alfi duduk termenung di ruang keluarga.“Put, aku akan pergi lagi. Kamu hati hati di rumah.” Ujar Mas Alfi di balik pintu kamar kami.“Terima kasih telah menjadi istri yang baik untukku, ibu yang bijaksana untuk anak-anakku. Maafkan Mas yang selalu menyakitimu, Putri.” Setelah berkata demikian Mas Alfi berlalu dari rumah kami.Deru mobil yang terekam di Indra pendengaranku menjadi bukti jika Mas Alfi sudah benar-benar pergi bersamaan dengan suara mesin mobil yang semakin menjauh.Aku merasa tangan tak kasat mata sedang meremas hati dan jantungku. Kini aku sadar siapa yang dicintai oleh Mas Alfi. Selama ini aku terlalu menutup mataku sehingga aku tidak menyadari jika diriku ini hanya dijadikan sebagai tempat cadangan. Jika Mas Alfi telah bosan berada di luar, di saat itulah dia akan pulang ke rumah menghampiriku. Padahal aku ini adalah istri sahnya.Sesak di dada menjadi teman baikku saat ini. Cairan bening yang keluar da
bab 16. Kekecewaan Mas Alfi Setelah puas memanasi Mutia dengan memeluk Mas Alfi posesif aku menerbitkan seringai tipis di wajahku tanpa ada yang menyadari bahkan Mutiara yang sedang menatapku saja tidak bisa melihat seringai itu. Aku menarik diri dari pelukan Mas Alfi, lalu menatap suamiku dengan sendu. “Aku akan mundur Mas, jika itu bisa membuat kamu bahagia. Bukankah cinta tidak mesti memiliki. Aku tidak bisa memaksa kamu untuk terus berada di sisiku sementara hatimu berada kepada wanita lain,” ucapku lirih. Entah dari mananya berasal, tiba-tiba mataku terasa mengembun. “Aku siap kapanpun kamu menceraikan aku,” imbuhku dengan wajah tertunduk. Tes Begitu aku mengedipkan mata cairan bening pun mengalir indah di pipi mulusku “Aku juga tidak akan menuntut apapun dari kamu. Semoga kamu bisa bahagia bersama dirinya Mas,” aku kembali mengangkat wajah untuk menatap as Alfi dengan senyuman yang aku paksakan dan air mata yang terus mengalir di pipi mulusku. Aku pun melepaskan pelukanku
BAB 17. Menata HatiAku melihat Mas Alfi menggempalkan tangannya mana kalah mendengar jawaban dari Mutia. Aku mengukir senyuman tipis yang bahkan tidak ada yang tahu.“Aku tidak munafik seperti Putri. Aku sesuai realita, apa-apa sekarang itu butuh duit Mas bukan butuh cinta. Jika tanpa uang cinta pun tidak mampu bekerja. Ingat itu Mas,” cicit Mutia.“Jadi kamu tidak mau berjuang dari nol bersamaku?” Tanya Mas Alfi sekali lagi untuk memastikan. Aku melihat rahang Mas Alfi yang mengaras tanda ia sedang menahan emosi, terlebih matanya yang memerah membuat tampilannya begitu angker.“Maaf Mas Aku tidak mampu. Hidupku selama ini sudah susah. Aku menikahimu supaya bisa merubah kehidupanku untuk lebih baik bukan malah memperburuk suasana,” ucap Mutia jujur.“Kamu yakin sama keputusanmu itu?” kembali Mas Alfi melontarkan pertanyaan.Aku hanya bisa mencibir dalam hati. Sudah jelas wanita itu tidak tulus mencintainya, tapi seolah Mas Alfi buta dan begitu mengharap wanita itu untuk berada di