Bab 28Ah, ribet.Apa mereka pikir gampang banget untuk menjadi menantu keluarga El Fata? Dulu aku menikah dengan mas Keenan dan akhirnya harus tersingkir karena aku berasal dari keluarga miskin.Bahkan mereka menyingkirkanku dengan cara yang sangat menyakitkan, melukai harga diri dan kehormatanku. Keluarga mas Keenan yang tidak sekaya keluarga El Fata saja menolakku, apa kabar dengan keluarga El Fata? Jika hari ini mereka baik, mungkin karena mereka butuh air susuku untuk anggota baru keluarga mereka yang terpisah dari ibunya. Tapi kalau untuk menjadi menantu? Hahaha... Tunggu dulu!Langit tetaplah langit. Tak ada yang bisa berubah. Cinderella hanya ada di dalam cerita dongeng pengantar tidur anak-anak. Dokter Aariz sudah menjanjikan jika masa menyusui berakhir, maka aku akan bekerja di salah satu perusahaan milik mereka. Bagiku itu adalah hal yang bagus, bahkan mereka berjanji akan membantu supaya ijazahku kembali terbit untuk menggantikan ijazah yang sudah dibakar oleh mas Keen
Bab 29"Kok aku sih? Kan ada Ina? Kalau aku juga yang ngurusin Sherina, buat apa ada Ina? Kita sudah bayar dia, kan? Jangan aneh-aneh deh!" Jangankan meraih putrinya, memandang saja pun tidak. Eliana malah berjalan mendekati meja makan. Perutnya sudah lapar minta diisi.Matanya berbinar melihat sepiring nasi goreng yang ada di atas meja makan. Menu sarapan yang sebenarnya merupakan jatah Keenan. Namun secepat kilat, Yunita mengambil nasi goreng itu, lalu meletakkan di samping piringnya."Kamu ini apa-apaan sih?! Bukannya menggendong Sherina, tapi malah mau makan. Nggak bisa! Ini jatah sarapan Keenan. Kalau mau makan, bikin saja sarapan sendiri. Tapi sebelumnya urus dulu anak kamu itu. Masa suami udah mau berangkat kerja masih harus mengurus anak?!" Yunita langsung mengomel. Gemes ia dengan tingkah menantunya yang sok manja dan ngebos. Yunita hanya meminta Eliana untuk menggendong Sherina sebentar, tapi tanggapan Eliana terkesan seolah-olah jika dia membebankan urusan anak kepada Eli
Bab 30Diiringi oleh tatapan orang-orang yang kebetulan berada di tempat ini, aku terus berjalan mengiringi dokter Aariz. Sepagi ini suasana rumah sakit sudah ramai. Meskipun rumah sakit ini tidak menerima pasien BPJS, tetapi rumah sakit ini tetap ramai oleh pengunjung dan pasien, tentunya. RSIA Hermina berhasil meningkatkan branding sebagai rumah sakit Ibu Dan Anak terbaik di kota ini dengan konsisten menjaga mutu pelayanan. "Papa praktek dulu ya, Nak. Kamu sama Mama Alifa dulu. Di belakang rumah sakit ini ada taman kecil. Gibran dan Mama Alifa bisa bermain di sana," beritahu pria itu sembari mencium pipi gembul putranya yang berada dalam gendonganku.Jarak yang teramat dekat membuatku bisa mencium dengan jelas aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria bertubuh tinggi besar itu. Tubuhku seketika meremang."Iya, Papa. Lancar dan sukses ya, Pa." Aku menirukan suara anak kecil, sementara Gibran hanya mengangguk-angguk, entah mengerti atau tidak apa yang diucapkan oleh papanya.Pria
Bab 31Ingin rasanya aku tertawa sekeras-kerasnya. Setelah apa yang ia lakukan selama ini kepadaku, menyakitiku dengan begitu dalam, sampai membuatku enggan bergaul dengan banyak orang. Bahkan aku tidak berani pulang ke rumah keluargaku, karena mbak Rosa dan mbak Yuna membeberkan bukti-bukti palsu itu ke hadapan mereka. Aku sudah mendapatkan citra buruk di mata keluarga besarku. Memang aku tidak pernah berzina, tetapi apa aku kuasa untuk membuktikan bahwa semua itu tidak benar?Tidak ada bukti ataupun saksi yang menyatakan jika aku tidak pernah berbuat asusila. Aku terpojok dan lemah.Lalu sekarang setelah setahun berlalu, ia ingin rujuk kembali? Hei....Apakah pria ini tidak berkaca? Apakah di rumahnya tidak ada cermin? Bukannya dia sudah membuangku, seharusnya pantang baginya untuk memungut sesuatu yang sudah ia buang? Bener nggak, pemirsa?"Aku sudah punya kehidupan sendiri, Mas. Dan itu nggak ada sangkut pautnya denganmu. Aku lebih bahagia sekarang meski tanpa kamu. Aku beb
Bab 32Keenan tidak pernah menyangka akan bisa bertemu lagi dengan Alifa setelah lelah ia mencari, bahkan ia sempat datang ke rumah pribadi dokter Aariz, tapi hasilnya nihil. Keenan melupakan jika rumah sakit ini merupakan milik dokter Aariz, jadi wajar saja jika Alifa ada disini.Rika melahirkan di RSIA Hermina. Sebagai seorang atasan, dia merasa perlu menjenguk. Tidak ada masalah dengan Rika. Dia baik-baik saja dan terlihat bahagia. Kunjungan Keenan hari ini sekaligus menerima pernyataan resign dari Rika.Keenan bisa memahami, apalagi saat suami Rika mengatakan jika mereka akan segera pindah ke luar negeri, karena suami Rika di mutasikan perusahaan ke Dubai.Tak ada yang bisa memaksakan pilihan, apalagi sekarang sudah ada Donita yang akan menggantikan Rika sebagai sekretaris. Hubungan mereka sangat baik seperti sahabat, dengan suaminya pun Keenan kenal baik dan mereka saling percaya."Semua orang yang aku temui menutupi informasi di mana tempat tinggal Alifa, tapi ternyata aku malah
Bab 33"Jangan halangi aku! Lepas, El." Keenan mengibaskan tangan Eliana dengan kasar. Dia langsung masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintu mobilnya itu."Mas, jangan pergi! Kita masih bisa bicara baik-baik!"Keenan membuka kaca jendela mobil dan melongokkan kepalanya. "Memangnya kamu bisa diajak diajak bicara baik-baik? Bukannya tadi kamu sudah bilang jika kamu nggak bisa diajak diskusi soal perusahaan?""Aku butuh tempat untuk menampung semua bebanku. Aku butuh partner diskusi yang baik, yang bukannya cuma bisa menyalahkan. Kalau kamu nggak bisa, biar malam ini aku menginap di apartemen Donita. Setidaknya dia lebih pintar daripada kamu!""Asal kamu tahu, El. Aku sedang pusing. Aku panik. Kalau proyek ini sampai gagal, aku akan kehilangan uang miliaran." Pria itu mengepalkan tangannya ke atas. Geram sekali dengan sikap istrinya yang tak juga mau mengerti situasi yang tengah ia alami saat ini."Dan kamu tahu, itu uang miliaran berasal dari mana?!" Mata pria itu berkilat-kilat. "Aku
Bab 34"Nggak percaya dengan cinta?" Keenan langsung ternganga. Dia baru dengar, ada orang yang tidak percaya dengan adanya cinta. Dia mencintai Alifa dan tak pernah bisa melupakan wanita itu, meski Alifa sudah berkhianat."Entahlah, Pak. Di luar negeri sana, saya banyak melihat hubungan yang konon katanya berlandaskan dengan cinta, tapi ternyata akhirnya sangat mengenaskan. Banyak pasangan yang tidak terikat dengan pernikahan. Mereka hidup bersama dan mendewakan cinta, tapi banyak yang mengakhiri hubungan tidak dengan cara baik-baik, bahkan tidak jarang harus menghilangkan nyawa salah satu diantara mereka. Ini mengerikan. Saya berpikir apa yang bisa diharapkan dari sebuah cinta?""Saya pun tidak suka dengan pernikahan. Apa yang diharapkan dari seorang perempuan yang menukar tubuhnya dengan biaya hidup dari seorang lelaki, walaupun katanya ini nafkah. Toh pada kenyataannya, terkadang wanita harus membiayai dirinya sendiri dan juga anak-anak, padahal katanya urusan uang adalah urusan
Bab 35 Rencana? Apa yang sudah mereka rencanakan untukku dan dokter Aariz? Kepalaku sontak berdenyut-denyut Hanya sepenggal yang bisa kudengar, karena setelah itu suara mereka terdengar sangat pelan, seperti berbisik-bisik. Aku tidak lagi bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Mereka hanya menyebutkan jika aku tidak menyadari jika Gibran itu mirip denganku. Ini adalah orang yang kedua yang menyatakan hal yang serupa sebelumnya. Naira sudah mengatakan itu, tapi jika aku lihat lagi, Gibran sepertinya malah lebih mirip dengan dokter Aariz. Atau mungkin karena mereka sama-sama laki-laki? Lagi pula memang wajar jika Gibran mirip dengan dokter Aariz, karena dia adalah ayah kandungnya. Aku menunda niatku untuk pergi ke kantin, dan memilih duduk di bangku di depan sebuah ruang perawatan, yang mana ruangan itu kosong, sehingga tidak ada aktivitas sama sekali di ruangan itu. "Tidak mungkin. Tidak mungkin Gibran itu mirip denganku. Dia hanya anak susuan dan aku bukanlah anak
Bab 130"Tolonglah, Dok. Saya dan kekasih belum siap untuk menikah dan punya anak," rengek Reva. Nada suaranya seperti putus asa. "Kalau ketahuan keluarga saya sedang hamil, pasti mereka akan menyakiti Mas Lukas.""Kamu pernah menjadi asisten pribadi saya, Reva. Dan kamu tahu pasti apa jawaban saya atas permintaan kamu yang satu ini. Apakah kamu lupa?! Selama janin yang berada di rahim kamu itu memiliki tanda-tanda kehidupan dan tidak berbahaya untukmu, maka haram bagi saya untuk melenyapkannya!""Biar dosanya saya tanggung sendiri, Dok." "Ini bukan soal dosa ataupun pahala, Reva. Ini melanggar kode etik saya sebagai tenaga medis.""Tapi saya berjanji akan tutup mulut, Dok. Apapun yang terjadi, saya nggak akan nuntut," bujuk Reva."Tapi saya tidak mau ambil resiko. Akan sangat berbahaya bagi keselamatanmu sendiri. Lain cerita jika ada indikasi medis yang membuatmu tidak bisa meneruskan kehamilan." Pria itu lagi-lagi menegaskan.Dia tidak menyangka jika pasien pertamanya kali ini adal
Bab 129Alifa terlalu naif. Dari ucapannya saja menunjukkan jika sebenarnya dia sudah bisa mencintai Aariz, meski mungkin kadarnya belum terlalu besar seperti ia dulu mencintai suami pertamanya.Pria itu menghela nafas, lalu mengusap-usap tengkuk istrinya dan mencium kening perempuan itu sesaat. "Sayang, tidurlah. Jangan berpikiran yang macam-macam. Besok kita bahas lagi." Pria itu mengusap mata yang basah itu, dan mengatupkannya.Sepanjang malam ia terus memeluk istrinya. Tak tahu entah pukul berapa ia bisa benar-benar tertidur. Namun tahu-tahu alarm di ponselnya berbunyi, tanda waktu pukul 05.00 pagi.Pria sejati itu, yang jika dia mencintai istrinya, maka dia akan memuliakannya. Dan jika ia tidak mencintai istrinya, maka dia tidak menyakitinya. Kalimat itu barusan ia dapatkan dari ibunya kemarin siang. Nasehat yang benar-benar menyentuh hati. Aariz bertekad untuk terus belajar, karena itu memang sudah tugasnya sebagai seorang suami. "Shalat dulu, Sayang. Mau nggak jadi makmumnya
Bab 128Siapa yang berbuat baik, hakikatnya ia berbuat baik kepada dirinya sendiri. Dan siapa yang berbuat jahat, hakikatnya ia berbuat jahat kepada dirinya sendiri.Itu yang aku rasakan saat ini.Demi menghormati perasaan Bapak tadi, akhirnya mas Aariz tidak jadi memberikan uang itu."Terima kasih banyak ya, Pak. Semoga usahanya berkah, jualannya laris manis," ucapku sembari menjabat tangan pria itu."Sama-sama, Bu. Semoga Dokter dan Ibu diberikan kebahagiaan yang berlimpah sama Allah.""Amin." Kami mengaminkan serempak, kemudian segera berbalik menuju mobil. Pria itu melambaikan tangan, dan aku membalas lambaian tangannya."Bantuan yang kita berikan di saat orang-orang benar-benar membutuhkan pastinya akan sangat berkesan ya, Mas," komentarku saat kami sudah kembali berada di jalan raya dan melanjutkan perjalanan."Iya. Itulah sebabnya Mas tetap bersedia praktek di rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Kalau dipikir-pikir, fokus praktek di Hermina itu juga udah menyita waktu Ma
Bab 127Aku tertegun. Tumben mas Aariz memanggilku dengan panggilan sayang? Biasanya cuma panggil nama saja."Sayang... kenapa diam saja? Apakah kamu lagi sakit?""Nggak Mas. Aku hanya sedang berbaring. Disuruh istirahat sama Mama.""Oh ya? Kalau gitu istirahat aja dulu. Anak-anak kan sudah ada yang ngurus. Nanti kalau sakitnya udah mendingan, kamu bisa kok main lagi sama anak-anak. Obatnya sudah diminum, kan? Salepnya sudah dioleskan, kan?" Pria itu memberondong dengan berbagai pertanyaan."Iya, aku sudah minum obat. Aku sudah mendingan kok. Mas nggak usah khawatir." "Mas masih di rumah sakit umum, kan?""Iya, Mas masih harus berjaga disini. Dokter Hera nggak bisa diharapkan. Tapi Mas usahakan bisa pulang cepat. Semoga saja tidak ada pasien darurat lagi.""Iya Mas.""Oke, Mas tutup ya. Kamu istirahat aja dulu. Nanti kita bicara lagi ya, Sayang."Pria itu menutup panggilan. Aku hanya mampu tertegun. Sedang kesambet apa suamiku, sehingga memperhatikanku seperti ini? Bukankah barusan
Bab 126"Maksud dokter apa?" Perempuan itu tergagap."Katakan pada saya, tolong perjelas lagi, alasan apa yang membuat kamu selalu menolak untuk melakukan tindakan operasi, padahal kamu mampu. Kenapa kamu selalu mengandalkan saya?""Karena saya percaya sama Dokter. Saya tahu jam terbang saya jauh lebih rendah. Saya belum lama lulus....""Tetapi untuk melakukan tindakan operasi seperti kasus yang terjadi pada ibu Kinanti ini seharusnya bisa dilakukan oleh dokter yang baru lulus spesialis sekalipun. Ini bukan tindakan yang terlalu berat, Hera. Seharusnya kamu mampu." Pria itu mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar dokter Hera mengikutinya ke ruangan pribadinya.Mereka menyusuri lorong rumah sakit dengan beriringan, lalu pria itu membawa dokter Hera masuk ke ruangan pribadinya, kemudian menutup pintu."Saya hanya tidak percaya diri, Dok. Pengalaman saya waktu masih ko-as dulu yang terpaksa harus melakukan tindakan....""Saya tahu, tetapi kamu nggak perlu trauma yang mendalam. Kita b
Bab 125Aku hanya menatap nanar Mas Aariz yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara guyuran air. Tampaknya dia benar-benar dikejar waktu, karena tidak sampai 10 menit dia sudah keluar dengan tubuh berbalutkan handuk.Dia terlihat seksi dengan penampilan seperti itu. Aku menelan ludahku. Rambutnya yang basah dengan titik-titik air yang membasahi bahu dan pundaknya. Dia pun memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa dan melapisinya dengan jas kebesaran, lalu segera keluar dari kamar ini tanpa pamit kepadaku."Dia sudah pergi," gumamku lirih. Aku mulai menggerakkan tubuh. Rasanya tubuhku sakit semua, terutama di area intiku. Mas Aariz ternyata bisa juga bersikap brutal seperti ini, sisi lain darinya yang baru terlihat hari ini. Tubuhku terasa lengket dengan keringat, memaksaku untuk duduk. Aku menyingkirkan selimut tanpa peduli dengan tubuh telanjangku. Toh, tidak ada siapapun di kamar ini. Aku meraih kimono mandi, lalu masuk ke kamar mandi. Berend
Bab 124Sesosok pria nampak berdiri tegak dengan tangan bersedekap di dada. Dia berdiri di depan mobil yang barusan kami tumpangi."Mas...." Aku langsung tergagap."Pulang ya. Nanti kita bicara di rumah," tegasnya. Matanya tajam menatapku, membuatku tidak berkutik.Tanpa bicara lagi aku masuk ke dalam mobil. "Pak Maman sudah aku suruh pulang. Jadi akulah yang akan mengantar kalian, supaya kalian bisa segera sampai di rumah, tidak mampir ke mana-mana lagi." Pria itu melirik ke belakang Maya dan Naira yang tengah duduk mamangku anak asuhnya masing-masing. Mereka pun diam dengan mata yang saling menatap.Aku masih diam, tak berani membantah. Lebih baik mengalah, daripada berurusan dengan pemilik muka menyeramkan saat ini.Tak ada sepatah kata pun terucap sepanjang perjalanan, kecuali desah nafas pria itu, bahkan ia tidak melirikku sama sekali. Dia fokus mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Aku heran, bagaimana bisa pria ini sampai di mall ini? Bukankah tadi katanya dia ti
Bab 123"Anak baik, jagoannya Om Keenan, bisakah kita berteman?"Kalimat itu sangat sederhana, tapi sanggup membuat mataku berkaca-kaca. Aku berusaha menahan sekuatnya agar cairan bening ini tidak merembes dari sudut mataku. Jangan ada tangis yang membuat suasana di restoran ini menjadi mellow. Cukup mas Keenan saja yang menangis. Aku tidak boleh ikutan menangis. Di dekat kami ada Donita dan pengasuh anak-anak. Jangan sampai ada yang mengira kami sedang reunian.Kulihat tangan kecil putraku mengepal ke atas. Dia tertawa riang, apalagi saat mas Keenan menciumi wajahnya."Di dekat sini ada wahana permainan anak. Kalau kamu nggak berkeberatan, kita bisa bermain bersama. Kebetulan hari ini libur. Aku dan Donita pun tidak ada pekerjaan. Khusus family time."Aku memandang wajah dua pengasuh putraku. Maya dan Naira hanya mengangkat bahu. Ya, sepertinya ini bukan ide buruk. Hari masih siang dan masih ada waktu kurang lebih satu jam sebelum pulang ke rumah."Baiklah. Aku setuju. Sudah lama ana
Bab 122"Bagaimana Mas?" Aku langsung mencecar suamiku dengan pertanyaan. Sejak tadi aku merasa sangat gelisah, mengkhawatirkan soal kondisi pasien itu. Tidak mungkin Nia menelpon dengan nada yang sangat panik seperti itu jika tidak benar-benar gawat."Operasinya sudah selesai dan dia belum sadar. Kondisinya masih dalam pemantauan tim. Semoga saja bisa segera dipindahkan ke ruang rawat biasa."Namun meski jawabannya cukup melegakan, tetapi aku menangkap raut wajahnya yang murung. "Masalahnya apalagi, Mas? Operasinya kan sudah selesai, dan si pasien selamat. Lalu apalagi?""Dokter Hera. Seharusnya yang memberi tindakan itu dokter Hera, bukan aku. Tapi dia nggak mau. Kamu kan tahu sendiri alasannya kenapa?" Pria itu mengingatkanku dengan percakapan dengan Nia saat kami masih berada di mobil."Karena dia nggak berani dan takut ujung-ujungnya bakalan disalahkan sama penanggung jawab pasien. Soalnya pas dirujuk kemari, si pasien dalam kondisi pendarahan yang hebat.""Iya." Pria itu menghe