Bab 1"Apa? Saya hamil, Dok?" ulangku lirih. Aku menoleh sekilas kepada pria yang tengah fokus menghadapi alat USG yang terpasang tepat di sisi ranjang yang tengah kutiduri ini."Betul, Bu. Lihatlah, titik kecil ini menandakan sebuah embrio, titik kehidupan baru yang ada di rahim ibu." Pria muda itu menggerakkan kursor dan menunjuk ke titik yang dimaksud, walaupun tentu saja aku tidak mengerti karena bagiku sama saja. Layar di depanku itu hanya berwarna hitam putih dan aku tidak tahu titik yang dimaksud oleh dokter Aariz."Tapi bagaimana mungkin? Bukankah aku sudah lima tahun menikah dan belum juga dikaruniai anak?" Aku menggumam tanpa sadar. Seorang perawat perempuan membantuku bangkit dari pembaringan dan kini aku sudah duduk berhadapan dengan dokter Aariz.Sebenarnya dokter Aariz meresepkan obat pereda mual dan vitamin untukku, tapi sengaja tidak kutebus, karena uang yang kumiliki terbatas. Aku hanya sanggup membayar biaya pemeriksaan. Mungkin nanti aku akan membeli minyak kayu p
Bab 2"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa....""Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara."Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula."Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri."Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seoran
Bab 3 Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah
Bab 4 Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil ny
Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya
Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara
Bab 130"Tolonglah, Dok. Saya dan kekasih belum siap untuk menikah dan punya anak," rengek Reva. Nada suaranya seperti putus asa. "Kalau ketahuan keluarga saya sedang hamil, pasti mereka akan menyakiti Mas Lukas.""Kamu pernah menjadi asisten pribadi saya, Reva. Dan kamu tahu pasti apa jawaban saya atas permintaan kamu yang satu ini. Apakah kamu lupa?! Selama janin yang berada di rahim kamu itu memiliki tanda-tanda kehidupan dan tidak berbahaya untukmu, maka haram bagi saya untuk melenyapkannya!""Biar dosanya saya tanggung sendiri, Dok." "Ini bukan soal dosa ataupun pahala, Reva. Ini melanggar kode etik saya sebagai tenaga medis.""Tapi saya berjanji akan tutup mulut, Dok. Apapun yang terjadi, saya nggak akan nuntut," bujuk Reva."Tapi saya tidak mau ambil resiko. Akan sangat berbahaya bagi keselamatanmu sendiri. Lain cerita jika ada indikasi medis yang membuatmu tidak bisa meneruskan kehamilan." Pria itu lagi-lagi menegaskan.Dia tidak menyangka jika pasien pertamanya kali ini adal
Bab 129Alifa terlalu naif. Dari ucapannya saja menunjukkan jika sebenarnya dia sudah bisa mencintai Aariz, meski mungkin kadarnya belum terlalu besar seperti ia dulu mencintai suami pertamanya.Pria itu menghela nafas, lalu mengusap-usap tengkuk istrinya dan mencium kening perempuan itu sesaat. "Sayang, tidurlah. Jangan berpikiran yang macam-macam. Besok kita bahas lagi." Pria itu mengusap mata yang basah itu, dan mengatupkannya.Sepanjang malam ia terus memeluk istrinya. Tak tahu entah pukul berapa ia bisa benar-benar tertidur. Namun tahu-tahu alarm di ponselnya berbunyi, tanda waktu pukul 05.00 pagi.Pria sejati itu, yang jika dia mencintai istrinya, maka dia akan memuliakannya. Dan jika ia tidak mencintai istrinya, maka dia tidak menyakitinya. Kalimat itu barusan ia dapatkan dari ibunya kemarin siang. Nasehat yang benar-benar menyentuh hati. Aariz bertekad untuk terus belajar, karena itu memang sudah tugasnya sebagai seorang suami. "Shalat dulu, Sayang. Mau nggak jadi makmumnya
Bab 128Siapa yang berbuat baik, hakikatnya ia berbuat baik kepada dirinya sendiri. Dan siapa yang berbuat jahat, hakikatnya ia berbuat jahat kepada dirinya sendiri.Itu yang aku rasakan saat ini.Demi menghormati perasaan Bapak tadi, akhirnya mas Aariz tidak jadi memberikan uang itu."Terima kasih banyak ya, Pak. Semoga usahanya berkah, jualannya laris manis," ucapku sembari menjabat tangan pria itu."Sama-sama, Bu. Semoga Dokter dan Ibu diberikan kebahagiaan yang berlimpah sama Allah.""Amin." Kami mengaminkan serempak, kemudian segera berbalik menuju mobil. Pria itu melambaikan tangan, dan aku membalas lambaian tangannya."Bantuan yang kita berikan di saat orang-orang benar-benar membutuhkan pastinya akan sangat berkesan ya, Mas," komentarku saat kami sudah kembali berada di jalan raya dan melanjutkan perjalanan."Iya. Itulah sebabnya Mas tetap bersedia praktek di rumah sakit umum milik pemerintah daerah. Kalau dipikir-pikir, fokus praktek di Hermina itu juga udah menyita waktu Ma
Bab 127Aku tertegun. Tumben mas Aariz memanggilku dengan panggilan sayang? Biasanya cuma panggil nama saja."Sayang... kenapa diam saja? Apakah kamu lagi sakit?""Nggak Mas. Aku hanya sedang berbaring. Disuruh istirahat sama Mama.""Oh ya? Kalau gitu istirahat aja dulu. Anak-anak kan sudah ada yang ngurus. Nanti kalau sakitnya udah mendingan, kamu bisa kok main lagi sama anak-anak. Obatnya sudah diminum, kan? Salepnya sudah dioleskan, kan?" Pria itu memberondong dengan berbagai pertanyaan."Iya, aku sudah minum obat. Aku sudah mendingan kok. Mas nggak usah khawatir." "Mas masih di rumah sakit umum, kan?""Iya, Mas masih harus berjaga disini. Dokter Hera nggak bisa diharapkan. Tapi Mas usahakan bisa pulang cepat. Semoga saja tidak ada pasien darurat lagi.""Iya Mas.""Oke, Mas tutup ya. Kamu istirahat aja dulu. Nanti kita bicara lagi ya, Sayang."Pria itu menutup panggilan. Aku hanya mampu tertegun. Sedang kesambet apa suamiku, sehingga memperhatikanku seperti ini? Bukankah barusan
Bab 126"Maksud dokter apa?" Perempuan itu tergagap."Katakan pada saya, tolong perjelas lagi, alasan apa yang membuat kamu selalu menolak untuk melakukan tindakan operasi, padahal kamu mampu. Kenapa kamu selalu mengandalkan saya?""Karena saya percaya sama Dokter. Saya tahu jam terbang saya jauh lebih rendah. Saya belum lama lulus....""Tetapi untuk melakukan tindakan operasi seperti kasus yang terjadi pada ibu Kinanti ini seharusnya bisa dilakukan oleh dokter yang baru lulus spesialis sekalipun. Ini bukan tindakan yang terlalu berat, Hera. Seharusnya kamu mampu." Pria itu mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar dokter Hera mengikutinya ke ruangan pribadinya.Mereka menyusuri lorong rumah sakit dengan beriringan, lalu pria itu membawa dokter Hera masuk ke ruangan pribadinya, kemudian menutup pintu."Saya hanya tidak percaya diri, Dok. Pengalaman saya waktu masih ko-as dulu yang terpaksa harus melakukan tindakan....""Saya tahu, tetapi kamu nggak perlu trauma yang mendalam. Kita b
Bab 125Aku hanya menatap nanar Mas Aariz yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara guyuran air. Tampaknya dia benar-benar dikejar waktu, karena tidak sampai 10 menit dia sudah keluar dengan tubuh berbalutkan handuk.Dia terlihat seksi dengan penampilan seperti itu. Aku menelan ludahku. Rambutnya yang basah dengan titik-titik air yang membasahi bahu dan pundaknya. Dia pun memakai pakaiannya dengan tergesa-gesa dan melapisinya dengan jas kebesaran, lalu segera keluar dari kamar ini tanpa pamit kepadaku."Dia sudah pergi," gumamku lirih. Aku mulai menggerakkan tubuh. Rasanya tubuhku sakit semua, terutama di area intiku. Mas Aariz ternyata bisa juga bersikap brutal seperti ini, sisi lain darinya yang baru terlihat hari ini. Tubuhku terasa lengket dengan keringat, memaksaku untuk duduk. Aku menyingkirkan selimut tanpa peduli dengan tubuh telanjangku. Toh, tidak ada siapapun di kamar ini. Aku meraih kimono mandi, lalu masuk ke kamar mandi. Berend
Bab 124Sesosok pria nampak berdiri tegak dengan tangan bersedekap di dada. Dia berdiri di depan mobil yang barusan kami tumpangi."Mas...." Aku langsung tergagap."Pulang ya. Nanti kita bicara di rumah," tegasnya. Matanya tajam menatapku, membuatku tidak berkutik.Tanpa bicara lagi aku masuk ke dalam mobil. "Pak Maman sudah aku suruh pulang. Jadi akulah yang akan mengantar kalian, supaya kalian bisa segera sampai di rumah, tidak mampir ke mana-mana lagi." Pria itu melirik ke belakang Maya dan Naira yang tengah duduk mamangku anak asuhnya masing-masing. Mereka pun diam dengan mata yang saling menatap.Aku masih diam, tak berani membantah. Lebih baik mengalah, daripada berurusan dengan pemilik muka menyeramkan saat ini.Tak ada sepatah kata pun terucap sepanjang perjalanan, kecuali desah nafas pria itu, bahkan ia tidak melirikku sama sekali. Dia fokus mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang.Aku heran, bagaimana bisa pria ini sampai di mall ini? Bukankah tadi katanya dia ti
Bab 123"Anak baik, jagoannya Om Keenan, bisakah kita berteman?"Kalimat itu sangat sederhana, tapi sanggup membuat mataku berkaca-kaca. Aku berusaha menahan sekuatnya agar cairan bening ini tidak merembes dari sudut mataku. Jangan ada tangis yang membuat suasana di restoran ini menjadi mellow. Cukup mas Keenan saja yang menangis. Aku tidak boleh ikutan menangis. Di dekat kami ada Donita dan pengasuh anak-anak. Jangan sampai ada yang mengira kami sedang reunian.Kulihat tangan kecil putraku mengepal ke atas. Dia tertawa riang, apalagi saat mas Keenan menciumi wajahnya."Di dekat sini ada wahana permainan anak. Kalau kamu nggak berkeberatan, kita bisa bermain bersama. Kebetulan hari ini libur. Aku dan Donita pun tidak ada pekerjaan. Khusus family time."Aku memandang wajah dua pengasuh putraku. Maya dan Naira hanya mengangkat bahu. Ya, sepertinya ini bukan ide buruk. Hari masih siang dan masih ada waktu kurang lebih satu jam sebelum pulang ke rumah."Baiklah. Aku setuju. Sudah lama ana
Bab 122"Bagaimana Mas?" Aku langsung mencecar suamiku dengan pertanyaan. Sejak tadi aku merasa sangat gelisah, mengkhawatirkan soal kondisi pasien itu. Tidak mungkin Nia menelpon dengan nada yang sangat panik seperti itu jika tidak benar-benar gawat."Operasinya sudah selesai dan dia belum sadar. Kondisinya masih dalam pemantauan tim. Semoga saja bisa segera dipindahkan ke ruang rawat biasa."Namun meski jawabannya cukup melegakan, tetapi aku menangkap raut wajahnya yang murung. "Masalahnya apalagi, Mas? Operasinya kan sudah selesai, dan si pasien selamat. Lalu apalagi?""Dokter Hera. Seharusnya yang memberi tindakan itu dokter Hera, bukan aku. Tapi dia nggak mau. Kamu kan tahu sendiri alasannya kenapa?" Pria itu mengingatkanku dengan percakapan dengan Nia saat kami masih berada di mobil."Karena dia nggak berani dan takut ujung-ujungnya bakalan disalahkan sama penanggung jawab pasien. Soalnya pas dirujuk kemari, si pasien dalam kondisi pendarahan yang hebat.""Iya." Pria itu menghe