Saat Reza tiba di rumah, suasana tampak sepi dan sunyi. Langkah kakinya terdengar bergema di lorong ketika ia mendekati kamar, dan hatinya berdebar semakin keras. Di depan pintu kamar, ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk perlahan."Via, aku pulang. Boleh kita bicara?"Tidak ada jawaban. Dia akhirnya membuka pintu perlahan dan melihat Via duduk di tepi ranjang dengan wajah sendu, matanya sembap seolah habis menangis."Via..." panggil Reza pelan, mendekatinya.Via langsung berdiri dan menatap Reza tajam. "Ada apa lagi yang mau kamu jelaskan, Reza? Apa kamu belum cukup memberi kejutan hari ini?" nada suaranya dingin dan penuh kekecewaan.Reza menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya. "Dengar, Via, aku bisa jelaskan semuanya. Aku tahu berita itu pasti membuatmu terkejut dan marah, tapi aku tidak punya pilihan. Semua ini hanya sementara. Aku hanya..."Via memotongnya, suaranya mulai meninggi. "Sementara? Jadi semua ini cuma permainan buat kamu, ya? Tunangan pura-pura? Pewaris
“Aku ingin tahu yang sebenarnya,” Via langsung ke intinya, tatapannya tajam meskipun hatinya berkecamuk. “Pertunanganmu dengan Reza... semua ini benar atau hanya permainan?”Nadia menghela napas dan menatap Via dengan tatapan serius. “Aku tahu ini tidak mudah untukmu, Via. Pertunangan kami memang benar-benar terjadi, tapi bukan untuk alasan yang kau pikirkan.”Via tampak kebingungan, keningnya berkerut. “Lalu untuk alasan apa? Kenapa aku baru tahu semua ini sekarang?”Nadia melanjutkan dengan suara lembut, “Aku dan Reza melakukan ini untuk melindungi posisinya di keluarga. Pamannya, Pak Bima, mencoba merebut warisan dan jabatan Reza. Kalau tidak ada pernyataan publik tentang tunangan, Pak Bima akan semakin punya alasan untuk menyingkirkan Reza.”Via menggelengkan kepala, merasa semakin bingung dan dikhianati. “Jadi ini semua hanya sandiwara?” tanya Via dan Reza hanya bisa terdiam, karena satu ucapan yang keluar dari mulutnya bisa membuat Via Marah. Nadia mengangguk, meski tatapan mat
Di dalam mobil yang tenang namun penuh ketegangan, Via duduk dengan tangan terlipat, ekspresi wajahnya dingin, masih kesal dengan semua yang terjadi. Reza, yang duduk di kursi kemudi, hanya bisa menatapnya dengan cemas. Dia tahu Via masih marah dan bingung dengan semua penjelasan sebelumnya, tapi dia merasa ini adalah kesempatan untuk berbicara lebih serius.Via mendengus, memecah keheningan. "Jadi, siapa sebenarnya kamu? Sopirnya Pak Dani? Atau... kamu ini main sandiwara juga soal pekerjaan?" Sindiran Via keluar begitu saja, tanpa disaring. Matanya tajam menatap Reza, penuh curiga.Reza menarik napas panjang. Dia sadar sudah saatnya berhenti berbohong dan menjelaskan semuanya. "Via, sebenarnya Dani itu asistenku. Mobil ini memang mobilku."Via tertawa kecil, tetapi bukan karena senang. “Wah, hebat. Jadi, selama ini aku punya suami yang pura-pura jadi orang biasa?”“Via, dengarkan aku dulu,” kata Reza, mencoba menenangkan suasana. "Aku tidak pernah bermaksud untuk menipumu. Aku hanya.
Randi tiba di kantor pagi itu dengan langkah santai, siap memulai hari. Begitu memasuki lobi, ia melihat beberapa karyawan berkumpul di pojok sambil berbisik-bisik, membentuk lingkaran kecil yang tampak cukup serius. Alis Randi berkerut, penasaran dengan apa yang mereka bicarakan di jam kerja.Saat berjalan mendekat, Randi samar-samar mendengar nama "Via" dan "Reza." Percakapan mereka terdengar antusias dan bersemangat.“Kamu tahu nggak? Ternyata Mbak Via sudah menikah sama Pak Reza!” ujar salah satu karyawan dengan nada setengah berbisik.“Iya! Padahal di TV mereka bilang Pak Reza bertunangan sama Nadia! Jadi, siapa yang sebenarnya?” timpal karyawan lainnya, terlihat bingung namun penuh antusias.“Eh, jangan-jangan Via itu cuma istri rahasia?” karyawan lain ikut menambahkan dengan nada curiga.Mendengar pembicaraan itu, ekspresi Randi berubah. Ia menegakkan postur tubuhnya dan dengan suara tegas, ia berkata, “Teman-teman, apa nggak ada pekerjaan lain yang lebih penting daripada bergo
Malam itu, Via mencoba menenangkan diri dengan berendam di kamar mandi. Ia membiarkan pikirannya mengembara, mencoba mencerna semua yang terjadi hari itu. Raysa, Reza, sindiran-sindiran yang menusuk, dan tentu saja rasa kecewa yang mulai muncul dalam dirinya.Selesai mandi, Via menemukan Lisa sudah menunggu di ruang tamu sambil menyeruput secangkir teh. Lisa menoleh dan tersenyum melihat Via yang tampak sedikit lebih tenang.“Jauh lebih baik, kan, setelah mandi?” Lisa menggoda, mengangkat alis.Via tersenyum tipis dan duduk di sebelah Lisa. “Iya, memang lebih lega. Tapi masih... campur aduk rasanya. Kenapa dia masih terus nyindir aku, Lis? Seolah-olah aku ini yang salah karena Reza meninggalkannya.”Lisa menghela napas dan meletakkan cangkir tehnya di meja. “Kalau menurutku, dia mungkin belum bisa terima aja, Via. Kadang, orang bisa nyalahin orang lain buat nutupin rasa kecewanya sendiri.”Via terdiam, lalu mengangguk. "Mungkin kamu benar. Tapi aku tetap kesal. Rasanya capek, harus te
Beberapa hari setelah malam itu, hubungan Via dan Reza perlahan membaik. Meski sesekali muncul rasa canggung, Via mulai merasa ada kehangatan baru di antara mereka. Reza menjadi lebih perhatian, dan selalu berusaha terbuka dalam segala hal, sementara Via mulai mempercayai suaminya kembali.Suatu pagi, saat sedang sarapan, Reza menatap Via dengan senyum hangat. “Via, besok malam kita ada acara keluarga di rumah Eyang Wiryo. Aku mau kamu ikut, ya.”Via sedikit terkejut. “Kenapa mendadak, Reza? Kamu belum cerita soal acara ini sebelumnya.”Reza tersenyum canggung. “Sebenarnya acara ini untuk memperkenalkanmu ke keluarga besar. Aku ingin semua orang tahu kamu istriku.”Via terdiam, ada perasaan senang bercampur ragu di hatinya. Ini pertama kalinya Reza secara resmi ingin mengenalkan dirinya sebagai istri di depan keluarga besar. “Baik, aku akan ikut,” jawabnya sambil tersenyum kecil.Keesokan malamnya, Via dan Reza tiba di rumah Eyang Wiryo,
Beberapa minggu kemudian, kehidupan Via dan Reza mulai terasa kembali stabil. Via merasa lebih tenang setelah percakapan mereka malam itu, dan mereka mulai saling terbuka dalam berbagai hal. Namun, misteri pesan tak dikenal itu masih membekas di pikirannya, meski ia berusaha mengabaikannya.Pada suatu hari, saat Via sedang bekerja di klinik, ia menerima sebuah paket misterius tanpa nama pengirim. Saat ia membukanya, di dalamnya hanya ada amplop kecil berisi foto-foto Reza dan Nadia saat mereka berada di acara pertunangan yang telah lalu. Di foto itu, Reza dan Nadia terlihat sangat akrab, seolah mereka benar-benar pasangan yang bahagia.Hati Via kembali bergejolak. Meski ia tahu pertunangan itu hanyalah sandiwara, melihat foto-foto itu tetap membuatnya merasa tidak nyaman. Ditambah lagi, di bagian belakang salah satu foto, ada tulisan tangan yang berbunyi: “Tidak semua yang kamu lihat adalah kenyataan.”Perasaan curiga dan cemas mulai merayap di benaknya. I
Malam itu, setelah berbicara panjang lebar, Reza dan Via sepakat untuk saling mendukung dalam mengungkap misteri di balik pesan dan gosip yang menyelimuti hubungan mereka. Reza bertekad untuk mencari tahu siapa yang mengirimkan foto dan pesan tersebut, sementara Via berjanji untuk lebih terbuka dan tidak langsung menuduh tanpa bukti.Keesokan harinya, Reza memutuskan untuk mengunjungi kantor tempat Nadia bekerja. Ia ingin berbicara langsung dengan Nadia dan memastikan semuanya jelas, serta mengungkapkan betapa pentingnya kehadiran Via dalam hidupnya. Dengan tekad bulat, ia melangkah memasuki lobi kantor, menyapa resepsionis, dan langsung menuju ruangan Nadia.Setelah mengetuk pintu, Reza masuk dan mendapati Nadia sedang mengatur dokumen. “Reza! Apa kabar? Ada yang bisa aku bantu?” Nadia tersenyum, tetapi senyum itu tampak dipaksakan.“Di sini tidak untuk bercanda, Nadia. Aku ingin berbicara serius tentang foto dan pesan yang beredar,” ujar Reza, langsung t
Siang itu, Via melangkah perlahan menuju kamar perawatan ibunya di pusat terapi. Perutnya yang membesar membuat setiap langkah terasa lebih berat, namun ia tetap berusaha tersenyum. Hari itu, ia ingin memastikan ibunya merasa nyaman di tempat baru tersebut.Saat tiba di depan pintu, Via mendengar suara tawa pelan dari dalam ruangan. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan menemukan ibunya sedang duduk di kursi, ditemani Lisa, seorang perawat yang bertugas merawat Bu Diana."Via!" seru Bu Diana begitu melihat putrinya masuk. Wajahnya berseri-seri. "Mama senang kamu datang. Lihat, Lisa tadi membantu Mama memilih baju baru untuk hari ini."Lisa tersenyum hangat ke arah Via. "Bu Diana terlihat sangat cantik hari ini. Kami tadi juga sempat berbincang tentang cucu yang sebentar lagi lahir."Via tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung setiap melihat Lisa. Bagaimanapun, ia tahu perawat itu tulus menjaga ibunya. "Terima kasih, Mbak Lisa, sudah merawat Mama dengan baik."Lisa mengangguk sop
Pagi itu, Reza duduk di meja makan sambil membaca laporan pekerjaan di tablet-nya. Via, dengan perut yang sudah membesar, tampak sibuk memotong buah di dapur. Meski kehamilannya sudah memasuki trimester terakhir, ia tetap berusaha aktif, meski langkahnya mulai melambat.“Sayang, duduk dulu, istirahat,” kata Reza tanpa menoleh dari tablet.Via menoleh dengan senyum tipis. “Sebentar lagi, Mas. Aku mau siapkan jus dulu.”Reza menurunkan tablet dan menatap Via dengan serius. “Aku bisa bikin jus sendiri. Kamu tuh harus lebih banyak istirahat.”Via mengangkat alis. “Mas, aku masih bisa gerak, kok. Enggak usah khawatir berlebihan.”Reza mendesah, tapi memutuskan untuk tidak memperdebatkannya. Setelah Via selesai dan duduk di depannya, ia membuka pembicaraan yang sejak tadi ada di pikirannya.“Sayang, aku mau ngomong soal Mama,” kata Reza hati-hati.Via menghentikan gerakannya, menatap Reza dengan ekspresi penasaran. “Kenapa dengan Mama?”Reza mengusap dagunya, mencari kata yang tepat. “Aku p
Reza dan Dani segera keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan mulai menyusuri jalanan perumahan. Reza mengemudi dengan wajah tegang, sementara Dani mencoba mencairkan suasana.“Pak, apa Ibu Via pernah cerita tempat favoritnya kalau lagi ingin sendiri?” tanya Dani, mencoba membantu.Reza berpikir sejenak. “Dia suka pergi ke taman kota, tempat dia sering jalan-jalan waktu masih kecil. Tapi...” Reza melirik jam di dashboard. “Jam segini? Aku enggak yakin.”Dani mengangguk. “Kita coba saja, Pak. Siapa tahu benar.”Mereka menuju taman kota. Saat tiba, suasana cukup sepi. Lampu taman redup menerangi jalan setapak, tetapi tidak ada tanda-tanda Via. Reza turun dari mobil, berjalan cepat memeriksa setiap sudut taman. Dani mengikutinya dengan senter di tangan.“Via!” panggil Reza beberapa kali, suaranya menggema di tengah malam.Tiba-tiba, Dani menunjuk ke arah bangku taman di dekat danau kecil. “Pak, itu... seperti ada seseorang.”Reza langsung berlari mendekat, dan benar saja, Via duduk di sana
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim