Setelah kejadian dengan Raysa, Via dan Reza berusaha menjalani hari-hari mereka dengan lebih tenang. Namun, keadaan justru makin rumit ketika berita besar tentang perusahaan Wijaya Nikel mulai beredar. Beberapa media menyoroti isu bahwa ada pihak-pihak yang ingin merebut kendali dari pewaris sah, dan ini tentu menyudutkan posisi Reza sebagai ahli waris utama.Suatu malam, saat Via dan Reza sedang menikmati makan malam di rumah, ponsel Reza berdering. Melihat nama di layar, Reza tampak ragu sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut. Setelah beberapa menit berbicara dengan nada serius, Reza menutup telepon dengan wajah tegang.Via, yang memperhatikan perubahan sikapnya, segera bertanya, "Ada apa, Reza? Kamu kelihatan tegang."Reza terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Itu pengacara keluarga. Katanya ada tuntutan baru dari pihak keluarga pamanku, Pak Adi. Mereka berusaha memblokir aksesku ke perusahaan. Mereka akan berusaha membuatku terlihat tidak
Saat Reza sedang sibuk mempersiapkan konferensi pers untuk mengklarifikasi posisinya di keluarga Wijaya, Bima dan Chandra merencanakan strategi untuk mempermalukan Reza di hadapan publik. Bima memutuskan untuk mengungkit kejadian yang pernah terjadi di masa lalu, yakni saat Reza tertangkap sedang bersama Via di sebuah hotel ketika masih berstatus suami Raysa.Dalam pertemuan keluarga yang dihadiri wartawan, Bima tiba-tiba mengambil alih pembicaraan dan memutar balik cerita, membuat seolah-olah Reza adalah seorang pria yang suka mengkhianati istri. Dia dengan tegas mengungkit tentang "skandal" Reza dengan Via dan menggunakan momen ini untuk menjelek-jelekkan Reza di hadapan semua orang."Apakah seorang pria yang tertangkap basah di hotel bersama wanita lain pantas disebut pewaris Wijaya Nikel?" Bima menyindir dengan tajam, mengarahkan tatapan tajamnya pada Reza.Para wartawan yang hadir langsung heboh, mengajukan berbagai pertanyaan yang mempermalukan Reza dan membuat suasana semakin t
Tak ingin melewatkan kesempatan untuk balas dendam, Raysa mulai menyusun rencana. Dengan hati penuh amarah dan dendam pada Reza, yang menurutnya telah menghancurkan hidupnya, ia memutuskan untuk mendekati Chandra. Baginya, Chandra adalah sekutu sempurna yang bisa membantu menjatuhkan Reza dan mengusir Via dari hidup Reza.Suatu sore, Raysa mengundang Chandra bertemu di sebuah kafe yang cukup tersembunyi. Ketika Chandra tiba, ia terlihat penasaran namun juga hati-hati. Raysa, yang tampak anggun dan tenang, memulai percakapan dengan santai."Chandra, aku tahu kamu mungkin bingung kenapa aku memintamu bertemu di sini," kata Raysa, tersenyum penuh arti.Chandra mengangguk, memasang ekspresi serius. "Benar. Ada apa, Raysa? Ada sesuatu yang perlu kita bahas?"Raysa menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kamu dan aku sama-sama tahu bahwa Reza tidak pantas mendapatkan semuanya. Aku tahu kamu juga merasakan ketidakadilan ini. Dia hanya bermain perasaan dengan banyak orang, mempermainkan hat
Konflik yang dihadapi Via dan Reza mulai meruncing, terutama setelah Raysa dan Chandra semakin berani menjalankan rencana mereka. Raysa, yang tahu betul titik lemah Via, mulai menyusun skenario untuk mempermalukan dan menyudutkan Via di depan publik.Suatu pagi di klinik, Via menerima telepon dari seorang wartawan yang menanyakan kabar tentang "Masa lalu Raza," dan posisinya sebagai istri pewaris Wijaya Nikel. Wartawan itu, yang jelas-jelas telah mendapat bocoran dari Raysa atau Chandra, berusaha memancing Via untuk memberikan pernyataan resmi tentang tuduhan merebut suami orang, Via yang terkejut dengan pertanyaan tersebut, langsung menyadari bahwa sesuatu sedang dipermainkan.Namun masalah ini tak berhenti di situ. Setelah hari yang melelahkan, Via menerima undangan acara amal dari perusahaan Reza, di mana ia diharapkan hadir sebagai pendampingnya. Reza berharap kehadiran mereka sebagai pasangan akan memulihkan citra mereka. Via, meski ragu, akhirnya setuju demi menjaga kehormatan s
Setelah acara berakhir, dalam perjalanan pulang, Via tak mampu menahan lagi emosinya. Di dalam mobil, ia menatap Reza dengan mata berkaca-kaca. “Aku lelah, Reza. Selalu dihina, dianggap rendah… semua hanya karena aku menikah denganmu. Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?”Reza menggenggam tangannya, mencoba menenangkan hati istrinya. "Aku akan selalu melindungimu, Via. Apa pun yang terjadi, aku akan memastikan mereka berhenti meremehkanmu. Bahkan jika itu berarti aku harus meninggalkan semua ini demi kita."Namun di lubuk hati, Via mulai mempertanyakan apakah cinta mereka mampu bertahan di tengah tekanan seperti ini, dan apakah Reza benar-benar mampu mengatasi ambisi keluarga besar Wijaya yang penuh intrik demi dirinya.Sesampainya di rumah, Via merasa benar-benar lelah dan tertekan. Semua perkataan hinaan, tatapan tajam, dan sindiran selama acara tadi masih terngiang di kepalanya. Sejak pernikahannya dengan Reza, ia tak pernah merasa diterima penuh oleh lingkungan keluarga be
Malam itu, ketika Reza tiba di rumah, ia langsung mencari Via untuk membicarakan kejadian di kantor. Namun, ia mendapati istrinya sedang duduk di ruang tamu dengan wajah lelah dan pandangan kosong. Raut wajah Via sudah cukup bagi Reza untuk tahu bahwa istrinya telah mendengar sesuatu yang buruk lagi.“Via, ada apa? Apa yang terjadi hari ini?” tanya Reza, mencoba mendekati istrinya.Via mengangkat pandangan, matanya sudah basah oleh air mata yang tertahan. “Reza, apa kamu tahu seberapa jauh Raysa mencoba menghancurkan aku? Aku merasa tidak punya tempat lagi di dunia ini.”Reza terkejut mendengar nada suara Via yang begitu hancur. “Apa maksudmu? Apa dia melakukan sesuatu lagi?”Via mengangguk perlahan. “Hari ini, aku mendengar gosip dari beberapa orang di klinik. Mereka membicarakan skandal lama kita… saat aku dan kamu ditangkap di hotel. Mereka mengaitkannya dengan statusku sebagai istrimu sekarang, seolah-olah aku adalah wanita murahan yang merebutmu dari Raysa. Aku malu, Reza... Aku
Malam itu, setelah konferensi pers selesai, Via tidak bisa tidur. Ia merasa semua tindakan Reza untuk membelanya hanya memperburuk keadaan. Berita dan komentar di media sosial semakin menjadi-jadi. Bahkan, beberapa pasien di kliniknya mulai membatalkan jadwal konsultasi dikliniknha, membuatnya merasa reputasi kliniknya juga ikut hancur. Banyak pelanggan mengkritik meminta Via untuk di pecat. Pagi harinya, saat Via duduk di meja makan dengan tatapan kosong, Lisa datang untuk mengecek kondisi Bu Diana. Melihat Via yang tampak tidak bersemangat, Lisa langsung bertanya, “Vi, kamu kelihatan makin drop. Ada apa lagi? Aku dengar berita itu viral lagi.”Via hanya mengangguk lemah. “Aku lelah, Lis. Aku gak tahu lagi harus gimana.”Lisa menghela napas panjang. “Vi, kamu harus tegas. Kalau ini memang ulah Raysa, kamu gak bisa terus-menerus diam dan biarkan dia menang. Aku yakin Reza juga akan mendukungmu.”Namun, Via menggeleng. “Aku tidak yakin, Lis. Semakin Reza mencoba membelaku, semakin ban
Via berdiri di kamar dengan ponsel Reza di tangannya. Pesan dari Raysa tampak mencolok di layar:"Aku tahu kamu masih peduli padaku, Reza. Jangan bohongi dirimu sendiri. Aku akan menunggu kapan pun kamu siap kembali."Pesan itu membuat darah Via mendidih. Selama ini, ia sudah mencoba bertahan di tengah segala hinaan dan fitnah. Namun, pesan itu membuatnya merasa seolah-olah semua perjuangannya sia-sia.Saat Reza masuk ke kamar, ia melihat Via menatapnya dengan mata penuh amarah dan rasa sakit. “Reza, apa maksud semua ini?” Via menunjukkan layar ponselnya.Reza mengernyit. Ia mendekat untuk melihat pesan tersebut, lalu menghela napas berat. “Via, dengarkan aku. Aku tidak pernah membalas pesannya, apalagi memiliki hubungan apa pun dengannya.”Namun, Via sudah terlalu lelah untuk menerima penjelasan. “Kalau begitu, kenapa dia masih berani menghubungimu seperti ini? Apa yang membuat dia merasa punya hak untuk mengatakan semua itu?”Reza mencoba mendekati Via, tapi istrinya mundur selangka
Reza menekan tombol jawab pada ponselnya, meski ragu. Suara di ujung sana langsung menyapa dengan nada tenang, namun penuh misteri.“Reza, ini aku, Randi. Lama tidak bertemu,” ucap suara itu.Reza mengernyit. Nama itu membuat pikirannya melayang ke masa lalu, ke hubungan Via dengan Randi yang dulu sempat menjadi masalah di antara mereka. “Randi? Ada apa? Kenapa meneleponku?”“Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu yang penting. Ini tentang keluargamu. Bisa kita bicara secara langsung? Ada hal yang lebih baik aku jelaskan secara tatap muka,” kata Randi, nadanya serius.Reza menggenggam ponselnya lebih erat, pandangannya melirik ke arah Via yang sedang menggoda Arya di ruang tamu. “Katakan saja sekarang, Randi. Aku tidak punya waktu untuk permainan.”“Aku pikir kamu tidak akan mau mendengarnya jika aku tidak menjelaskan langsung,” jawab Randi. “Kamu bisa datang ke kafe di dekat taman kota besok sore? Ini soal Via dan masa lalu keluargamu.”Kata-kata itu membuat Reza terdiam. Perasaan geli
Siang itu, Via melangkah perlahan menuju kamar perawatan ibunya di pusat terapi. Perutnya yang membesar membuat setiap langkah terasa lebih berat, namun ia tetap berusaha tersenyum. Hari itu, ia ingin memastikan ibunya merasa nyaman di tempat baru tersebut. Saat tiba di depan pintu, Via mendengar suara tawa pelan dari dalam ruangan. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan menemukan ibunya sedang duduk di kursi, ditemani Lisa, seorang perawat yang bertugas merawat Bu Diana. "Via!" seru Bu Diana begitu melihat putrinya masuk. Wajahnya berseri-seri. "Mama senang kamu datang. Lihat, Lisa tadi membantu Mama memilih baju baru untuk hari ini." Lisa tersenyum hangat ke arah Via. "Bu Diana terlihat sangat cantik hari ini. Kami tadi juga sempat berbincang tentang cucu yang sebentar lagi lahir." Via tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung setiap melihat Lisa. Bagaimanapun, ia tahu perawat itu tulus menjaga ibunya. "Terima kasih, Mbak Lisa, sudah merawat Mama dengan baik." Lisa menga
Pagi itu, Reza duduk di meja makan sambil membaca laporan pekerjaan di tablet-nya. Via, dengan perut yang sudah membesar, tampak sibuk memotong buah di dapur. Meski kehamilannya sudah memasuki trimester terakhir, ia tetap berusaha aktif, meski langkahnya mulai melambat.“Sayang, duduk dulu, istirahat,” kata Reza tanpa menoleh dari tablet.Via menoleh dengan senyum tipis. “Sebentar lagi, Mas. Aku mau siapkan jus dulu.”Reza menurunkan tablet dan menatap Via dengan serius. “Aku bisa bikin jus sendiri. Kamu tuh harus lebih banyak istirahat.”Via mengangkat alis. “Mas, aku masih bisa gerak, kok. Enggak usah khawatir berlebihan.”Reza mendesah, tapi memutuskan untuk tidak memperdebatkannya. Setelah Via selesai dan duduk di depannya, ia membuka pembicaraan yang sejak tadi ada di pikirannya.“Sayang, aku mau ngomong soal Mama,” kata Reza hati-hati.Via menghentikan gerakannya, menatap Reza dengan ekspresi penasaran. “Kenapa dengan Mama?”Reza mengusap dagunya, mencari kata yang tepat. “Aku p
Reza dan Dani segera keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan mulai menyusuri jalanan perumahan. Reza mengemudi dengan wajah tegang, sementara Dani mencoba mencairkan suasana.“Pak, apa Ibu Via pernah cerita tempat favoritnya kalau lagi ingin sendiri?” tanya Dani, mencoba membantu.Reza berpikir sejenak. “Dia suka pergi ke taman kota, tempat dia sering jalan-jalan waktu masih kecil. Tapi...” Reza melirik jam di dashboard. “Jam segini? Aku enggak yakin.”Dani mengangguk. “Kita coba saja, Pak. Siapa tahu benar.”Mereka menuju taman kota. Saat tiba, suasana cukup sepi. Lampu taman redup menerangi jalan setapak, tetapi tidak ada tanda-tanda Via. Reza turun dari mobil, berjalan cepat memeriksa setiap sudut taman. Dani mengikutinya dengan senter di tangan.“Via!” panggil Reza beberapa kali, suaranya menggema di tengah malam.Tiba-tiba, Dani menunjuk ke arah bangku taman di dekat danau kecil. “Pak, itu... seperti ada seseorang.”Reza langsung berlari mendekat, dan benar saja, Via duduk di sana
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi