“Ngapain sih, aku lagi kesel sama kamu!” gerutu Via. “Aku gak ngapa-ngapain, malahan dia yang dari tadi rayu aku,” balas Reza. Reza menceritakan semuanya, mulai dari Lisa yang mandi di kamar mereka dan tiduran di tempat tidur mereka. Bahkan dia terus menggoda Reza. Semuanya Reza ceritakan, tetapi Via tidak percaya karena dia sudah mengenal Lisa cukup lama dan tahu bagaimana sifat juga karakter perawat yang dia rekrut itu. “Di teman kecil aku loh, kita sama-sama dari kampung dan aku tahu gimana dia!” ujar Via tak mau kalah. Wajahnya masih ditekuk dengan bibir yang sedikit maju. Via kesal, dia cemburu, tetapi tentu saja Via tak mau kalau Reza tahu soal perasaannya. Reza menghela napas, tak akan ada ujungnya berdebat dengan Via yang kini sedang marah. Yang ada istrinya itu akan tambah marah lagi dan tak mempercayai dirinya. Reza memegang tangan Via, walau menolak dan berulangkali ditarik kembali, tetapi Reza terus menarik tangan Via dan menggenggamnya dengan kuat. “Maaf, aku beneran
"Masak sendiri aku sibuk hari ini!" Reza malah menggeleng kuat dan masih menatap Via, membuat perempuan itu menghela napas. Di rumah itu tak ada asisten rumah tangga, jadi urusan memasak adalah tanggungjawab Via. Namun, sekarang dia sudah siap dengan pakaian formal dan sudah merias wajahnya juga. Via sudah siap untuk pergi ke acara opening kliniknya, tetapi melihat ekspresi Reza akhirnya dia mengalah, Via menekuk wajahnya dan menghentakkan kaki karena kesal. Walau begitu, dia tetap keluar kamar dan pergi ke dapur untuk memasak.Via menggulung lengan bajunya dan mulai memasak, sementara Reza pergi mandi. Selesai mandi Reza langsung ke dapur melihat Via yang masih belum selesai dengan masakannya. “Mau aku bantuin?” tawar Reza.“Duduk aja!” balas Via dengan sedikit ketus.“Jangan marah dong, aku Cuma mau kamu lebih tenang aja. Sekarang kamu bos, gak terikat sama aturan, jadi gak harus terburu-buru. Masih marah?” tanya Reza lagi sembari memiringkan kepalanya melihat wajah Via.Via tak me
Semua hal yang berkaitan dengan pembukaan klinik sudah selesai. Via mengembus napas lega seraya menatap puas dekorasi yang terpasang rapi dan sesuai dengan keinginannya. Meski cukup menguras tenaga dan pikiran, tetapi Via sangat menikmati setiap prosesnya. “Emm… . “ Via menggeliatkan badan yang terasa cukup pegal. Dia juga memijat leher yang lumayan terasa tegang. “Akhirnya.” Randi yang tengah berdiri di samping kiri Via ikut menggeliatkan badan sambil sama-sama menatap hasil kerja mereka. “Aku antar pulang,” kata Randi lagi. Melihat Via yang tampak kelelahan dia tak tega membiarkan gadis itu untuk pulang sendirian. Karena sudah malam dan lelah juga, Via menerima tawaran Randi tanpa basa-basi. Pada dasarnya dia juga ingin segera sampai di rumah dan beristirahat. Mengisi ulang energi untuk hari esok. Sesampainya di depan rumah, Via turun dari mobil Randi dan pamit untuk masuk. Akan tetapi, Randi menahannya. “Bolehkah aku ikut masuk, aku ingin menjenguk ibu?” tanyanya. Via tak lan
Reza melanggang berjalan tanpa memedulikan Lisa yang berada di belakangnya. Beberapa kali Lisa memanggil, namjn Reza Acuh. Sesampainya di rumah, tanpa membuang waktu Reza langsung membuka pintu karena ingin segera menjauh dan berhenti mendengar ocehan Lisa tentang masa lalu dirinya, Via, Randi, dan Raysa yang sejak awal hanya didominasi oleh cerita keburukan Via yang berusaha menggoda dan mengambil Randi dari sisi Raysa. Sungguh membosankan. “Berhentilah. Aku sudah cukup mendengar apa yang ingin kudengar,” ucap Reza dengan tekanan di setiap katanya. Dia menatap tajam Lisa untuk sekilas sebelum akhirnya berjalan ke arah dalam rumah. “Kalian kenapa bisa bersama?” tanya Via yang baru saja melihat keadaan ibunya. Dia mematung di ruang tengah sambil melihat Reza yang berjalan sambil diekori oleh Lisa. Melihat keingintahuan yang tampak jelas di mata Via, seketika terbersit niat jahil di benak Reza. “Karena kami memang pergi bersama,” jawab Reza. Mendengar jawaban Reza, Lisa seketika s
Reza baru saja keluar dari kamar mandi usai membersihkan mulut, tak sengaja mendengar gerutuan Via. “Kenapa, lagi dia?” tanyanya. “Tidak ada. Aku hanya merasa lumayan kesal pada Lisa. Kenapa tiba-tiba mengajukan pertanyaan sepeti itu. Kepo sekali,” jelas Via seraya memuta bola mata dan mengembus napas menunjukan kekesalanya. “Bukankah sudah aku katakan jika Lisa tidak sebaik yang kamu pikirkan.” “Apa maksudnya itu? Dia hanya bertanya dan aku rasa tidak ada yang salah, itu wajar.” Alih-alih memikirkan pendapat Reza, Via malah bertambah kesal. Baginya, Reza terlalu buru-buru menilai orang. Padahal dia belum kenal dengan Lisa. “Jika kamu merasa itu wajar, lantas kenapa kesal?” Via terdiam. Perkataan Reza memang ada benarnya. Namun, dia tidak ingin mengakui itu dan mencari pembenaran yang lebih positif. “Hanya kesal saja karena itu terjadi secara mendadak. Selain itu, dia bertanya saat aku makan. Itu cukup mengganggu,” katanya. Kemudian, dia beralih pada meja kerja dan duduk di
Raysa termenung di depan meja rias. Dia bingung antara harus datang atau memilih untuk abai atas undangan pembukaan klinik yang diberikan oleh Randi. Di satu sisi dia ingin datang, tetapi di sisi lainnya dia masih merasakan sakit atas pengkhianatan yang dilakukan pria itu tempo dulu. Meski sadar jika semua itu hanya bagian dari masa lalu. Salah satu fase yang pasti dialami semua orang, tetapi Raysa masih tidak bisa menyangkal rasa sakit yang ditinggalkan oleh Randi. Bahkan masih terasa sampai kini karena memang cukup membekas. Bagaimana tidak, Randi adalah cinta pertama bagi Raysa. Cukup sulit mengubur kenangan yang sudah terukir di antara dirinya dan Randi. Meski ingin, tetapi pada akhirnya Raysa masih tetap tak bisa melepas semua hal tentang pria itu begitu saja. Jangankan bertemu dan bertatap muka secara langsung, terkadang hanya sekadar mendengar nama dan cerita tentang Randi saja rasa sakit hati dan kecewa itu masih menghantui perasaan Raysa. Terkadang wanita itu ingin berdama
Waktu yang disepakati pun tiba. Candra menelepon Raysa dan memberi kabar bahwa dirinya berangkat bersama eyang Wiryo dan bermaksud untuk memperkenalkan mereka.“Apa harus sekarang?” tanya Raysa“Aku rasa ini waktu yang tepat untuk memperkenalkan kamu sama eyang. Tenang saja, eyang orangnya baik, kok.” Candra coba meyakinkan. “Baiklah kalau begitu. Aku sudah di jalan, kita bertemu di sana.” “Iya. Hati-hati,” ucap Candra. “Hal yang sama denganmu,” balas Raysa yang kemudian mematikan telepon dan kembali fokus pada jalanan. Sementara itu, eyang Wiryo berangkat dengan penuh keyakinan tentang rencana perjodohannya. Bagaimanapun dia ingin menyatukan Candra dengan Via dan Reza dengan Nadia. Menurutnya dua gadis itu sudah paling pantas dan terbaik untuk masing-masing cucunya. Keyakinan dan kepercayaan dirinya semakin bertambah karena menurut eyang Wiryo, Reza dan Nadia sudah aman. Dengan demikian, misinya kali ini hanya tinggal menyatukan Candra dan Via. ‘Aku yakin semua akan berjalan de
“Maaf, aku buru-buru datang karena tadi mendengar teriakan Via,” balas Lisa sambil menunduk dalam. “Tetap saja. Lain kali jangan asal masuk.” “Aku benar-benar minta maaf. Ngomong-ngomong, kamu mau kemana? Cantik sekali,” tanya Lisa sambil memperhatikan penampilan Via. “Ada acara di perusahaan,” jawab Via. “Kepo sekali,” ujar Reza sambil memutar bola mata. “Sudahlah.” Via memegang lengan Reza. Berusaha menenangkan pria yang kepalanya sedang dipenuhi emosi itu. Bagaiamanapun, Via tidak ingin Reza sampai mengomeli Lisa dan membuat gadis itu tidak betah. “Oke.” Reza merapikan jas yang dipakainya. Kemudian, menggandeng tangan Via dengan mesra. “Aku akan berhenti karena sekarang juga sudah siang. Mari berangkat, jika tidak ingin terlambat,” Melihat adegan itu, perasaan Lisa dipenuhi rasa tidak suka. Selain itu, dia juga merasakan sebuah cubitan ketika tangan Via dan Reza bergandengan. Dia iri dan sangat ingin menggantikan posisi Via. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan itu. S
Eyang Wiryo terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, dan oksigen di hidungnya membuat semua orang yang hadir semakin khawatir. Suasana ruang perawatan terasa begitu tegang.Di sekelilingnya, berkumpul seluruh anggota keluarga yang selama ini terlibat dalam konflik warisan. Ada Reza, Via, Randi, Johan, Chandra, dan Bima, sang dalang dari semua kekacauan ini.Dengan suara bergetar, Eyang Wiryo berbicara, memecah kesunyian, "Aku tidak pernah membayangkan keluargaku akan berantakan seperti ini... Apa yang kalian semua cari? Harta? Kekuasaan? Apa semua itu lebih berharga dari keluarga kita?"Tak ada yang menjawab. Mereka hanya menunduk, entah karena merasa bersalah atau masih menyimpan amarah masing-masing.Eyang Wiryo menghela napas panjang. "Aku akan mengatakan sesuatu yang harus kalian dengar baik-baik. Reza adalah pemilik sah dari perusahaan keluarga kita. Semua harta yang kalian perebutkan berasal dari suamiku yang pertama, dan Bima... kamu bukan anak dari suami pertama
Chandra melangkah dengan cepat menuju kediaman ayahnya, Bima. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang berputar tanpa henti. Fakta bahwa Randi adalah saudara tirinya, dan Johan juga bagian dari skema besar ayahnya, membuatnya tidak bisa diam saja.Saat ia memasuki ruang kerja Bima, pria itu tampak tenang, duduk di balik meja besar dengan segelas teh di tangannya. Seakan tidak ada yang terjadi."Chandra," sapa Bima tanpa ekspresi. "Kau datang dengan wajah penuh amarah. Apa yang kau inginkan?"Chandra mengepalkan tangannya. "Aku ingin jawaban. Aku ingin tahu kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa Randi adalah saudaraku! Kenapa kau memalsukan hasil DNA-nya?!"Bima meletakkan gelasnya dengan tenang, lalu menatap Chandra dalam-dalam. "Karena aku tidak pernah berniat mengakui Randi sebagai bagian dari keluarga ini."Chandra terhenyak. "Apa maksudmu?! Dia anakmu!"Bima mendengus kecil. "Dan itu adalah kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi."Chandra semakin geram. "Bagaimana dengan Joh
Setelah Johan berhasil ditangkap, Reza bersama Randi dan Via kembali ke tempat persembunyian mereka. Namun, meski Johan kini berada di tangan pihak berwenang, Reza masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Di tengah malam yang sunyi, Reza duduk di ruang kerja kecilnya, membaca kembali dokumen-dokumen yang mereka sita dari Johan. Namun, semakin ia membaca, semakin ia menyadari bahwa ada sosok lain yang lebih besar di balik ini semua. Nama Bima, pamannya sendiri, terus muncul dalam berbagai transaksi dan laporan rahasia. Reza menggertakkan giginya, tangannya mengepal. "Jadi selama ini… Paman Bima yang mengatur semuanya?" Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya tersadar. Randi masuk dengan wajah penuh kebingungan. "Ada apa, Reza? Kau terlihat tegang," tanya Randi. Reza mengangkat salah satu dokumen dan melemparkannya ke meja. "Lihat ini. Nama Paman Bima ada di setiap transaksi ilegal Johan. Dia bukan hanya mengetahui semua ini, dia adalah dalangnya!" Randi membaca do
Pagi itu, Reza menerima pesan dari Bayu. Isinya singkat, tetapi cukup membuat adrenalin Reza meningkat."Johan mulai bergerak. Dia tahu tentang dokumen itu. Hati-hati."Reza duduk di kursi, menatap papan penuh strategi di depannya. Ia tahu bahwa Johan tidak akan tinggal diam setelah mengetahui dokumen itu ada di tangan yang aman. Kini, semua yang telah ia persiapkan harus berjalan sempurna, atau semuanya akan sia-sia.Via muncul dari dapur, membawa secangkir teh untuk Reza. Ia menatap wajah Reza yang terlihat semakin lelah namun tetap penuh keyakinan.“Kamu yakin bisa mengatasi ini, Reza?” tanya Via pelan, duduk di depannya.Reza menatap Via dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku harus yakin, Via. Kalau aku nggak bergerak sekarang, Johan akan terus menghancurkan segalanya. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Via terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Reza. “Kalau kamu butuh bantuan, aku di sini. Jangan terlalu memaksakan diri, Reza.”Reza tersenyum kecil. Sentuhan Via mem
Malam itu, Reza duduk di ruang tamu yang remang. Di depannya terdapat tumpukan dokumen penting yang baru saja ia dapatkan dari salah satu informannya. Wajahnya serius, penuh konsentrasi, membaca setiap detail yang bisa menjadi kelemahan Johan.“Reza, apa ini cukup untuk melawan dia?” tanya Randi sambil mendekati meja, pandangannya menyapu dokumen tersebut.“Ini lebih dari cukup,” jawab Reza, menutup map dengan tegas. “Dokumen ini adalah bukti nyata bahwa Johan terlibat dalam penyelundupan besar. Kalau kita bisa menyerahkannya ke pihak yang tepat, itu akan menghancurkan dia.”Via yang duduk di sofa terlihat gelisah. “Tapi Johan nggak akan tinggal diam. Dia pasti sudah tahu bahwa kita sedang bergerak melawannya.”Reza menatap Via dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu itu, Via. Tapi aku nggak akan biarkan dia menang. Ini tentang keadilan, bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua orang yang sudah dia rugikan.”Pagi harinya, Reza mengumpulkan Randi dan Via di sebuah kafe kecil yang jau
Keesokan paginya, Reza kembali ke apartemen dengan penampilan yang terlihat lelah, namun tatapannya masih penuh keyakinan. Via yang tengah duduk di ruang tamu langsung berdiri begitu melihat Reza masuk.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Via, mendekat dengan nada penuh kekhawatiran.“Aku baik,” jawab Reza singkat. “Dokumen itu sudah aman. Sekarang kita hanya perlu menunggu langkah Johan berikutnya.”Randi, yang sejak tadi mengamati dengan cemas, akhirnya bersuara. “Reza, aku nggak ngerti kenapa kamu nggak membiarkan aku ikut tadi malam. Kalau mereka menyerang kamu di tengah jalan, gimana?”Reza menatap Randi dengan serius. “Karena aku butuh kamu di sini. Tugasmu menjaga Via, memastikan dia aman. Kalau aku gagal, setidaknya masih ada kamu di sini untuk melindungi dia.”Via yang mendengar ucapan itu merasa hatinya bergetar. Meskipun Reza tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung, tindakan dan ucapannya selalu menunjukkan betapa ia peduli.Sore itu, ketika suasana sedikit tenang, p
Reza dan Via mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mengikuti lokasi yang dikirimkan Randi. Jalanan malam yang sepi memberikan suasana mencekam. Via terus memperhatikan ponsel, memastikan mereka tidak kehilangan jejak.“Dia ada di jalan dekat gudang tua di pelabuhan,” ujar Via sambil menunjuk layar ponselnya.Reza mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Jika Johan sudah mempersiapkan jebakan, tempat seperti itu ideal untuk menyergap.”Ketika mereka hampir sampai, Reza memperlambat mobilnya. Dari kejauhan, ia melihat sosok Randi berlari sambil membawa map dokumen. Dua pria mengejarnya dengan senjata di tangan.“Pegang erat,” ujar Reza singkat pada Via.Tanpa ragu, Reza menginjak pedal gas dan meluncur ke arah para pengejar. Kedua pria itu terkejut dan melompat menghindar saat mobil Reza mendekat.Randi segera naik ke dalam mobil, napasnya tersengal. “Mereka nggak akan berhenti. Mereka tahu dokumen ini terlalu penting untuk dilepaskan.”Reza hanya mengangguk. Ia berbalik, menatap Via
Reza mengintip dari jendela dan melihat dua mobil hitam berhenti di depan rumah. Beberapa pria keluar dengan ekspresi serius."Johan," gumam Reza, menyadari siapa yang mengirim mereka.Randi mulai panik. "Apa yang harus kita lakukan? Mereka pasti sudah tahu kita di sini."Reza menatap Randi dengan tajam. "Kita tidak akan lari. Kali ini, kita lawan."Pria-pria itu mulai mendekati pintu, mengetuknya keras. "Buka pintunya, Reza! Kami tahu kamu ada di dalam!"Reza mengambil napas dalam-dalam. "Randi, siapkan dokumen-dokumen itu. Kalau aku gagal, kamu harus pergi dari sini dan serahkan semuanya ke Pak Hendra.""Reza, kamu serius? Kamu mau melawan mereka sendirian?""Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang sudah kita perjuangkan," kata Reza dengan mantap.Ia membuka pintu perlahan, berdiri di hadapan para pria itu dengan tatapan dingin."Kalian mencari aku?" tanya Reza sambil tersenyum tipis.Tanpa basa-basi, salah satu pria mencoba menyerang Reza. Namun, Reza dengan sigap mengh
Di apartemennya, Randi termenung dengan pikiran yang berkecamuk. Fakta bahwa Johan adalah kakaknya tidak mudah ia cerna. Ia duduk di kursi, memandangi meja yang penuh dengan dokumen yang diberikan Johan sebelumnya, termasuk hasil tes DNA palsu."Kalau aku percaya Johan, apa yang akan terjadi dengan Via? Dengan Reza?" gumam Randi, suaranya berat.Namun, di tengah kebimbangannya, ponselnya berdering. Nama Johan muncul di layar. Dengan enggan, Randi mengangkat panggilan itu."Randi," suara Johan terdengar tajam, "aku butuh jawabanmu sekarang. Kamu di pihakku atau tidak?"Randi terdiam. "Johan, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu harus membuat semua ini rumit?""Karena aku tidak akan diam sementara Reza mengambil semua yang seharusnya milik kita!" bentak Johan. "Dia hanya pura-pura baik, Randi. Dia memanfaatkan kamu dan Via!""Via nggak ada hubungannya dengan ini!" balas Randi, mulai kehilangan kesabaran."Oh, tentu saja ada," Johan tertawa sinis. "Kamu pikir dia benar-benar peduli pad