Via menghela napas panjang, matanya memandang lurus ke arah Reza yang masih menunjukan kemarahan. Ruang kerja yang tadi terasa biasa saja, kini berubah menjadi ruang penuh tekanan. Pria itu, berdiri di depannya dengan wajah merah padam, terus menuduh tanpa henti."Aku sudah melihat semuanya, Via! Aku melihatmu dengan Randi tadi! Sedekat itu? Apa kalian pikir aku ini bodoh?" suara Reza menggema, tak peduli bahwa mereka berada di tempat kerja. Bahkan, kotak makan yang dia bawa untuk Via, dilempar begitu saja ke sofa. Via menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. "Reza, tolong dengarkan aku. Apa yang kamu lihat tadi hanyalah aku dan Randi sedang memeriksa berkas laporan. Itu saja. Tidak lebih.""Tidak lebih?!" Reza mengepalkan tangannya. "Dia terlalu santai, Via! Aku lihat bagaimana cara dia bicara denganmu. Itu bukan sekadar urusan pekerjaan!” Hati Via terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Kepercayaan yang selama ini dia kira ada dalam hubungan mereka terasa hancur berkeping-keping.
“Jangan makan itu, aku akan membelikanmu yang baru.” Reza menghentikan langkah Via yang hendak mengambil kotak makan di sofa. Saat ini mereka berada di ruang kerja Randi untuk mengambil ponsel Via yang tertinggal di sana. “Tak apa, sayang kalau dibuang. Lagipula ini masih bisa dimakan,” ucap Via seraya membuka kotak itu dan memperhatikan isinya yang sedikit berantakan. “Via, itu ….” “Tak apa. Lagipula aku sudah terlalu lapar dan tak sanggup untuk menunggu lagi.” Reza akhirnya memilih diam. Membiarkan Via untuk melahap makanan yang tak sengaja dilemparnya saat marah tadi. Hatinya mencelos melihat sikap Via yang begitu sabar. Rasa bersalah pun tak bisa dihentikan dan berhasil memenuhi seluruh ruang perasaan. Tak berapa lama, Randi datang. Dia sedikit kikuk melihat pemandangan Reza yang tengah memperhatikan Via dengan tatapan penuh cinta. Tak tahan melihat itu, Randi akhirnya tak jadi masuk dan memilih untuk pergi makan siang di luar. Sekitar lima belas menit kemudian, Reza terliha
Saat menunggu pesanannya selesai dibuat, Reza memeriksa ponsel. Matanya seketika membulat, dia terkejut karena jam digital yang terpampang di layar sudah menunjukan pukul delapan malam. Seilah baru tersadar, Reza mengedarkan pandangan dan ternyata memang sudah gelap. Terpikirkan soal Via, Reza langsung menelpon istrinya tersebut. Dari percakapan awal yang terjadi, Reza tahu bahwa Via sudah berada di rumah. Dia menggunakan taksi untuk pulang tadi. “Maaf, Via. Aku …,” Reza terdiam sejenak, ragu untuk memberitahu kebenaran yang terjadi. Bagaimanapun Raysa adalah mantan istirinya, selain itu dia juga tak ingin membuat Via khawatir dengan memberitahu bahwa dia tak sengaja menabrakmu kakak tirinya. “Ada pekerjaan yang lumayan menguras waktu, jadi aku tak bisa menjemputmu.” “Tak apa, Dani sudah mengatakan semuanya.” Reza tiba-tiba merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak saat Via menyebut nama Dani. Benak dipenuhi pertanyaan tentang apa saja yang dikatakan oleh pria itu. Namun, tak
“Kamu sudah pulang?” tanya Via dengan nada yang sedikit tinggi, terkejut dengan kedatangan Reza yang tiba-tiba. Kemudian dia menyadari sesuatu, Via langsung mencopot earphone yang terpasang di telinga. Reza tersenyum, “Sepertinya kamu sedang asik di sana?” katanya seraya berjalan mendekat. Dia membuka jas dan menaruhnya di kursi rias milik Via. Kemudian, membuka kancing kemeja atas dan melepas dasi, tak lupa Reza juga melepas kancing di bagian pergelangan tangan. Via menatap kebiasaan Reza itu dengan senyum. Satu pemandangan yang mulai dia nikmati seiring waktu pernikahan mereka. “Aku sedang menonton podcast yang membahas tips perawatan kulit. Sekadar referensi,” balas Via. “Pantas kamu sampai tak sadar jika aku sudah pulang.” Via terkekeh kecil, “Maaf,” katanya. Reza mendekat, duduk di hadapan Via, dan mengikis jarak sedikit demi sedikit di antara keduanya. “Maaf untuk tadi siang,” bisiknya dengan suara rendah yang sedikit serak. “Tak perlu dibahas, hanya kesalahpahaman.” Via b
Reza mengutak-atik ponsel dan tak lama pesan singkat dari Raysa masuk. Dia memberitahu Reza bahwa keadaan rumah sakit sangat menyeramkan, selain itu jarum infus yang tertanam di tangan membuatnya taj bisa bergerak bebas. Bahkan untun sekadar ke kamar mandi pun dia kesusahan. Selain keluhan, Raysa juga mengirimkan sebuah foto di mana itu menunjukan keadaan wajah nyang yang kacau. Mata sembab dan merah karena menangis. [Kenapa tidak memanggil perawat?] Reza mengirimkan pesan tersebut. Karena sebelum pergi, dia memang sudah menitipkan Raysa pada perawat di sana. [Mereka tidak datang lagi setelah tiga kali aku panggil. Entahlah, mungkin lelah atau memang tak niat menjaga pasien.] Reza mengembus napas berat, pelipisnya tiba-tiba saja berkedut. Dia tahu jika Raysa sedang berdrama saat ini, karena yakin jika perawat tak mungkin seabai itu pada tugasnya. Namun, melihat keadaan Raysa dalam foto, dia juga lumayan khawatir. Takut jika mantan istrinya itu malah melakukan sesuatu yang tidak dii
Mulai malam itu, Reza jadi sering telat pulang. Bahkan ada tiga hari di mana dia tidak pulang selama sepuluh hari terakhir. Awalnya Via tidak merasa curiga atau berpikir aneh. Namun, sebuah foto yang ditunjukan oleh Randi di suatu pagi, mengubah pikirannya. “Dari mana kamu dapat foto itu?” tanya Via dengan nada yang sedikit tinggi. Suaranya terdengar bergetar, terlihat jelas jika dia tengah menahan ledakan emosi. “Aku tak sengaja melihat mereka di restoran sekitar dua hari yang lalu,” jawab Randi. “Vi, aku minta maaf sebelumnya. Tak ada maksud jelek aku menunjukan ini padamu, hanya saja aku merasa tidak bisa diam saja. Aku … tak siap melihatmu disakiti oleh pria itu,” lanjut Randi dengan penuh penegasan. Via tak membalas, dia kini tengah larut dalam sekelumit praduga yang memenuhi kepala dengan cepat. Otak sedang menyambungkan beberapa hal yang terasa janggal akhir-akhir ini dari sikap Reza. Jika memang ada hubungannya dengan Raysa dan andai foto yang d
Reza menatap Via dengan mata yang membulat sempurna. Ketidakpercayaan terlihat jelas dari sorotnya yang tajam. Untuk beberapa saat, Reza merasa bahwa dunia berhenti berputar, betapa dia tak percaya jika Via bisa berpikir bahkan bicara sejauh itu. “Vi, kenapa sejauh itu? Semuanya benar-benar bisa kujelaskan.” Suara Reza melembut, tetapi tidak terdengar seperti tengah memohon. Kekecewaan justru terdengar dari setiap getar yang ada. Via sendiri masih berkutat dengan emosinya. Ego masih memeluk erat, memintanya untuk mengakhiri hubungan dengan Reza. Toh, sejak awal dia juga tidak menginginkan pernikahan ini. Semua terjadi karena salah paham dan campur tangan Raysa. “Aku baru sadar, jika apa yang terjadi denganku saat ini hanya wujud dari skenario busuk kalian,” ucap Via diiringi embusan napas berat. Suaranya bahkan sedikit tersendat karena tangis dan rasa sesak yang memenuhi dada. Reza merasa tertohok. Tahu dengan pasti ke mana arah kata-kata Via
Reza mengacak rambutnya dengan kasar. Frustrasi dengan keadaan yang kini terjadi antara dirinya dan Via. Menyesali ketidakjujuran tentang Raysa, niat hati ingin melindungi perasaan Via, tetapi ternyata dia malah tanpa sengaja menimbulkan kekacauan yang begitu nyata dan rumit. Pria bersurai hitam itu berkali-kali memukul kemudi, melampiaskan rasa marah dan kecewa pada diri sendiri. Apalagi setelah mendapati Raysa yang memilih untuk lepas tangan. Secara tidak langsung membiarkan bola kesalahpahaman di antara Reza dan Via berputar semakin liar. Mantan istrinya itu seketika memilih untuk pergi, secara jelas mengatakan bahwa dia tak ingin dilibatkan.Suasana malam yang sepi seakan mengolok ketidakberuntungan yang menyergap Reza hari ini. Di pinggir danau, di dalam mobil dia berteriak sekencang-kencangnya. Melontarkan setiap umpatan yang melintas di kepala. Usai kejadian di restoran siang tadi, Reza memutuskan untuk mencari Via. Namun dia tak ingin ditemui. Ak
Beberapa hari setelah pertemuan itu, keluarga besar mulai terguncang oleh kabar tentang Randi. Reza, yang belum tahu sepenuhnya tentang klaim Randi, datang ke rumah Eyang Wiryo bersama Via dan bayi mereka, Arya.Ketika mereka tiba, suasana rumah terasa tegang. Chandra duduk di ruang tamu dengan wajah muram, sementara Eyang Wiryo tampak termenung di kursinya.“Eyang, ada apa? Kok semua kelihatan nggak seperti biasanya?” tanya Reza sambil menaruh tas perlengkapan Arya di sofa.Eyang Wiryo menatap Reza, seolah ragu untuk memulai percakapan. Namun, akhirnya ia berkata, “Reza, ada sesuatu yang harus kamu tahu.”Reza mengernyit. “Ada apa, Eyang?”Chandra, yang sejak tadi diam, mendadak angkat bicara. “Ada seseorang datang mengaku sebagai saudara tirimu, Reza. Namanya Randi.”Reza tertegun. Ia merasa seperti dunia di sekitarnya mendadak hening. “Apa? Saudara tiri? Dari mana asalnya cerita ini?” Reza pura-pura tidak tahu. Eyang Wiryo menarik napas panjang, lalu menyerahkan dokumen yang sebel
Di sebuah rumah besar yang dipenuhi nuansa klasik, Eyang Wiryo duduk di kursi favoritnya di ruang tamu. Usianya yang senja tak mengurangi pancaran wibawa dari pria tua itu. Hari itu, tamu yang tak diundang datang mengetuk pintu rumah.“Permisi, Eyang,” sapa seorang pemuda, suaranya terdengar tegas namun sopan.Eyang Wiryo memandang ke arah pintu, mengamati pemuda itu dengan dahi berkerut. “Kamu siapa, Nak? Saya belum pernah melihatmu sebelumnya.”Pemuda itu tersenyum kecil, melangkah masuk tanpa diminta. “Nama saya Randi, Eyang. Saya datang untuk bicara soal sesuatu yang penting.”Eyang Wiryo memandangnya lekat-lekat. “Randi? Apa hubunganmu dengan keluarga ini?”Randi menarik napas panjang. “Saya... saudara tiri Reza.”Perkataan itu membuat Eyang Wiryo terdiam. Sebelum ia sempat merespons, langkah kaki terdengar mendekat. Chandra, cucu kesayangan Eyang Wiryo, masuk ke ruangan dengan wajah bingung.“Eyang, siapa dia?” tanya Chandra sambil melirik ke arah Randi.Eyang Wiryo menghela nap
Reza menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Via menatapnya dengan tatapan penuh tanya, tapi ia memilih untuk tidak mendesak.“Mas,” ucap Via pelan, nada suaranya penuh kelembutan. “Apa pun itu, aku yakin kita bisa menghadapinya bersama.”Reza duduk di sampingnya, memandang Arya yang tertidur lelap dalam gendongan Via. Senyum kecil terbit di wajahnya, meskipun hatinya masih penuh dengan kebimbangan.“Ada seseorang yang datang menemuiku hari ini,” kata Reza, memulai dengan hati-hati.Via mengangkat alisnya, penasaran. “Siapa?”“Randi.”Via terdiam sejenak, mencoba memahami apa hubungan Randi dengan ekspresi serius Reza. “Dia bilang apa?”Reza mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menatap Via dengan mata penuh beban. “Dia bilang... dia mungkin saudara tiriku.”Kata-kata itu membuat Via terdiam. Ia mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar, tapi sulit baginya untuk langsung percaya.“Apa maksudmu?” tanyanya pelan, suaranya sedikit bergetar.Reza
Reza menekan tombol jawab pada ponselnya, meski ragu. Suara di ujung sana langsung menyapa dengan nada tenang, namun penuh misteri.“Reza, ini aku, Randi. Lama tidak bertemu,” ucap suara itu.Reza mengernyit. Nama itu membuat pikirannya melayang ke masa lalu, ke hubungan Via dengan Randi yang dulu sempat menjadi masalah di antara mereka. “Randi? Ada apa? Kenapa meneleponku?”“Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu yang penting. Ini tentang keluargamu. Bisa kita bicara secara langsung? Ada hal yang lebih baik aku jelaskan secara tatap muka,” kata Randi, nadanya serius.Reza menggenggam ponselnya lebih erat, pandangannya melirik ke arah Via yang sedang menggoda Arya di ruang tamu. “Katakan saja sekarang, Randi. Aku tidak punya waktu untuk permainan.”“Aku pikir kamu tidak akan mau mendengarnya jika aku tidak menjelaskan langsung,” jawab Randi. “Kamu bisa datang ke kafe di dekat taman kota besok sore? Ini soal Via dan masa lalu keluargamu.”Kata-kata itu membuat Reza terdiam. Perasaan geli
Siang itu, Via melangkah perlahan menuju kamar perawatan ibunya di pusat terapi. Perutnya yang membesar membuat setiap langkah terasa lebih berat, namun ia tetap berusaha tersenyum. Hari itu, ia ingin memastikan ibunya merasa nyaman di tempat baru tersebut. Saat tiba di depan pintu, Via mendengar suara tawa pelan dari dalam ruangan. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan menemukan ibunya sedang duduk di kursi, ditemani Lisa, seorang perawat yang bertugas merawat Bu Diana. "Via!" seru Bu Diana begitu melihat putrinya masuk. Wajahnya berseri-seri. "Mama senang kamu datang. Lihat, Lisa tadi membantu Mama memilih baju baru untuk hari ini." Lisa tersenyum hangat ke arah Via. "Bu Diana terlihat sangat cantik hari ini. Kami tadi juga sempat berbincang tentang cucu yang sebentar lagi lahir." Via tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung setiap melihat Lisa. Bagaimanapun, ia tahu perawat itu tulus menjaga ibunya. "Terima kasih, Mbak Lisa, sudah merawat Mama dengan baik." Lisa menga
Pagi itu, Reza duduk di meja makan sambil membaca laporan pekerjaan di tablet-nya. Via, dengan perut yang sudah membesar, tampak sibuk memotong buah di dapur. Meski kehamilannya sudah memasuki trimester terakhir, ia tetap berusaha aktif, meski langkahnya mulai melambat.“Sayang, duduk dulu, istirahat,” kata Reza tanpa menoleh dari tablet.Via menoleh dengan senyum tipis. “Sebentar lagi, Mas. Aku mau siapkan jus dulu.”Reza menurunkan tablet dan menatap Via dengan serius. “Aku bisa bikin jus sendiri. Kamu tuh harus lebih banyak istirahat.”Via mengangkat alis. “Mas, aku masih bisa gerak, kok. Enggak usah khawatir berlebihan.”Reza mendesah, tapi memutuskan untuk tidak memperdebatkannya. Setelah Via selesai dan duduk di depannya, ia membuka pembicaraan yang sejak tadi ada di pikirannya.“Sayang, aku mau ngomong soal Mama,” kata Reza hati-hati.Via menghentikan gerakannya, menatap Reza dengan ekspresi penasaran. “Kenapa dengan Mama?”Reza mengusap dagunya, mencari kata yang tepat. “Aku p
Reza dan Dani segera keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan mulai menyusuri jalanan perumahan. Reza mengemudi dengan wajah tegang, sementara Dani mencoba mencairkan suasana.“Pak, apa Ibu Via pernah cerita tempat favoritnya kalau lagi ingin sendiri?” tanya Dani, mencoba membantu.Reza berpikir sejenak. “Dia suka pergi ke taman kota, tempat dia sering jalan-jalan waktu masih kecil. Tapi...” Reza melirik jam di dashboard. “Jam segini? Aku enggak yakin.”Dani mengangguk. “Kita coba saja, Pak. Siapa tahu benar.”Mereka menuju taman kota. Saat tiba, suasana cukup sepi. Lampu taman redup menerangi jalan setapak, tetapi tidak ada tanda-tanda Via. Reza turun dari mobil, berjalan cepat memeriksa setiap sudut taman. Dani mengikutinya dengan senter di tangan.“Via!” panggil Reza beberapa kali, suaranya menggema di tengah malam.Tiba-tiba, Dani menunjuk ke arah bangku taman di dekat danau kecil. “Pak, itu... seperti ada seseorang.”Reza langsung berlari mendekat, dan benar saja, Via duduk di sana
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam