Reza menatap Via dengan mata yang membulat sempurna. Ketidakpercayaan terlihat jelas dari sorotnya yang tajam. Untuk beberapa saat, Reza merasa bahwa dunia berhenti berputar, betapa dia tak percaya jika Via bisa berpikir bahkan bicara sejauh itu.
“Vi, kenapa sejauh itu? Semuanya benar-benar bisa kujelaskan.” Suara Reza melembut, tetapi tidak terdengar seperti tengah memohon. Kekecewaan justru terdengar dari setiap getar yang ada.Via sendiri masih berkutat dengan emosinya. Ego masih memeluk erat, memintanya untuk mengakhiri hubungan dengan Reza. Toh, sejak awal dia juga tidak menginginkan pernikahan ini. Semua terjadi karena salah paham dan campur tangan Raysa.“Aku baru sadar, jika apa yang terjadi denganku saat ini hanya wujud dari skenario busuk kalian,” ucap Via diiringi embusan napas berat. Suaranya bahkan sedikit tersendat karena tangis dan rasa sesak yang memenuhi dada.Reza merasa tertohok. Tahu dengan pasti ke mana arah kata-kata ViaReza mengacak rambutnya dengan kasar. Frustrasi dengan keadaan yang kini terjadi antara dirinya dan Via. Menyesali ketidakjujuran tentang Raysa, niat hati ingin melindungi perasaan Via, tetapi ternyata dia malah tanpa sengaja menimbulkan kekacauan yang begitu nyata dan rumit. Pria bersurai hitam itu berkali-kali memukul kemudi, melampiaskan rasa marah dan kecewa pada diri sendiri. Apalagi setelah mendapati Raysa yang memilih untuk lepas tangan. Secara tidak langsung membiarkan bola kesalahpahaman di antara Reza dan Via berputar semakin liar. Mantan istrinya itu seketika memilih untuk pergi, secara jelas mengatakan bahwa dia tak ingin dilibatkan.Suasana malam yang sepi seakan mengolok ketidakberuntungan yang menyergap Reza hari ini. Di pinggir danau, di dalam mobil dia berteriak sekencang-kencangnya. Melontarkan setiap umpatan yang melintas di kepala. Usai kejadian di restoran siang tadi, Reza memutuskan untuk mencari Via. Namun dia tak ingin ditemui. Ak
“Dari mana kamu?” Intonasi suara Reza keras dan ketus. Matanya menatap tajam, memperhatikan Via dari ujung kaki sampai ujung kepala, dan sebaliknya. Mendapat perlakuan seperti itu, apalagi saat pulang, Via merasa tak terima. Dia risih, karena diperlakukan seolah dirinya telah melakukan sesuatu yang fatal. Padahal, hanya pulang sedikit terlambat dari biasanya. Ego semakin memberikan pembelaan, membuat Via merasa bahwa apa yang dia lakukan juga penyebabnya adalah Reza. Andai pria itu tidak melakukan sesuatu yang salah dengan Raysa, maka hubungan mereka pasti baik-baik saja sekarang. “Tentu saja bekerja. Sama sepertimu, bukan?” Via menjawab acuh tak acuh. Bahkan, langsung berjalan ke kamar mandi di dalam kamar untuk membersihkan diri. Reza yang merasa percakapan di antara mereka belum selesai, seketika memegang pergelangan tangan Via. Memintanya untuk duduk dan bicara. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Via dengan suara tinggi. Kaget, sekaligus kesal
Sepulang kerja, Reza menepati omongannya tentang Dani. Dia mengajak asistennya itu ke sebuah restoran dan membebaskan Dani untuk memesan apa pun yang dia sukai. Tadinya ingin melakukan hal tersebut saat makan siang, tetapi jadwal kerja cukup padat karena ada beberapa hal yang harus segera disiapkan untuk pertemuan dengan klien selanjutnya. “Sepertinya suasana hati Anda sedang baik. Apa Anda dan Nyonya Via sudah baikan?” Reza menggeleng lemah, tetapi ada senyum kecil terbit di bibirnya. “Untuk yang satu itu belum karena sepertinya akan sulit. Ini ucapan terima kasih darimu karena kamu telah menyiapkan materi yang matang serta runut. Sehingga aku bisa mengatasi kesalahan-kesalahan saat meeting tadi.” Dani tersenyum haru. Senang karena kerja kerasnya diakui oleh sang atasan. “Saya hanya melakukan tugas saya, Tuan.” “Dan kamu melakukannya dengan sangat baik. Terima kasih.” Tak berapa lama setelah makanan datang, ponsel Reza berbunyi. Saa
Mobil Reza memasuki halaman rumah, tepat setelah mesin dimatikan dia bersiap untuk turun. Namun, mobil lain ikut masuk dan parkir tak jauh dari tempatnya. Reza mengurungkan niatnya. Memilih tetap di dalam mobil untuk melihat siapa yang datang. Orang yang pertama turun ternyata Randi, dia berputar ke pintu penumpang di depan, dan langsung membukakan pintu tersebut. Tentu saja Via langsung terlihat oleh mata Reza, istrinya itu tersenyum hangat dan mengucapkan terima kasih pada Randi. Sungguh pemandangan yang membuatnya hatinya panas. “Baiklah, Vi. Aku pulang dulu. Selamat istirahat,” ucap Randi lembut diiringi senyuman. “Iya. Terima kasih untuk semuanya. Aku senang karena tak merasa sendirian.” “Tenang saja. Aku akan selalu ada untukmu, Vi. Jika ada apa-apa, jangan ragu untuk mencariku.” Via mengangguk senang. Beradu tatap beberapa saat dengan pria yang akhir-akhir ini membuatnya nyaman. Sementara itu, Reza semakin tak tahan. Dia akhirnya turun dan mendekati mereka berdua. “Sudah
Di tengah kekalutan, Reza memutuskan untuk menghubungi Raysa. Namun, kali ini dia meminta Dani agar menemani. Khawatir ada mata-mata yang memperhatikan dia dan menyampaikan sesuatu yang membuat kesalahpahaman di antara dirinya dan Via semakin melebar. Sementara Via, tak kuasa menahan tangis setelah kepergian Reza. Dia kesal, cemburu, tak ingin pisah dengan Reza, tetapi ego terus mendorongnya agar tak mudah untuk memaafkan dan mendengar penjelasan sang suami begitu saja. Menuntut keyakinan dan kepastian lebih besar dari pria itu. Di tengah kesedihan, tiba-tiba Via merasa kepalanya cukup sakit, dan ada mual. Kesibukan serta rumitnya pikiran, berhasil memengaruhi daya tahan tubuh. Alhasil, karena tidak kuat, dia segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya di sana. Di lain tempat, Reza telah berhasil menghubungi Raysa. Mereka janji bertemu di sebuah kafe yang lumayan jauh dari tempat tinggal Reza. Sengaja memilih tempat tersebut guna meminimalisir paparazi yang dicurigai
Begitu sampai rumah, Reza langsung bergegas melihat kondisi Via. Dia yang panik meminta Dani untuk menyiapkan mobil segera sementara dirinya membawa sang istri dalam gendongan. Suasana ramai yang tercipta karena kepanikan, membuat Diana terbangun. Wanita yang tak lain adalah mertua Reza itu keluar dari kamar. Terkejut dengan semua kebisingan, dia menatap sejenak sebelum akhirnya bertanya pada Reza yang kebetulan lewat di hadapan. “Ada apa?” “Via demam, Bu. Aku ingin membawanya ke rumah sakit.” “Ya ampun, sejak kapan?” Raut khawatir terlihat jelas di wajah Diana. Dia terkejut sekaligus sedih karena tak mengetahui itu dari awal. Padahal, dia ada di rumah, dia ibunya. Reza terdiam, karena dia juga tidak tahu kapan tepatnya. “Belum lama, Bu. Via sepertinya kelelahan,” jawab Lisa yang segera merapat ke Diana. Menenangkan wanita yang keadaannya belum seratus persen pulih itu. Dia memang sudah mengingat Via, mulai bisa beradaptasi, tetapi terkadang masih ada saat-saat di mana dia bahka
Via tersadar, setelah meresapi dan merenungkan yang terjadi di antara dirinya dan Reza. Rekaman suara yang didengar, cukup membuka matanya, merubah pandangan tentang apa yang selama ini dia lihat tentang Reza dan Raysa. Pengakuan tidak langsung dalam rekaman, cukup untuk menjelaskan. Dengan dukungan Dani yang mengukuhkan, Via sepenuhnya yakin jika apa yang terjadi antara dirinya dan sang suami, merupakan sebuah alur dari skenario busuk yang dirancang oleh Raysa. “Jadi, ini semua permainan? Dan aku terjebak di dalamnya?” Via tertawa hambar. Benar-benar merasa bodoh karena terlalu mengikuti ego dan rasa cemburu. Namun, tentu saja rasa itu tak sepenuhnya diperlihatkan di depan Reza. Ada gengsi yang harus dipenuhi. Wanita, selalu enggan terlihat salah. Sebaliknya, Reza malah mengakui kebodohan itu. Dia menyesal karena tak memperhitungkan langkah dengan tepat, terlalu khawatir sehingga tanpa sengaja malah menyakiti perasaan Via. “Aku benar-benar minta maaf untuk semuanya,” ucap Reza tul
Reza kembali ke rumah sakit dengan hati bergejolak. Seakan di setiap langkah disertai oleh percikan api yang siap membakar habis siapa saja yang telah mengganggu ketenangan hidupnya. Namun, sesampainya di depan ruang rawat Via, dia berusaha menurunkan emosi. Walau ingin sekali mengatakan setiap kekesalan setelah membaca chat pribadi Randi dan Via. Pria itu sudah terlalu banyak menjelekkannya dan ikut campur terlalu jauh. “Ada apa dengan wajahmu?” tanya Via saat melihat Reza masuk ke ruangan yang hanya diisi oleh satu ranjang tempatnya beristirahat saat ini, dengan wajah masam dan tertekuk. “Ada sedikit masalah yang membuatku kesal. Tapi, tak apa, toh semuanya sudah selesai dan aku bisa memaklumi. Walaupun tidak semuanya.” “Ada masalah apa lagi?” Via mendadak jadi sangat khawatir. Apalagi saat mendengar nada bicara Reza yang jelas sekali jika sedang menahan marah. Reza menyerahkan ponsel Via, dia menghela napas dalam. “Maaf, aku tak sengaja membukanya karena penasaran.”Sambil meng
Beberapa hari kemudian, Eyang Wiryo memutuskan untuk mengadakan pertemuan keluarga besar di rumahnya. Semua anggota keluarga diundang, termasuk Randi. Chandra, yang sejak awal merasa curiga, terlihat kurang setuju dengan keputusan ini, tetapi ia tetap hadir karena menghormati Eyang.Ketika semua sudah berkumpul, Eyang Wiryo membuka pertemuan itu dengan nada serius.“Kalian semua sudah tahu alasan pertemuan ini. Randi mengaku sebagai anak dari almarhum Arman, dan jika ini benar, dia adalah bagian dari keluarga kita. Namun, aku ingin semuanya transparan. Karena itu, aku telah mengatur tes DNA lanjutan untuk memastikan hubungan ini.”Randi yang duduk di sudut ruangan, menunduk sesaat sebelum menjawab, “Saya siap, Eyang. Saya hanya ingin kebenaran. Apapun hasilnya, saya akan menerima.”Chandra, yang duduk di sebelah Reza, mendengus pelan. “Kamu ngomongnya gampang, tapi tahu nggak, klaim seperti ini bisa bikin keluarga kacau? Kamu datang dengan bukti, tapi itu belum cukup buat saya percaya
Beberapa hari setelah pertemuan itu, keluarga besar mulai terguncang oleh kabar tentang Randi. Reza, yang belum tahu sepenuhnya tentang klaim Randi, datang ke rumah Eyang Wiryo bersama Via dan bayi mereka, Arya.Ketika mereka tiba, suasana rumah terasa tegang. Chandra duduk di ruang tamu dengan wajah muram, sementara Eyang Wiryo tampak termenung di kursinya.“Eyang, ada apa? Kok semua kelihatan nggak seperti biasanya?” tanya Reza sambil menaruh tas perlengkapan Arya di sofa.Eyang Wiryo menatap Reza, seolah ragu untuk memulai percakapan. Namun, akhirnya ia berkata, “Reza, ada sesuatu yang harus kamu tahu.”Reza mengernyit. “Ada apa, Eyang?”Chandra, yang sejak tadi diam, mendadak angkat bicara. “Ada seseorang datang mengaku sebagai saudara tirimu, Reza. Namanya Randi.”Reza tertegun. Ia merasa seperti dunia di sekitarnya mendadak hening. “Apa? Saudara tiri? Dari mana asalnya cerita ini?” Reza pura-pura tidak tahu. Eyang Wiryo menarik napas panjang, lalu menyerahkan dokumen yang sebel
Di sebuah rumah besar yang dipenuhi nuansa klasik, Eyang Wiryo duduk di kursi favoritnya di ruang tamu. Usianya yang senja tak mengurangi pancaran wibawa dari pria tua itu. Hari itu, tamu yang tak diundang datang mengetuk pintu rumah.“Permisi, Eyang,” sapa seorang pemuda, suaranya terdengar tegas namun sopan.Eyang Wiryo memandang ke arah pintu, mengamati pemuda itu dengan dahi berkerut. “Kamu siapa, Nak? Saya belum pernah melihatmu sebelumnya.”Pemuda itu tersenyum kecil, melangkah masuk tanpa diminta. “Nama saya Randi, Eyang. Saya datang untuk bicara soal sesuatu yang penting.”Eyang Wiryo memandangnya lekat-lekat. “Randi? Apa hubunganmu dengan keluarga ini?”Randi menarik napas panjang. “Saya... saudara tiri Reza.”Perkataan itu membuat Eyang Wiryo terdiam. Sebelum ia sempat merespons, langkah kaki terdengar mendekat. Chandra, cucu kesayangan Eyang Wiryo, masuk ke ruangan dengan wajah bingung.“Eyang, siapa dia?” tanya Chandra sambil melirik ke arah Randi.Eyang Wiryo menghela nap
Reza menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Via menatapnya dengan tatapan penuh tanya, tapi ia memilih untuk tidak mendesak. “Mas,” ucap Via pelan, nada suaranya penuh kelembutan. “Apa pun itu, aku yakin kita bisa menghadapinya bersama.” Reza duduk di sampingnya, memandang Arya yang tertidur lelap dalam gendongan Via. Senyum kecil terbit di wajahnya, meskipun hatinya masih penuh dengan kebimbangan. “Ada seseorang yang datang menemuiku hari ini,” kata Reza, memulai dengan hati-hati. Via mengangkat alisnya, penasaran. “Siapa?” “Randi.” Via terdiam sejenak, mencoba memahami apa hubungan Randi dengan ekspresi serius Reza. “Dia bilang apa?” Reza mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menatap Via dengan mata penuh beban. “Dia bilang... dia mungkin saudara tiriku.” Kata-kata itu membuat Via terdiam. Ia mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar, tapi sulit baginya untuk langsung percaya. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan, suaranya sediki
Reza menekan tombol jawab pada ponselnya, meski ragu. Suara di ujung sana langsung menyapa dengan nada tenang, namun penuh misteri.“Reza, ini aku, Randi. Lama tidak bertemu,” ucap suara itu.Reza mengernyit. Nama itu membuat pikirannya melayang ke masa lalu, ke hubungan Via dengan Randi yang dulu sempat menjadi masalah di antara mereka. “Randi? Ada apa? Kenapa meneleponku?”“Aku hanya ingin memberi tahu sesuatu yang penting. Ini tentang keluargamu. Bisa kita bicara secara langsung? Ada hal yang lebih baik aku jelaskan secara tatap muka,” kata Randi, nadanya serius.Reza menggenggam ponselnya lebih erat, pandangannya melirik ke arah Via yang sedang menggoda Arya di ruang tamu. “Katakan saja sekarang, Randi. Aku tidak punya waktu untuk permainan.”“Aku pikir kamu tidak akan mau mendengarnya jika aku tidak menjelaskan langsung,” jawab Randi. “Kamu bisa datang ke kafe di dekat taman kota besok sore? Ini soal Via dan masa lalu keluargamu.”Kata-kata itu membuat Reza terdiam. Perasaan geli
Siang itu, Via melangkah perlahan menuju kamar perawatan ibunya di pusat terapi. Perutnya yang membesar membuat setiap langkah terasa lebih berat, namun ia tetap berusaha tersenyum. Hari itu, ia ingin memastikan ibunya merasa nyaman di tempat baru tersebut. Saat tiba di depan pintu, Via mendengar suara tawa pelan dari dalam ruangan. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan menemukan ibunya sedang duduk di kursi, ditemani Lisa, seorang perawat yang bertugas merawat Bu Diana. "Via!" seru Bu Diana begitu melihat putrinya masuk. Wajahnya berseri-seri. "Mama senang kamu datang. Lihat, Lisa tadi membantu Mama memilih baju baru untuk hari ini." Lisa tersenyum hangat ke arah Via. "Bu Diana terlihat sangat cantik hari ini. Kami tadi juga sempat berbincang tentang cucu yang sebentar lagi lahir." Via tersenyum, meskipun ada sedikit rasa canggung setiap melihat Lisa. Bagaimanapun, ia tahu perawat itu tulus menjaga ibunya. "Terima kasih, Mbak Lisa, sudah merawat Mama dengan baik." Lisa menga
Pagi itu, Reza duduk di meja makan sambil membaca laporan pekerjaan di tablet-nya. Via, dengan perut yang sudah membesar, tampak sibuk memotong buah di dapur. Meski kehamilannya sudah memasuki trimester terakhir, ia tetap berusaha aktif, meski langkahnya mulai melambat.“Sayang, duduk dulu, istirahat,” kata Reza tanpa menoleh dari tablet.Via menoleh dengan senyum tipis. “Sebentar lagi, Mas. Aku mau siapkan jus dulu.”Reza menurunkan tablet dan menatap Via dengan serius. “Aku bisa bikin jus sendiri. Kamu tuh harus lebih banyak istirahat.”Via mengangkat alis. “Mas, aku masih bisa gerak, kok. Enggak usah khawatir berlebihan.”Reza mendesah, tapi memutuskan untuk tidak memperdebatkannya. Setelah Via selesai dan duduk di depannya, ia membuka pembicaraan yang sejak tadi ada di pikirannya.“Sayang, aku mau ngomong soal Mama,” kata Reza hati-hati.Via menghentikan gerakannya, menatap Reza dengan ekspresi penasaran. “Kenapa dengan Mama?”Reza mengusap dagunya, mencari kata yang tepat. “Aku p
Reza dan Dani segera keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan mulai menyusuri jalanan perumahan. Reza mengemudi dengan wajah tegang, sementara Dani mencoba mencairkan suasana.“Pak, apa Ibu Via pernah cerita tempat favoritnya kalau lagi ingin sendiri?” tanya Dani, mencoba membantu.Reza berpikir sejenak. “Dia suka pergi ke taman kota, tempat dia sering jalan-jalan waktu masih kecil. Tapi...” Reza melirik jam di dashboard. “Jam segini? Aku enggak yakin.”Dani mengangguk. “Kita coba saja, Pak. Siapa tahu benar.”Mereka menuju taman kota. Saat tiba, suasana cukup sepi. Lampu taman redup menerangi jalan setapak, tetapi tidak ada tanda-tanda Via. Reza turun dari mobil, berjalan cepat memeriksa setiap sudut taman. Dani mengikutinya dengan senter di tangan.“Via!” panggil Reza beberapa kali, suaranya menggema di tengah malam.Tiba-tiba, Dani menunjuk ke arah bangku taman di dekat danau kecil. “Pak, itu... seperti ada seseorang.”Reza langsung berlari mendekat, dan benar saja, Via duduk di sana
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta