Simon bukan hanya memintanya untuk pergi, tetapi juga meninggalkan kedua anaknya. Eleanor menundukkan pandangannya yang berkilat dingin.Simon menawarkan syarat yang menguntungkan dan mengirimnya ke luar negeri, tetapi dengan syarat dia harus menjauhi Jeremy dan meninggalkan kedua anaknya.Namun, maaf sekali. Eleanor tidak membutuhkan bantuan mereka, apalagi meninggalkan anak-anaknya."Gimana kalau aku menolak?""Itu artinya, kamu nggak tahu diri."Eleanor melihat mobil terus melaju semakin cepat menuju daerah terpencil. "Jadi, hari ini aku cuma punya dua pilihan, yaitu pergi ke luar negeri atau mati. Benar begitu?""Benar." Simon mengangguk. Dia tidak merasa ada yang salah dengan ini. Dia sudah menawarkan syarat yang menguntungkan. Jika Eleanor tidak setuju, dia hanya bisa membuatnya menghilang.Eleanor bersandar ke belakang. "Aku rasa kamu nggak akan membunuhku.""Oh? Kenapa? Jelaskan." Simon terlihat tertarik."Karena aku masih memiliki kegunaan bagimu."Simon tidak menjawab, tetapi
Eleanor menoleh ke luar jendela dan menyahut dengan nada datar, "Kenapa nggak memilih hidup yang tenang dan nyaman?"Mobil melaju kencang di jalan. Jeremy menurunkan jendela kursi pengemudi, membiarkan angin dingin masuk ke mobil.Eleanor merasakan hawa dingin yang menusuk, tubuhnya sedikit gemetar.Jeremy tersenyum tipis. "Kamu bisa langsung bilang kalau kamu ingin menjauh dariku."Eleanor tertawa pelan. Ya, dia memang harus menjauhinya.Sejak menikah dengan Jeremy, dia tidak pernah merasakan hari yang tenang. Di rumah, Jeremy mengabaikannya. Di luar, ada Yoana yang terus memanipulasinya.Dulu Eleanor terlalu mencintai Jeremy, rela bertahan dalam segala keadaan, sampai lupa bahwa mencintai diri sendiri itu yang utama.Karena itu, Eleanor memutuskan untuk pergi. Bukan hanya pergi, tetapi juga membuat Jeremy menyesal seumur hidup.Eleanor menarik napas dalam untuk menekan emosinya, lalu berkata dengan tenang, "Jeremy, seharusnya aku sadar lebih awal. Saat tahu kamu nggak mungkin mencint
"Papa, kenapa Papa diam saja? Tadi 'kan Papa bilang ada banyak hal yang ingin dibicarakan ke Mama?" Harry memecahkan suasana canggung.Jeremy mengangkat alisnya, menatap si kecil. Kapan dia pernah mengatakan ingin bicara banyak dengan wanita ini?Eleanor memandang Jeremy dan bertanya dengan tenang, "Kamu mau bicara apa?"Jeremy mengalihkan pandangan dari wajah kecil Harry yang penuh kecerdikan. Ketika dia hendak bicara, terdengar suara ketukan pintu.Eleanor melirik ke arah pintu. "Masuk."Pintu segera terbuka. Yoana yang dibantu seseorang pun perlahan masuk ke bangsal. Melihat si pendatang, tak satu pun orang di ruangan ini menunjukkan ekspresi ramah.Namun, Yoana tetap tersenyum tanpa rasa malu sedikit pun. "Maaf mengganggu. Remy, aku ingin bicara sesuatu denganmu. Bisa kita bicara berdua?""Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita berdua," jawab Jeremy dengan dingin. Wajahnya penuh penolakan.Yoana menggigit bibirnya. "Remy ... kamu sudah lama mengabaikanku. Aku cuma ingin be
Hari itu, saat Jeremy dan Eleanor bertengkar, Harry mendengar semuanya. Jeremy tidak percaya pada Eleanor, membuat ibunya terluka dan sedih.Sekarang Jeremy malah mau bertunangan dengan wanita jahat itu. Kalau begitu, mereka akan pergi bersama Eleanor.'Huh! Tanpa Papa Jahat, kita tetap bisa hidup dengan baik!' batin Harry.Namun, Daniel tampak memikirkan sesuatu. Dia menatap Eleanor dengan serius. "Mama, apa kalian benaran nggak mungkin bersama lagi?"Dulu, keinginannya hanyalah hidup bersama ayah dan ibunya dalam satu keluarga yang bahagia. Kini, mendengar ibunya berkata seperti itu, sepertinya orang tuanya tidak akan pernah bersama lagi.Eleanor menatap kedua anaknya dengan hati yang hancur. Dia mencubit lembut pipi kecil Daniel, lalu melihat Harry di sampingnya.Sebagai seorang ibu yang belum bisa memberikan mereka keluarga yang bahagia dan utuh, Eleanor merasa sangat bersalah."Daniel, kamu ingin Papa dan Mama ada di sisi kalian ya?"Daniel mengangguk pelan, lalu memandang Eleanor
Eleanor juga mengadakan pesta ulang tahunnya. Memang banyak hal yang harus diurus karena pesta ini akan sangat besar. Namun, Eleanor hanya menyediakan dana. Urusan lainnya diatur oleh bawahan Charlie.Eleanor memegang laporan tes DNA di tangannya, merasa jantungnya berdebar tak tenang.Hari ini, Yoana datang menemuinya. Ketika Eleanor membuka pintu dan melihat Yoana, raut wajahnya seketika menjadi dingin."Kita bicara," kata Yoana sambil mengangkat dagunya menatap Eleanor.Di kafe, Eleanor menarik kursi dan duduk, menatap Yoana yang berjalan perlahan ke kursi di seberangnya. Yoana keluar dari rumah sakit dengan terburu-buru, jadi cederanya belum pulih sepenuhnya. Hal ini membuat cara jalannya terlihat agak aneh.Eleanor mengalihkan pandangannya dan bertanya dengan nada datar, "Katakan saja langsung."Yoana mengepalkan tangan dan menggigit bibirnya, lalu bertanya, "Kamu tahu di mana Jeremy sekarang?"Eleanor merasa ini lucu. "Dia tunanganmu, kamu malah bertanya padaku di mana dia?"Waja
Eleanor tidak memedulikan Yoana yang ada di belakangnya. Setelah keluar dari kafe, langit di luar perlahan menggelap. Sebuah mobil hitam perlahan berhenti di depannya. Eleanor melirik sekilas.Jendela mobil perlahan diturunkan. Charlie mengangkat alis sedikit. "Masuk."Eleanor tidak menolak dan masuk dari sisi lain."Semuanya sudah siap?" tanya Charlie.Pertanyaan ini membuat Eleanor terdiam sejenak sebelum menjawab, "Hm. Nanti kamu bantu bawa Harry dan Daniel pergi dulu. Aku takut ada halangan nanti.""Kamu takut Jeremy akan menahanmu?"Eleanor memang takut. Bukan hanya itu, dia lebih takut jika kedua anaknya akan dibawa pergi. Dia tidak peduli apa yang terjadi padanya, tetapi dia takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada anak-anaknya di tengah kekacauan."Ya.""Dari situasi sekarang, Jeremy nggak akan datang ke pesta pertunangan. Bahkan, dia juga nggak akan membiarkan pesta itu terjadi," ujar Charlie dengan santai sambil memegang kemudi dengan satu tangan.Namun, Eleanor menggeleng.
"Kamu mau mengabaikanku sampai kapan?" tanya Jeremy sambil mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.Eleanor menoleh. "Bukannya aku mengabaikanmu, tapi memang nggak ada yang bisa kita bicarakan."Eleanor memang tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Jeremy lagi."Kamu nggak tahu harus bicara apa denganku, tapi bisa bercanda sama Charlie? Kalian bahkan berpelukan tadi," sindir Jeremy.Jeremy sudah lama tidak melihat senyuman Eleanor yang begitu natural. Sejak pulang dari luar negeri, Eleanor selalu bersikap dingin kepadanya.Eleanor menatap Jeremy. "Ya, aku memang suka ngobrol dengannya. Kenapa memangnya kalau kami berpelukan? Bahkan kalau kami berciuman, itu nggak ada urusannya denganmu."Ucapan Eleanor ini sama saja dengan menyiram bensin ke api. Seketika, amarah Jeremy memuncak."Bagus, bagus sekali." Jeremy tiba-tiba membungkuk dan menggendong Eleanor.Eleanor pun terperanjat karena tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Secara refleks, dia memeluk leher Jeremy."Jeremy, apa yang
Sambil mencium Eleanor, Jeremy terus terbayang akan adegan berpelukan tadi serta senyuman cerah Eleanor. Sungguh menusuk mata!Mata Jeremy memerah. Dia melepaskan Eleanor, lalu mendapatkan dua tamparan. Jeremy menatap wajah yang memerah karena marah itu sambil bertanya, "Kamu berniat membawa anak-anak pergi bersamamu?"Napas Eleanor terhenti untuk sesaat. Dia tidak mengatakan apa-apa."Jawab aku."Eleanor menahan dada Jeremy, lalu mendorongnya. "Lepaskan aku sekarang juga!"Tubuh tinggi dan tegap itu bagaikan dinding kokoh. "Bukannya kamu bilang ingin membuatku nyesal? Bukannya kamu bilang kamu nggak bersalah? Kalau begitu, keluarkan buktinya. Kalau nggak, jangan harap bisa bawa anak-anakmu pergi.""Kamu ingin menahanku di ibu kota ini? Menahanku di sisimu? Kamu merasa aku nggak bakal bisa menemukan bukti atau merasa semua omonganku adalah kebohongan? Kenapa memangnya kalau aku ingin pergi? Apa urusannya denganmu?"Ekspresi Jeremy dipenuhi amarah. Berengsek!"Aku memang ingin meninggal
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in