Share

42

Penulis: Wiwien Wintarto
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-14 11:45:08

Panji Warastra bergegas menghampiri Senopati Natpada yang tengah mengenakan baju kebesaran dibantu tiga orang pembantu. Sang senopati sudah paham, raut wajah bawahan terpercayanya yang seperti itu pasti memerlukan satu percakapan empat mata. Cukup dengan sedikit menggerakkan jari, ketiga pembantu menyingkir serempak tanpa suara.

Ia pun harus mengancingkan sendiri baju yang serba berhiaskan batu permata itu, yang akan ia pakai dalam acara pernikahan Pangeran Candrakumala esok pagi.

“Gusti Senopati, ada hal penting yang harus saya laporkan,” kata Panji Warastra kemudian.

Senopati Natpada masih asyik dengan kancing-kancing bajunya, yang semua terbuat dari emas tulen berkilauan.

“Ada apa?”

“Mungkin ini agak aneh, tapi saya perlu menyampaikan agar dijadikan bahan pertimbangan. Beberapa pegawai Dalem Kepangeranan dan juga prajurit menyampaikan tentang perbedaan rupa wajah antara Raden Rara Pramesti yang tadi sowan k

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menuju Matahari   43

    Tempat yang bernama Gedong Putih itu memang luar biasa menawan.Ia terletak di satu puncak bukit, dikelilingi hanya oleh pagar tanaman setinggi pinggang orang dewasa. Tak aneh kita bisa memandang bebas ke sekeliling tanpa hambatan.Dari sini, semua gunung tampak dengan jelas, sebagian tertutup awan yang mengambang. Tepat di lereng pada arah utara, terdapat sebuah telaga yang berair bening luar biasa. Sebuah jalan setapak yang dipercantik dengan batu-batu hitam menghubungkan bukit dengan telaga. Membelok bertrap, dan langsung berbatasan dengan dermaga yang cukup jauh menjorok ke permukaan air telaga.Sebuah perahu dayung berukuran kecil tertambat di sana, menanti para wisatawan untuk berperahu melihat-lihat keindahan danau—atau memancing. Rinjani membayangkan, pada waktu menjelang subuh dan purnama tengah membulat sempurna, kedudukan bulan yang rendah di ufuk pasti akan memunculkan bayangan mirip ruas jalan di permukaan air danau.Sayang ia tak punya

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-14
  • Menuju Matahari   44

    “Astaga! Jadi sosok yang istimewa itu adalah putri Pangeran Samodra?” desis Pratiwi.Ki Randu Alas mengangguk.“Namanya Rara Marli, putri bungsu sang pangeran. Aku kenal saat ia diajak ibunya, Raden Ayu Kusrini, berkunjung ke Kalibening. Raden Ayu masih berkerabat dengan Rama Guru Samirana, ketua perguruan sebelum aku. Begitu kenal, kami langsung dimabuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada kekuatan wajar sebagai manusia. Marli dan aku seketika tahu, kami ditakdirkan untuk bersama. Lalu kami sepakat untuk meminta perjodohan.”“Meminta perjodohan?” Ningrum buka suara.“Ya. Pada zaman ini. perjodohan kan sesuatu yang diatur. Aku berhasil membujuk Marli agar melakukannya dengan cara kaum persilatan. Memilih sendiri, lalu mengajukan satu nama itu pada orangtua agar disetujui.”“Lalu? Berhasil?” tanya Jaladri.Ki Randu Alas tertawa getir. “Tentu saja tidak. Memangnya ini cerita n

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-14
  • Menuju Matahari   45

    “Siapa?” tanya Ki Soma, mendekat ke arah Rinjani.Gadis itu tak menyahut. Ia mempertajam telinga, dan suara tapak langkah itu makin dekat. Halus, nyaris tanpa suara, menandakan bahwa yang datang bukanlah orang yang tak berkemampuan bela diri kelas atas.Lalu sesosok bayangan muncul dari balik sesemakan. Badannya tegap tinggi, mengenakan busana serba gelap, dan menyandang pedang panjang di punggung. Sejenak kecurigaan Rinjani mereda. Sorot mata dan raut wajah pria itu tak terlihat ganas seperti anggota gerombolan perampok. Kulit wajahnya justru cukup bersih, dan kumis serta janggutnya pendek rapi, menunjukkan bahwa ia terawat. Bukan jenis manusia yang menghabiskan seluruh waktu kehidupannya di tengah hutan.“Maaf, apakah panjenengan bertiga tersesat...?” tanya pria itu dengan nada sopan, tanpa terlihat tanda-tanda ia akan meraih pedangnya lalu menyerang.Rinjani bangkit, tak jadi menghunus pedangnya.“Betul,&rd

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-14
  • Menuju Matahari   46

    “Apakah dia sudah sampai di tempat ini mendahului kita...?” Ki Demung Banar mendesis, celingukan.“Siapa? Tanpa Aran?” sahut Ki Gagak.Ki Demung mengangguk.“Atau dua manusia sinting dari Margalayu itu,” kata Wiratmaka.Alisnya berkernyit ketika hidungnya mencium kesiur angin yang tak biasa. Anyir sekali. Tahu-tahu melintas melewati hidungnya. Mata sang pangeran bergeser melakukan pencarian.“Jangan takut! Mereka tidak mati. Hanya kusirep agar tidak menggganggu perayaan malam ini.”Keempatnya menoleh. Dalam remang cahaya senja, sesosok bayangan hitam bercaping berdiri dengan kaki kangkang tak jauh dari gapura batu bata yang menjadi penanda awal jalan menanjak menuju puncak Gunung Wijil. Tak perlu bertanya, semua sudah langsung tahu siapa bayangan itu.“Kalian juga mau ikut berpesta?” kata orang itu lagi. “Kau tak sayang nyawa juga rupanya, Pramesti. Di atas sana nanti,

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15
  • Menuju Matahari   47

    “Kok sepi ya...? Seperti ada yang tidak beres…”Pratiwi melompat turun dari kuda, yang lain mengikuti. Jaladri mendecak dan menggeleng-geleng.Ki Randu Alas menatap berkeliling. Memang benar, ada yang tidak beres. Ia telah berkali-kali kemari, dan belum pernah menjumpai Wijil Ngisor sesenyap dan segelap ini. Biarpun datang kemalaman sekalipun, tetap akan ada para murid Perguruan Matahari yang melek berjaga-jaga.Magrib ini, barang-barang titipan saja yang ada. Orang-orangnya lah yang tidak ada. Lentera dan obor-obor biasanya sudah menyala.“Coba periksa rumah-rumah penduduk!” katanya. “Aku akan ikat kuda-kuda di tempat penitipan.”Pratiwi membantunya menambatkan kuda. Tiga yang lain memeriksa rumah demi rumah, lalu datang melapor tapi tidak dengan wajah pucat.“Semuanya tertidur,” kata Wisnumurti.“Semua orang pasti disirep, agar tak tahu apa yang nanti akan terjadi di atas

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15
  • Menuju Matahari   48

    Pangeran Wiratmaka menghentikan larinya dan mendongak.“Ya, Tuhan! Ada kebakaran!”Pramesti juga ikut melihat ke atas. Langit memang berwarna kemerahan, dan ada asap pekat hitam membubung tinggi.“Masa Tanpa Aran juga bakar rumah?” gumamnya.“Ayo, cepat!”Wiratmaka menarik tangan Pramesti lagi. Mereka menyelesaikan pendakian dengan cepat. Dan kian dekat, suara-suara itu makin terdengar jelas, yang merupakan perpaduan antara teriakan-teriakan kacau, jeritan, dan dencing senjata beradu.Sang pangeran menahan napas. Bunyi-bunyi itu hanya mengingatkannya pada satu hal.“Hah? Perang...?”Jalur pendakian berakhir. Dan semua langsung terpampang nyata begitu keduanya tiba di puncak.Kekacauan. Hanya itu satu-satunya kata yang tepat menggambarkan keadaan di Gunung Wijil. Dan beberapa di antaranya hampir bertabrakan dengan mereka.Puluhan dan bahkan ratusan orang berlari dan m

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15
  • Menuju Matahari   49

    Mereka langsung sibuk meneriaki Ki Gede Nipir. Dengan cepat kedua bayangan bergulung ke belakang.“Ada apa?” tanya pria penyerang itu, yang memang Ki Gede Nipir.“Dia bukan penculik,” sahut Pramesti. “Itu Pangeran Wiratmaka.”Ki Gede terperanjat. “Apa?”Pertanyaannya terputus oleh teriakan Pangeran Wiratmaka yang malah menoleh ke arah lain sambil berkernyit dahi.“Dasar tukang telat semua!” hardiknya keras. “Kalian hampir saja ketinggalan pestanya!”Jaladri tertawa senang. “Wah, Wa Nipir ternyata sudah sampai di sini juga. Mencari Memes ya? Tak perlu sebenarnya. Dia kan memang biang masalah sejak dulu!”Ki Gede dengan cepat menoleh ke orang-orang yang muncul di belakang Jaladri.“Kenapa kaubawa dia ke sini?” tanyanya pada Ki Randu Alas. “Nanti dia mengacau. Kelakuannya sering aneh-aneh.”Pratiwi mendelik. Wisnumurt

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15
  • Menuju Matahari   50

    Saat mereka tiba, lapangan tepat di depan pendapa kediaman Ki Lembu Narawara bersuasana mirip pada malam takbir Idul Fitri. Seluruh penjuru terang benderang oleh nyala obor dan terdapat begitu banyak orang berkumpul. Berdiri tepat di dekat pendapa adalah para pria bersenjata dalam berbagai rupa dan perawakan. Mereka menyibak saat Ki Gede Nipir dan yang lain-lainnya muncul dari arah telundakan, tahu bahwa para pendatang baru ini adalah tamu-tamu terhormat, dan banyak di antaranya yang telah kenal dengan Ki Gede dan juga Ki Randu Alas.Saat bergegas menapak naik ke pendapa, para pria yang awalnya duduk bersila di sana serempak berdiri. Semua memberi sambutan dengan gembira, terlebih ketika Ki Gede memperkenalkan Putra Mahkota pada mereka. Sayang keadaan sedang tak tepat untuk sekadar berhalal bihalal penuh kegembiraan. Tuan rumah seketika mendekat begitu melihat raut wajah muram Ki Gede Nipir.“Bisa kita bicara di dalam?” tanya Ki Gede.Pria pendek kek

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-15

Bab terbaru

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

  • Menuju Matahari   73

    Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten

  • Menuju Matahari   72

    Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta

  • Menuju Matahari   71

    Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia

DMCA.com Protection Status