(Author P.O.V)
Hampir satu jam berlalu, Bram resah melirik jam di tangannya berulang kali. Ia berpikir mungkinkah Ayuni berubah pikiran tidak ingin menemuinya atau Ayuni belum siap untuk berbicara dan mengetahui fakta yang sebenarnya.
Bram memanggil anak buah yang tadi ia perintahkan menemui Ayuni, "Apa kau yakin dia mengtakan akan menemuiku di sini?"
"Iya Tuan, saya yakin dia mengatakannya akan menemui selepas ia bekerja di pabrik," jawab anak buahnya. Bram kembali melihat jam tangannya, kemudian menghela napasnya dengan berat.
Ayuni berada di dalam mobil dengan keadaan tangan terikat dan mulut yang di tutupi lakban, Ia bertanya-tanya siapa yang melakukan itu padanya. Didalam mobil ia tidak mendengar suara seseorang, hanya mendengar suara deru laju mobil yang dia tumpangi dan entah kemana tujuannya.
Jodi sedang menangani pasien terakhirnya ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya, ia tak langsung mengangkatnya
Mohon maaf penulis masih banyak kekurangan! Jika menyukai cerita ini silahakan kasih bintang di komentarnya ya! Terima kasih....
(Author POV)Ayuni tercengang suara yang ia dengar bukan suara Tania, melainkan suara seorang laki-laki asing. Jika bukan Tania lantas siapa yang telah menculiknya? Apakah ini salah satu suruhannya juga? pikir Ayuni."Siapa kamu? Mengapa menculikku?" tanya Ayuni, dengan mata yang masih tertutup kain.Terdengar suara langkah ketukan sepatu yang mendekati Ayuni, Ayuni semakin panasaran brcampur takut dengan orang yang tengah menghampirinya."Hallo Ayuni, kau tidak tahu aku karena ini adalah pertama kalinya kita bertemu," ucap orang itu."Siapa? Itu berarti aku tidak mengenalmu, lalu untuk apa kau melakukan ini padaku?" Suara Ayuni kini semakin berat, tenggorokannya terasa kering.Orang itu memegang wajah Ayuni, dan menyunggingkan senyum. Ayuni mencoba memalingkan wajahnya sebagai bentuk ketidaksukaannya karena di sentuh.Tiba-tiba ikatan kain yang menutup matanya terbuka, dengan mata menyiny
Ayuni merapatkan bibirnya, seketika itu ia merasakan dadanya terasa sakit melihat Jodi bersama seorang perempuan cantik."Sayang, ayo Ibu antar saja ke sekolah! Om Jodi sepertinya sedang sibuk," ajak Ayuni kepada Yasmin.Yasmin yang melihat Jodi pun tahu jika ibunya merasa tidak nyaman, "Kenapa Bu? Apa karena orang yang bersama Om Jodi itu," tanya Yasmin.Ayuni tidak menjawab, ia berjalan dan menarik lengan putrinya itu agar segera mengikutinya. Dia tidak ingin Jodi melihat keberadaan mereka dan tahu jika mereka tengah menunggunya tadi. Yasmin pun mengikuti langkah ibunya.Saat mereka baru saja berjalan beberpa menit, mobil Jodi melintas melewati mereka begitu saja. Ayuni merasa ingin menangis, ia berpikir tidak mungkin Jodi tidak melihat mereka yang sedang berjalan."Siapa tante yang cantik tadi? Tumben Om Jodi tidak berhenti dan mengajak ke dalam mobilnya," celoteh Yasmin."Mungkin tadi itu pacarnya," sahut Ayuni, tanpa sadar. Yasmin menat
Ayuni menatap kosong ke arah jalan yang baru di lalaui ayah kandungnya. Entah mengapa dia merasakan ada sesuatu yang masih mengganjal, ia merasa Bram masih seperti ingin mengatakan sesuatu padanya, begitu juga dengan Ayuni. Seperti biasa Ayuni selalu tidak bisa mengungkap apa yang ada dalam hatinya dan memendamnya.Ayuni ingin mengatakan kepada Bram, bahwa ia tidak perlu merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi. Ia bisa menerima semua yang terjadi dalam hidupnya dengan lapang dada."Ayuni, sedang apa di sana?" tanya ibunya, yang membuyarkan lamunannya."Tidak apa-apa Bu," jawab Ayuni, ia lalu menghampiri ibunya. Ayuni kembali melanjutkan memberesekan pekerjaan rumah, ia memgambil sapu dan mulai menyapu lantai rumahnya. Saat itu ia teringat kembali dengan Jodi, bayangan wanita cantik yang menggelayut manja di lengan lelaki yang dicintainya itu kembali mengusik hatinya.Siapa wanita itu? Ada hubungan apa di antara mereka? Mengapa
Dua jam berselang Jodi masih menunggu balasan Ayuni, tetapi Ayuni belum juga membalasnya. Padahal pesan itu sudah terkirim dan terbaca Ayuni. "Kenapa sih dari tadi kamu terus melihat ponselmu?" tanya Gisel, di samping Jodi yang sedang mengemudi. "Tidak apa-apa," jawab Jodi. Gisel tahu Jodi tengah berbohong padanya. Ia tahu betul jika Jodi sedang menunggu pesan dari Ayuni. Melihat reaksi Jodi, Gisel menyunggingkan senyum, itu berarti ucapannya tadi siang kepada Ayuni berhasil sesuai harapannya. Setelah beberapa jam, mereka tiba di apartemen Gisel. Setelah sebelumnya mereka menemui seseorang selama setengah jam di sebuah restoran. "Sudah sampai," ucap Jodi. "Kau tidak akan tidur denganku malam ini?" Gisel masih berusaha menggoda Jodi. "Jangan mulai, cepatlah turun! Aku lelah ingin cepat sampai rumah dan tidur," balas Jodi dengan malas. "Hmm ... baiklah." Gisel menajawab dengan kecewa dan memasang wajah merajuk.
Satu jam sebelumnya. Gisel melihat sekelompok orang mendobrak pintu kamar, ada sekitar empat orang laki-laki di depan pintu itu. Gisel menampakan wajah ketakutannya, ia mengira itu adalah anak buah Jefri yang hendak berbuat sesuatu padanya. "Mau apa kalian? Jangan mendekat!" Gisel mengedarkan pandangan mencari-cari sesuatu di dekatnya sebagai pertahanan diri. "Tenanglah, kau aman sekarang!" ucap salah satu di antara laki-laki berbadan tegap itu. "A-apa maksudnya?" tanya Gisel, masih tampak bingung. "Kami anak buah Tuan Jodi," jawab orang itu. "Bagaimana dia bisa tahu, aku dibawa Jefri?" Gisel bertanya untuk lebih meyakinkannya. "Itu biar Tuan Jodi sendiri yang menjelaskan. Sekarang mari ikut kami!" Rupanya tadi pagi Jodi mendapat telepon dari orang yang ditemuinya di restoran tadi malam bersama Gisel yang bernama Rio, kepercayaan Jefri. Setelah bertemu Jodi dan Gisel, sekelompok orang menghadang dan
Suasana rapat menjadi mencekam, dunia seolah terhenti untuk beberapa detik. Semua orang tergemap, mereka bingung harus berbuat apa. Tidak ada seorang pun yang berani bersuara apalagi menolong kedua orang yang terkapar di lantai itu. Antara ambisi dan murka sudah menguasai Jefri. "LETAKKAN SENJATAMU DAN ANGKAT TANGAN!" Sebuah suara menyentak mereka, beberapa polisi datang dengan todongan pistol ke arah Jefri. Bukannya menuruti perintah polisi, justru Jefri menantang mereka. Dia kini mengarahkan pistol itu ke hadapan para polisi itu, tanpa terlihat gentar sedikit pun. "Sukanya keroyokkan," ejek Jefri, dengan senyum simpul tetapi matanya tetap waspada. DORRR ... Satu tembakan, melumpuhkan Jefri tanpa aba-aba. Jefri ambruk tetapi masih sadarkan diri, dengan sigap polisi menyergap Jefri setelah berhasil dilumpuhkan pada bagian kakinya. Polisi terpaksa melakukan itu, karena dia menantang polisi dan bisa membahayakan lebih banyak orang lagi.
"Dua bulan yang lalu, dia meninggal."Dua kata terakhir yang mampu mengguncang Ayuni. Wanita itu membelalakkan mata, lambat laun matanya menghangat dengan genangan yang mulai membasahi bola matanya.Dadanya berdegup tak beraturan, dan kakinya lemas seketika, dia terduduk di lantai. Benarkah yang dikatakan perawat itu?"Ayuni, kau tidak apa-apa?" tanya perawat itu sambil memegang bahu Ayuni."Itu pasti hanya kabar bohong," ucap Ayuni dengan lirih. Masih tidak mempercayai ucapan perawat."Aku hanya mendengar sekilas dan tidak ada pernyataan resmi juga. Tapi dengan datangnya dokter baru yang menggantikannya, aku rasa kabar itu benar. Duduklah di kursi! Aku akan membawa minum untukmu," ujar perawat."Tidak ... Aku harus mencari tahu sendiri, bisakah kau tolong aku!" pinta Ayuni."Apa itu?""Aku minta alamat rumah Dokter Jodi di kota!" ucap Ayuni. Iya, dia harus memastikannya langsung."Tapi, ayo kau
Ayuni masih terisak ketika berada di dalam bus yang akan mengantarnya kembali ke desa. Saat itu sudah menjelang petang, suasana gemericik hujan di luar semakin menambah sendu perasaannya. Kembali terbayang wajah Jodi, ketika pertama kali mereka bertemu dengan wajah arogannya, wajah usil yang tengah menggodanya dan wajah dengan ukir senyum yang mampu mengahangatkan hatinya. Mengapa secepat itu dia pergi menghadap penciptanya? Ayuni berusaha memejamkan matanya untuk mengusir bayangan Jodi, akan tetapi semakin ia terpejam kenangan-kenangan saat bersama Jodi semakin terbayang memenuhi kepalanya. Keesokan paginya. Yasmin membangunkan Ayuni dengan mengguncang-guncang tubuhnya, "Ibu, sampai kapan mau tidur, apa kau tidak akan pergi bekerja hari ini? aku lapar belum ada sarapan di meja," bisiknya di telinga sang ibu. Ayuni sudah terbangun sebelum Yasmin membangunkannya, dia hanya memejamkan mata. Kepalanya terasa sakit, semalaman dia tidak bisa
Dalam beberapa saat Jodi membiarkan Ayuni memeluknya. Entah kenapa dia melunak, ada sesuatu yang mendorong untuk membelai wanita yang kini sedang mendekapnya erat. Namun, sikap angkuh menahannya agar tidak melewati batas.Berbagai pertanyaan hadir di benak Jodi. Siapa Ayuni? Siapa wanita yang begitu berani memeluknya tanpa rasa malu. Apa arti dirinya bagi mereka? Mengapa mereka menangis ketika ia datang kembali ke desa itu?"Apa kita pernah dekat sebelumnya?" tanya Jodi, setelah beberapa saat mereka terdiam.Ayuni melepaskan pelukannya, ia mulai sadar dan merasa malu atas tindakannya. Dia mengerti, Jodi pasti keheranan."Ah, maaf. Kau sangat baik, walaupun sikapmu terkadang membuat jengkel tapi kau seorang dokter yang baik bagi kami. Selain itu ruma kita yang berdekatan membuat kami merasa kehilangan ketika mendengar kau meninggal," jawab Ayuni. Dia tidak memberitahu hubungan spesial di antara mereka. "Rumahku?" "Iya. Itu rumahmu, di sanalah kamu tinggal selama ini." Ayuni menunjuk
Setelah menggertak para wanita itu, Jodi kemudian masuk ke dalam mobil karena tidak ingin menjadi pusat perhatian mereka. "Tenyata aku benar-benar pernah tinggal di tempat ini. Mereka sampai menganggapku hantu karena mengira aku sudah meninggal."Berdasarkan petunjuk yang ia temukan dari ponselnya, Jodi datang ke desa tempatnya bertugas. Gisel bisa saja menghapus semua isi yang ada di dalam ponsel Jodi, akan tetapi Jodi tahu cara untuk bisa mengembalikan apa yang pernah tersimpan di dalamnya meskipun tidak semua. Berdasarkan sebuah email yang ia temukan di buku catatan miliknya. Dia bisa melihat jika dalam beberapa bulan sebelum kecelakaan Jodi berada di desa.Jodi kebingungan di dalam mobil dan terus berputar-putar mengikuti jalan desa, sampai menjelang sore. "Ck, seharusnya aku tadi bertanya kepada mereka," gumam Jodi seorang diri.Jodi menghentikan mobilnya ketika melihat seorang wanita tua berdiri di tepi jalan. Dia membuka kaca jendela ketika bertanya."Permisi, apakah di seki
"Ayuniii!" teriak Santi sambil berlari menuju ruangan Ayuni ketika mereka berada di pabrik."Ada apa, San? Kok teriak-teriak begitu sih?" tanya Ayuni yang melihat Santi ngos-ngosan."Ayuni ... Kamu pasti tidak percaya hah ...," jawab Santi masih dengan berusaha mengatur napasnya."Tidak percaya apa? Kamu tenangin dulu, ayo duduk." Ayuni mengajak Santi duduk di sofa. Namun Santi menggeleng-geleng kepala sambil menggerakkan tangannya, pertanda ia menolak untuk duduk. "Tidak, kamu harus lihat ini!"Ayuni menghampiri Santi yang sedang menunjukkan ponsel padanya."Ada apa?" "Coba perhatikan video ini. Ini adalah rekaman CCTV tersembunyi, yang saudaraku pasang di depan rumahmu. Dua hari yang lalu kami menemukan bangkai ayam itu lagi kan?" tanya Santi.Ayuni menatap Santi sambil mengangguk. Dadanya berdebar kencang karena sebentar lagi akan tahu siapa yang telah membuat teror untuknya selama ini. "Lihat dan perhatikan baik-baik!" ujar Santi."Apa kita mengenal orang itu?" "Lihat saja!""
Ayuni terduduk lesu dengan tangan yang menelungkup wajahnya, betapa banyak kejutan-kejutan dalam hidupnya. Entah kini dia harus bahagia atau sedih. Namun satu yang harus Ayuni lakukan, yaitu bersyukur! Mensyukuri keselamatan Putri yang dicintainya dan juga mensyukuri apa yang ia lihat seseorang yang terekam di otaknya secara jelas itu kini nyata bukan lagi bayang-bayang selama beberapa berputar-putar di benaknya. Bergegas Ayuni bangkit. Bodoh! Mengapa dia malah duduk di sana? Dia berjalan dengan setengah berlari, menuju pintu yang akan dilalui orang tadi. Namun, tampaknya dia terlambat sepertinya perawat tadi terburu-buru membawa pasien yang berkursi roda. Masih dengan setengah berlari, Ayuni mencari-cari sosok itu, tapi dia benar-benar menghilang. Ayuni kalah cepat! Kembali Ayuni menuju ruangan putrinya, masih ada Fabian di sana sedang duduk di samping pembaringan Yasmin yang sudah terjaga menikmati sepotong kue di mulutnya. "Ibu, dari mana saja?" ta
Suara sirine ambulans merebak ke seisi desa yang damai. Dalam ambulans itu Yasmin terbaring dengan perban di kepalanya. Dan di samping Yasmin terbaring, duduk Ayuni dengan isak tangis yang tiada henti sejak satu jam yang lalu.Ambulans itu akan menuju rumah sakit besar, setelah sebelumnya Yasmin mendapat pertolongan pertama di klinik desa. Ayuni tidak sendiri duduk di samping Yasmin, dia ditemani dokter baru di klinik yang memaksa ikut bersama mereka."Ayuni, tenanglah! Dia pasti akan selamat." ucap Fabian, menenangkan Ayuni yang masih terisak.Ayuni menggenggam tangan kecil putrinya, yang belum sadarkan diri sejak peristiwa tadi. Dan itu semakin membuat Ayuni khawatir. Dia tidak ingin kehilangan putri tercintanya, hanya Yasmin yang membuat Ayuni tegar dalam menjalani hidup selama ini.Setelah dua jam perjalanan mereka tiba di sebuah rumah sakit besar terdekat dari desa. Para medis langsung mengambil tindakan pada Yasmin, gadis kecil itu menga
Ayuni melihat ke arah orang itu sekilas, lalu kembali melanjutkan tujuannya membeli ayam goreng untuk Yasmin. Dia naik ke atas motor dan merogoh kunci motor di saku bajunya.Orang itu malah menghampiri Ayuni dan berdiri di depan motornya."Bisakah kita bicara sebentar?" tanya orang itu, dokter baru di klinik yang menggantikan Jodi."Aku harus pergi, bisakah kamu pergi dari hadapanku saja! Bertingkahlah seolah kita tidak pernah saling mengenal!" ketus Ayuni."Ada banyak yang ingin aku bicarakan padamu. Kita harus bicara!""Fabian, tidak ada yang harus dibicarakan. Tolong minggir! Aku tidak ingin membuat anakku menunggu terlalu lama," tekan Ayuni. Dia mencoba memundurkan motor untuk menghindari laki-laki yang bernama Fabian itu."Aku sangat merindukanmu, Ayuni!" cetus Fabian.Tidak peduli dengan yang diucapkan Fabian, Ayuni melajukan motornya meninggalkan Fabian sendiri."Rindu dia bilang? Hah ...," cibir Ayuni, saat di per
"Hallo apa kabar Ayuni? Kau pasti tidak lupa denganku 'kan?" ucap dokter itu seraya tersenyum.Ayuni tidak menajwab, ia tampak memalingkan wajahnya. Ayuni terlihat tidak senang sekaligus tidak nyaman, Santi pun menyadari itu dengan mengerutkan kedua alisnya.'Apa mereka saling mengenal?' batin Santi.Dokter itu kemudian mengecek suhu tubuh Ayuni dan memeriksa infusan yang tergantung di sampingnya."Dia sudah bia pulang sore ini 'kan Dok?" tanya Santi."Iya dia bisa pulang sore ini juga, karena tidak ada yang serius. Hanya saja dia harus menjaga pola makannya dengan baik," jawab dokter itu."Syukurlah kalau begitu. Ayuni kau dengar itu, memang berat kehilangan seseorang tapi kau juga harus ingat dengan kesehatanmu." ucap Santi.Ayuni masih terdiam."Pasti orang itu seseorang yang sangat berharga," cetus dokter yang memeriksa Ayuni."Dia baru saja kehilangan Ayah dan kekasihnya dalam waktuyang hampir bersamaan," sahut Sant
"Ibuu ... aku pulaang!" seru Yasmin saat tiba di rumahnya sepulang skolah. Dia melihat ke sekelilingnya yang nampak sepi, ketika masuk pun tidak tampak ibu dan neneknya di ruang tengah. "Bu, Nenek," panggilnya. Dia menengok ke kamar ibunya, ia merasa lega ketika ibunya itu sedang terbaring di tempat tidur dengan terlelep. Karena terlihat begitu pulas, gadis kecil itu mengurungkan niatnya untuk membangunkan Ayuni. Yasmin pun mencari Bu Ratih setelah mengetahui neneknya itu tidak ada di kamarnya. Dia mencoba mencari ke belakang rumah, siapa tahu neneknya itu sedang menyiram tanaman-tanaman di sana. Namun, dia tidak menemukan neneknya itu. "Haah ... pasti nenek kabur dan kelayapan lagi," ucap Yasmin, dengan menghela napas. Itu memang sering terjadi, akan tetapi dia selalu pulang dengan diantarkan oleh para tetangga yang mengetahui jika Bu Ratih mempunyai alzheimer dan memang sudah tua. Yasmin memutuskan membangunkan Ayuni untuk mencar
Bramantyo meninggal! Inikah maksud dari ucapannya yang mengatakan tidak akan menggangu Ayuni lagi? Ayuni benar-benar lemas, harus seperti ini jalan takdir yang dilaluinya. Baru saja dia menerima kenyataan pahit, kabar buruk lain sudah datang menghampiri. "Pak Bram," lirih Ayuni. Dia bahkan belum sempat memanggilnya ayah atau papa, tapi laki-laki itu sudah pergi meninggalkannya. Bu Ratih yang mendengar itu tampak heran, Penyakit alzheimer yang dideritanya membuat dia sedang tidak mengingat Bram. Tania lalu membuka tasnya dan menyerahkan surat yang ditulis oleh Bram, sebelum dia meninggal. "Ini surat yang dia tulis untukmu," ucap Tania. Ayuni menerima surat itu dan memandang dengan sendu surat yang beramplop putih itu. "Aku baru tiga kali saja bertemu dengannya, saat terakhir kali bertemu sebenarnya begitu banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Mengapa dia datang jika akhirnya harus pergi lagi?" li