Damian: Kau bersenang-senang dengan pria itu?
Selena langsung menyemburkan air putih yang dia minum setelah dia bangun. Untungnya dia menyemburkannya tepat di wastafel, karena dia minum sambil berdiri di dekat wastafel.Selena terbatuk dan hendak membalas pesan yang tiba-tiba sekali dikirimkan Damian itu. Belum sempat Selena mengetik, Damian sudah meneleponnya dan membuatnya segera mengangkat telepon itu. Dia tak menyangka Damian langsung meneleponnya begitu dia membaca pesan itu.“Hal—”“Jelaskan padaku, semuanya. Apa-apaan pria itu menyentuh bahumu seperti itu? Kau dekat dengannya? Jangan membuatku menunggu, Selena! Aku butuh penjelasan!”“Tidak bisakah kau sabar sebentar? Kau terus bicara hingga menghentikan aku untuk bicara. Begini, aku juga tidak tahu kenapa dia melakukan itu. Aku dan dia jarang bicara, kami hanya kebetulan berpapasan beberapa kali di hotel. Aku dan dia berkenalan saat hari kunjungan pertamaku ke hotel. Kata L“Barang itu jumlahnya kan, sekitar 200 gram. Berapa harga semuanya jika ditotalkan?” Selena menatapi Axel yang saat ini tengah makan bersamanya di rumah. Axel yang tengah menyantap makan siangnya itu menatap Selena dengan memikirkan beberapa hal.“Saat ini harganya sekitar 200 dollar untuk setiap gramnya. Kemungkinan besar itu sekitar 40.000 dollar? Ya, sekitar itu. Jika harga per gramnya lebih, maka yang kau rampas dari mereka lebih besar lagi. Itu juga jika aku tidak salah dalam mengenali jenis narkoba yang diamankan itu.” Axel menganggukkan kepalanya, menjelaskan semua yang dia tahu tentang narkoba tersebut. “Oh, gila. Aku benar-benar berurusan dengan orang-orang kaya sekarang,” umpat Selena. Selena terlihat kagum sekaligus bangga, namun di sisi lain dia jelas sedikit ngeri. Kengerian karena berurusan atau ikut campur dengan orang-orang yang berbahaya seperti pengedar narkoba. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, namun
Damian mengerutkan dahinya ketika polisi itu memasuki ruangannya dengan semringah dan melihat ke sekitar ruangan. Dia menghela nafasnya sambil menatap Damian, seringai di wajahnya terlihat begitu menyenangkan. Itu membuat Damian mendengus, mengetahui apa keinginannya. “Kau pasti orangnya. Kau yang memiliki barang ini, kan?” Pria itu langsung melemparkan sebuah kotak yang berisikan narkoba seberat 200 gram itu ke meja. Dengan alis terangkat, Damian memandangi pria itu. Dia tidak berencana mengatakan apa pun sampai polisi itu yang membuka mulutnya lebih dulu. Dia tidak tertarik membuka informasi. “Ayolah, kau seharusnya senang. Aku hanya akan meminta setengah dari harga keseluruhan semuanya. Kau bisa memiliki setengahnya lagi. Bukankah itu cukup adil?” Polisi itu duduk dengan tenang. Sementara Damian tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya. Damian tidak berniat bekerja sama atau membuat kesepakatan dengan polisi. “Sayang sekali
Axel tengah berada di sebuah minimarket untuk membeli camilan dan makan siangnya. Dia mengambil beberapa makanan dan membawanya kembali ke tempat pembayaran. Axel mengeluarkan uangnya, dan membayar semua yang dia bawa ke sana. Baru saja keluar dari minimarket dengan keresek belanjanya, Axel dikagetkan dengan kehadiran Arsella yang ada di depan minimarket tersebut. Arsella menatapnya dengan tatapan putus asa. Dia menatap ke arah Axel dengan matanya yang berkaca-kaca dan membuat Axel meneguk ludahnya, tak yakin dengan apa yang harus dia lakukan pada Arsella saat bertemu lagi dengannya. Namun, Axel meyakinkan dirinya kalau yang membunuh ibunya bukanlah Arsella melainkan Alice. Itu membuatnya mau bicara dengan Arsella yang entah bagaimana bisa dia menemukannya. Axel membiarkan Arsella duduk di depannya, mereka duduk di halaman depan minimarket itu. Axel memberikannya makanan yang dia beli. Dia membeli banyak, dan jika dia merasa kurang, tinggal membelinya l
“Maaf, kau bilang? Kau mengatakannya hanya sekedar untuk membuat perasaan yang mengganjal hatimu lega. Benar, kan? Aku tidak akan memaafkanmu semudah itu.” Axel menatap tajam, penuh kebencian terhadap Arsella yang sekarang hanya bisa tertunduk dalam tangisannya. Dia sama sekali tidak merasa tersentuh. Dan justru ingin melihat pemandangan ini lebih lama. Isak tangis Arsella sepertinya adalah hal yang ingin dia dengar. “Aku tidak bermaksud seperti itu... Aku hanya berpikir jika aku ternyata salah. Orang tuaku salah. Aku mendapatkan didikan yang salah dari mereka. Dan aku menyadari kesalahanku itu. Maka dari itu, yang bisa aku lakukan hanya meminta maaf kepadamu.” Arsella masih terisak. Dia menghapus air matanya beberapa kali. Suaranya terdengar sesak dan serak, dia bukan menangis untuk mendapatkan perhatian. Jelas-jelas dia menyesalinya. “Sesali saja semuanya sesukamu. Bawa itu semua hingga akhir hidupmu!” Axel bangkit dari duduknya, dia dengan
“Aku tidak ingin tahu apa pun tentang mereka. Namun, jika memang aku harus melakukan sesuatu di masa depan, maka aku akan melakukannya.” Selena menatap Kakek dan Nenek tegas. Kakek dan Nenek tersenyum melihat keteguhan dalam diri Selena. Hati gadis itu sakit, tapi dia masih memikirkan gadis kecil yang merupakan adik tirinya yang polos nan lugu itu. Sementara Axel kelihatannya tidak bisa membiarkannya begitu saja. Selena mungkin bisa memaafkannya karena kemurnian dan kepolosannya untuk saat ini. Atau, mungkin karena Selena belum menyadari jika dia mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Berbeda dengan Axel yang sangat amat menyadari kekuatan yang dia miliki. Dia akan melakukan apa saja yang dia mau jika dia bisa. Sayangnya, dia ingat bahwa batasan yang dia miliki adalah nama keluarga Gallent. Dia membawa nama Gallent. Itu adalah batasan yang harus dia ingat. *** Setelah makan malam, Selena sudah segar deng
“Kau tidak berusaha menghiburku sama sekali, ya? Kenapa kau malah jadi menyudutkanku?” Axel menatap Selena tak percaya. Namun, dia memikirkan kembali apa yang Selena katakan ada benarnya. Arsella sudah berusaha menjadi lebih baik, namun entah kenapa dia bersikap seperti itu. “Aku bukannya menyudutkanmu. Tapi ingat yang kau katakan padaku tentang sudut pandang? Ayolah, coba kau rasakan sendiri jika menjadi Arsella dengan lingkungannya?” “Iya, iya, aku mengerti. Aku sudah berusaha membayangkannya. Hanya saja, itu tetap saja menyebalkan. Dia kan, bukan anak kecil lagi, seharusnya dia tahu mana yang benar yang salah.” “Memangnya dia salah? Yang salah bukankah ibunya?” Axel terdiam dan menatapi Selena. Dendamnya pada Arsella tak beralasan. Dendamnya seharusnya pada Alice, bukan putrinya. Dia menatap Selena sambil menghela nafasnya cukup panjang. “Baiklah, ternyata aku memang dendam tanpa alasa
“Tapi jangan beritahu Selena apa pun tentang ini. Aku telah membohonginya dan kuharap kau menutup mulutmu.” Damian mendengus. Dia harus bekerja sama dengan Axel sekarang, mengingat Kevin dengan Hendry yang mulai saling terhubung dan menjalin interaksi yang baik, maka yang harus dia lakukan adalah menjalin interaksi yang baik juga dengan Axel. Bukan tanpa sebab, benar adanya jika Sagaras melakukan pekerjaan kotor. Itu sudah menjadi rahasia umum. Dan Gallent adalah keluarga yang asetnya termasuk bersih. Semuanya berasal dari hotel dan usaha lain yang mereka dirikan. Sementara Sagaras kebanyakan usaha yang dilakukan merupakan perusahaan cangkang yang mencuci uang kotor yang mereka terima. “Sebenarnya, aku mengatakan dugaanku pada Selena.” Rahang Damian mengeras mendengar pengakuan Axel yang tiba-tiba itu. Dia mendecak kesal. “Apa yang kau katakan padanya?” “Tidak banyak, hanya dugaanku semata
Selena tengah menyapa Naratetama yang mendatangi hotel. Dia menyambutnya secara khusus sebagai cucu keluarga Gallent. Dan mereka cukup senang diperlakukan sebaik itu oleh Selena. “Oh, kami tidak tahu keluarga Gallent punya cucu yang cantik dan manis,” puji seorang wanita paruh baya yang sekarang tengah tersenyum menatapi Selena. Selena tentu tersipu malu mendapatkan pujian seperti itu apa lagi dari sesama wanita. Selena menutup mulutnya dan melirik asisten manajer yang menemaninya karena salah tingkah. Wanita itu sangat memaklumi bagaimana Selena bereaksi terhadap pujian seperti itu. “Terima kasih. Aku juga sangat senang bisa menyambut Anda sekalian di hotel kami.” Selena kembali ke dalam mode profesionalnya dengan cepat. “Apakah kau sudah punya pacar? Kebetulan sekali, aku punya seorang putra. Jika kau pernah mendengar namanya, namanya adalah Jevin.” Wanita itu menatapi Selena dengan penuh harap. “Oh, maafkan aku. Tetapi a