“Maaf, kau bilang? Kau mengatakannya hanya sekedar untuk membuat perasaan yang mengganjal hatimu lega. Benar, kan? Aku tidak akan memaafkanmu semudah itu.”
Axel menatap tajam, penuh kebencian terhadap Arsella yang sekarang hanya bisa tertunduk dalam tangisannya. Dia sama sekali tidak merasa tersentuh. Dan justru ingin melihat pemandangan ini lebih lama. Isak tangis Arsella sepertinya adalah hal yang ingin dia dengar.“Aku tidak bermaksud seperti itu... Aku hanya berpikir jika aku ternyata salah. Orang tuaku salah. Aku mendapatkan didikan yang salah dari mereka. Dan aku menyadari kesalahanku itu. Maka dari itu, yang bisa aku lakukan hanya meminta maaf kepadamu.”Arsella masih terisak. Dia menghapus air matanya beberapa kali. Suaranya terdengar sesak dan serak, dia bukan menangis untuk mendapatkan perhatian. Jelas-jelas dia menyesalinya.“Sesali saja semuanya sesukamu. Bawa itu semua hingga akhir hidupmu!” Axel bangkit dari duduknya, dia dengan“Aku tidak ingin tahu apa pun tentang mereka. Namun, jika memang aku harus melakukan sesuatu di masa depan, maka aku akan melakukannya.” Selena menatap Kakek dan Nenek tegas. Kakek dan Nenek tersenyum melihat keteguhan dalam diri Selena. Hati gadis itu sakit, tapi dia masih memikirkan gadis kecil yang merupakan adik tirinya yang polos nan lugu itu. Sementara Axel kelihatannya tidak bisa membiarkannya begitu saja. Selena mungkin bisa memaafkannya karena kemurnian dan kepolosannya untuk saat ini. Atau, mungkin karena Selena belum menyadari jika dia mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Berbeda dengan Axel yang sangat amat menyadari kekuatan yang dia miliki. Dia akan melakukan apa saja yang dia mau jika dia bisa. Sayangnya, dia ingat bahwa batasan yang dia miliki adalah nama keluarga Gallent. Dia membawa nama Gallent. Itu adalah batasan yang harus dia ingat. *** Setelah makan malam, Selena sudah segar deng
“Kau tidak berusaha menghiburku sama sekali, ya? Kenapa kau malah jadi menyudutkanku?” Axel menatap Selena tak percaya. Namun, dia memikirkan kembali apa yang Selena katakan ada benarnya. Arsella sudah berusaha menjadi lebih baik, namun entah kenapa dia bersikap seperti itu. “Aku bukannya menyudutkanmu. Tapi ingat yang kau katakan padaku tentang sudut pandang? Ayolah, coba kau rasakan sendiri jika menjadi Arsella dengan lingkungannya?” “Iya, iya, aku mengerti. Aku sudah berusaha membayangkannya. Hanya saja, itu tetap saja menyebalkan. Dia kan, bukan anak kecil lagi, seharusnya dia tahu mana yang benar yang salah.” “Memangnya dia salah? Yang salah bukankah ibunya?” Axel terdiam dan menatapi Selena. Dendamnya pada Arsella tak beralasan. Dendamnya seharusnya pada Alice, bukan putrinya. Dia menatap Selena sambil menghela nafasnya cukup panjang. “Baiklah, ternyata aku memang dendam tanpa alasa
“Tapi jangan beritahu Selena apa pun tentang ini. Aku telah membohonginya dan kuharap kau menutup mulutmu.” Damian mendengus. Dia harus bekerja sama dengan Axel sekarang, mengingat Kevin dengan Hendry yang mulai saling terhubung dan menjalin interaksi yang baik, maka yang harus dia lakukan adalah menjalin interaksi yang baik juga dengan Axel. Bukan tanpa sebab, benar adanya jika Sagaras melakukan pekerjaan kotor. Itu sudah menjadi rahasia umum. Dan Gallent adalah keluarga yang asetnya termasuk bersih. Semuanya berasal dari hotel dan usaha lain yang mereka dirikan. Sementara Sagaras kebanyakan usaha yang dilakukan merupakan perusahaan cangkang yang mencuci uang kotor yang mereka terima. “Sebenarnya, aku mengatakan dugaanku pada Selena.” Rahang Damian mengeras mendengar pengakuan Axel yang tiba-tiba itu. Dia mendecak kesal. “Apa yang kau katakan padanya?” “Tidak banyak, hanya dugaanku semata
Selena tengah menyapa Naratetama yang mendatangi hotel. Dia menyambutnya secara khusus sebagai cucu keluarga Gallent. Dan mereka cukup senang diperlakukan sebaik itu oleh Selena. “Oh, kami tidak tahu keluarga Gallent punya cucu yang cantik dan manis,” puji seorang wanita paruh baya yang sekarang tengah tersenyum menatapi Selena. Selena tentu tersipu malu mendapatkan pujian seperti itu apa lagi dari sesama wanita. Selena menutup mulutnya dan melirik asisten manajer yang menemaninya karena salah tingkah. Wanita itu sangat memaklumi bagaimana Selena bereaksi terhadap pujian seperti itu. “Terima kasih. Aku juga sangat senang bisa menyambut Anda sekalian di hotel kami.” Selena kembali ke dalam mode profesionalnya dengan cepat. “Apakah kau sudah punya pacar? Kebetulan sekali, aku punya seorang putra. Jika kau pernah mendengar namanya, namanya adalah Jevin.” Wanita itu menatapi Selena dengan penuh harap. “Oh, maafkan aku. Tetapi a
“Oh, Nona! Apa yang terjadi di sini?!” Ricko memekik dan segera membantu Selena berdiri. Ricko dengan sengaja sedikit menyingkirkan orang-orang yang berusaha menyentuh Selena itu. Ricko segera membantu Selena berdiri dan menatapi orang yang ditatap Selena dengan penuh kewaspadaan, yang membuat Ricko sadar pria itu adalah orang yang menyerangnya. “Nona, kau baik-baik saja? Dia menyerangmu?” Ricko menatapnya dengan cemas. “Iya, dia tiba-tiba mendekatiku dan menyentuhku. Aku menepisnya dengan kasar karena dia menyentuhku tanpa izin. Namun, dia tidak terima dan malah menarik rambutku,” jawab Selena. Ricko membantu Selena berdiri dan menuntunnya untuk duduk di salah satu kursi. Pria yang menyerang Selena barusan mendekati Ricko dengan sempoyongan. Selena bisa melihat raut wajah Ricko yang biasanya hangat dan murah senyum berubah menjadi gusar dan begitu marah. Ricko berbalik, membelakangi Selena dan menghantam wajah pria yang menyerangnya
Damian menarik tangan Selena, menuju ke lift. Dia tidak melepaskannya meski Selena sudah memintanya. Selena menggerutu di belakangnya, dengan bibirnya yang ditekuk. “Lepaskan aku! Aku mau pulang! Aku tidak akan menginap di sini, aku belum bilang pada kakek dan nenek. Nanti mereka mencariku,” cicit Selena sambil menatapi punggung Damian. “Oh, ayolah. Kau bukan gadis kecil lagi yang akan dicari begitu kau tidak pulang pada waktunya.” Damian membawa Selena memasuki lift dan Selena sempat menahan dirinya di pintu lift, memegangi dinding di sekitarnya. Itu membuat Damian mendesah sambil memutar matanya. Sedetik kemudian, Damian membuat tangan Selena berada di atas kepalanya dan Selena dijepit ke dinding dalam lift. Damian menyeringai melihat ekspresi wajah Selena yang terlihat kaget. Pria itu menekan salah satu tombol angka dan membuat mereka menuju ke lantai yang dituju. Damian tersenyum sambil terus menahan Selena di tangannya, tangan k
Tangan Selena meremas kemeja Damian begitu Damian menahan kepalanya untuk terus berada dalam posisi yang sama. Selena tak memberontak sama sekali, dia menikmatinya sebagaimana Damian menikmatinya juga. Keduanya larut dalam bertautan lidah. Sesekali mata mereka terbuka, bergantian hanya untuk saling menatap wajah satu sama lain. Dan begitu mata mereka akhirnya bertemu di detik yang sama, perlahan mereka saling menarik diri. Nafas mereka memendek untuk sesaat. Rambut Selena berantakan lagi akibat tangan Damian. “Aku merindukanmu,” bisik Damian sambil menatapi Selena dan mengusap rambutnya. “Kupikir aku juga merindukanmu. Aku awalnya tak merasakan apa pun. Tapi aku sangat senang bertemu denganmu.” Selena tersenyum mengakuinya. “Baiklah, sekarang waktunya aku mendapatkanmu. Aku belum menyentuhmu dalam waktu yang lama. Itu sangat menyiksaku,” goda Damian sambil melepaskan kancing kemejanya. Tangan Damian yang satunya tetap mendekap Selena
“Sebenarnya, aku tidak tahu berbedaan kau bercanda atau serius. Kadang semua yang kau lakukan seperti bercanda tapi kau serius. Kadang juga kau seperti serius padahal tengah bercanda. Aku benar-benar tidak bisa membedakannya,” jawab Selena. Damian membuka lutut Selena, dia berada di antara kedua kaki Selena. Damian membuka pengamannya di depan Selena dan menatapi Selena yang kelihatannya meragukan dirinya. “Apa kau tengah meragukanku?” Damian menghentikan gerakannya dan menatapi Selena. Selena meneguk ludahnya, memperhatikan pria yang duduk di antara kakinya itu. Selena menghela nafasnya panjang, hingga perutnya gemetar dan Damian bisa melihat itu. “Aku bukannya meragukanmu, aku hanya...” Damian segera bangkit dan kembali ke tasnya. Entah apa yang dia lakukan kali ini. Selena menoleh ke arah Damian lagi, memperhatikan apa yang dilakukan Damian dari tempatnya berbaring. Damian kembali lagi ke tempatnya, duduk di antara kaki
Selena sedang menyiapkan makan malam untuk Damian malam itu. Menggunakan gaun yang menonjolkan perut hamilnya, Selena juga bertelanjang kaki di dapur. Ini sebenarnya pemandangan yang biasa. Namun, Damian merasa ngeri jika melihat Selena aktif melakukan kegiatan.“Kau tahu, bayinya seperti bisa lahir kapan saja dan sialnya itu sangat menggangguku. Bisakah kau diam dan istirahat saja?” tanyanya dengan khawatir. “Aku bosan. Aku sudah terlalu sering memanjakan diriku. Aku ingin tetap produktif. Aku merasa lebih lelah saat aku justru tidak produktif. Pikiran untuk produktif sangat menggangguku.” Damian menghela nafasnya dan mengurut pelan keningnya. Dia benar-benar tidak bisa menghentikan Selena jika memang itu yang Selena inginkan. “Kau ini...”“Mungkin karena ini anakmu, dia menginginkan aku lebih produktif seperti ayahnya. Dia membuatku resah jika diam. Makanya belakangan ini aku jadi sering memasak di dapur dan juga melakukan banyak kegiatan lainnya. Aku yakin anak ini akan jadi ana
“Sebaiknya tidak dihisap, mengerti? Karena itu akan mengundang kontraksi dini. Kau tidak mau itu terjadi, kan?” Dokter langsung menatap Selena, yang menjelaskan tentang air yang berasal dari dadanya. Dokter memperingatkan suaminya agar tidak menghisapnya. Namun, sepertinya itu telah terjadi. Melihat Damian sama sekali tidak menyangkal dan justru hanya diam dengan ekspresi kakunya. Lain dengan Selena yang langsung menyengir mendengar apa yang dikatakan dokter.“Baik, Dokter.” “Kau boleh berbaring di brankar, kita akan memeriksa kondisi bayinya sekarang.” Selena berbaring di brankar dan menatapi layar yang berada tepat di depannya. Dia memperhatikan layar saat dokter mulai menaruh gel dan mengusapkannya di sekitar perutnya, menimbulkan sensasi geli dan dingin yang membuat Selena sempat bergidik sejenak. Terlihat bagaimana bayinya saat ini tengah meringkuk. Dengan USG 3D yang mereka lakukan, mereka sekarang bisa melihat dengan
Selena menatapi perutnya yang semakin besar. Selain perutnya, dia bisa merasakan lengan dan kakinya semakin berisi. Belakangan ini dia memang lebih banyak makan. Selain berusaha memasok nutrisi terbaik untuk calon bayi, keinginan kuat untuk memakan makanan tertentu juga mendorongnya untuk banyak makan. Ditatapnya tubuhnya di cermin. Pipinya yang semakin tembam juga membuatnya semakin cemberut. Dia tidak ingin menyentuh timbangan kecuali diperlukan dan diminta dokter. “Perutku juga gatal,” keluhnya sambil mengusap perutnya dari balik gaun yang dia pakai. Selena belakangan ini juga lebih sering menggunakan gaun yang memang dikhususkan untuk wanita hamil, yang membuatnya merasa sedikit lebih bebas bergerak dan bahannya juga sangat nyaman. Damian yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja akhirnya kembali ke kamar. Dia menatapi pintu kamar yang terbuka, dan melihat Selena yang tengah bercermin di kamarnya. Damian tersenyum saat menge
Sesuai urutan pernikahan dan kehamilan, setelah Arsella, maka Grace yang melahirkan putri pertama mereka juga. Ini membuat Damian tengah menebak-nebak apa gender anak pertamanya bersama dengan Selena. Hingga mereka sempat membuat taruhan juga. “Jika sekarang tengah banyak anak perempuan yang lahir, maka aku yakin anak pertama kita juga perempuan. Baguslah, aku tinggal berdiskusi dengan mereka tentang bagaimana cara membesarkan anak perempuan. Aku yakin dia akan menjadi secantik dirimu,” ucap Damian. “Tapi dari bagaimana aku mengidam, aku jarang mau makanan pedas. Aku lebih tertarik dengan makanan asin, kelihatannya ini anak laki-laki. Mengingat keturunanmu juga sepertinya dominan laki-laki. Kita tidak tahu riwayat keluarga Axel, tapi Luca punya dua saudara perempuan,” jelas Selena. Damian mendesis pelan. Selena benar tentang riwayat keluarga dari pihak laki-laki juga akan mempengaruhi hasil ini.“Ingat pamanmu? Padahal Gallent mempunyai dua ana
Selena menoleh padanya dengan keheranan melihat semangat yang tiba-tiba pada Damian. Damian menutup pintu di belakangnya dan menatap Selena sambil bersandar ke pintu dan menyilangkan tangannya di depan dadanya. Selena keheranan dengan tingkah laku Damian belakangan ini. “Oh, ya... Itu bagus. Kau bisa mengikutinya kalau itu yang kau mau.” Selena mengangguk setuju. Damian menghela nafasnya dan mendekati Selena. Entah kenapa ini malah terasa seperti dia meminta izin Selena dan Selena mengizinkannya dengan mudah. Damian mendekat dan mendekap Selena dari belakang, membuat Selena hanya memegangi lengan Damian yang ada di lehernya. “Aku penasaran ada apa denganmu sebenarnya. Kenapa kau mendadak seperti ini?” tanya Selena. “Aku hanya merasa sepertinya kau akan suka jika aku bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Axel. Kau sepertinya sangat bangga dan terharu melihat bagaimana Axel mampu melakukan hal kecil seperti itu,” ucap Damian.
Damian mengobrol dengan Axel serta yang lainnya di ruang tamu. Awalnya, mereka membahas tentang bisnis, namun perlahan obrolan mereka menuju ke arah yang lebih pribadi seperti rumah tangga mereka. Mereka membicarakan tentang istri dan anak-anak mereka bagi yang sudah punya anak. Ini sedikit asyik saat mendengarkan para ayah bicara tentang anak-anak. “Aku sempat berharap aku menikah di usia yang lebih muda lagi. Aku merasa sangat tua dalam pertemuan orang tua anak-anak di sekolah.” Salah satunya terkekeh. “Aku justru sempat berharap agar aku tidak menikah terlalu cepat. Anak laki-lakiku benar-benar sangat nakal. Dia benar-benar mirip aku sewaktu kecil. Dan istriku tidak bisa mengatasinya.”“Ah, ayolah. Dia itu putramu, kau yang seharusnya bisa mengatasinya.”“Aku belum selesai bicara. Aku memang sangat berusaha keras mengatasinya. Aku melakukan berbagai cara, dari yang lembut sampai yang kasar. Sampai dia pernah berteriak kalau aku ayah yang buru
“Jadi, bagaimana rasanya morning sickness? Apakah kau masih berharap kita akan punya banyak anak?” Selena tertawa sambil menatapi Damian yang terbaring di kasurnya itu. Damian hanya memalingkan wajahnya sambil mendengus keras. Kelihatannya dia sangat tersiksa untuk mengalami ini. Dia kemudian hanya tersenyum tipis ke arah Selena yang merawatnya. “Aku rasa dia akan menjadi anak tunggal sepertiku,” balas Damian sambil terkekeh pelan. “Aku juga anak tunggal.” Selena seketika tertawa namun terdiam dengan cepat.Sekarang Damian yang tertawa pelan melihat ekspresi Selena langsung berubah saat menyadari tentang Axel yang adalah kakaknya. Dia bukan anak tunggal dan semua orang tahu itu. “Aku ingin memakan sesuatu yang asin dan pedas,” gumam Selena tiba-tiba. “Apa kau mengidam? Ah, sial. Sepertinya aku tidak bisa memenuhi keinginanmu,” umpat Damian. “Kita bisa menggunakan layanan pesan antar, jadi kau tidak perlu pergi kelu
“Aku benar-benar tidak sabar melihatnya tumbuh besar di perutmu, lalu kita akan melihatnya dengan mata kepala kita sendiri bagaimana dia tumbuh di luar perutmu. Aku sangat menantikannya,” bisik Damian. Selena hanya terkekeh pelan dan bersandar dengan santai ke dada Damian. Damian menikmati rambut Selena yang menggelitik dadanya. Tangannya masih terus mengusap kulit halus Selena. Damian berdeham, dia merasakan sedikit rasa tidak nyaman di tenggorokannya dan juga perutnya. Kemudian, Damian menegakkan punggung Selena agar tidak bersandar lagi padanya dengan halus. Selena mengerutkan alisnya sambil menoleh ke arah Damian yang sekarang bangkit dari tempat duduknya. Itu membuat Selena keheranan saat Damian sudah keluar dari bak lebih dulu. Namun, Damian malah mengejutkan Selena dengan tiba-tiba muntah di wastafel. Selena langsung bangkit juga dan hendak menghampiri Damian. Selena mengambil jubah mandinya memakainya, lalu mengambilkan punya Damian juga. Itu sa
Damian langsung menatap Selena saat menyadari Selena menatapnya. Dia sedikit gelagapan karena terlalu fokus pada gambar bayi mereka. Damian seharusnya lebih memperhatikan sekarang. “Oh, ya. Biji wijen yang lucu,” ucapnya seadanya. Selena dan dokter tertawa. Damian mengerutkan alisnya, tak tahu apa yang lucu dari ucapannya. Meski begitu, dia kemudian hanya menatap keduanya keheranan saja. Setelah mengobrol dan berkonsultasi, mengajukan banyak pertanyaan dan dokter menjawabnya dengan sabar, Selena dan Damian akhirnya keluar dari ruangan itu. Rumah sakit seharusnya menjadi tempat yang sangat aman dari berbagai kejadian berbahaya sebelumnya. Tapi, tanpa Selena sadari, anak buah Damian sudah berjaga-jaga di luar rumah sakit. Mereka semua sudah seperti mengawal presiden yang melakukan kunjungan ke sebuah rumah sakit. Setelah dari rumah sakit, Damian membawa Selena pulang dan menyuruhnya istirahat saat dia sendiri harus melakukan pekerjaann