Benar saja, begitu Aura pergi, Ghea langsung tidak sabar keluar dari balik tiang tempatnya bersembunyi. Saat melihatnya, wajah Daffa sempat menegang dan muncul sedikit kepanikan. Dia buru-buru melirik ke arah yang tadi dituju Aura.Untungnya Aura bersembunyi cukup cepat. Daffa tidak melihatnya dan langsung menghela napas lega. Namun, saat kembali menatap Ghea, sorot matanya sudah berubah tak sabar."Untuk apa kamu ke sini?"Mata Ghea langsung memerah. "Kak Daffa, kamu ... kamu benaran mau tunangan sama Kak Aura?"Daffa mendengus tak sabar dan menggumam. "Tentu saja aku akan menikah sama Aura.""Terus aku gimana?" tanya Ghea dengan mata memerah. "Apa artinya aku di matamu?"Menghadapi pertanyaan Ghea, Daffa hanya menunjukkan kekesalan. "Waktu itu kamu sendiri yang mendekatkan diri. Ghea, kita cuma main-main. Sudah selesai ya sudah.""Apa maksudnya kamu ngotot begini?"Ghea tidak menyangka Daffa akan bicara sekejam itu. Dia menatap pria itu dengan luka yang jelas tergambar di wajahnya. "
Anrez mengambil sebuah kunci mobil dari atas meja kopi dan menyerahkannya pada Aura."Ini mobil baru yang Ayah belikan buat kamu hari ini. Waktu itu kamu marah, Ayah ngerti kok.""Mobil kamu yang sekarang juga sudah dipakai beberapa tahun. Memang sudah waktunya ganti. Lagi pula, kamu sudah setuju tunangan sama Daffa, jadi anggap saja ini hadiah dari Ayah."Aura menatap kunci mobil di tangan ayahnya dengan ekspresi seolah sedang berpikir keras.Wah, ternyata Porsche Panamera. Sedikit lebih mewah daripada mobil milik Ghea, meski selisih harganya juga tidak terlalu jauh.Anrez memang ahlinya bersikap pura-pura adil.Namun, Aura bertanya-tanya, apakah mobil itu dibelikan karena ayahnya merasa mobil lamanya terlalu kecil dan memalukan, atau karena takut keluarga Daffa akan menilai dia tidak memperlakukan anak perempuannya dengan pantas?Yah, sebenarnya tidak penting juga.Aura tersenyum, lalu menggandeng lengan Anrez sambil menggoyangkannya manja. "Makasih, Ayah. Aku tahu Ayah paling sayang
"Ayah, karena Bi Sera sudah ngomong begini, aku jadi pengen dengar apa yang terjadi sama rumah itu." Aura bangkit berdiri. Tubuhnya yang ramping, berdiri tegak di hadapan Anrez.Anrez terdiam sejenak, lalu tiba-tiba mendongak menatap Aura. "Aura, kamu ini masih anggap aku ayahmu atau nggak?"Aura kebingungan.Oke! Dilihat dari reaksi Anrez, dia sudah bisa menebak pasti ada yang aneh dengan rumah itu. Selain itu, kejanggalannya mungkin bukan masalah kecil.Aura tidak berbicara. Dia hanya menatap Anrez dengan intens, seolah-olah sedang menunggu jawaban darinya.Anrez mengulumm bibirnya dan berdiri sambil berkata, "Aku masih belum mati, kamu sudah ngincar semua barang-barangku? Nggak usah dibahas lagi soal rumah itu. Kalau sudah saatnya, aku akan menyerahkan rumah itu padamu."Mendengar hal itu, Serra melirik Anrez sekilas, lalu menarik lengannya. Anrez menepis tangan Serra, lalu beranjak ke lantai atas dengan kesal.Di ruang tamu itu hanya tersisa Aura dan Serra yang saling bertatapan. K
Aura nyaris lupa bahwa hari ini dia janjian dengan Jose jam delapan malam. Pria itu tipe yang mudah tersinggung. Waktu itu, cuma karena Aura mabuk saat nongkrong, dia langsung mengancam akan cabut dari proyek. Kalau kali ini dia telat lagi ....Aura menggigit bibir, lalu berkata, "Aku ada urusan sedikit. Harus langsung ke sana. Kamu turun di sini saja ya, aku buru-buru sekali."Melihat wajah Aura yang mulai panik, Lulu refleks bertanya, "Ada apa? Mau aku bantu?"Aura sempat bingung menjawab, lalu terbatuk kecil dan beralasan, "Nggak, cuma ada janjian ketemu orang saja."Janjian tidur, lebih tepatnya ....Lulu mengangguk mengerti. "Oke. Hati-hati ya."Aura langsung mengebut menuju hotel. Perjalanan itu hanya membutuhkan waktu 25 menit. Begitu sampai, dia melirik jam tangannya. Jarum menunjuk tepat pukul 19.55.Aura menghela napas panjang. Aman.Di depan pintu kamar hotel, Aura menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu.Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan memperlihatkan waj
Begitu mendekat, aroma dingin khas Jose langsung menyergap ke hidungnya.Aura bersandar di dada pria itu dengan manja. "Bagaimanapun, kita ini sudah tidur beberapa kali, Jose. Bisa nggak jangan lihat aku dengan tatapan horor seperti tadi, ya? Kamu nggak takut aku trauma?"Biasanya, Aura bukan orang yang bersikap seperti ini. Namun hari ini, dia sengaja melakukannya hanya untuk membuat Jose merasa tidak nyaman.Pada dasarnya, suara Aura memang lembut. Saat dia sengaja bermanja-manja seperti ini, biasanya tidak akan ada pria yang bisa menolaknya. Jose menundukkan kepala menatap Aura dengan sorot mata yang semakin dalam.Dia terkekeh pelan, lalu tiba-tiba melingkarkan lengannya ke pinggang Aura. Tangan satunya menahan pinggulnya dan mengangkat tubuh Aura hingga sejajar dengan dirinya.Aura terkejut. Sebelum dia sempat bereaksi, Jose telah menatapnya dengan senyuman licik. "Sepertinya kamu masih belum puas, ya."Usai bicara, Jose langsung menekannya ke dinding, lalu menciumnya dengan kuat
Di foto itu, keduanya tampak masih sangat muda. Cara mereka bersandar satu sama lain benar-benar seperti pasangan yang sedang mabuk cinta. Tanpa menunjukkan ekspresi apa pun, Aura menyimpan foto itu ke dalam map dengan tenang, lalu melangkah keluar dari kafe dengan sepatu hak tingginya seolah tak terjadi apa-apa.Siang itu, dia kembali disibukkan dengan pekerjaan. Padahal, niat awalnya ingin pulang lebih cepat dan beristirahat sejenak. Namun, baru saja bersiap-siap, Lulu masuk ke kantornya dengan wajah iseng."Ehem," katanya sambil mengusap hidung. "Bu Aura, ada yang mencarimu."Aura menoleh sambil merapikan tasnya. "Siapa?"Sebelum Lulu sempat menjawab, pintu kantor sudah dibuka dari luar. Daffa masuk dengan membawa seikat bunga segar. "Aura, aku datang menjemputmu pulang kerja."Aura tampak sedikit kesal. Dia meletakkan barang-barangnya dan menundukkan kepala untuk menenangkan diri sejenak, lalu baru mengangkat wajah dan tersenyum tipis, "Terima kasih."Sekarang belum saatnya bersika
Aura memicingkan mata menatapnya. "Aku capek. Mau pulang dan istirahat."Begitu selesai bicara, dia langsung berbalik hendak pergi. Namun, Daffa kembali menahan lengannya. Pria itu menundukkan kepala, lalu mendekat ke telinganya dan berbisik, "Aura, anggap saja hargai aku, ya? Lagian kamu sudah sampai sini.""Kamu nggak mau aku jadi bahan tertawaan teman-temanku, 'kan?"Aura mendadak teringat sebuah peristiwa. Saat itu, dia sedang dinas luar kota. Di tengah malam, Daffa menelepon dan mengaku sedang sakit serta merindukannya. Tanpa berpikir panjang, dia langsung menyetir dua jam pulang hanya untuk menemui Daffa.Lalu, apa yang dia temukan?Daffa sedang berpesta dengan segerombolan teman laki-lakinya yang menyebalkan. Waktu itu, Daffa bilang apa?"Oh, aku cuma mau tunjukkan ke mereka seberapa besarnya pacarku mencintaiku."Sekarang jika dipikirkan kembali, Daffa bukan sedang menguji perasaan cinta Aura. Dia hanya ingin tahu sejauh mana Aura bisa merendah demi dirinya. Dan malam ini ... s
Daffa menoleh ke sekeliling, lalu suaranya pun melembut. "Sudahlah ... kamu pulang dulu. Nanti kalau sempat, aku cari kamu lagi ...."Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Ghea tiba-tiba melangkah maju dan mencium bibir Daffa. Cahaya lampu taman di malam hari memang redup, tapi Aura tetap bisa melihat semuanya dengan jelas.Aura menggigit bibir bawahnya pelan. Melihat adegan ini lagi, tidak membuatnya marah seperti pertama kali. Yang ada hanya rasa geli.Ciuman itu berlangsung lebih dari satu menit sebelum akhirnya berhenti. Suara Daffa terdengar sedikit serak, "Ghea, kamu gila ya? Jangan seperti ini!""Aku memang gila. Aku takut setelah kamu bertunangan sama Kak Aura, kamu benar-benar akan meninggalkanku."Lalu, dia mulai memainkan drama panas dengan memeluk pinggang ramping Daffa sambil berkata, "Kak Daffa, aku nggak peduli sama status ataupun pandangan orang. Asalkan aku bisa tetap berada di sisimu, itu sudah cukup bagiku.""Tapi aku tahu, kalau aku terus berada di dekatmu, Kak
Aura diam saja, memilih menutup mulut.Saat mobil melewati sebuah apotek, Aura menoleh ke Jose. "Berhenti sebentar."Jose menatapnya. "Kenapa?" Meskipun bertanya, kakinya tetap refleks menginjak rem.Aura mengenakan kembali sepatu hak tingginya dan turun dari mobil. Begitu kakinya menyentuh tanah, lututnya lemas sampai dia nyaris terjatuh.Dia berpegangan pada pintu mobil agar tetap berdiri, lalu mengedarkan tatapan tajam pada Jose. Melihat pria itu tetap bersikap tenang seperti tak terjadi apa-apa, Aura menggigit bibir menahan kekesalannya.Pria ini benar-benar pintar berpura-pura. Tadi begitu liar, sekarang malah pasang tampang kalem seperti petapa yang telah terlepas dari hal-hal duniawi.Kalau bukan karena rasa nyeri di pinggangnya yang masih jelas terasa, Aura mungkin akan benar-benar tertipu.Dia mendengus pelan sebelum berjalan masuk ke apotek. Saat kembali ke mobil, tangannya sudah memegang sekotak pil kontrasepsi darurat.Jose menoleh menatapnya. "Beli apa?"Aura menatap balik
Jose terlihat puas. Tangan panjangnya menyentuh bagian bawah jok mobil dan kursi yang tadinya tegak langsung terjatuh ke belakang. Aura yang tanpa persiapan langsung terbaring di bawah tubuh Jose.Posisi ini sangat intim dan menggoda.Wajah Jose memang tampan. Saat Aura menatap wajah itu dari bawah, bahkan kata-kata kasar pun tidak bisa keluar dari mulutnya.Yang bisa dia lakukan hanya melotot dengan geram. "Pak Jose, kamu nggak merasa tindakanmu ini terlalu lancang? Nggak seperti seorang gentleman?"Jose terkekeh-kekeh. "Gentleman? Aku gentleman kok."Suaranya dalam dan berat, seperti ada daya pikat yang menyihir. Aura masih terpaku oleh keseksian suara itu saat Jose kembali membungkukkan badannya.Jose menarik sedikit dasinya, memperlihatkan jakun yang mencolok di lehernya. Aroma tubuh Jose yang harum memenuhi hidung Aura. Dia tahu jelas apa yang akan terjadi selanjutnya.Namun, ini bukan pertama kalinya. Dengan situasi yang sudah sejauh ini, kalau menolak, dia malah akan terkesan so
Aura sungguh kehabisan kata-kata. Dia ... dijadikan sopir oleh Jose?Namun, melihat wajah Jose yang jelas-jelas lagi patah hati karena diselingkuhi, Aura akhirnya tetap menyalakan mobil. Toh tadi Jose juga membantunya.Begitu mobil keluar dari garasi, Aura baru teringat sesuatu. Dia menoleh dan bertanya kepada Jose, "Kita mau ke mana?"Jose menjawab, "Vila."Aura mengangguk pelan, paham maksudnya pasti vila yang waktu itu pernah dia datangi juga. Jadi, dia tidak bertanya lebih lanjut.Suasana di dalam mobil langsung sunyi. Yang terdengar hanya suara napas mereka masing-masing.Saat sudah sampai di garasi vila, Aura menoleh karena melihat Jose belum turun dari mobil. Dia melirik sekilas wajah pria itu.Wajah Jose memang luar biasa. Hidung mancung, garis rahang tegas, mata yang dalam. Bahkan dari samping, wajah ini tetap bisa membuat para wanita langsung jatuh hati.Namun, bibir yang terkatup rapat itu memperlihatkan dengan jelas bahwa suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.Aura me
Tak jauh dari mobil Aura, dua orang sedang saling tarik-menarik. Aura langsung mengenali mereka. Bukankah itu Kaley dan Ferdy? Dari cara mereka berinteraksi, sepertinya hubungan mereka tidak biasa?Tangan Aura yang sedang menjentikkan abu rokoknya pun berhenti, bahkan dia sampai lupa dengan masalahnya sendiri dan membelalakkan mata menonton drama."Apa maksudmu? Kamu mau lihat aku nikah sama Jose ya?" Suara wanita itu cukup nyaring, langsung menusuk telinga Aura.Ferdy mengangkat tangan, menekan pelipisnya dengan lelah. "Kaley, jangan buat keributan.""Buat keributan?" Kaley tertawa sinis. "Ferdy, kalau kamu benaran laki-laki, sekarang juga masuk dan bilang ke ayahku kalau kamu mau nikahin aku!"Aura benar-benar tercengang! Astaga, ini gosip hangat! Kaley itu tunangan Jose, 'kan? Jadi, sekarang Kaley selingkuh dengan Ferdy?Seketika, Aura langsung teringat kejadian kemarin malam saat dirinya terkena lemparan barang dan kalimat yang keluar dari mulut Jose saat menariknya pergi.Demi men
Melihat Aura yang tampak tenang dan seolah-olah tidak peduli, Anrez nyaris meledak karena kemarahannya.Aura tetap santai, duduk diam sambil menikmati tehnya.Anrez terdiam cukup lama, lalu mendongak menatapnya. "Apa kamu baru akan senang kalau Grup Tanjung benar-benar hancur, ya?"Aura menjawab, "Masih sama seperti tadi. Saham Grup Tanjung nggak boleh dijual!""Hmph, ini bukan sesuatu yang bisa kamu tentukan. Saham itu tetap akan kujual. Kalau kamu benar-benar nggak mau, bujuk saja Keluarga Santosa supaya suntik dana. Begitu uang masuk, aku tentu nggak akan jual saham lagi."Mendengar itu, Aura menunduk sedikit. Jemarinya yang putih pucat memegang cangkir teh dengan lembut. Suhu tehnya pas, tidak panas."Aku bisa saja meyakinkan Keluarga Santosa."Mendengar Aura melunak, Anrez tampak lega. "Nah, begitu dong. Kamu 'kan anakku. Semua ini aku lakukan demi kebaikan keluarga."Keluarga? Aura memalingkan wajah dengan sinis. Mungkin Anrez memang melakukannya demi keluarga. Namun, apa masih a
Aura tiba-tiba terpeleset. Jika tidak segera ditopang oleh pelayan, dia pasti terjatuh."Hati-hati, Bu."Aura menggigit bibir dan tersenyum penuh terima kasih. "Terima kasih ya. Eee ... barusan aku keluar sebentar dan malah nyasar. Boleh tanya, Pak Steven dan Pak Anrez ada di ruangan nomor berapa?"Pelayan itu tersenyum ramah dan sopan. "Oh, Pak Anrez ada di ruang 308. Biar aku antar."Bagaimanapun, gadis secantik Aura tidak terlihat seperti pembohong.Aura mengikuti pelayan itu sampai ke ruang privat Anrez. Saat itu, Anrez sedang duduk minum teh bersama Steven, ayah Efendi.Begitu melihat Aura masuk, ekspresi keduanya langsung berubah. Anrez langsung memasang wajah dingin, jelas-jelas tidak menyambut kedatangannya.Di sisi lain, Steven yang sudah lama berkecimpung di dunia bisnis, hanya menunjukkan keterkejutan sesaat dan langsung tersenyum hangat. "Aura datang juga. Sudah lama nggak ketemu. Kamu nggak pernah main ke rumahku lagi, sini duduk dulu.""Aku baru saja mau ajak Efendi mampi
"Temanku di dalam," kata Aura, hendak menerobos masuk. Namun, dia tetap ditahan oleh petugas yang menjaga pintu."Maaf, Bu, siapa nama temanmu? Dia pesan ruang nomor berapa? Atau kamu bisa telepon dia dan minta dia jemput di depan?"Aura mengernyit. Dia belum pernah ke restoran ini sebelumnya, tidak menyangka sistemnya seribet ini. Padahal cuma restoran, tetapi rasanya seperti masuk kantor intelijen.Aura juga lupa meminta nomor ruangan dari Efendi. Parahnya saat ingin menelepon, dia baru sadar ponselnya kehabisan baterai. Ini benar-benar sial.Saat dia masih memikirkan cara untuk menyelinap masuk, pandangannya menangkap sesosok yang tinggi dan familier sedang berjalan dari arah parkiran.Pria itu mengenakan setelan jas hitam, bahunya lebar dan pinggang ramping. Dia tampak gagah dan berkelas. Siapa lagi kalau bukan Jose?Jose hanya meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan dan berjalan tanpa henti. Aura termangu sejenak, lalu akhirnya melangkah maju dan mengadangnya."Ada apa?" Jo
"Apa katamu?" Anrez memandang Aura dengan marah. "Jadi, selama ini di matamu aku seperti itu?"Aura memejamkan mata sejenak. Amarah yang tadi meluap langsung meredup setelah tamparan tadi. Dia menjilat pelan bagian dalam pipinya, bau amis darah seketika menyebar di mulut.Dia terkekeh-kekeh. "Sudahlah, anggap saja aku cuma buang angin."Tanpa menoleh lagi, Aura langsung naik ke lantai atas. Begitu sampai di lorong, dia berpapasan dengan Ghea yang murung.Aura hanya meliriknya dengan datar, melewatinya tanpa bicara. Dia pun masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras.Karena pertunangan sudah dekat, Aura mengompres pipinya yang bengkak dengan kantong es. Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan di pintu."Nona, ini obat bengkak dari Tuan." Itu suara Kasih.Aura mengerutkan kening, lalu membalas dengan dingin, "Aku nggak butuh dia sok baik."Kasih menghela napas dan masuk ke kamar. Dia membawa Aura duduk di depan meja rias, lalu membantu mengoleskan obat sambil berucap dengan sungg
Daffa merasa, sekarang Aura semakin tidak punya kesabaran padanya. Terutama sejak Jose mulai sering muncul di sekitar Aura.Dulu, dia sama sekali tidak khawatir Aura akan berpaling. Namun, kalau lawannya adalah Jose, dia mulai merasa terancam. Meskipun tidak ingin mengakuinya, Jose memang lebih unggul darinya di segala aspek.Aura mendongak sedikit saat mendengar ucapannya. Seketika, dia memahami isi hati Daffa. Dulu, dia selalu merasa Daffa punya aura yang unik, percaya diri, berkarisma, membuat orang sulit untuk mengalihkan pandangan. Namun, sekarang dia merasa dirinya yang dulu buta.Ketika Aura mengalihkan pandangannya sedikit, dia melihat sosok yang berdiri di balik tirai jendela lantai dua.Kalimat penolakan yang awalnya sudah sampai di ujung lidah Aura, tiba-tiba ditelan kembali. Dia mengangkat tangan, mengaitkan jarinya, menyuruh Daffa mendekat.Daffa menunduk, lalu Aura mencium pipinya. Aura langsung mencium aroma parfum yang menusuk, tetapi ekspresinya tetap tenang. Saat kemb