"Dia apa, Mas?" desak Bening tidak sabaran."Aku nggak bisa bicara di sini. Kita bicara saja di rumah. Selesaikan dulu belanjaan kamu sebelum kita pulang," ucap Galih mengacuhkan tatapan penasaran istrinya. Lima menit sebelum Galih kembali ke tempat Bening berada, dia mendapat telepon dari mamanya. Galih pikir mamanya butuh sesuatu atau ingin menitip barang belanjaan, karena Karisma tahu mereka sedang berbelanja kebutuhan rumah."Ada apa, Ma?""Mama belum cerita sama kamu.""Soal?" Galih masih mengira mamanya tidak benar-benar mengatakan sesuatu yang penting. "Genta dan Tante Fitri.""Kenapa dengan mereka?""Dulu, tujuh tahun yang lalu atau lebih mungkin, mama sudah lupa kapan tepatnya. Pokoknya waktu Genta sudah dinyatakan lulus SMA dan pada saat itu, dia dan teman-temannya sedang mengadakan pesta di sekolah. Prom night," jelas Karisma. Dia menjeda ucapannya. "Lalu?""Kamu tahu? Tante Fitri waktu itu ada di rumah mama. Kami membicarakan sesuatu tentang pesta kelulusan untuk Genta
"Aku nggak menghamili siapapun," tegas Genta. Dia mencoba menyembunyikan kecemasannya dengan mengalihkan perhatian, "kapan-kapan aku mampir, Om. Untuk saat ini aku benar-benar sibuk."Klik!Punggung pria itu mendarat sepenuhnya. Dengan helaan napas berat, dia mencoba menjernihkan pikiran. Sejujurnya dia tidak bisa fokus. Di kantornya sendiri, semua orang sibuk mendiskusikan apakah gosip tentang dirinya itu benar atau tidak. Genta hanya mencoba tidak peduli meskipun dia ingin sekali membuat mereka tutup mulut. "Pak, ini laporan mingguannya," ucap salah satu staff yang Genta miliki. Pria itu, orang lama dalam perusahaannya. Bisa dibilang banyak pekerjaan yang dia pegang semuanya beres. Junar sangat terbantu dengan kinerjanya."Apa kamu juga berpikir kalau saya orang yang nggak punya perasaan?" tanya Genta. Alih-alih membicarakan masalah laporan keuangan yang dia minta tadi."Saya tidak punya wewenang untuk menjudge anda, Pak. Saya banyak kekurangan dan tidak pantas mengulik kekurangan
"Benar.""Dan aku dibohongi selama ini?" "Dibohongi?" suara menantang Teo tidak lagi terdengar karena tergantikan oleh keterkejutannya. Apa mungkin Janeta menggunakan alasan itu untuk mendapatkan uang? Sial! Teo tidak tahu itu. Bisa habis dia kalau Janeta sampai tahu dia yang membocorkan rahasianya. Teo mulai bersikap seolah dia hanya berbagi omong kosong. "Kamu percaya sama ucapanku? Bodoh sekali kalau kamu bisa percaya padahal aku hanya bercanda tadi. Nggak salah kalau Janeta sampai kesal dan dendam sama kamu sampai bertahun-tahun." Pria itu berharap kalau Genta mempercayai ucapannya sekali lagi. Genta mengernyit. Dia sangat yakin kalau Teo bicara jujur tapi dalam hitungan detik pria itu mengaku kalau dia hanya bercanda. Siapa yang harus dia percayai? Teo atau Janeta? "Kenapa nggak? Kepercayaan itu didapat dari ucapan pertama. Di telingaku ucapan kamu terdengar sungguh-sungguh. Jadi, terima kasih karena sudah mengakuinya. Dan tolong bicara sama istri kamu, aku nggak butuh uang i
"Kamu cepat sekali menyimpulkan.""Nggak mungkin. Genta bukan orang seperti itu, Mbak. Tolong jangan memfitnah orang yang tidak bersalah, Mbak. Aku tahu kalian bersitegang karena masalah pemotretan itu tapi bukan berarti kamu bisa memfitnah dia. Sebaiknya Mbak pergi kalau hanya ingin bicara omong kosong," ucap Bening. Dia tidak sedang ingin bercanda apalagi masalah Janeta bukan hanya sekedar masalah biasa. Terutama orang yang dituduh adalah kekasihnya selama hampir lima tahun lebih. Janeta melebarkan senyum miringnya karena berhasil membuat Bening meragukan Genta. "Daripada kamu merasa dibohongi lebih baik kamu tanya dia. Aku juga baru bertemu dengan Tante Fitri. Kalian pasti sudah saling kenal dong. Ada satu rahasia lagi yang harus aku bagikan sama kamu."Janeta melebarkan telapak tangannya untuk menutup mulutnya supaya terlihat tidak main-main. "Tante Fitri bahkan memberikan uang lima ratus juta untuk menutup aib anaknya. Salahku juga kenapa dulu aku mau meninggalkan Genta padahal
"JANETA!" bentak Teo. Kenapa Janeta tidak bisa menyaring ucapannya di depan Galih? Padahal Teo sudah mau mengalah dengan pulang kembali ke rumah mereka karena takut Janeta sendirian di rumah. "Kenapa? Aku memang harus jujur pada Galih. Bukannya dia ingin mengabulkan semua keinginanku?" Tantang Janeta. Teo mendesis kasar. Percuma saja bicara dengan istrinya. Dia beralih pada Galih yang sekarang ini sedang memasang tampang bingung. "Jangan dimasukkan ke dalam hati ucapan Janeta. Dia hanya bercanda.""Tidak lucu," tukas Galih. Yang namanya bercanda harus ada timbal balik. Yang tertawa bukan hanya satu orang tapi dua orang. "Aku akan kembali setelah kalian memikirkannya. Tapi, kalau sekali lagi kalian membicarakan masalah perceraian, aku nggak bisa bersikap seperti ini lagi. Maafkan aku, Teo."Pria itu sudah berbalik tapi kembali menoleh pada pasangan suami istri yang saling adu tatapan. "Kalau kamu benci pada seseorang, tunjukkan pada orang yang tepat. Jangan kamu melibatkan orang lain
Plakk!"Sialan! Kamu mau mengulang kesalahan kamu untuk kedua kalinya?" bentak Janeta."Jangankan kedua kalinya untuk ketiga kalinya pun aku bisa. Sudah terlanjur basah Kenapa harus mengeringkan tubuh? Benar begitu mbak Janeta?" "Sialan! Genta sialan!"Srekk!!!Piyama yang masih melekat pada tubuh wanita itu dirobek secara paksa oleh Genta. Tidak tanggung-tanggung karena bukan hanya pakaian luar tapi juga underwear milik wanita itu. Genta tidak melakukan apapun, dia hanya ingin Janeta malu dan tidak lagi mencari masalah dengannya. Secepat kilat wanita itu menutupi dirinya dengan lengannya meskipun percuma saja. "Ternyata kamu masih seperti dulu. Sudah kurenggut keperawananmu tapi kamu nggak menangis sama sekali. Masih tetap angkuh. Sekarang juga sama. Tatapan kamu benar-benar membuatku ingin berbuat lebih. Sekali saja kalau kamu menangis, Mungkin aku akan tersentuh dan meminta maaf," jelas Genta. Dia bersedekap dengan tatapan tidak lepas dari tubuh polos Janeta.Ditantang begitu Ja
Staff Keuangan yang baru bukannya ... Teo?"Jangan asal menuduh. Coba kroscek lagi. Saya tidak mau ada kesalahan dalam masalah ini karena ini menyangkut nama baik orang. Orang itu juga staff di perusahaan ini. Jadi, lakukan inspeksi secara menyeluruh. Saya sendiri yang akan melihat hasilnya," tegas Galih. Dinginnya sikapnya mengacu pada ketidakpercayaan pada informasi yang dia dengar. Sebenarnya bukan hanya informasi, tapi bukti-bukti mengarah pada Teo. Anehnya dari mana Teo seluk beluk perusahaan secepat itu, padahal dia baru bekerja satu bulan.Galih merasa ada sesuatu yang salah. Sayangnya bukti yang dia lihat tadi benar-benar mengusiknya. Pria itu membuka folder screenshot yang masih dia simpan. Di antaranya beberapa bukti bahwa dia mengirim sejumlah uang pada Teo. Gaji satu bulan ini termasuk bonus dan hadiah untuk kehidupan sehari-hari sahabatnya itu. Sedikit tarikan cepat mendarat pada anak rambutnya. Galih bergeming cukup lama sampai akhirnya dia memutuskan untuk menelepon T
"Kedengarannya menarik, Mbak. Dari dulu aku ingin punya kakak," sahut Bening antusias. Tentu dia hanya bercanda. Mana mungkin dia jadi adik angkat sementara usianya saja susah puluhan tahun. "Tapi, lain kali saja ya. Kalau misalkan aku berubah pikiran nanti aku kabari mbak."Janeta terkekeh geli mendengar ucapan Bening. "Aku nggak tahu kamu selucu ini?"Ceklek!"Aku sudah tahu dari awal makanya aku menikahinya," sahut Galih tiba-tiba. Dia muncul dengan dua kantong plastik, "kalau kamu juga suka sama Bening, bisa-bisa aku nggak dapat bagian. Please, jangan ambil kesayanganku."Galih berpura-pura manyun, dia benar-benar bisa membuat dua wanita itu tertawa geli. Akhirnya setelah sekian banyak masalah yang terjadi, mereka bisa bersahabat layaknya teman lama yang baru bertemu. Yang Galih khawatirkan tentang Janeta tidak terwujud. Sejujurnya dia kembali ke rumah sakit karena takut sang istri disakiti lagi. Kenyataannya ketika dia kembali, dia justru dikejutkan dengan candaan mereka. Teo ha
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu