Janeta mengangkat bahu, sikap ambigu yang membuat Bening semakin berpikir buruk. "Jelaskan, Mbak! Selama aku masih sopan sama mbak," tuntut Bening. "Orang yang kamu maksud adalah suamimu kan? Tanya saja sama dia. Itu orangnya," tunjuk Janeta dengan isyarat dagunya. Galih sedang berjalan ke arah depan, entah apa yang dilakukan olehnya selagi para pria bergosip di ruang makan. Bening tersulut keinginan untuk mengetahui yang sebenarnya, ditambah muka Janeta yang mendukung bahwa semua argumen yang dia ucapkan tadi adalah sebuah kenyataan. Apalagi mereka punya masa lalu bersama. Bening segera menghampiri suaminya, menahan langkahnya sebelum Galih mencapai pintu depan. "Mas, Aku ingin bicara sesuatu."Galih yang tidak tahu jika istrinya sedang mencurigainya terlihat biasa saja. Dia bahkan masih bisa mencubit hidung istrinya seperti yang selalu dia lakukan. "Bicaralah! Kenapa kamu tegang begitu?""Aku sedang nggak bercanda, Mas. Kata Mbak Janeta tadi Kalau yang menghamili dia bukan dosen
Semua orang diam, bukan hanya Bening. Tindakan refleks Junar memberikan asumsi lain. Apakah Junar menyukai Bening? Apakah Junar menikung sahabatnya sendiri? "Suasana macam apa ini?" seloroh Janeta dengan nada menyindir. Hanya dia yang sikapnya terlihat santai. Benar-benar wanita yang sangat suka melihat wanita lain dilimpahkan kesalahan. Junar lupa dimana mereka sekarang. Sikapnya hanya sekedar pergerakan normal ketika melihat orang sedang dalam bahaya. Apalagi jarak diantara dia dan Bening hanya dua jejak langkah. Bagaimana bisa dia hanya diam?Menyadari tatapan resah dari Galih, dia segera melepaskan pegangan tangannya pada Bening. Cairan merah itu sudah tidak lagi terlihat namun perlu mendapat pengobatan ekstra. Biarkan saja Galih yang melakukan tugasnya. Dari pada nanti dia yang menjadi sasaran kemarahan sahabatnya itu. Galih belum juga bereaksi. Ada saat dimana dia menjadi pria yang memiliki ego tinggi. Kenapa dia tidak bisa menolong istrinya sendiri? Kenapa orang lain harus m
"Nggak lucu," komentar Bening. Dia buru-buru menghapus air matanya, "aku nggak di Jakarta sekarang.""Kemana? Sama Om Galih?" tanya Genta. Dia baru ingat siapa Bening, "sorry, aku lupa. Kalau bukan sama Om Galih, sama siapa lagi?""Villa." Bening hanya menanggapi pertanyaan pertama. "Villa mereka banyak. Villa yang mana?""Yang pernah kamu datangi waktu sendirian," ucap Bening tanpa maksud apa-apa. Dia juga tidak menyadari sudah mengakui bahwa dia mencari tahu soal Genta pada asisten rumah tangga villa itu. "Pasti mbak Marni yang cerita kan?" tebak Genta. Hubungannya lumayan dekat dengan Marni, jadi pria itu jelas bisa menebaknya. "Kok kamu bisa tahu?""Karena hanya mbak Marni yang tahu gimana aku. Ngomong-ngomong kamu ke sana untuk honeymoon?"Bening menggeleng, lagi-lagi tanpa sadar dia merasa bicara langsung ada Genta. "Nggak. Kami liburan bareng maksudnya ada banyak orang. Kalaupun honeymoon kenapa aku malah telepon kamu?""Ya mungkin saja kalian sedang bosan melakukannya," can
"Neta!" teriak Teo. Pria itu berlari ke arah Janeta dan tanpa sadar menyingkirkan Bening dari sana. "Kita ke rumah sakit sekarang!"Tanpa basa-basi, dia membopong istrinya untuk keluar dari sana, meninggalkan Bening yang dengan tatapan bersalah mengikuti mereka. Teo tidak mengerti kenapa wanita itu tidak diam saja di sana malah merecokinya. "Kalau kamu bisa berdiri di sana kenapa nggak buka pintu mobilnya?" teriak Teo geram. Bening terpaku dengan sikap ketus Teo. Padahal Teo bukan pria yang bisa marah padanya. "Maaf." Dia buru-buru membuka pintu tapi tangan kekar mendahuluinya. Ternyata Galih. Pria tua juga ikut memburu Teo tapi dia tidak terlambat menyamai mereka. "Biar aku yang menyetir," tukas Galih. Dia memalingkan muka pada istrinya, "kamu di sini saja. Tunggu aku!"Bening mengangguk patuh. Dia masih sempat melihat Teo yang meliriknya dengan kesal, berbeda dengan Janeta yang masih bisa mengejeknya dengan seringaian smirknya. Kendaraan roda empat milik Galih keluar dari carpor
Ketegangan itu semakin nyata ketika Bening menampar muka Galih. Matanya sudah berkaca-kaca, "Aku akan tidur di kamar lain, Mas. Kalau kamu butuh aku, datang saja!"Tanpa melihat suaminya lagi, Bening melangkah ke luar dari kamar. Yang dia tahu kamar yang masih kosong ada di samping kamar Teo dan Janeta. Dia hanya perlu memakai kamar itu untuk sementara waktu ini. Bening membukanya dengan gerakan cepat hingga menimbulkan suara gedebug yang lumayan keras. Dia melemparkan tubuhnya ke atas ranjang, menumpahkan segala hal yang menggunung di kepalanya. Bening tahu dia berhak marah atas tuduhan tidak berdasar suaminya tapi dia tidak bisa melakukannya. Kenyataan yang ada, dia memang menghubungi Genta dan sejenak lupa bahwa dia sudah bersuami.°°°Galih menghela napas kasar. Hanya menatap kepergian Bening ke kamar lain membuat dia marah pada dirinya. Kenapa dia harus mengatakan kalimat kejam itu? Apa yang sebenarnya ingin dia perjelas? Apa benar Galih ingin istrinya kembali ke pelukan mantan
"Kamu bilang apa tadi, Mas?" tanya Bening dengan suara tercekat. "Kamu pasti sudah mendengarnya. Aku akan membebaskan kamu untuk memilih. Entah pilihan apa yang akan kamu buat, aku akan coba terima," ucap Galih. Dia mulai berjalan ke arah pintu. Helaan napasnya tidak terdengar berat sama sekali. "Kalau kamu mau kembali sama Genta, aku setuju saja. Tidak masalah. Semuanya demi kebahagiaan kamu."'Dan kebahagiaanku hanya melihat kamu bahagia' sambung Galih dalam benaknya. Ditatapnya wajah istrinya dengan intens. Meskipun Bening terkejut, tapi wanita itu masih bisa mendengarkan ucapan konyolnya."Pergi dari kamar ini, Mas! Semakin lama kamu semakin ngawur," ucap Bening. Dia mulai masuk ke dalam sana, menyingkirkan Galih dari tempat yang bukan menjadi tempat tidurnya.Galih frustasi. Kenapa Bening tidak mengeluarkan semua uneg-unegnya? Pada kucing saja dia bisa mengatakan isi hatinya tapi kenapa dengan dirinya tidak? "Katanya kamu ingin bebas? Kenapa nggak pergi saja dan setuju dengan p
"Kamu apakan Bening sampai dia menangis sesenggukan begitu?" hardik Karisma ketika melihat batang hidung anaknya dari ruang tengah. Wanita itu sudah menunggu kesempatan untuk melampiaskan amarahnya. "Bening datang ke sini, Ma?" tanya Galih dengan suara pelan. Dia tidak ingin duduk karena mamanya kelihatan sangat marah."Tadi dan sekarang sudah pulang. Mama membiarkan dia pulang ke rumah orangtuanya dari pada dia sakit hati terus kalau sama kamu," ketus Karisma. Dia duduk di permukaan sofa yang berwarna kecoklatan itu. "Duduk! Ngapain kamu berdiri? Berharap melihat dia di sini?"Galih tidak mengatakan apa-apa, dia menuruti perintah sang mama. "Baguslah kalau mama memintanya pulang. Dia pasti lelah.""Tentu saja. Lelah lahir batin. Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Sebentar-sebentar nggak mau kehilangan, besoknya lagi mau melepaskan. Kamu pikir Bening layangan putus yang bisa kamu oper ke sana kemari. Kalau kamu sudah mengatakan kata cerai, dia akan berpikir seribu kali untuk kembali,
Ada rasa yang dirindukan? Tentu saja ... banyak! Galih bahkan tidak bisa membiarkan istrinya diam dalam gendongannya. Kini, mereka sudah berbaring, saling menindih dan cukup intens untuk melewatkan setiap jengkal tubuh mereka. Sampai pada detik dimana Bening mulai menarik paksa rambut suaminya. "Sakit, Sayang," bisik Galih. "Salah sendiri dari tadi main-main melulu," keluh Bening. "Step awal biasanya sangat panjang, Sayang.""Makanya, cepat sedikit, Mas. Bajuku saja masih terbungkus rapi," keluh Bening lagi. Kenapa dia bisa tidak sabaran? Mungkin efek tidak bertemu semalam dan juga pagi ini yang membuat wanita itu menggila.Galih terkikik geli, "Sejak kapan kamu jadi nggak jaim begini?""Sejak menikah sama kamu, si Om-om mempesona," goda Bening. Jari besar Galih mulai mencubit pangkal hidung istrinya. "Nakal ya?""Mas, mau dengar kelanjutan curhatanku pada sang kucing?""Em, jadi kamu pilih aku stop sampai di sini?" tanya Galih yang memberikan pilihan sulit. Kalau berhenti juga t
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu