Hari Sabtu yang tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja. Alih-alih berada di dalam kamar seharian bersama dengan Bening, Galih memilih menyelinap pergi. Dia tidak mengatakan akan pergi menemui siapa karena Bening pasti akan mencegahnya.Di sinilah dia, pria itu mencekal kepergian Genta, menarik Keponakannya dengan sekuat tenaga agar dia tidak kabur. Bukan kabur yang benar-benar kabur, tapi kabur untuk membicarakan masalah mereka."Sialan!" dengus Galih dengan napas memburu. Mata tajamnya tidak luput dari Genta. Meskipun dia ditarik paksa oleh Fitri karena wanita itu tidak terima perlakuannya, tapi Galih tidak mau diam saja."Apa-apaan kamu? Lepaskan!" teriak Fitri. Dia memukul muka Galih yang sudah merah padam karena amarah yang menumpuk semalam.Galih menghargai Fitri sebagai adik dari mamanya. Usianya juga tidak lagi muda dan dia seharusnya berkepala dingin. Tapi melihat Genta, dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Dia ingin menghabisi Genta meskipun nantinya dia berakhir di bali
"Jangan nakal!" pesan Galih sebelum meninggalkan area carport. Dia menunggu Bening lebih dulu pergi, lalu dia menyusul di belakang. Hari Minggu sudah terlewati dengan baik. Malah keduanya lebih sering berada di dalam kamar dan hanya keluar jika waktunya makan. Selebihnya hanya berbaring di atas ranjang, menonton bersama dan berendam bersama. Mereka bersikap seolah insiden di hotel bukan masalah besar. Bening mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal. Dia tidak diburu waktu karena sengaja berangkat pagi. Atasannya tidak punya jadwal rapat pagi jadi dia bisa leluasa menikmati jalanan yang setengah macet. Bening mencari gelombang radio yang disetel untuk mengurangi kebosanan. Sekian kali mencari, akhirnya dia menemukan satu channel yang menyuguhkan lagu-lagu lawas Indonesia, cocok untuk pagi hari yang cerah. Senyum Bening mengembang mendengar lagu yang pernah menjadi kenangannya bersama Genta. Dia tidak bisa bilang kalau setiap hari mereka mendengarkan, tapi setiap menelepon, Gent
Aris -manager produksi- tidak pernah suka menjadi bayang-bayang orang lain terlebih itu mantan bawahannya yang tiba-tiba mendapat keberuntungan untuk berdekatan dengan Junar.Junar yang dikenal sebagai CEO dingin, naik jabatan dalam waktu singkat berkat kerja keras Michelle. Otomatis Bening mendapat keberuntungan karena menggantikan Michelle. Menurut pendapatnya kemampuan Bening tidak ada apa-apanya dengan Michelle. "Maaf, Pak. Saya hanya mengutarakan pendapat," ucap Bening ragu. Dia tidak berani menatap mata Aris. Kalau dulu mungkin dia berani, tapi kalau sekarang kondisinya berbeda. Dia bukan lagi bawahan Aris.Rumi, sekretaris Aris yang baru, juga ikut-ikutan meremehkan Bening karena semua orang bilang begitu. Junar melihat kondisi tidak lagi kondusif. Dia menengahi, "Kalian semua keluar dan kita lanjutkan nanti setelah saya bicara pada Pak Aris."Bening melihat Junar untuk memastikan keberadaannya. Ketika Junar mengangguk, dia akhirnya ikut pergi bersama yang lain. Di depan pin
"Kenapa kusut begitu mukanya?" tanya Galih bingung melihat Bening yang datang-datang menolak pelukannya. Istrinya itu langsung duduk dengan muka lesu. "Tauk, Mas," gerutunya."Lok, ya mana aku tahu kalau kamu nggak cerita. Kenapa? Dimarahi Junar?"Bening menggeleng tapi dia penuh keraguan. Galih tidak sulit menebak kalau kemanyunan Bening karena Junar. "Kamu bikin salah?"Bening mendelik, tidak terima, "Enak saja kalau bicara, Mas. Aku nggak salah. Tapi emang Pak Junar aja yang agak sensi hari ini. Masa karena aku nggak ada di tempat, aku dikira inilah, itulah, onolah. Padahal aku lagi dikurung sama anak-anak produksi."Pria yang diajak bicara kini paham dengan situasi Bening. Dia mencoba menjadi penengah agar nanti malam ketika mereka harus melakukan sunah, Bening tidak ngambek padanya. Galih menarik Bening untuk menghadap ke arahnya. Ditariknya bibir Bening dengan ujung jari agar lekukan kesal itu berganti senang. "Udah dijelaskan?""Udah ... tapi disela mulu, Mas. Aku nggak bisa
"Kamu berpikir saya ini adalah suami kamu? Kenapa kamu main peluk?" Sindiran halus itu terucap dari bibir Junar. Dia tidak mau membuat kesalahan dengan membiarkan Bening tetap dalam posisi mereka. Bening bergerak cepat menarik tubuhnya menjauh, menunduk malu. Kenapa dia bisa salah mengekspresikan diri? Memeluk orang lain yang bukan suaminya? "Maaf, Pak. Saya kelewat senang sampai tidak menyadari.""Lain kali ulangi lagi biar nanti ada gosip tentang kita."Bening meringis malu, "Maaf, Pak, maaf. Saya kira bapak teman saya makanya saya berani peluk. Kalau begitu, saya kembali bekerja. Terimakasih atas hadiahnya." Dia sempat mengacungkan coklatnya ke udara lalu bergerak ke belakang meja. Untuk beberapa saat, Junar tidak tahu harus melakukan apa. Dia melihat Bening yang sebentar-sebentar meliriknya. Mungkin wanita itu membatin ingin mengusirnya tapi sungkan."Saya ke dalam dulu," ucap Junar. Sambil menggaruk tengkuknya, dia menarik kenop pintu, tapi seruan Bening membuatnya berhenti la
Suara bising di sekitar Junar tidak berdampak baik pada hatinya. Sekarang ini dia sedang berada di sebuah bar milik salah satu temannya. Dia mengundang Genta ke tempat itu hanya untuk mencari kesenangan.Genta datang setelah dia pulang dari kantor untuk membereskan masalah terakhir sebelum produksi tas kerjasamanya dengan perusahaan Junar terlaksana. Pria itu memesan satu botol minuman beralkohol yang memiliki kadar alkohol lumayan tinggi. Ketika bartender memberikan dua gelas kecil padanya, dia mengangsurkan salah satunya pada Junar. Dia juga menuang cairan tersebut ke dalam gelas. Junar meneguknya dalam sekali seruputan. Genta berniat melakukan hal yang sama tapi dia malah tersedak. Sepertinya dia belum terbiasa dengan cara kerja minuman yang sanggup membawanya ke langit-langit itu.Junar mengejeknya dengan seringaian kecilnya. Tanpa berkata apa-apa Dia kembali mengisi gelas miliknya dan menelannya sampai habis."Apa Pak Junar sudah terbiasa dengan minuman ini?""Panggil saja Om.
"Kami menikah belum ada sebulan, Ma. Kenapa mama nggak bisa bersabar? Tuhan juga akan memberikannya tanpa diminta," ucap Bening mengelak."Sebulan? Sejak kapan hitungan pernikahan kamu mundur jadi dua bulan, Bening?"Bening sadar bahwa dia salah bicara. Hubungannya dan Galih baru dimulai beberapa minggu ini. Satu bulan yang lalu mereka belum melakukan apapun. Jadi yang dipikirkan mamanya berbanding terbalik dengan apa yang dia pikirkan."Em, aku lupa, Ma.""Lupa? Belum juga anniversary pernikahan yang pertama tapi kamu sudah lupa. Sebenarnya selama ini apa yang kamu lakukan? Main rumah-rumahan?" Bening merasa terolok-olok oleh ucapan mamanya. "Bukannya mama yang memaksaku untuk menikah? Aku menikahi Om Galih juga karena mama. Jadi, proses yang aku lalui panjang dari pasangan pada umumnya. Kalau Mama nggak sabar menunggu cucu, Mama saja sana yang hamil. Aku pergi dulu. Jangan menggangguku!" Wanita itu bergegas pergi meskipun Tiara berteriak padanya untuk berhenti. "Dasar anak nakal!"
Galih tanpa sadar mundur beberapa langkah, terdiam lalu menghela napas berat. Sepertinya telinganya salah mendengar. Tidak mungkin Bening memanggilnya Om lagi.Bening mengetahui apa yang menjadikan suaminya diam. Dia terlalu kesal untuk memanggilnya seperti biasa. "Kalau nggak ada lagi yang mau dibicarakan, sebaiknya pergi saja. Aku masih ada pekerjaan."Lagi! Hati Galih tergores cukup dalam. Dia sempat mencari penjelasan yang masuk akal kenapa dia yang harus pergi. Tapi tidak ada yang bisa dia temukan dalam mata istrinya. Junar berlagak tidak mendengar. Dia masuk ke ruangannya tanpa berkata apa-apa namun dia berhenti di belakang pintu kelanjutan cerita mereka. "Kamu yakin ingin aku pergi?" tanya Galih sekali lagi berharap kata tidak terucap dengan lantang, lalu Bening akan meminta maaf.Bening mengalihkan pandangannya, "Aku mau menginap di rumah mama mulai malam ini. Jadi jangan tunggu aku! Om makan duluan saja."Om lagi?"Berapa lama?""Satu minggu."Satu minggu? Galih menghela na
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu