"Kami menikah belum ada sebulan, Ma. Kenapa mama nggak bisa bersabar? Tuhan juga akan memberikannya tanpa diminta," ucap Bening mengelak."Sebulan? Sejak kapan hitungan pernikahan kamu mundur jadi dua bulan, Bening?"Bening sadar bahwa dia salah bicara. Hubungannya dan Galih baru dimulai beberapa minggu ini. Satu bulan yang lalu mereka belum melakukan apapun. Jadi yang dipikirkan mamanya berbanding terbalik dengan apa yang dia pikirkan."Em, aku lupa, Ma.""Lupa? Belum juga anniversary pernikahan yang pertama tapi kamu sudah lupa. Sebenarnya selama ini apa yang kamu lakukan? Main rumah-rumahan?" Bening merasa terolok-olok oleh ucapan mamanya. "Bukannya mama yang memaksaku untuk menikah? Aku menikahi Om Galih juga karena mama. Jadi, proses yang aku lalui panjang dari pasangan pada umumnya. Kalau Mama nggak sabar menunggu cucu, Mama saja sana yang hamil. Aku pergi dulu. Jangan menggangguku!" Wanita itu bergegas pergi meskipun Tiara berteriak padanya untuk berhenti. "Dasar anak nakal!"
Galih tanpa sadar mundur beberapa langkah, terdiam lalu menghela napas berat. Sepertinya telinganya salah mendengar. Tidak mungkin Bening memanggilnya Om lagi.Bening mengetahui apa yang menjadikan suaminya diam. Dia terlalu kesal untuk memanggilnya seperti biasa. "Kalau nggak ada lagi yang mau dibicarakan, sebaiknya pergi saja. Aku masih ada pekerjaan."Lagi! Hati Galih tergores cukup dalam. Dia sempat mencari penjelasan yang masuk akal kenapa dia yang harus pergi. Tapi tidak ada yang bisa dia temukan dalam mata istrinya. Junar berlagak tidak mendengar. Dia masuk ke ruangannya tanpa berkata apa-apa namun dia berhenti di belakang pintu kelanjutan cerita mereka. "Kamu yakin ingin aku pergi?" tanya Galih sekali lagi berharap kata tidak terucap dengan lantang, lalu Bening akan meminta maaf.Bening mengalihkan pandangannya, "Aku mau menginap di rumah mama mulai malam ini. Jadi jangan tunggu aku! Om makan duluan saja."Om lagi?"Berapa lama?""Satu minggu."Satu minggu? Galih menghela na
"Papa, please! Aku ingin sendiri dulu," pinta Bening memelas. Dia menatap lesu papanya, berharap ada belas kasihan yang dia dapatkan dari ayah kandungnya itu.Angga mencoba untuk mengerti permintaan putrinya namun dengan satu syarat. "Dalam tiga hari Kamu harus pulang. Kalau nggak, papa sendiri yang akan menyeret kamu pergi."Bening mengangguk dengan cepat. Setidaknya dia tidak langsung diusir. Kalau hal itu sampai terjadi, Galih pasti akan merasa menang atas dirinya. Bening akan berusaha meyakinkan orang tuanya bahwa dia ingin tinggal di sana lebih lama lagi.°°°Galih melihat layar ponselnya yang tidak berkedip sama sekali. Padahal dia berharap Bening akan meminta maaf padanya. Dia dengan sukarela berbohong untuk mendapatkan hati istrinya lagi. Harusnya Bening setidaknya mengirim pesan sebagai tanda perdamaian diantara mereka. Kenyataannya wanita itu tidak lagi mengindahkan perasaannya. "Harus kuapakan kamu, Bening," gumam Galih.Pria itu hendak beranjak dari duduknya ketika ponse
[Sudah makan siang?]Tidak lagi terhitung berapa kali Bening mengacuhkan pesan Galih. Dia membacanya tapi tidak ingin membalas sepatah katapun. Bening sibuk dengan pekerjaannya, memusingkan kepalanya agar tidak memikirkan Galih untuk sementara waktu ini. Dia tetap bekerja seperti biasa meskipun sudah tiga hari ini dia menginap di rumah orangtuanya. Tiara terus mengusiknya untuk segera pulang tapi Bening masih bersikeras. Pihak yang mendukungnya masih ayahnya, entah berapa lama lagi dia dibiarkan begitu. "Kamu boleh pulang. Saya perlu menemui klien penting di luar kantor, langsung pulang setelah itu," ucap Junar yang selalu saja muncul disaat Bening tidak memperhatikan sekitarnya. Bening mendongak, "Saya ikut saja kalau begitu, Pak.""Nanti kamu menyesal kalau ikut."Anggapan Bening, Junar pasti bertemu Genta. Siapa lagi yang bisa membuat Bening menyesal bertemu?Bening buru-buru membereskan barang-barangnya dan bangkit, "Saya tetap ikut, Pak. Saya sekretaris bapak dan ini masih ja
"Apa nggak apa-apa kalau kita membohongi Bening, Ma? Kalau sampai Bening tahu, dia pasti marah sama kita," ucap Angga. Ide gila muncul dari istrinya yang menginginkan putrinya berbaikan lagi dengan suaminya. Tiara mendesis sebal. "Papa sudah bertanya begitu empat kali semalaman ini. Kenapa sih memangnya? Mama melakukannya demi anak kita. Emang papa mau kalau Bening ngotot tinggal di rumah kita selamanya?"Angga bukannya ingin begitu, tapi cara yang lebih baik kan masih banyak. Tapi menuntut istrinya untuk mengakui kesalahannya tidak ada gunanya. Tiara tetap menganggap itu benar.°°°"Em, aku hanya mampir sebentar," ucap Galih kaku. Dia bingung. Melihat kepolosan Bening tak urung menurunkan kinerja otaknya. "Sejak kapan? Perasaan tadi semua pintu sudah kukunci," sahut Bening. Dia mengambil selimut yang berada di atas ranjang untuk menutupi tubuhnya. Dia mendadak dia malu dilihat begitu intens oleh suaminya.Galih sudah datang sejak tadi. Sebelum Bening sampai rumah, dia sudah ada di
"Kenapa?" tanya Bening bingung. Dia sudah memperkirakan kalau mie buatannya pasti enak karena dia menambahkan bumbu lain ke dalamnya. Ada beberapa cabai, satu siung bawang putih dan merah yang dia geprek, lalu saus tomat dan kecap. Atau jangan-jangan keringat mereka tercebur ke dalamnya dan merusak cita rasanya?"Enak kok," ucap Galih sembari tersenyum penuh arti. Dia melihat muka pucat Bening, "semakin enak kalau kamu nggak pakai begitu. Nggak dingin?""Mas juga nggak pakai baju kan? Tanggung, Mas. Aku kelaparan," ucap Bening malu. Selama membuat mie, yang mereka lakukan jauh membutuhkan banyak tenaga dari pada memikirkan apakah mie buatannya enak atau tidak. Galih seolah sedang membalas dendam atas beberapa hari ini. Pria itu sangat menginginkan Bening dan tidak rela membagi waktunya hanya untuk sekedar membuat mie instan. "Aku terlalu bersemangat ya?""Sangat.""Habiskan makanan kamu. Setelah makanan kita turun, kita pindah ke kamar."Bening tersedak mendengarnya. "Lagi, Mas?""I
Karisma memicingkan matanya melihat dua orang dulu pernah menjadi pasangan kekasih itu. Posisi mereka memang tidak terlihat mencurigakan, Bening terduduk di bawah sementara Genta setengah berjongkok. Tapi jika berada di kamar yang sama bukannya itu perlu dicurigai?"Jangan salah paham, Tan. Aku hanya ingin membantu Bening," ucap Genta. Dia menarik kembali tangannya dan membiarkan Bening untuk berdiri sendiri. Karisma masih berdiri di ambang pintu. Tampaknya dia ingin mengucapkan sesuatu tapi ditelannya lagi kata-katanya. "Keluarlah! Semua orang sudah menunggu. Nggak baik tuan rumah malah diam di kamar begini. Kamu juga, Genta. Kamu pergi dulu saja agar orang lain tidak memandang buruk kalian." Genta mengangguk sembari berjalan. Dia minta maaf sekali lagi pada Kharisma. Sementara wanita yang sudah melahirkan Galih itu menunggu Bening untuk bicara. "Katanya dia salah masuk kamar," ucap Bening jujur."Salah masuk kamar? Kok bisa?""Aku juga tidak tahu, Ma."Bening memijit pelipisnya y
"Sejak kapan kamu mulai aktif bertemu dengan Genta?" tanya Galih menuntut penjelasan. Dia membawa Bening ke ruangan yang tidak banyak orang. Dia tidak ingin memperlihatkan kemarahannya di depan keluarga besarnya terutama Fitri."Aku lupa, Mas. Mungkin satu bulan yang lalu.""Apa sebelum kamu mengaku tidur dengan dia, kalian sudah sering bertemu untuk urusan pekerjaan?"Bening mengangguk pelan.Galih mulai berpikir keras, "Jadi sudah lebih dari sebulan kalian intens bertemu?"Bening menggeleng cepat, "Bukan seperti itu, Mas. Kami nggak terlalu sering bertemu dan hanya beberapa kali bertemu untuk rapat. Kamu nggak perlu cemas, Mas. Aku bisa bersikap profesional.""Aku bukannya cemas tapi aku kesal karena menjadi orang terakhir yang tahu hal ini. Kamu lihat tadi? Aku nggak bisa membela kamu di depan Tante Fitri karena aku tidak tahu apa-apa. Beda lagi kalau aku tahu, sudah pasti aku akan membela kamu mati-matian. Sekarang katakan kenapa kamu menyembunyikannya?" Wanita yang malam ini tam
"Mas, tolong ambilkan popok untuk Daryl. Tumben hari ini sudah ganti tiga kali," ucap Bening sedikit berteriak pada Galih. Bening dan Daryl ada di ruang keluarga sementara Galih sedang sibuk di dapur untuk membuat salad sayur. Melihat postingan seseorang di media sosial membuat lidahnya bergoyang. "Beli kan bisa, Mas. Ngapain kamu repot-repot bikin?" tanya Bening siang tadi ketika suaminya meneleponnya."Nggak. Pokoknya aku mau homemade. Nanti pulang dari kantor aku langsung mampir ke supermarket untuk beli bahan-bahannya. Kamu mau nitip sesuatu? Buah-buahan di kulkas masih banyak?""Masih, Mas. Eh, tapi aku mau anggur ya. Belikan yang manis.""Makannya sambil lihat aku nanti juga manis, Sayang.""Ish, benar-benar.""Tunggu aku ya. Aku nggak lembur kok. Nanti kita makan malam sama-sama," ucap Galih dengan cerianya. "Siap, laksanakan!""Biar saya saja yang ambilkan popok, Tuan," sela asisten rumah tangga mereka. Galih mengiyakan, "Terimakasih, Mbak. Ternyata membuat salad sayur ngga
"Kalau ada yang bilang kado ini kurang mahal, berarti orang itu udah gi—nggak punya pemikiran untuk hemat," keluh Bening sembari menggelengkan kepalanya. Dia hampir saja salah bicara. Mana mungkin dia mengatakan suaminya gila? Yang ada dia diceramahi habis-habisan."Nggak apa-apa, Bening. Sekali-kali. Lagi pula Genta adalah keponakanku dan aku wajib memberikan kado istimewa."Bening mengangkat kunci yang diberi gantungan berbentuk salju itu ke depan wajahnya, "Ini kompleks perumahan atau apartemen, Mas?""Perumahan. Lokasinya nggak jauh dari rumah Tante Fitri jadi biar mereka bisa sering-sering main."Satu-satunya perumahan yang paling dekat dengan rumah Fitri adalah perumahan elite. Bening tahu berapa harganya karena dulu sekali dia pernah ditawari untuk membeli satu unit sebelum tempat itu dibangun. Niat hati Bening dan Genta ingin mengambil salah satu unit yang letaknya paling strategis karena dengan cara itu mereka bisa menabung bersama untuk mendapatkan rumah mereka sendiri. Sa
"Sinta. Suster Sinta," jawab Genta memperkenalkan sang calon istri. Galih terperanjat. Dia pernah mendengar nama itu di suatu moment. Tapi dimana? "Oh, saya ingat sekarang. Anda perawat di rumah sakit waktu itu kan?"Wanita bernama Sinta itu mengangguk sembari tersenyum. "Perkenalkan, saya Sinta, suster yang pernah merawat anda dan Mas Genta."Uluran tangan itu disambut oleh Galih dan Bening. "Duh, sudah manggil Mas," goda Bening. Dia berkedip manis pada Genta.Genta tampaknya salah tingkah. Dia tidak bisa berkata-kata. Hanya saja pandangannya condong ke arah Sinta sejak tadi. Pria itu menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. "Masuk, Sinta! Kita ngobrol bentar sebelum makan malam," ajak Karisma. Dia membawa calon keluarga besar mereka menuju ruangan yang dipenuhi banyak orang. Sinta melupakan sesuatu, dia kembali pada Bening sembari memberikan paper bag lumayan besar. "Untuk baby Daryl. Semoga jadi anak yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya. Saya turut senang."Bening menyun
"Gimana kalau Lingga Daryl Putra Galih.""Bagus, Mas. Aku suka.""Nama panggilannya Daryl."°°°Munculnya bayi mungil tampan yang sudah dinantikan banyak orang, tak urung membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Kediaman rumah Galih tidak pernah sepi karena setiap hari sang nenek pasti akan datang bergantian. Entah itu moment dimana Karisma membawakan seperangkat alat makan yang normalnya digunakan anak usia lima tahun. Belum lagi Tiara yang menggunakan kesempatan emas itu untuk mendandani sang cucu dengan pernak-pernik kerajaan.Bening harus merelakan sang anak dimanja oleh para neneknya. Wanita itu hanya punya kesempatan untuk menggendong sang bayi ketika beranjak tidur."Duh, Daryl sayang, kenapa sih kamu nggak mau tidur sama nenek. Biar mama kamu lebih santai," keluh Karisma. Seharian wanita paruh baya itu sibuk menggendong Daryl sampai mamanya geleng-geleng kepala."Mamanya sudah terlalu santai, Nenek Sayang," jawab Bening seolah Daryl yang menjawab. Dia membawa satu nampan
Dokter wanita itu tersenyum, "Benar, Bu. Usia kandungannya sudah tujuh minggu. Selamat ya, Ibu. Kalau ada keluhan apa-apa bicara pada saya, saya akan meresepkan obatnya."Bening speechless. Dia tidak bisa berkata-kata. Yang dia lakukan hanyalah mengusap perutnya yang bahkan tidak dia ketahui ada keberadaan seorang bayi di dalam sana. Dia merasa tidak pernah mual di pagi hari. Semuanya baik-baik saja. Apa dia tidak normal?"Apa nggak mual nggak apa-apa, Dok?" tanya Bening. "Morning sickness? Tidak masalah, Bu. Semua kehamilan memiliki keluhan sendiri-sendiri. Ada yang mual di pagi hari sampai trimester kedua, ada yang tidak mual sama sekali sampai trimester tiga. Nanti kita pantau dulu apakah ibu mengalami gejala kehamilan yang bagaimana. Ada yang mau ditanyakan lagi, Bu? Kalau tidak saya pamit ke ruang sebelah ya. Masih ada pasien lain yang belum saya tangani.""Apa dokter menghubungi suami saya?" tanya Bening cepat. Pasalnya dia tidak melihat ponselnya ada dimana. Apalagi tas yang d
"Bukan tiba-tiba, Pak. Saya sudah memikirkannya matang-matang. Saya ingin jadi ibu rumah tangga yang baik," ucap Bening dengan senyuman manisnya.Junar merespon dengan kening mengerut, "Kamu yakin?""Yakin, Pak. Saya sudah terlalu lama menjadi wanita karir. Saya mau istirahat dan menikmati hidup saya sebagai istri yang baik. Lagi pula suami saya kaya, Pak. Saya bisa minta uang sama suami saya," canda Bening. Dia sudah memikirkannya matang-matang sejak insiden yang terjadi pada Genta. Hidup itu jika dipikirkan hanyalah sebagai permainan. Kadang naik ke permukaan, kadang turun sampai ke dasar, kadang juga hilang tanpa bekas. Bening hanya tidak ingin melewatkan moment emas kebersamaannya dengan Galih. Junar tidak bisa berbuat banyak. Bening pasti sudah menimbang secara matang keputusannya. "Kamu tahu kan kalau kamu harus cari pengganti dulu sebelum kamu pergi?"Bening mengangguk, "Saya sudah pasang iklan, Pak.""Wah, ternyata kamu bersungguh-sungguh," komentar Junar dengan gelengan kep
Tanpa pikir panjang Bening menarik Genta ke dalam pelukannya. Penampakan wajah Genta mengerikan, bukan seperti Genta yang dia kenal. Pria itu kacau, sangat kacau.Bening tidak tega meninggalkannya sendirian. Dia membawa Genta masuk. Hampir saja kakinya terkena pecahan kaca kalau Genta tidak menahannya."Hati-hati," gumam pria itu tanpa sadar. Bening menahan napasnya ketika melihat ruangan itu amburadul dengan barang-barang berserakan. Entah botol parfum yang pecah atau benda-benda bertebaran tanpa terlihat mana bagian-bagiannya. Semuanya kacau balau. "Duduklah! Aku cari obat merah. Mukamu kenapa jadi begini?" tanya Bening sendu. Ada beberapa goresan melintang yang entah disebabkan karena apa. Genta menahan gerakannya, pria itu justru menenggelamkan kepalanya dalam bahu Bening. "Di sini saja. Jangan kemana-mana."Bening tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Pelukan itu mengerat seiring dengan tangisan tanpa suara Genta. Bening menepuk bahunya, menenangkan meskipun dia tidak y
"MERRY!" Genta berlari menghampiri Merry yang terbaring di bawah meja setelah pria itu melempar reruntuhan almari yang menghantam tubuhnya. Rasa sakitnya bahkan tidak sepadan ketika melihat sang mempelai wanita terkapar dengan darah dimana-mana. Genta bersimpuh di samping Merry, membawa kepala wanita itu ke atas pangkuannya. "Bertahanlah! Aku akan memanggil ambulans."Tatapan sendu Merry masih bisa terekam jelas di mata Genta. Pria itu meraung, mengumpat pada keadaan yang membuat dia tidak bisa menghubungi ambulans. Ya Tuhan, jemarinya tidak bisa bergerak. Tangannya sudah tidak mau berkompromi dengannya. Alhasil pria itu hanya memerintah pada pegawai butik yang masih bisa menyelamatkan diri."TELEPON AMBULANS!"Genta tidak sanggup melihat gaun yang tadinya berwarna putih broken white itu kini telah menjelma menjadi kemerahan. Matanya memanas, seiring dengan sentuhan pelan pada lengannya.Tatapan mata penuh cinta Merry menyapanya. "Ma-af," lirih Merry. Genta belum menjawab apa-apa
"Setelah Merry sempat dilecehkan dulu, dia mengalami trauma. Dia takut ditinggalkan dan tidak mau meninggalkan pria yang sudah serius dengannya. Kami sudah membawanya ke psikiater dan hasilnya sudah jauh lebih baik. Karena itulah aku ingin memberikan kesempatan entah keberapa kalinya pada Merry untuk hidup lebih baik. Tapi ternyata dia sangat mencintai Genta sampai tidak rel melepaskannya," jelas Ajik. Dia menghela napas kasar. Raut wajah cemasnya sudah lebih dari cukup untuk membenarkan ucapannya. Genta terdiam. Dia mencoba memahami alasan Ajik. Biar bagaimanapun adiknya tetap anggota keluarga yang harus dilindungi. Berbeda dengan pamannya yang langsung bicara, menjawab penjelasan Ajik. "Aku turut prihatin tapi semua keputusan tetap pada Genta." Lalu Galih menoleh pada keponakannya."Gimana, Genta? Apa kamu mau menerima Merry? Aku akan berusaha membuat dia berubah. Dia pasti menurut untuk berobat ke psikiater lagi kalau kamu yang meminta," bujuk Ajik. Satu-satunya jalan untuk membu