"Huwaa Raccel masih mau main sama Cassel! Hihhh Daddy nakal! Katanya mau culik Cassel! Nakalll...!" Raccel membanting keras-keras tas pink-nya di lantai teras depan sambil menangis berteriak marah-marah. Anak perempuan itu berbaring di lantai teras dengan kaki menghentak-hentak dan berteriak sekeras-kerasnya. Beginilah Raccel bila sudah tantrum. "Princess, dengarkan Daddy sebentar Sayang... Cassel pulang sama Om-nya. Cassel kan juga harus istirahat juga seperti Raccel," bujuk Damien dengan sabar. "Daddy bohong! Daddy nakal! Daddy tidak sayang Raccel lagi! Daddy benci sama Raccel! Raccel marah sekali!" teriak anak itu terus mencerocos. Raccel bangun dari duduknya dan meninju Damien dengan kepalan tangan mungilnya. Bahkan Raccel melepaskan sepatunya dan melemparkan ke sembarang arah, dia menjambak ikatan rambutnya hingga berantakan tanpa berhenti berteriak menangis. "Huwaa... Cassel! Mau main sama Cassel, ayo culik Cassel Paman, ayo cepat! Paman Thom ayo! Aaaaaa...!" Raccel mena
"Tidak... Tidak... Aku tidak punya, Tuan!" Dalena menggeleng-gelengkan kepalanya dan menunduk takut di hadapan Damien. "Dalena," lirih Damien semakin memangkas jarak dengannya. Wanita itu mengangkat wajah menahan tangisnya. "Tuan Damien saya mohon," lirih Dalena pilu. "Gambaran siapa yang ada di dalam tasmu?" tanya Damien lagi dan kali ini sangat pelan. "I-itu... Itu-""Temukan aku dengan keluargamu!" seru Damien mundur perlahan. Bergetar hebat tubuh Dalena saat ini. Ia teramat takut sekedar menatap raut wajah Damien di hadapannya. Sorot mata tajam Damien teralih pada rumah milik Dalena, tanpa perintah siapapun tiba-tiba Damien melenggang masuk ke dalam pekarangan rumah Dalena. Kedua mata Dalena melebar melihat Damien hendak berjalan masuk ke dalam rumahnya. "Tuan! Tuan Damien, tunggu!" teriak Dalena mengejarnya. Dalena tergopoh-gopoh, Damien tak menghentikan langkah lebarnya hingga sampai tiba saatnya tubuh Damien tersentak, Dalena memeluknya dari belakang dengan erat.
"Lihat! Mamiku membawakan bekal juga untukmu!" Cassel menunjukkan sebuah paper bag berwarna merah muda yang ia bawa pada Raccel. "Waahhh, terima kasih Cassel!" Raccel tersenyum dan lompat-lompat kesenangan. Anak perempuan kecil itu membalikkan badan menoleh pada Daddy-nya. "Dad, lihat... Maminya Cassel berikan bekal buat Raccel. Bekal yang tadi beli ambil balik, Raccel tidak mau!" Raccel menyerahkan kembali kotak makanan yang Damien belikan di sebuah resto. "Yakin? Ini hamburger yang Princess mau tadi," ujar Damien pada putrinya. "No!" Raccel menggeleng. "Sandwich buatan Maminya Cassel enak sekali. Sekarang hamburger jadi makanan kesukaan Raccel yang nomor dua!" Damien tersenyum tipis mendengar ocehan putri kecilnya. Laki-laki itu melirik Cassel yang berdiri dengan pipi gembilnya yang memerah seperti biasanya. Dengan lembut Damien mengusap pipi bocah laki-laki itu. "Cassel, terima kasih banyak sudah membuatkan bekal untuk Raccel. Katakan terima kasih Daddy Damien pada Mamimu,
Damien menemui seorang perawat yang kini tengah mengecek sebuah data kelahiran Cassel dan Raccel beberapa tahun lalu. Ditemani oleh Thom, mereka berdua berada di dalam sebuah ruangan khusus. Bahkan semua orang juga tahu, seberapa terhormatnya seorang Damien Escalante. "Cassel Gabriel..." ucap perawat itu. "Ya, anak itu bernama Cassel Gabriel." Suster itu mengecek lagi. "Berusia empat setengah tahun sekarang, Tuan? Lahir di rumah sakit ini dengan operasi caesar. Dan... Cassel memiliki saudara." "Saudara?!" Damien melebarkan kedua matanya. "Benar Tuan, bayi ini punya kembaran. Di sini tertulis dua bayi," jelas suster itu. "Tunggu sebentar, berkas-berkasnya tentang kelahiran bayi tahun-tahun yang lalu sudah tertimbun, sulit bagi kami untuk mencarinya. Apa Tuan bersedia menunggu?" Damien mengangguk cepat, dan dua pekerja rumah sakit itu langsung mencarinya. Pikiran Damien kini mulai tak tenang, jangan bilang kalau Cassel dan Raccel bersaudara. Tak mengelak banyak yang mengatakan m
"Bobo sini, Mommy ... Bobo sini peluk Raccel." Dalena naik ke atas ranjang dan memeluk putri kecilnya yang merengek terbangun dari tidurnya. Baru saja ia beranjak usai menidurkan Raccel, ternyata anak ini kembali bangun dan merengek menahan Dalena. "Ssshhhttt... Jangan menangis Sayang, ini Mommy sudah di sini." Dalena mengusap kening Raccel dengan pelan. "Jangan pulang pokoknya. Mommy harus di sini sama Raccel!" Anak itu memeluk Dalena erat-erat. Helaan napas pelan terdengar di bibir Dalena. Wanita itu ikut memejamkan kedua matanya perlahan-lahan. Tak terdengar pintu kamar terbuka, Damien berjalan masuk ke dalam kamar Raccel dan memperhatikan putri kecilnya yang tertidur mendusal dalam pelukan Dalena. Senyuman Damien terukir tipis. "Kalian... Sangat cantik," ucapnya lirih tak bersuara. Damien menelisik paras ayu Dalena yang begitu persis dengan Raccel saat tertidur. Meskipun ia tidak mengetahui siapa dan sosok seperti apa pengasuh putrinya ini. Perhatian Damien teralihkan pad
"Mom, Raccel minta buatin sandwich, boleh?" Raccel memegangi tangan Dalena dan mereka berdua berada di dapur. Dalena mengangguk memberikan senyuman manisnya. "Boleh dong. Raccel duduk di sini sebentar ya, Sayang..." "Iya Mommy!" Raccel bertepuk tangan kesenangan. Barulah Dalena membuka pintu lemari es, dia mengambil beberapa bahan dan membuatkan sandwich seperti yang Raccel inginkan. Namun Dalena malah termenung diam di sana, sandwich buatannya adalah makanan kesukaan Cassel. Semalam Dalena tidur memeluk Raccel bersama Damien, sedangkan Cassel belum pernah merasakan posisi itu. "Cassel," lirih Dalena mengusap air matanya tiba-tiba. "Aku akan pulang sebentar lagi." "Dalena, kau tidak papa?" tanya Bibi Mery mengusap pundak Dalena tiba-tiba. "Tidak papa Bi," jawab Dalena menoleh dan tersenyum manis. "Syukurlah. Aku tidak pernah melihat Tuan Damien semarah itu pada para pelayan, pagi tadi benar-benar menakutkan." Bibi Mery mengusap dadanya. Hanya senyuman tipis yang menjadi tan
"Papi, kita mau ke mana? Kenapa tidak ajak Raccel juga buat jalan-jalan sama kita?" Cassel memeluk leher Damien saat mereka masuk ke dalam sebuah rumah sakit. Jelasnya rumah sakit ini cukup jauh, dan bukan tempat Heins bekerja. Damien ingin melakukan test DNA dengan Cassel. Hanya itu yang terus mengusik benaknya kini, apapun hasilnya, Damien harus melakukan ini. Hatinya begitu tak sabaran. "Ada sesuatu yang harus Papi lakukan, Cassel katanya ingin ikut dengan Papi, hem?" Damien mengecup pipi anak itu. "Heem, iya! Kak Lizi juga ditinggal di cafe, biar apa coba?""Biar tidak genit sama Papi, kan Papi hanya untuk Mami!" jawab Damien dengan santainya. Mendengar jawaban dari Papinya, Cassel tertawa geli dan mengangguk antusias. Mereka berdua masuk ke dalam sebuah ruangan. Cassel sangat panik saat melihat seorang dokter mendekat membawa peralatan. "Papi, Cassel takut!" pekik anak itu keras-keras. "Tidak papa, Sayang. Nanti Papi juga akan disuntik," bisik Damien merangkul Cassel. "E
"Jangan bilang kalau kau mencoba menggoda calon suamiku dengan mendekati Raccel, hah?!" Sabrina meneriaki Dalena dengan kesal dan marah. Lancang baginya seorang pelayan seperti Dalena seolah ingin menghentikannya. Di dalam gendongan Dalena, Raccel langsung membalikkan badannya dan memeluk leher Dalena dengan erat. "Mom, Raccel takut!" pekik anak itu menyembunyikan wajahnya. Dalena mengusap punggung Raccel dengan lembut. "Tidak papa Sayang, Mommy ada di sini," bisik Dalena menenangkan."Kau bukan Mommy-nya! Kau hanya seorang pengasuh. Apa kau butuh cermin untuk melihat siapa dirimu, hah?! Lancang sekali dirimu, Dalena!" berang Sabrina. "Jangan mendekat!" Dalena berucap dingin saat Sabrina hendak mendekatinya dan Raccel. Sorot mata Dalena teramat tak terima begitu Sabrina memakinya dan Raccel. Wanita ini, belum apa-apa sudah berani menunjukkan sisi buruknya. "Jangan berteriak di depan Raccel, Sabrina!" desis Dalena, kali ini tidak lagi menoleransi. "A-apa katamu barusan?! Kau b
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris