Semua persiapan pernikahan dilakukan serba kilat. Begitu mencapai kata sepakat antara pihak Badai dan Alena, orang kepercayaan Badai segera mengurus administrasi dan kelengkapan syarat pernikahan di KUA. Jika uang yang berbicara, semua bisa dipercepat.Alena juga memberitahukan pada sang ibu soal pernikahannya. Awalnya sang ibu terlihat terkejut dengan kabar mendadak ini. Namun, Alena menjelaskan jika Badai adalah laki-laki pilihannya. Pernikahan disegerakan lebih cepat lebih baik, tanpa menjelaskan alasan yang sebenarnya.“Apa gak sebaiknya kita kasih tau Pap–maksud Mama Om Surya, soal pernikahan kamu?” saran Bu Mirna.“Gak perlu kasih tau Om Surya. Dia bukan siapa-siapa. Apa Mama mau Om Surya tau tempat tinggal Mama sekarang?” Alena menatap sang ibu penuh rasa penasaran. Biar bagaimanapun, pria itu masih suami sah ibunya. Apakah ia begitu jahat jika memaksa sang ibu bercerai di usia yang tidak lagi muda?Memang sejak kejadian tempo hari, Alena membawa sang ibu ke rumah kontrakannya.
Badai duduk termenung di sisi jendela lebar kamarnya. Lebih tepatnya, kamar sementara di lantai bawah, selama proses pemasangan lift. Memang sebelumnya kamar laki-laki itu berada di lantai atas. Namun, sejak dirinya harus terperangkap di kursi roda, tak akan bisa ia berpindah ke lantai berbeda menggunakan tangga.Laki-laki itu termenung, memikirkan banyak hal. Semuanya terjadi begitu cepat. Seolah hanya mimpi. Kecelakaan yang membuat kedua kakinya lumpuh. Ditinggalkan kekasih saat pernikahan di depan mata.Namun, seharusnya ia masih bersyukur. Hanya kakinya yang lumpuh. Bukan nyawanya yang melayang. Meski Stevia meninggalkannya, ada Alena yang menggantikan. Bukankah itu sebuah keberuntungan?Pikirannya mengawang, merentang waktu. Ingatannya mendarat di saat Stevia mendatanginya, dua hari sebelum pernikahannya dengan Alena.“Badai, aku minta maaf. Bisakah kita lanjutkan rencana pernikahan kita? Aku kembali untuk itu.”Badai menatap dingin, tetapi sorot matanya tajam.“Tidak.”Hanya sa
Stevia terpekur di depan meja rias. Ponselnya tergeletak begitu saja tak jauh dari tempatnya. Ia baru saja menghubungi nomor laki-laki itu, ayah dari janinnya. Berulang kali Stevia menghubungi, tetapi tidak pernah tersambung. Lelaki itu menghilang entah kemana. Seolah sengaja menghindarinya.Perempuan itu menyangga sisi kepala dengan siku bertumpu di meja rias. Matanya memejam, menggulung pikirannya yang semerawut.Saat ia memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Badai, ia mendapat amukan dari sang ayah. Lalu, bagaimana jika pria itu tahu jika dirinya kini tengah hamil tanpa suami.“Dasar anak tidak tau diuntung. Sudah bagus ada laki-laki yang mau menikahimu. Ini pakai acara kabur segala! Sudah merasa hebat? Hah!” amuk sang ayah.Bukan cuma amukan dan cercaan, tetapi juga disertai kekerasan fisik. Stevia memegang pipi kanannya yang terasa panas. Seringan itu sang ayah melayangkan tangan. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mendapat perhatian dan kasih sayang san
Pria itu keluar dari pintu kedatangan internasional bandara. Ia menggeret koper dengan sebelah tangan dan sebelah tangan lagi dibenamkan dalam saku celana. Setelan jas formal yang dikenakannya cukup menunjukkan strata sosial yang ia punya.Wajah tampan dibingkai rahang tegas yang dihiasi jambang tipis. Kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kesan maskulin. Auranya dingin tak tersentuh tanpa senyuman di bibir.Dia adalah Bayu. Bayu Segara Putra.Salah satu pebisnis muda yang sukses menduduki dua puluh besar pengusaha paling berpengaruh.“Selamat datang kembali, Bos!” sambut seorang lelaki muda yang tak berbeda jauh umur dengannya.Ia adalah Reka, sang asisten. Lelaki itu mengambil alih koper sang bos.“Hmm!”Bayu hanya menjawab dengan dehaman. Kembali melangkah diikuti sang asisten.“Bagaimana anak itu?” tanya pria itu tanpa menghentikan langkah.Jeda beberapa saat hingga ia menoleh pada asistennya.“Dia tetap menikah seperti rencana awal.”Bayu menghentikan lang
Mendengar keributan berasal dari ruangan bosnya, Reka bergegas ke sana. Ia disambut tatapan penuh tanya oleh staff sekretaris di lantai itu. Namun, ia tak peduli.Reka mengetuk pintu dan mendorongnya perlahan. Ia terkejut melihat papan nama bosnya tergeletak tak jauh dari pintu. Ia langsung memungutnya. Dan mengusap dengan penuh hati-hati, seolah benda itu adalah benda keramat yang rapuh. Tak salah sih sebenarnya.“Apa yang terjadi?” tanya Reka yang masih memeluk papan nama atasannya.Bayu menoleh. Wajahnya jelas masih diselimuti emosi.“Kau, berikan gadis itu uang dalam jumlah besar!” titahnya.“Ya?” Reka terkejut.“Aku tidak suka menikmati sesuatu secara gratis,” jelasnya.‘Berapa harga diri gadis itu?’ Ia akan membayarnya. Bayu akan tersinggung jika orang lain meremehkannya. Ia tidak suka.“Baik. Berapa yang harus saya berikan?” tanya Reka agar tak salah langkah.“Satu Milyar.”“Ya?”Lagi-lagi Rela berseru terkejut. Satu milyar bukan uang yang sedikit. Tapi bosnya itu seolah enteng
Selesai sarapan, Alena membereskan bekas peralatan makan serta menyimpan makanan yang tak habis. Hanya meringkasi saja. Mencucinya akan dikerjakan ART mertuanya.Alena kembali ke kamar mengambil tas serta ponsel dan dompet. Saat akan keluar lewat pintu depan, ia melihat Badai tengah duduk di sofa ruang keluarga sembari memeriksa sesuatu di tabletnya. Ia menghampiri dan berdiri tepat di samping Badai.Menyadari ada orang di sebelahnya membuat Badai spontan mendongak. Ia melihat Alena terlihat sedikit salah tingkah.“Ehmm, Mas–” ucap gadis itu sedikit ragu. Semburat merah menghiasi dua belah pipi gadis itu.Badai tentu merasa sedikit kaget mendengar panggilan istrinya. Ada perasaan yang berbeda saat mendengar panggilan baru itu. Namun, ia dapat dengan cepat menguasai ekspresinya.“Ya?”“Aku berangkat dulu.” Alena mengulurkan tangan pada suaminya.Badai yang paham pun lantas menyodorkan tangan kanannya. Alena membawa punggung tangan sang suami untuk ia cium. Berharap keberkahan langkahny
“Huwek!”Stevia membekap mulutnya sembari lompat dari tempat tidur. Buru-buru berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan bening ke dalam closet.Pagi-pagi buta ia harus terbangun karena perutnya terasa tidak nyaman sama sekali. Kehamilan ini benar-benar menyiksanya. Kepala terasa pusing dan tubuhnya lemas. Hampir tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.Setelah beberapa saat, Stevia membasuh wajah juga mulutnya. Ia tatap pantulan diri di cermin. Wajahya terlihat sedikit pucat.Pelan ia berjalan keluar kamar mandi. Kembali menuju ranjang. Ia ingin rebah lagi. Setidaknya untuk mengurangi rasa mual. Harapnya sih begitu. Benar-benar tidak semangat untuk mengerjakan apapun.“Kamu ini bikin susah aja. Masih dalam perut aja bikin susah, gimana nanti pas lahir,” gerutu Stevia memukul perutnya kesal.Tiba-tiba ia sangat ingin makan cumi asam manis. Entah kenapa, membayangkannya saja membuat air liurnya seperti mengucur.Dengan langkah malas, ia pun turun dari pembaringan. Menuju
“Ma-Mama?” panggil Stevia tak percaya melihat wanita paruh baya diam bergeming di hadapannya. Yang juga menatapnya tak percaya.Mama Sarah. Wanita yang tetap terlihat cantik meski sudah berumur itu adalah wanita yang memberinya kasih sayang layaknya seorang ibu. Ia merasa memiliki seorang ibu lewat wanita itu.Ujung bibir Stevia tertarik samar melihat wanita di hadapannya. Ia bergerak maju hendak memeluk wanita itu.Namun, kalimat yang terlontar dari bibir wanita itu berhasil menahan gerakannya.“Kamu? Siapa yang kamu panggil, Mama? Saya bukan Mama kamu!” ujar wanita itu ketus.Stevia terkesiap. Kejut itu berhasil membuat hatinya tercubit. Memantik rasa nyeri hingga bola matanya berdenyar.Penolakan. Ah, ia sadar dengan reaksi penolakan wanita itu. Kenapa ia bisa lupa penyebab sikap dingin wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya. Wanita yang pernah akan menjadi ibu mertuanya.Mendadak Stevia merasakan sesal telah membatalkan pernikahan dengan Badai.“Ma, ehm, maksud Via, Tan–Tante.”
Pagi itu, suasana pantry sudah terlihat ramai. Beberapa karyawan yang ingin membuat kopi ataupun teh, tengah mengantri bergantian untuk menyeduh minuman mereka. Sembari menunggu, mereka tampak berbincang ringan. Hingga salah satu karyawan yang menyeletuk. "Kalian tau, gak? Si Indah, kena semprot si Bos cuma gara-gara masalah sepele?" beritahu Irma dengan ekspresi wajah serius. "Hah, gara-gara apa emang?" tanya Nina terpancing ingin tahu. Irma pun memajukan wajah dengan sedikit merunduk, khas para tukang gosip. Kedua temannya pun ikut-ikutan mendekat sembari merunduk mengikuti Irma. Irma berkedip dengan bola mata bergerak-gerak, siap untuk bergosip. "Dia kena marah habis-habisan cuma gara-gara beresin susu coklat yang ada di meja Pak Bayu." "Hah?" Nina dan Sari kompak memekik terkejut dengan mulut membulat dan mata melebar. Kedua wanita itu seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Irma barusan. "Serius?" tanya Sari tidak percaya. " Bukannya Pak Bayu paling benci ya
Badai sudah cukup menahan kesabaran selama semalaman. Maka, begitu melihat Alena di pagi harinya, laki-laki itu sudah tidak bisa mengontrol emosinya.“Alena!” panggil Badai dengan suara setengah membentak.Alena yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan seketika terjengkit kaget.“A-ada apa, M-mas?” tanya Alena mendadak takut.Sepagi ini sudah mendapat bentakan dari laki-laki itu. Wajahnya mendadak berubah pucat.“Kan sudah kubilang, jangan sentuh barang-barang di dalam kamarku. Kamu itu bodoh atau gimana sih?” emosi Badai.Alena bingung, apa kiranya yang membuat Badai marah sepagi ini. Dengan takut-takut, ia pun bertanya.“Maaf, Mas. Memangnya apa yang sudah gak sengaja aku lakuin?” tanya Alena agar lebih jelas.Badai melebarkan mata. Gak sengaja, dia bilang?Laki-laki itu menghela napas kasar. Ia pikir, Alena ini adalah tipe orang yang tidak punya rasa bersalah meski telah melakukan kesalahan.“Ternyata kamu beneran bodoh, ya? Atau memang gak punya rasa bersalah? Di mana bingkai
“Tapi … ada satu masalah lagi.” Mahes terdengar ragu mengatakannya.“Apa?” Tatap mata Badai terlihat tajam penuh sorot waspada.“Salah satu klien kita, Pak Prana dari pihak PT Bumi Pertiwi, membatalkan kerjasama.”“Di mana mereka sekarang?” tanya Badai selanjutnya.“Mereka sedang makan siang di restaurant Tiga Saudara,” jawab Mahes memberitahu.Badai segera memutar kursi rodanya. Namun, kembali menghentikannya dan menoleh ke Mahes yang masih berdiri di tempat semula.“Tunggu apa lagi? Ayo kita susul mereka!” sentak Badai seakan menyadarkan Mahes yang masih berdiri terpaku.Laki-laki itu lekas mengambil alih untuk mendorong mursi roda sang bos meninggalkan kantor. Saat akan memasuki lift keduanya diperhatikan oleh sepasang mata milik seorang wanita yang tidak lain adalah sang ibu, Mama Sarah.“Badai?” gumam Mama Sarah seolah tidak percaya jika sang putra kini berada di kantor. Wanita itu mendecak pelan.“Anak itu, sudah dibilang tidak usah khawatir soal urusan kantor, tetap saja,” hera
Bayu melangkah gontai memasuki kamar rawat Bu Winarsih. Laki-laki itu menatap wajah sang ibu asuh yang masih terbaring dengan mata terpejam. Ia menarik kursi ke sisi ranjang dan duduk di sana. Tangannya menggenggam tangan sang ibu. “Aku bertemu wanita itu, Bu. Dia … terlihat baik-baik saja dan bahagia bersama putranya.” Sebelah tangannya mengepal, sarat akan amarah tertahan dan … kecemburuan. Matanya memerah seolah menunjukkan semua derita yang dia tanggung selama ini. Kepalanya menunduk dalam. Tiba-tiba laki-laki itu merasakan sebuah usapan lembut di kepalanya. “Ngger!” panggil lembut suara wanita. Bayu mengangkat wajah mendengar panggilan lirih itu. Ia melihat Bu Winarsih kini menatapnya lemah. “Ibu sudah bangun? Bayu, panggil dokter dulu.” Laki-laki itu hendak beranjak. Namun, Bu Winarsih menahan tangan putranya dan menggelengkan kepala pelan. Bayu kembali duduk. “Apa ibu ngerasa gak nyaman?” tanya Bayu lagi merasa khawatir. Bu Winarsih kembali menggeleng. Tak lama, terden
Tiada angin tiada hujan. Tiba-tiba bertanya nama pada orang asing di pertemuan pertama, sungguh terdengar kurang sopan. Mama Sarah menyadari itu.“Maaf. Kalau pertanyaan ibu kurang sopan.”Wanita itu merasa tidak enak.Berbeda dengan Bayu yang merasa tidak menyangka tiba-tiba ditanya seperti itu. Ia merasa bingung.“Tidak apa-apa,” ujarnya dengan raut dingin seperti biasanya.Mama Sarah membuang pandangan. Seperti tak ingin pemuda di depannya itu melihat rona di wajahnya.“Ibu hanya teringat pada putra ibu. Dia seusia denganmu.”Kaca-kaca samar menggenang di pelupuk mata Mama Sarah. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ia sedikit mendongakkan kepala, agar kristal bening itu tak jatuh ke wajahnya. Buru-buru ia merogoh kantong plastik putih.“Ini. Ambillah!” Ia menyodorkan sekotak susu ukuran sedang.Bayu tergeming menatap sekotak susu di tangan wanita itu. Lalu beralih menatap wajah Mama Sarah seolah bertanya, ‘Kenapa?’.“Anak ibu suka susu cokelat,” ujarnya. Bibirnya memaksa senyum meski w
Bayu bergegas pulang setelah mendapat telepon dari Arya, salah satu remaja yang tinggal di panti asuhan tempatnya dulu. Ibu panti terjatuh karena darah tingginya tiba-tiba kambuh. Bayu bergegas menyusul ke rumah sakit. Arya bilang mereka sudah membawa ibu panti agar segera mendapat penanganan.Bayu menekan tombol interkom dan meminta Reka segera ke ruangannya.“Apa schedule ku setelah ini?” tanya Bayu langsung ketika Reka baru saja menghadapnya.Reka lekas memeriksa tabletnya. “Bapak ada agenda makan malam bersama Presdir Indo Sarana Corporation. Apa ada masalah?” Reka balik tanya demi melihat raut wajah sang bos. Bau-baunya, nih, si Bos bakalan minta batalkan.“Batalkan!” ujar Bayu tegas.Tuh, bener kan. Reka mencoba melapangkan dadanya. Resiko jadi asisten ya begitu.Bayu lekas bangkit dari kursi kebesarannya. Laki-laki itu meraih jas yang ia gantungkan di standing hanger. Lalu memakainya sembari melangkah ke arah Reka dan menadahkan tangan.Reka yang paham, lekas merogoh saku dan me
“Ma-Mama?” panggil Stevia tak percaya melihat wanita paruh baya diam bergeming di hadapannya. Yang juga menatapnya tak percaya.Mama Sarah. Wanita yang tetap terlihat cantik meski sudah berumur itu adalah wanita yang memberinya kasih sayang layaknya seorang ibu. Ia merasa memiliki seorang ibu lewat wanita itu.Ujung bibir Stevia tertarik samar melihat wanita di hadapannya. Ia bergerak maju hendak memeluk wanita itu.Namun, kalimat yang terlontar dari bibir wanita itu berhasil menahan gerakannya.“Kamu? Siapa yang kamu panggil, Mama? Saya bukan Mama kamu!” ujar wanita itu ketus.Stevia terkesiap. Kejut itu berhasil membuat hatinya tercubit. Memantik rasa nyeri hingga bola matanya berdenyar.Penolakan. Ah, ia sadar dengan reaksi penolakan wanita itu. Kenapa ia bisa lupa penyebab sikap dingin wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya. Wanita yang pernah akan menjadi ibu mertuanya.Mendadak Stevia merasakan sesal telah membatalkan pernikahan dengan Badai.“Ma, ehm, maksud Via, Tan–Tante.”
“Huwek!”Stevia membekap mulutnya sembari lompat dari tempat tidur. Buru-buru berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan bening ke dalam closet.Pagi-pagi buta ia harus terbangun karena perutnya terasa tidak nyaman sama sekali. Kehamilan ini benar-benar menyiksanya. Kepala terasa pusing dan tubuhnya lemas. Hampir tidak ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.Setelah beberapa saat, Stevia membasuh wajah juga mulutnya. Ia tatap pantulan diri di cermin. Wajahya terlihat sedikit pucat.Pelan ia berjalan keluar kamar mandi. Kembali menuju ranjang. Ia ingin rebah lagi. Setidaknya untuk mengurangi rasa mual. Harapnya sih begitu. Benar-benar tidak semangat untuk mengerjakan apapun.“Kamu ini bikin susah aja. Masih dalam perut aja bikin susah, gimana nanti pas lahir,” gerutu Stevia memukul perutnya kesal.Tiba-tiba ia sangat ingin makan cumi asam manis. Entah kenapa, membayangkannya saja membuat air liurnya seperti mengucur.Dengan langkah malas, ia pun turun dari pembaringan. Menuju
Selesai sarapan, Alena membereskan bekas peralatan makan serta menyimpan makanan yang tak habis. Hanya meringkasi saja. Mencucinya akan dikerjakan ART mertuanya.Alena kembali ke kamar mengambil tas serta ponsel dan dompet. Saat akan keluar lewat pintu depan, ia melihat Badai tengah duduk di sofa ruang keluarga sembari memeriksa sesuatu di tabletnya. Ia menghampiri dan berdiri tepat di samping Badai.Menyadari ada orang di sebelahnya membuat Badai spontan mendongak. Ia melihat Alena terlihat sedikit salah tingkah.“Ehmm, Mas–” ucap gadis itu sedikit ragu. Semburat merah menghiasi dua belah pipi gadis itu.Badai tentu merasa sedikit kaget mendengar panggilan istrinya. Ada perasaan yang berbeda saat mendengar panggilan baru itu. Namun, ia dapat dengan cepat menguasai ekspresinya.“Ya?”“Aku berangkat dulu.” Alena mengulurkan tangan pada suaminya.Badai yang paham pun lantas menyodorkan tangan kanannya. Alena membawa punggung tangan sang suami untuk ia cium. Berharap keberkahan langkahny