Sore ini aku dan ibu diundang untuk datang diacara pengajian keluarga yang diselenggarakan di rumah Paklik Gufron.
"Bu, aku nggak usah ikut ya!" kataku pada ibu.
"Kenapa? Ayo ikut, temani Ibu!" sahut ibu.
Sebenarnya aku enggan untuk bertemu keluarga besarku, karena pasti kabar lamaran Gus Ibrahim untukku sudah terdengar di telinga mereka semua, dan rasanya aku tidak sanggup untuk menghadapi gunjingan atau pun komentar yang akan mereka tujukan padaku.
Aku masuk ke dalam kamar, dan mengurung diri di tempat itu, berharap ibu tidak mengajak aku pergi.
"Alifah! Ayo cepat!"
Kudengar beberapa menit kemudian ibu memanggilku. Wanita yang melahirkanku itu bersikeras untuk mengajak aku pergi bersamanya, menghadiri pengajian keluarga di rumah Paklik Gufron.
Dengan berat hati, aku mengganti bajuku, dan ikut ibu untuk pergi menghadiri pengajian keluarga.
Sesampai di sana terlihat sudah banyak saudaraku yang datang, entah kenapa aku merasa seolah semua mata tertuju ke arahku. Ah, aku tepis perasaan itu, karena aku yakin itu hanya pikiranku yang terlalu terbawa rasa.
Saat aku hendak duduk di kursi yang sudah disediakan, kulihat Mbak Zahra sepupuku yang tidak lain adalah istri dari Gus Ibrahim melangkah masuk ke tempat ini. Sepertinya dia baru datang, dan aku pun segera menyapanya saat dia lewat di depanku.
"Mbak Zahra!" sapaku sembari meraih tangannya untuk bersalaman. "Mbak Zahra sendirian?" tanyaku saat melihat wanita ini masuk ke dalam rumah paklik sendirian.
"Iya aku sendirian, kenapa? Kamu mau ketemu suamiku?" tanyanya datar, seolah menyindirku, seraya kemudian melangkah pergi dengan acuh.
Masya Allah benar-benar terluka hatiku dengan sikap Mbak Zahra, tapi aku berfikir mungkin hati Mbak Zahra jauh lebih terluka dari pada hatiku.
Karena merasa tidak nyaman berada di tempat ini, akhirnya aku masuk ke dalam rumah paklik menuju kamar Mbah Ibu, nenekku yang sudah sepuh dan tidak lagi mampu untuk berjalan.
"Masya Allah, pulang dari pesantren kok ya merebut suami orang, ilmunya nggak barokah mungkin, ya?"
"Padahal lo cantik. Kan, bisa to cari suami yang bukan suami orang!"
Sekilas aku mendengar percakapan beberapa orang yang berada di dapur paklikku, dapur yang terletak tidak jauh dari kamar Mbah Ibu.
Mungkin saat ini mereka membicarakan diriku. Tentang kabar rencana pernikahanku dengan Gus Ibrahim, sungguh aku sangat sedih memikirkannya, tapi apa yang bisa aku lakukan, lari dari kenyataan, atau tetap bertahan melewatinya.
"Kenapa menangis?" tanya Mbah Ibu saat melihatku meneteskan air mata.
"Aku rindu nyantri mbah, aku ingin kembali ke pesantren," jawabku dengan menghapus air mata, sembari memijit kaki Mbah Ibu.
Satu jam, dua jam, hingga tiga jam, aku berada di kamar Mbah Ibu, hingga acara pengajian itu selesai.
Aku sengaja berdiam diri di dalam kamar, karena tidak sanggup rasanya jika aku harus bertemu dengan keluarga besarku, khususnya dengan keluarga Bude Siti, dan saudara-saudara kandung Mbak Zahra, karena pasti mereka akan memandangku dengan tatapan hina dan sebelah mata.
Satu jam setelah acara selesai akhirnya aku dan ibu berpamitan untuk pulang.
"Ibu heran, paklikmu itu tidak mau mengumumkan kepada sanak saudara tentang rencana pernikahanmu dengan Gus Ibrahim, padahal ibu kan ingin acara pernikahanmu itu dihadiri oleh semua keluarga," kata ibu saat kita baru sampai rumah.
"Apa karena ibu ini miskin, jadi pernikahan putri ibu tidak layak dihadiri oleh keluarga?" katanya lagi dengan wajah kesal. "Ibu tersinggung Alifah, mentang-mentang mereka semua orang kaya. Paklik kamu, Bude kamu, mereka seenaknya memperlakukan kita seperti ini," lanjutnya. "Mereka itu orang-orang yang nggak pernah tahu bagaimana susahnya hidup, jadi mudah meremehkan orang lain," keluh ibu kesal. "Awas saja nanti kalau kamu sudah menikah dengan Gus Ibrahim!" tambah ibu penuh kebencian.
"Ibu! Istighfar!" sahutku lembut dengan menggenggam tangan ibu. "Pernikahanku dengan Gus Ibrahim, kan hanya di bawah tangan? jadi tidak perlu mengundang siapapun," kataku. "Lagi pula, malu Bu! Jika harus mengundang banyak orang!"
Aku melepas tangan ibu sembari berjalan menuju kamar.
"Alifah, kenapa ibu harus malu? Gus Ibrahim bilang kamu akan dinikahi secara syah setelah itu."
Ibu menghentikan langkahku dengan suara lantangnya.
"Ibu! Ibu boleh tidak malu, tapi aku malu Bu! Aku akan menjadi istri kedua suami sepupuku, aku malu, Bu! Tolong Ibu mengerti! Biarlah pernikahanku ini menjadi penebus hutang Ibu! Setelah itu, kita perbaiki ekonomi keluarga kita, agar Ibu tidak terlilit hutang lagi, jangan sampai Aliya, dan Azzam, bernasib sama seperti aku! Harus menikah dengan orang kaya karena menanggung hutang!" tandasku dengan menoleh ke arah ibu.
"Alifah??"
Ibu menatapku dengan mengernyitkan dahi. Mungkin kata-kataku ini telah menyinggung perasaannya.
"Aku minta maaf, Bu!" ucapku kemudian seraya bergegas masuk ke dalam kamar.
Tak terasa air mataku kembali tumpah, aku menutup kamarku rapat, dan mengurung diri di sana. Jujur aku enggan keluar dan berdebat dengan ibu.
****
Hari pun berlalu, keesoknya, saat kami berada di meja makan.
"Satu Minggu lagi acara pernikahan kamu dengan Gus Ibrahim akan dilaksanakan," kata ibu di sela-sela sarapan pagi.
Aku mulai mengatur nafasku, seraya mengangkat wajahku yang saat itu menunduk, mencoba menatap mata ibu dengan mengangguk.
Kemudian aku lanjutkan sarapan, dan segera membereskan rumah setelah ibu berangkat ke pasar.
Rasanya telah habis air mataku, menangis pun takdir ini telah datang padaku, aku hanya meminta kepada Allah, agar aku sanggup berdiri di jalan yang telah ditetapkannya ini, hanya istighfar, dan istighfar yang aku sematkan di hati, agar kudapatkan hikmah di balik perjalan yang bagiku terasa rumit ini.
Tidak terasa waktu berlalu, hari berganti, dan satu Minggu telah tiba, saatnya pernikahanku akan dilaksanakan.
Sedih, gundah, resah, gelisah, malu, bercampur hingga berkecamuk di dalam hatiku.
Jujur rasanya aku ingin lari, apalagi saat kulihat meja akad yang sudah disiapkan untuk acara ijab qobul ku.
Aku akan menikah dengan pria tua yang usianya selisih dua puluh dua tahun denganku.
Derai air mataku mengalir deras, hingga riasan pengantin yang sudah menempel di wajahku terhapus oleh derasnya air mata.
Satu jam lagi, acara akad nikah akan dimulai. kulihat ibu membuka kamarku.
"Pergilah!" kata ibu saat menjejeriku duduk di ranjang tidur kamarku. "Maafkan ibu sudah melibatkan mu dalam masalah yang seharusnya ibu yang menanggungnya!" kata ibu dengan mengusap air mataku.
"Mbak Sri! Keluarga Gus Ibrahim sudah datang!"
Tiba-tiba Bulik Anna istri Paklik Gufron masuk ke dalam kamar mengabarkan kalau keluarga calon suamiku sudah datang.
"Iya, sebentar!" sahut ibu.
Kulihat setelah itu ibu menyentuh tanganku lembut.
"Pergilah! lewatlah pintu belakang!" kata ibu kemudian.
"Ibu!" gumamku dengan meneteskan air mata.
"Jangan pikirkan ibu! Jika keadaannya sudah lebih baik nanti, pulanglah!" kata ibu kemudian sembari meninggalkanku keluar dari kamar.
Bersambung
Tidak terasa air mataku semakin tumpah, ibu memintaku untuk pergi dari rumah ini saat acara pernikahanku dengan laki-laki dewasa yang dia pilihkan akan berlangsung.Aku berfikir, bagaimana ibu menanggung hutangnya jika aku benar-benar pergi. Terlebih, bagaimana malu yang akan ibu dapatkan di hadapan keluarga Gus Ibrahim. Memikirkan hal itu aku semakin tidak bisa berhenti menangis.Saat ini aku masih bersembunyi di kamar, aku menunggu waktu yang tepat bagaimana caranya aku bisa keluar dari pintu belakang dan lari dari rumah ini.Kudengar samar-samar suara di luar kamarku, kalau acara akan segera di mulai. Wali nikah, saksi, dan keluarga dekat yang akan menyaksikan pernikahanku dengan Gus Ibrahim juga telah siap menyaksikan ijab qobul yang akan berlangsung."Maaf! Alifah tidak ada di kamarnya!" kudengar ibu mengatakan hal itu pada semua tamu.Jantungku tiba-tiba berdetak kencang, bukan takut ketahuan karena akan meninggalkan pernikahan ini, melainkan
Kulihat Gus Ibrahim menghampiriku yang saat ini sedang berada di dalam kamar.Laki-laki itu memperhatikan aku yang hanya menunduk di atas ranjang dengan masih berpakaian menutup aurat lengkap.Aku tahu ada kewajiban yang harus aku lakukan sebagai seorang istri, tapi aku adalah gadis remaja dengan usia belasan tahun, yang di dalam hati ini, tidak sudi disentuh oleh laki-laki seumuran Gus Ibrahim yang sama sekali tidak pernah aku sukai."Alifah! Jangan pernah takut denganku! Jika kamu tidak rela aku sentuh, aku juga tidak akan memaksamu!" kata laki-laki itu dengan lembut.Berlahan aku menoleh ke arahnya, ku pandang wajahnya yang tersenyum manis kepadaku. Dan saat itu mulai berlinang air mataku."Istirahatlah! Aku akan keluar dari kamarmu! Jika kamu merasa takut, kunci pintunya dari dalam!" katanya kemudian dengan beranjak pergi meninggalkanku.Aku terperangah melihat sikap Gus Ibrahim yang begitu baik padaku, bahkan dia mengijinkan aku mengunc
Satu bulan sudah aku berada di rumah Gus Ibrahim, rumah yang mewah, lengkap dengan perabotan megah, taman yang asri dan indah, tapi bagaikan rumah di gurun pasir yang gersang bagiku.Satu bulan ini Mbak Zahra bersikap dingin padaku, aku pahami sikapnya, kuposisikan diriku menjadi dirinya, andai saja aku adalah Mbak Zahra mungkin seperti itulah sikap yang akan aku berikan pada maduku yang dibawa oleh suamiku ke dalam rumahnya.Apalagi keberadaanku yang saat ini semakin dekat dengan putra dan putri Mbak Zahra.Sungguh hidupku serasa dilema, rasanya aku ingin lari, tapi aku sadari semua harus aku jalani, hingga tiba waktunya nanti aku pergi. Namun entah kapan itu akan terjadi.Dan malam ini saat aku baru selesai sholat isyak. Kudengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku.Berlahan aku bangkit dari sajadah dan membuka pintu kamar.Ternyata Gus Ibrahim sedang berdiri di depan pintu.Segera aku persilahkan beliau untuk masuk ke dalam kama
Kini aku sudah mulai masuk kuliah, aku mulai beraktivitas di luar rumah, rasanya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatanku untuk belajar, apalagi jalan yang aku tempuh untuk bisa melanjutkan pendidikan ini sangatlah rumit.Satu bulan telah berlalu, aku mulai aktif mengikuti organisasi kampus, ada beberapa informasi beasiswa juga yang telah aku dapatkan."Beasiswa bagi mahasiswa yang memiliki indeks prestasi tiga koma tujuh hingga empat." Sebuah brosur yang aku baca di mading kampus.Tentu jika aku berusaha belajar lebih giat, aku bisa mendapatkan beasiswa itu, dan aku tidak perlu menggunakan uang kuliah dari Gus Ibrahim lagi untuk biaya pendidikanku.Aku cukup optimis, dan aku yakin akan ada jalan dari setiap masalahku.Jika aku bisa mendapatkan beasiswa mungkin semua akan terasa lebih mudah, aku sedikit demi sedikit bisa membayar hutang ibuku, bisa segera keluar dari rumah itu, dan tidak perlu menjadi istri bawah tangan Gus Ibrahim lagi.
Pagi ini setelah bersiap untuk berangkat ke kampus, aku ikut sarapan bersama keluarga."Bagaimana kuliah kamu Alifah?" tanya Gus Ibrahim padaku."Alhamdulillah, ujian semester satu sudah selesai Gus, ini transkip nilainya sudah keluar," kataku seraya membuka tas yang ada di pangkuanku untuk mengambil transkip nilai yang ada dalam tasku.Kutunjukkan hasil belajarku itu pada Gus Ibrahim, dan kulihat dia pun mempelajari nilai-nilai hasil belajarku dengan seksama."Bagus!" katanya seraya tersenyum dengan mengembalikan transkip nilai itu padaku. "Apa kamu ikut kegiatan organisasi di kampus?""Iya Gus," jawabku seraya mengangguk. Kemudian melanjutkan kembali sarapan pagiku.Setelah sarapan selesai aku membantu bibik merapikan piring-piring kotor yang ada di meja, sebelum aku berangkat ke kampus.Seperti biasa, aku lihat wajah sikap Mbak Zahra selalu dingin padaku. Aku mencoba mengabaikan semua itu, aku mencoba memahaminya, karena mungkin me
Pagi ini kulihat handphone di meja kamarku bergetar, segera kuangkat dan kulihat, ternyata seorang teman kuliah mengirimkan pesan untukku.Dan belum selesai aku membalas pesan itu, kudengar suara Gus Ibrahim mengetuk pintu kamar.Bergegas aku membuka pintu untuk menemuinya.Dia tersenyum padaku saat aku membuka pintu, seraya berjalan untuk duduk di ranjang kamarku."Bagaimana kuliahmu?" tanyanya masih dengan tersenyum."Baik," jawabku singkat seraya duduk di hadapannya."Tadi malam pulang jam berapa?" tanyanya."Mmm, mungkin lebih dari jam sembilan malam," sahutku."Dari mana? Apa ada kegiatan kuliah? Atau kegiatan organisasi di kampus?"Kulihat Gus Ibrahim menatapku penuh curiga."Mmm, semalam aku mendapat undangan makan malam dari dosen, jadi aku pulang agak malam dari biasanya," jelasku."Dosen?" Gus Ibrahim mengerutkan alisnya. "Kamu makan malam dengan dosen kamu, tanpa meminta ijin padaku?" tanya Gus I
Keesokan harinya sepulang dari kampus kudengar suara Zafira diruang keluarga sedang berbincang dengan Mbak Zahra, sepertinya dia sedang mengunjungi kakaknya tersebut."Mbah Zahra sudah bilang sama suami mbak kan, tentang kelakuan istri keduanya itu?""Udah," jawab Mbak Zahra."Mbak udah kasih fotonya juga kan?""Udah,""Gimana kata Gus Ibrahim? Pasti Gus Ibrahim menyesal sudah menikahi wanita nggak bener itu," kata Zafira. "Untung aja aku sama temen-temen aku makan di restoran itu, jadi bisa mergoki wanita sok alim itu jalan berdua sama om-om," lanjut Zafira. "Memang benar-benar ya mbak Alifah itu, nggak nyangka aku dia tega nikam saudaranya sendiri." Kudengar Zafira sangat emosi saat membicarakan tentang diriku pada mbak Zahra."Aku heran Fir, Gus Ibrahim sama sekali nggak marah sama Alifah, sepertinya Gus Ibrahim juga nggak percaya sama foto yang kamu kirim ke aku ini," sahut Mbak Zahra tanpa semangat.Aku menghelan nafas panjang da
Tidak terasa air mataku terjatuh saat mendengarkan kata-kata Mbak Zahra, mungkin baginya diriku ini begitu hina, hingga dia tidak mau menerima transfusi darah dariku.Kuhapus air mata yang terjatuh di pipiku ini, dan kemudian segera mengikuti langkah dokter.Aku tidak memperdulikan pemikiran Mbak Zahra terhadapku, yang aku pikirkan saat ini hanyalah keselamatannya, biarlah dia berfikir seperti itu padaku, karena selama ini aku memang telah menyakiti hatinya.Akhirnya transfusi darah pun dilakukan, aku tetap mendonorkan darahku untuk Mbak Zahra, meskipun Mbak Zahra menolaknya, karena Gus Ibrahim juga telah mengizinkan aku untuk melakukan semua itu.Saat ini aku masih berada di atas bad rumah sakit setelah melakukan transfusi darah, dan kudengar dokter menyarankan agar operasi Caesar dilakukan, karena ketuban di rahim Mbak Zahra telah pecah.Sungguh aku merasa bersalah dengan kondisi Mbak Zahra dan bayinya, mungkin semua ini terjadi karena diriku, an
Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta
Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele
Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh
Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena
Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang
Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny
Satu jam sudah, Paklik Gufron, istrinya, dan Mbak Zahra ada di rumahku.Mereka bertiga terlihat menemani ibu di dalam kamar.Aku membuatkan teh hangat untuk mereka, sekalipun mereka tidak mengizinkan.Aku juga meminta kepada Abizar untuk membantuku di dapur, membuat kudapan buat mereka."Mbak! Mari dimakan!"Aku menawarkan makanan dan minuman yang telah aku buat kepada Mbak Zahra, saat dia sudah keluar dari kamar ibu."Kok repot-repot?""Nggak repot kok Mbak, cuma pisang goreng," sahutku.Aku menemani Mbak Zahra yang saat itu mulai duduk kembali di sofa ruang tamu."Bagaimana kabar anak-anak Mbak?" tanyaku membuka percakapan."Alhamdulillah semua sehat," jawab Mbak Zahra dengan tersenyum.Kulihat Mbak Zahra mulai meneguk teh buatanku."O, iya. Alifah? Mbak mau tanya sesuatu boleh?" tanya Mbak Zahra kemudian.Aku yang duduk menghadap ke arahnya, menganggukkan kepala sembari tersenyum."K
Saat ini mobil Pak Direktur sudah ada di depan kostku. Laki-laki itu membantuku mengeluarkan barang-barang dari dalam mobilnya.Kulihat kemudian dia mengangkat telepon."Cepat pulang, umma mau bicara!'Dia mengeraskan audio saat mengangkat teleponnya itu hingga aku mendengarnya.Setelah itu aku lihat dia menutup telepon tanpa menjawabnya.Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku sudah membuat laki-laki yang biasa aku panggil Ustadz Mirza itu bertengkar dengan orang tuanya."Bapak pulang saja!" kataku kemudian padanya."Mmmm...."Dia mengangguk."Aku akan carikan pekerjaan yang baru buat kamu," katanya."Tidak usah Pak. Saya berencana untuk pulang kampung," sahutku."Kapan kamu mau pulang?""In sha Allah, besok pagi.""Aku antar!""Tidak usah, terima kasih banyak!" sahutku lembut menolak keinginannya untuk mengantarku.Akhirnya setelah percakapan itu, Ustadz Mirz
Setelah keluar dari ruang staf pimpinan yayasan, aku bergegas menuju ruang guru, untuk merapikan barang-barangku.Kulihat semua mata tertuju padaku. Sepertinya semua yang ada di ruangan itu sudah tahu kenapa aku dikeluarkan dari sekolah ini. Kerena salah satu di antara mereka sudah ada yang mulai mencibirku."Untung saja sudah ketahuan. Bayangkan saja kalau masih tetap bekerja di sini? Bisa-bisa suami kita diambil," celetuk salah seorang teman sejawat memancing emosiku.Aku yang awalnya sibuk merapikan buku, spontan mendobrak meja kerjaku."Ustadzah Naya? Memang saya pernah menggoda suami Anda?"Aku menoleh ke arahnya dan menatap matanya dengan tajam.Suara tanyaku yang keras sontak membuat mata seisi ruangan tertuju padaku."Pernah saya menggoda suami ustadzah-ustadzah yang ada di sini? Pernah saya menggoda ustadz-ustadz yangng ada di ya