Share

Bab 28

Penulis: Anis _Mo
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-14 12:23:55

Saat ini mobil Pak Direktur sudah ada di depan kostku. Laki-laki itu membantuku mengeluarkan barang-barang dari dalam mobilnya.

Kulihat kemudian dia mengangkat telepon.

"Cepat pulang, umma mau bicara!'

Dia mengeraskan audio saat mengangkat teleponnya itu hingga aku mendengarnya.

Setelah itu aku lihat dia menutup telepon tanpa menjawabnya.

Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku sudah membuat laki-laki yang biasa aku panggil Ustadz Mirza itu bertengkar dengan orang tuanya.

"Bapak pulang saja!" kataku kemudian padanya.

"Mmmm...."

Dia mengangguk.

"Aku akan carikan pekerjaan yang baru buat kamu," katanya.

"Tidak usah Pak. Saya berencana untuk pulang kampung," sahutku.

"Kapan kamu mau pulang?"

"In sha Allah, besok pagi."

"Aku antar!"

"Tidak usah, terima kasih banyak!" sahutku lembut menolak keinginannya untuk mengantarku.

Akhirnya setelah percakapan itu, Ustadz Mirz

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menjadi Madu   Bab 29

    Satu jam sudah, Paklik Gufron, istrinya, dan Mbak Zahra ada di rumahku.Mereka bertiga terlihat menemani ibu di dalam kamar.Aku membuatkan teh hangat untuk mereka, sekalipun mereka tidak mengizinkan.Aku juga meminta kepada Abizar untuk membantuku di dapur, membuat kudapan buat mereka."Mbak! Mari dimakan!"Aku menawarkan makanan dan minuman yang telah aku buat kepada Mbak Zahra, saat dia sudah keluar dari kamar ibu."Kok repot-repot?""Nggak repot kok Mbak, cuma pisang goreng," sahutku.Aku menemani Mbak Zahra yang saat itu mulai duduk kembali di sofa ruang tamu."Bagaimana kabar anak-anak Mbak?" tanyaku membuka percakapan."Alhamdulillah semua sehat," jawab Mbak Zahra dengan tersenyum.Kulihat Mbak Zahra mulai meneguk teh buatanku."O, iya. Alifah? Mbak mau tanya sesuatu boleh?" tanya Mbak Zahra kemudian.Aku yang duduk menghadap ke arahnya, menganggukkan kepala sembari tersenyum."K

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19
  • Menjadi Madu   Bab 30

    Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Menjadi Madu   Bab 31 (Dilamar)

    Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-14
  • Menjadi Madu   Bab 32 (Rencana Pernikahan)

    Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-24
  • Menjadi Madu   Bab 33 (Pernikahan)

    Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-23
  • Menjadi Madu   Bab 34 (Sikap Mertua)

    Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-26
  • Menjadi Madu   Bab 35 (Periksa ke Dokter)

    Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-28
  • Menjadi Madu   Part 1

    Aku hanya bisa memandangi wajah ibu yang marah padaku, saat aku menolak keinginannya."Ibu, bagaimana mungkin Ibu mau menikahkan aku dengan Gus Ibrahim, dia itu suami Mbak Zahra, Bu! Keponakan ibu sendiri?"Aku mencoba membantah keinginan ibu yang ingin menikahkan aku dengan Gus Ibrahim, seorang saudagar kaya raya, suami sepupuku."Alifah!" ibu kembali meninggikan suaranya. "Gus Ibrahim sudah melunasi semua biaya pendaftaran kuliah kamu, dan dia juga bersedia membiayai kuliah kamu sampai kamu menjadi sarjana," kata ibu dengan menekan suaranya."Ibu, aku rela meski tidak kuliah, biar aku kerja saja!"Aku menghampiri ibu yang duduk di hadapanku, memohon padanya dengan berlutut sembari menggenggam kedua tangannya."Kamu mau kerja apa dengan ijazah Aliyah kamu itu?" tanya ibu ketus dengan tidak melihatku."Aku bisa mengajar di yayasan Paklik Gufron, Bu!" sahutku dengan menyebut nama Paklik Gufron adik kandung ibuku yang memiliki sebuah ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-23

Bab terbaru

  • Menjadi Madu   Bab 35 (Periksa ke Dokter)

    Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta

  • Menjadi Madu   Bab 34 (Sikap Mertua)

    Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele

  • Menjadi Madu   Bab 33 (Pernikahan)

    Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh

  • Menjadi Madu   Bab 32 (Rencana Pernikahan)

    Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena

  • Menjadi Madu   Bab 31 (Dilamar)

    Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang

  • Menjadi Madu   Bab 30

    Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny

  • Menjadi Madu   Bab 29

    Satu jam sudah, Paklik Gufron, istrinya, dan Mbak Zahra ada di rumahku.Mereka bertiga terlihat menemani ibu di dalam kamar.Aku membuatkan teh hangat untuk mereka, sekalipun mereka tidak mengizinkan.Aku juga meminta kepada Abizar untuk membantuku di dapur, membuat kudapan buat mereka."Mbak! Mari dimakan!"Aku menawarkan makanan dan minuman yang telah aku buat kepada Mbak Zahra, saat dia sudah keluar dari kamar ibu."Kok repot-repot?""Nggak repot kok Mbak, cuma pisang goreng," sahutku.Aku menemani Mbak Zahra yang saat itu mulai duduk kembali di sofa ruang tamu."Bagaimana kabar anak-anak Mbak?" tanyaku membuka percakapan."Alhamdulillah semua sehat," jawab Mbak Zahra dengan tersenyum.Kulihat Mbak Zahra mulai meneguk teh buatanku."O, iya. Alifah? Mbak mau tanya sesuatu boleh?" tanya Mbak Zahra kemudian.Aku yang duduk menghadap ke arahnya, menganggukkan kepala sembari tersenyum."K

  • Menjadi Madu   Bab 28

    Saat ini mobil Pak Direktur sudah ada di depan kostku. Laki-laki itu membantuku mengeluarkan barang-barang dari dalam mobilnya.Kulihat kemudian dia mengangkat telepon."Cepat pulang, umma mau bicara!'Dia mengeraskan audio saat mengangkat teleponnya itu hingga aku mendengarnya.Setelah itu aku lihat dia menutup telepon tanpa menjawabnya.Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku sudah membuat laki-laki yang biasa aku panggil Ustadz Mirza itu bertengkar dengan orang tuanya."Bapak pulang saja!" kataku kemudian padanya."Mmmm...."Dia mengangguk."Aku akan carikan pekerjaan yang baru buat kamu," katanya."Tidak usah Pak. Saya berencana untuk pulang kampung," sahutku."Kapan kamu mau pulang?""In sha Allah, besok pagi.""Aku antar!""Tidak usah, terima kasih banyak!" sahutku lembut menolak keinginannya untuk mengantarku.Akhirnya setelah percakapan itu, Ustadz Mirz

  • Menjadi Madu   Bab 27

    Setelah keluar dari ruang staf pimpinan yayasan, aku bergegas menuju ruang guru, untuk merapikan barang-barangku.Kulihat semua mata tertuju padaku. Sepertinya semua yang ada di ruangan itu sudah tahu kenapa aku dikeluarkan dari sekolah ini. Kerena salah satu di antara mereka sudah ada yang mulai mencibirku."Untung saja sudah ketahuan. Bayangkan saja kalau masih tetap bekerja di sini? Bisa-bisa suami kita diambil," celetuk salah seorang teman sejawat memancing emosiku.Aku yang awalnya sibuk merapikan buku, spontan mendobrak meja kerjaku."Ustadzah Naya? Memang saya pernah menggoda suami Anda?"Aku menoleh ke arahnya dan menatap matanya dengan tajam.Suara tanyaku yang keras sontak membuat mata seisi ruangan tertuju padaku."Pernah saya menggoda suami ustadzah-ustadzah yang ada di sini? Pernah saya menggoda ustadz-ustadz yangng ada di ya

DMCA.com Protection Status