Share

Bab 16

Penulis: Anis _Mo
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-13 16:37:25

Seperti biasa aku selalu datang lebih awal di sekolah ini, mungkin karena tempat kostku dekat dengan sekolah, selain itu aku masih lajang, dan tidak punya tanggung jawab mengurus keluarga seperti teman-temanku yang lain.

"Assalamualaikum Ustadzah Alifah!" sapa Ustadz Yusuf ramah.

Aku yang saat itu tengah duduk di meja kerjaku mempersiapkan bahan ajar untuk murid-murid, hanya tersenyum menanggapi sapaannya.

"Dijawab dong salam saya ustadzah!" katanya dengan lebih mendekat ke mejaku.

"Ustadzah, awas lo! Ustadz Yusuf itu pinter ngegombal!" seru salah seorang ustadzah yang juga sudah ada di ruangan ini.

Aku yang saat itu mendengar seruannya seketika menoleh sembari menggangguk.

"Salam saya belum dijawab lo ustadzah," kata Ustadz Yusuf lagi.

"Waalaikum salam," sahutku.

"Ustadzah, saya ini kagum sama Ustadzah Alifah, meskipun cantik, pintar, tapi sangat sederhana, dan bukan wanita materialis."

Kata-kata Ustadz Yusuf seketika m

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menjadi Madu   Bab 17

    Hari itu telah berlalu, pagi ini seperti biasa aku sudah sampai lebih awal di sekolah."Ustadzah Annisa sudah dari tadi?" tanyaku saat melihat Ustadzah Annisa yang sudah duduk manis di kursinya."Kemarin-kemarin saya sering telat, nggak enak ditegur kepala sekolah," sahutnya."Ooo...""Eh, gimana hubungan kamu dengan Ustadz Yusuf, kayaknya Ustadz Yusuf suka dengan ustadzah?"Aku tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Ustadzah Annisa. Dan tak lama setelah kami berbincang, tampak Ustadz Yusuf masuk ke dalam ruangan kami."Assalamualaikum Ustadzah Alifah!" sapanya dengan melangkah mendekati mejaku."Waalaikum salam," jawab aku dan Ustadzah Annisa."Ustadzah Alifah, semakin hari semakin cantik ya?" puji Ustadz Yusuf dengan nada bercanda."Semua wanita itu memang cantik, Ustadzah Annisa juga cantik," sahutku."Iya, aku juga cantik kata suamiku," celetuk Ustadzah Annisa."Bukan begitu maksud sata Ustadzah Annisa,

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-16
  • Menjadi Madu   Bab 18

    Aku bergegas keluar dari ruangan Ustadz Mirza setelah percakapan kami selesai.Rasanya aku ingin segera pulang, dan menghempaskan rasa lelahku dengan memejamkan mata untuk masuk ke dalam alam mimpi."Ustadzah Alifah!"Kudengar suara Ustadz Yusuf memanggilku."Kenapa ustadzah tidak pernah bilang kalau ustadzah seorang janda?" tanyanya dengan menjejeri langkahku."Kenapa? Ustadz Yusuf kecewa telah berikhtiar memperjuangkan cinta Ustadz Yusuf untuk seorang janda?" tanyaku dengan tersenyum tipis. "Kalau Ustadz Yusuf merasa kecewa dan menyesal, mulai sekarang, tolong jauhi saya!" jawabku tegas, sembari berjalan lebih cepat meninggalkannya.Akhirnya hari yang melelahkan itu pun berlalu. Keesokannya aku kembali menjalankan aktivitas seperti biasa, sepanjang perjalanan menuju tempat kerja aku berdoa, semoga tidak ada lagi masalah yang membuatku harus berhadapan dengan Ustadz Mirza."Jadi Ustadzah Alifah itu seorang janda?"Kudengar sua

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • Menjadi Madu   Bab 19

    Hari telah berganti, pagi ini aku kembali beraktivitas seperti biasa.Sudah jam enam empat puluh lima menit, aku sedikit terlambat. Seharusnya aku datang lima belas menit lebih awal, karena hari ini adalah jadwal piketku untuk menjemput para siswa di halaman sekolah.Saat sampai di gerbang sekolah, aku buru-buru masuk ke dalam ruang guru untuk meletakkan tasku, dan setelah itu keluar kembali menuju halaman sekolah untuk menyambut murid-muridku.Tidak kusangka saat berjalan menuju halaman sekolah aku berpapasan dengan bapak direktur pendidikan yang baru keluar dari mobilnya.Kudengar laki-laki itu menegurku."Aku lihat, kamu jarang berduaan dengan Yusuf sekarang?" tanyanya."Mmmm, iya." Aku tersenyum sembari mengangguk. "Mungkin Ustadz Yusuf sedang sibuk, dan lagi kami memang tidak ada hubungan, jadi untuk apa berduaan," terangku."Oooh, begitu," sahutnya dengan masih berdiri di hadapanku. "Apa bukan karena dia kecewa ya? Karena sudah

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-26
  • Menjadi Madu   Bab 20

    Hari terus berjalan, semua masih terasa sama, setiap berpapasan dengan Ustadz Mirza, masih ada rasa cemas di hatiku, karena sikapnya tetap terlihat sinis, datar, dan angkuh padaku.Ah, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja, Ustadz Mirza adalah laki-laki yang sibuk, dia tidak hanya menjadi direktur pendidikan di sekolahku, tapi dia juga seorang konsultan, motivator, serta dosen dibeberapa universitas negeri dan swasta, jadi wajar kalau sikapnya seperti itu kepada bawahannya, karena memang dia adalah orang yang sibuk.Ya, aku yakin pemikiran burukku tentang Ustadz Mirza adalah keliru, karena mungkin saat ini aku hanya terlalu terbawa rasa saat bertemu ataupun melihatnya.Segera aku tepis prasangka negatifku terhadap atasanku tersebut, aku menghelan nafas panjang, dan kembali memotivasi diriku, agar aku tetap bersemangat, dan lebih bersemangat dalam bekerja, karena jujur beberapa hari ini hatiku terasa tumbang, jauh dari semangat, semenjak kehadiran Ustadz Mirza s

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-19
  • Menjadi Madu   Bab 21

    Saat ini aku sudah berada di ruang IGD sebuah rumah sakit umum, seorang perawat telah selesai memasang jarum infus di tanganku."Alhamdulillah sudah sadar!" kata wanita berbaju putih itu sembari tersenyum. "Kamarnya sudah siap, sebentar lagi mbak akan dipindahkan ke kamar rawat inap ya!" katanya dengan tersenyum.Tak lama setelah itu dua orang perawat laki-laki datang menghampiriku dan mendorong bad rumah sakit yang aku tiduri masuk ke dalam kamar pasien.Kulihat perawat perempuan yang tadi menyapaku juga mengikuti kami. Dan setelah aku sampai di kamar pasien, dia kembali memeriksa selang infus."Saya suntik dulu ya mbak!" katanya sembari menyuntikkan cairan lewat selang infus."Suster maaf, siapa ya yang bawa saya kesini?" tanyaku penasaran."Oooh, tadi katanya embak pingsan di tempat kerja, terus atasan dan ada beberapa teman mbak yang ngantar mbak kesini." Jelasnya sembari terus menyuntikkan cairan obat itu ke dalam selang infusku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-20
  • Menjadi Madu   Bab 22

    Keesokan harinya aku merasa lebih sehat, dan aku putuskan untuk kembali bekerja.Seperti biasa aku selalu datang lebih awal dari guru-guru yang lain.Aku lihat di halaman sekolah mobil direktur sudah terparkir di sana. Laki-laki yang baru keluar dari mobilnya itu tak sengaja melihat aku yang baru masuk gerbang sekolah. Dan kulihat setelah memperhatikanku dari kejauhan dia mengalihkan pandangannya seraya melangkah menuju gedung yang tidak jauh dari tempat mobilnya di parkir.Lagi-lagi aku mulai terbawa rasa, laki-laki itu tampak angkuh saat melihatku, apakah dia menyimpan sakit hati padaku karena penolakanku beberapa tahun yang lalu. Ah, pasti ini hanya pemikiranku saja, karena tidak mungkin laki-laki sehebat dia tidak bisa move on dari wanita biasa saja seperti diriku.Kutepis perasaanku tentang hal itu, dan kemudian aku lanjutkan langkah menuju ruang guru untuk meletakkan tas dan juga buku-buku yang aku bawa.Beberapa menit kemudian bel masuk berb

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-22
  • Menjadi Madu   Bab 23

    Malam ini aku sulit sekali memejamkan mata, jujur aku masih terngiang pernyataan bapak direktur yang tadi sore sempat diucapkannya padaku."Dia ingin menghitbahku?" hatiku penuh tanda tanya. "Tidak mungkin. Waktu itu dia pernah memandangku rendah karena aku ini seorang janda, jadi mana mungkin dia hendak menghitbahku, pasti dia mengatakan hal itu karena ingin mempermainkanku saja." Aku mulai menjawab sendiri pertanyaan yang ada dalam hatiku.Aku yakin Ustadz Mirza atau pak direktur sedang bercanda saat mengatakan hal itu padaku.Keesokan harinya, ketika sore tiba, disaat aku pulang bekerja, tampak sebuah mobil sedan hitam mengikuti langkahku."Tiiiin!!" kudengar suara klakson mobil begitu keras.Aku menepi dan menoleh ke arah mobil yang berhenti di sebelahku tersebut."Assalamualaikum!" kudengar suara seorang laki-laki beruluk salam dari dalam mobil yang jendela kacanya baru saja dibuka."Waalaikum salam," sahutku."Ayo masuk!"

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-24
  • Menjadi Madu   Bab 24

    Hari itupun berlalu. Pagi ini aku kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Dan di siang harinya saat jam istirahat, aku sempatkan diri untuk menemui Ustadzah Annisa yang masih berada di dalam kelas."Aku minta maaf, aku sudah menceritakan hal itu pada pak direktur!"Ustadzah Annisa meminta maaf padaku saat aku meminta penjelasannya tentang masa laluku yang diketahui oleh Ustadz Mirza."Aku yakin Allah mengirim aku untuk mengatakan semua itu pada pak direktur, agar dia tidak lagi berprasangka buruk pada ustadzah," jelas Ustadzah Annisa kemudian."Tapi seharusnya ustadzah tidak perlu mengatakannya," jawabku."Ustadzah, semuanya sudah terjadi, lagi pula pasti Allah juga yang menggerakkan hatiku untuk mengatakan semuanya pada pak direktur. Dan terbukti ada hikmah dari semua itu kan? Pak direktur telah berubah baik pada ustadzah."Kulihat Ustadzah Annisa mengatakannya dengan senyum menggodaku."Ustadzah Alifah! Ditunggu Ibu Faidah di kan

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-25

Bab terbaru

  • Menjadi Madu   Bab 35 (Periksa ke Dokter)

    Saat ini aku berada di dalam kamar. Sembari menunggu Ustadz Mirza pulang dari kantor aku menghabiskan waktu mengaji dan membaca buku.Sejujurnya kata-kata ibu mertuaku masih terngiang di telinga.Tidak ada salahnya jika aku mencari informasi tentang hal yang mengusik pikiranku itu.Tanpa berpikir panjang aku membuka laptop Ustadz Mirza yang tergeletak di meja kamar.Aku mulai mencari informasi tentang resiko yang akan terjadi jika aku hamil nanti."Perubahan fungsi ginjal saat hamil pada perempuan yang memiliki satu ginjal menempatkan mereka pada resiko hipertensi yang berujung pada komplikasi serius yang berakibat fatal bagi ibu mau pun bayinya."Aku membaca sebuah artikel di internet yang baru saja aku temukan.Tidak dimungkiri ada rasa cemas di hatiku. Apa yang akan terjadi nanti, jika aku benar-benar hamil.'Ya Allah! Semoga engkau mudahkan jalanku.' Bisikku dalam hati.*****Tidak terasa malam menjelang. Usta

  • Menjadi Madu   Bab 34 (Sikap Mertua)

    Tuntas sudah kewajibanku. Aku telah menuaikan kewajiban melayani Ustadz Mirza malam ini.Saat hendak bangkit Ustadz Mirza memperhatikan sprei ranjang kami."Kamu tidak pernah melakukan apapun deng Gus Ibrahim?"Ustadz Mirza bertanya dengan suara lirih, setelah melihat becak merah di sprei warna putih itu.Aku pun menggelengkan kepala.Ustadz Mirza tersenyum, sembari kemudian mencium mesra pipiku.Sungguh aku tidak berdaya dengan senyuman dan sikap lembut Ustadz Mirza padaku malam ini.Tidak terasa subuh telah menjelang. Setelah mensucikan diri, dan melakukan jamaah subuh bersama Ustadz Mirza, aku keluar dari kamar."Sayang mau ke mana?" tanya Ustadz Mirza."Aku mau bikin sarapan buat kamu, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" tanyaku."Aku masih nggak lapar. Cukup melihat kamu aja perutku udah kenyang."Ustadz Mirza berjalan menghampiriku, kemudian memeluk tubuhku, seraya mencium pipiku.Berlahan aku mele

  • Menjadi Madu   Bab 33 (Pernikahan)

    Hari terus berlalu. Akhirnya sampai juga hari pernikahanku dan Ustadz Mirza.Acara ijab kabul yang digelar sederhana di rumahku berjalan dengan lancar.Tidak banyak orang yang diundang. Hanya tetangga dan keluarga dekat saja. Tapi aku tidak melihat keluarga Budhe Siti datang. Hanya Mbak Zahra dan Gus Ibrahim saja yang mewakili keluarga mereka.Ya Allah mungkinkan Budhe Siti dan Zafira masih sakit hati padaku. Ah, sudahlah tidak perlu lagi aku memikirkan hal itu. Yang harus aku lakukan adalah mendoakan Zahira semoga mendapat jodoh terbaik, dan mendoakan keluarga Budhe Siti agar mereka diberi kelembutan hati untuk memaafkanku.Tidak terasa acara ijab kabul dan walimatul nikah telah usai. Setelah acara itu, tidak ada pesta lagi yang digelar di rumahku.Orang tua Ustadz Mirza langsung meminta kepada ibu untuk membawaku pulang bersama mereka.Sungguh

  • Menjadi Madu   Bab 32 (Rencana Pernikahan)

    Aku masih memikirkan tentang lamaran Ustadz Mirza. Entah kenapa hatiku merasa tidak tenang. Ingin rasanya aku menolak lamaran itu, tapi ibu bersikukuh untuk tetap menerimanya. Bahkan telah menentukan hari pernikahan kami.Pagi ini saat aku membantu Abizar di toko kelontong kami, Ustadz Mirza tiba-tiba datang menemuiku."Masuk, Mas!" Abizar meminta Ustadz Mirza untuk masuk ke dalam toko."Mbak, aku keluar dulu ya!" pamit Abizar kemudian.Mungkin adik laki-lakiku sengaja pergi untuk memberi ruang pada kami berdua."Aku bantu ya!" kata Ustadz Mirza saat melihat aku sibuk menata barang-barang di toko."Tidak usah, Ustadz duduk saja!"Aku mempersilahkan dia duduk di kursi yang ada di dalam toko."Sebentar lagi kita akan menikah, kan? Jadi kita harus mulai belajar bekerja sama."Laki-laki itu berlahan menghampiriku dan membantu pekerjaanku.Akhirnya aku biarkan dia, melayani pembeli, melayani sales yang mena

  • Menjadi Madu   Bab 31 (Dilamar)

    Hari telah berganti. Kini aku menjalankan hati-hati di rumah dengan merawat ibu, dan membantu Abizar menjaga toko kelontong yang ada di pasar dekat rumah kami."Dik, apa kamu nggak ingin kuliah?" tanyaku pada Abizar saat membantunya menimbang gula pasir, terigu, dan beberapa bahan pokok lainnya yang ada di toko."In sha Allah, nanti Mbak. Kalau ada waktu. Sekarang aku masih ingin mengumpulkan modal, biar toko kita semakin berkembang."Abizar menoleh ke arahku dengan tersenyum, sembari menata barang-barang yang baru saja dikirim oleh para salesman."Nanti kalau ada rezeki, aku ingin beli ruko yang ada di depan sana. Buat Mbak Alifah. Biar Mbak, nggak perlu kerja ikut orang," ujar Abizar."Hmmm...."Aku tersenyum."Aku juga berdoa semoga Mbak cepat dapat jodoh. Dapat suami yang salih, mapan, yang sayang sama Mbak. Karena aku ingin melihat Mbak bahagia."Aku terharu mendengar ungkapan Abizar. Tidak kusangka adik bungsuku itu, sang

  • Menjadi Madu   Bab 30

    Setelah masuk ke dalam rumah, aku mencoba menghubungi Ustadz Mirza."Assalamualaikum!"Ustadz Mirza langsung mengangkat teleponku."Waalaikum salam, bagaimana kabar Bapak?" tanyaku."Baik. Tumben kamu menelepon, ada apa?""Mmm.... Zafira sedang sakit, dia menangis terus sepanjang hari," kataku padanya."Lalu?""Bapak, calon tunangannya, kan? Kenapa tidak menjenguk dia?"Ustadz Mirza diam, dan tidak segera menjawab pertanyaanku."Pak Direktur! Ustadz!"Aku memanggil namanya, karena aku tidak sedikit pun mendengar suara dari dalam telepon."Aku sibuk. Nanti aku telepon lagi ya," kata Ustadz Mirza kemudian. "Assalamualaikum."Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah menutup telepon dariku.Aku menatap ponselku dengan mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala.Mungkinkah Ustadz Mirza tidak berkenan menerima telepon dariku tadi, hingga dia menutup telepon sebelum aku menjawab salamny

  • Menjadi Madu   Bab 29

    Satu jam sudah, Paklik Gufron, istrinya, dan Mbak Zahra ada di rumahku.Mereka bertiga terlihat menemani ibu di dalam kamar.Aku membuatkan teh hangat untuk mereka, sekalipun mereka tidak mengizinkan.Aku juga meminta kepada Abizar untuk membantuku di dapur, membuat kudapan buat mereka."Mbak! Mari dimakan!"Aku menawarkan makanan dan minuman yang telah aku buat kepada Mbak Zahra, saat dia sudah keluar dari kamar ibu."Kok repot-repot?""Nggak repot kok Mbak, cuma pisang goreng," sahutku.Aku menemani Mbak Zahra yang saat itu mulai duduk kembali di sofa ruang tamu."Bagaimana kabar anak-anak Mbak?" tanyaku membuka percakapan."Alhamdulillah semua sehat," jawab Mbak Zahra dengan tersenyum.Kulihat Mbak Zahra mulai meneguk teh buatanku."O, iya. Alifah? Mbak mau tanya sesuatu boleh?" tanya Mbak Zahra kemudian.Aku yang duduk menghadap ke arahnya, menganggukkan kepala sembari tersenyum."K

  • Menjadi Madu   Bab 28

    Saat ini mobil Pak Direktur sudah ada di depan kostku. Laki-laki itu membantuku mengeluarkan barang-barang dari dalam mobilnya.Kulihat kemudian dia mengangkat telepon."Cepat pulang, umma mau bicara!'Dia mengeraskan audio saat mengangkat teleponnya itu hingga aku mendengarnya.Setelah itu aku lihat dia menutup telepon tanpa menjawabnya.Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. Aku sudah membuat laki-laki yang biasa aku panggil Ustadz Mirza itu bertengkar dengan orang tuanya."Bapak pulang saja!" kataku kemudian padanya."Mmmm...."Dia mengangguk."Aku akan carikan pekerjaan yang baru buat kamu," katanya."Tidak usah Pak. Saya berencana untuk pulang kampung," sahutku."Kapan kamu mau pulang?""In sha Allah, besok pagi.""Aku antar!""Tidak usah, terima kasih banyak!" sahutku lembut menolak keinginannya untuk mengantarku.Akhirnya setelah percakapan itu, Ustadz Mirz

  • Menjadi Madu   Bab 27

    Setelah keluar dari ruang staf pimpinan yayasan, aku bergegas menuju ruang guru, untuk merapikan barang-barangku.Kulihat semua mata tertuju padaku. Sepertinya semua yang ada di ruangan itu sudah tahu kenapa aku dikeluarkan dari sekolah ini. Kerena salah satu di antara mereka sudah ada yang mulai mencibirku."Untung saja sudah ketahuan. Bayangkan saja kalau masih tetap bekerja di sini? Bisa-bisa suami kita diambil," celetuk salah seorang teman sejawat memancing emosiku.Aku yang awalnya sibuk merapikan buku, spontan mendobrak meja kerjaku."Ustadzah Naya? Memang saya pernah menggoda suami Anda?"Aku menoleh ke arahnya dan menatap matanya dengan tajam.Suara tanyaku yang keras sontak membuat mata seisi ruangan tertuju padaku."Pernah saya menggoda suami ustadzah-ustadzah yang ada di sini? Pernah saya menggoda ustadz-ustadz yangng ada di ya

DMCA.com Protection Status