"Entah mengapa... aku masih penasaran dan tidak puas dengan jawaban Elsa waktu itu. Apa aku perlu mencari tau lebih lanjut?" Silla duduk termenung di kamarnya, memikirkan masalah surat yang belum terpecahkan. Kedua tangannya terlihat gemetar memegang gelas yang berisi susu ibu hamil buatan Herlin. Kegelisahan tampak jelas terpancar dari raut wajahnya. "Buku diary itu... Apakah buku itu masih ada??" Silla tampak berpikir sejenak, lalu menenggakkan susu ibu hamil hingga habis. Dia berdiri dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas. Sebuah tekad mulai terpatri di matanya. "Mungkin saja masih ada di gudang, aku coba cari saja deh. Buat memastikan kemiripan kertas itu. Dan aku juga mau tau ... apa alasan dibalik orang yang dengan sengaja membuat aku dan Kak Nathan salah paham." Tekad bulat telah terpatri di hatinya. Silla bergegas menuju gudang yang terletak di samping dapur. Dia berharap menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayut di benaknya. Gudang itu penuh sesak deng
"Permisi, Pak Satpam. Aku ingin bertemu Pak Dayat, Kepala Sekolah. Apa beliau ada di ruangannya sekarang?" Nathan bertanya dengan sopan kepada satpam yang berjaga di depan gerbang. Pak Dayat adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya.Satpam mengamati Nathan dengan seksama. "Ada, Pak. Tapi, saya belum pernah melihat Bapak sebelumnya. Ada keperluan apa, Pak?" Dia menatap asing pada Nathan."Aku salah satu mantan murid sekolah ini, Pak. Dan kedatanganku karena ada keperluan dengan Pak Dayat.""Oh, begitu. Baiklah, mari saya antar." Satpam itu tersenyum ramah, lalu mengarahkan Nathan menuju ruang kepala sekolah.Tok... tok... tok...Satpam mengetuk pintu ruangan kepala sekolah dengan tiga ketukan yang teratur. "Permisi, Pak Dayat. Ada yang ingin bertemu Bapak.""Siapa?" Suara Pak Dayat terdengar dari dalam."Beliau mengaku sebagai mantan murid di sekolah ini, Pak, dan kedatangannya karena ada keperluan dengan Bapak.""Suruh masuk.""Baik, Pak." Satpam membuka pintu perlahan, mempers
Napas Nathan tercekat. "Pergi? Pergi dari rumah?!" Matanya melebar tak percaya. "Bagaimana bisa, Ma? Ke mana dia?" Pertanyaan itu terlontar dengan panik, jantungnya berdebar semakin kencang, menggelegar di telinganya."Kamu ke rumah Mama dulu, biar Mama ceritakan.""Ya udah, aku pulang sekarang, Ma," kata Nathan menutup teleponnya, lalu menatap Pak Dayat yang terlihat sibuk mencari rekaman CCTV. Pak Dayat, aku mau pulang dulu, ada urusan mendadak. Nanti aku ke sini lagi, ya?""Kamu berikan saja nomormu ke Bapak, nanti Bapak kabari kamu kalau rekaman itu sudah ketemu.""Baik, Pak. Terima kasih banyak ya, sebelumnya." Nathan memberikan kartu namanya, karena nomor teleponnya juga ada di situ. Setelah itu, dia pergi dari sana menuju kediaman Herlin.**"Bagaimana Silla, Ma? Jadi dia pergi ke mana?" Pertanyaan itu terlontar begitu Nathan sampai di rumah Herlin, suaranya terdengar cemas. Setelah mencium punggung tangan sang mertua, dia langsung merasakan kepanikan yang menggelayut
(Flashback off)Tangan Nathan bergetar hebat. Kalimat-kalimat Silla menusuk hatinya, setiap kata seakan berbisik tentang kesedihan yang mendalam. Dia yakin, surat ini ditulis di tengah tangis pilu."Cepat bantu cari sekarang, Tan. Mama mau hubungi Elsa, minta dia datang." Herlin meraih ponselnya, jari-jari gemetar saat menghubungi Elsa."Iya, Ma." Nathan mengangguk, langkahnya tergesa-gesa menuju mobil. Hatinya dipenuhi kecemasan yang membuncah.Nathan tak tahu tujuannya ke mana, tapi untuk sekarang dia memilih berkeliling di kota Jakarta, karena barangkali menemukan Silla di jalan."Apa yang kamu pikirkan, Silla? Kenapa harus pergi meninggalkan rumah?" Detak jantung Nathan berpacu liar, rasa takut mencengkeram jiwanya. "Apa alasannya ...?""Tidak… pokoknya kamu tidak boleh pergi. Aku akan mencarimu dan membawamu pulang, meskipun harus ke ujung dunia."Mobil Nathan tiba-tiba terhenti di depan gerbang sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU). Hening. Udara dingin menusuk kulitnya. Entah
Elsa memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Saat membuka matanya, tatapannya tajam dan dingin. "Aku tau Silla sedang hamil, ma. Tapi suratnya sudah jelas, dia ingin hidup mandiri. Jadi, apa yang perlu kukhawatirkan? Sekarang... lebih baik Mama dan Papa melupakan Silla. Kalian hanya punya aku! Hanya aku anak kalian. Dia... dia hanya orang asing di hidup kita!!" Kata-kata itu terucap keras, menusuk hati."Tapi Silla—" Herlin mencoba untuk berbicara, namun Elsa langsung memotongnya."Mama, berhenti!" Suaranya tegas, bercampur keputusasaan. "Aku sudah muak! Aku tidak habis pikir ... bagaimana kalian bisa begitu menyayangi Silla sampai melupakan anak kandung kalian sendiri? Kalian menganggapnya seperti anak sendiri, membantunya dalam segala hal, Apakah kalian sama sekali tidak sadar ... ada banyak dampak besar yang berpengaruh pada hidupku?" Air mata Elsa mengalir deras, suaranya bergetar hebat. Tubuhnya gemetar hebat, menahan tangis yang mengguncang
"Karena ...." Herlin terbata-bata, ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Rasa sesak memenuhi dadanya, kenangan pahit kembali berputar di kepalanya."Karena apa, Ma? Katakan dengan jelas, jangan buat aku semakin penasaran!" Elsa mendesak, suaranya dipenuhi kecemasan dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang menggerogoti hatinya."Karena gara-gara Papa, Silla menjadi yatim piatu, Sa." Kalimat itu terasa begitu berat untuk diucapkan, namun dia harus melakukannya."Yatim piatu?!" Dahi Elsa berkerut, bingung dan tak percaya. Dia tertegun sejenak, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. Selama ini, dia hanya tahu bahwa Silla kehilangan ibunya. Dia sama sekali tak tahu tentang keberadaan ayah Silla."Iya, yatim piatu." Herlin mengulang, suaranya bergetar."Tapi, bukannya Silla hanya kehilangan Mamanya saja? Papanya 'kan hanya pergi meninggalkannya sejak kecil?" Elsa masih belum mengerti."Iya, memang pergi. Tapi ... ada cerita di balik kepe
"Yang terjadi memang takdir, Ma. Bukan kesalahan Papa, jadi mengapa Papa harus merasa begitu bersalah?"Meskipun sudah dijelaskan, nyatanya Elsa masih belum mengerti dan menerima Silla. Luka di hatinya masih terasa begitu dalam."Iya, Sayang, itu takdir. Tapi tetap saja... andai mereka berdua tak menyelamatkan Papa, mungkin Papa takkan ada di sini bersama kita, Elsa. Dan, amanah dari Mama Silla sendiri, dia ingin anaknya dijaga Papa. Amanah itu tak boleh Papa abaikan, Elsa."Air mata Elsa mulai menggenang. "Menjaga bukan berarti mengangkatnya sebagai anak, Ma!! Apalagi sampai membuat anak kandung kalian menjadi anak pungut! Ini tak adil!" geramnya, suaranya bergetar menahan amarah dan kepedihan.Herlin memeluk Elsa erat, air matanya ikut menetes. "Mama dan Papa minta maaf, Sayang, jika kamu merasa terluka. Mulai sekarang... kami akan berusaha memperbaiki semuanya, Sa."Elsa menepis pelukan ibunya, suaranya masih bergetar. "Kalau ingin memperbaiki... lupakan saja Silla. Biarkan d
Hujan rintik-rintik membasahi wajah Nathan. Dia menunjukkan foto Silla pada pedagang bakso di perempatan jalan itu, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin dan suara kendaraan yang lalu lalang."Pak... apakah Bapak pernah melihat perempuan ini?" tanyanya lirih, harapan menggantung di ujung kalimat.Pedagang bakso itu menggeleng pelan, matanya menatap foto Silla sejenak sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Tidak, Pak," jawabnya, suaranya serak.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya. "Nathan... kamu di sini juga?"Nathan menoleh, jantungnya berdebar. Haikal baru saja turun dari mobilnya, wajahnya tampak lelah namun penuh harap."Ya, Pa. Kok Papa ke sini juga?" tanya Nathan, suaranya sedikit gemetar. Dia sudah dua hari ini mencari Silla tanpa henti, tidur dan makan pun terabaikan."Tadi Papa bertanya pada pedagang es campur di sana," Haikal menunjuk ke arah seberang jalan, "katanya dia pernah melihat Silla lewat. Jadi Papa mencari sampai ke sini."Mata Nathan memb
"Tapi, Kak ... kenapa Elsa bisa berselingkuh, apalagi dengan Daddy? Apa alasannya?" tanya Silla, suaranya bergetar, terbebani oleh keterkejutan yang baru saja dialaminya setelah menonton video syur tersebut.Nathan menjawab dengan suara berat, meskipun raut wajahnya berusaha tegar. Kekecewaan dan luka terpancar dari sorot matanya. "Aku tidak tau alasannya, tapi aku sendiri tidak peduli. Karena apapun alasannya ... intinya dia adalah perempuan yang tidak setia. Aku kecewa, Sil." Kata-katanya tegas, namun di baliknya tersimpan kesedihan yang dalam.Dahlia menarik napas panjang, suaranya teredam oleh rasa getir yang membanjiri hatinya. "Sudahlah, Tan. Tidak perlu membahas masalah Elsa lagi. Mommy muak rasanya." Matanya berkaca-kaca, menahan beban emosi yang begitu berat. "Seperti yang kamu katakan, kita fokus pada perceraian saja, ya, Tan?" Harapannya terpancar dalam tatapannya yang lelah.Nathan mengangguk pelan, sentuhan lembutnya di punggung tangan Dahlia seakan ingin meringanka
Keesokan harinya, suasana rumah masih diliputi kesedihan. Herlin menatap punggung suaminya yang tengah bersiap, setelan jas abu tua itu seakan menggambarkan beratnya beban yang dipikul Haikal."Papa ... Papa hari ini langsung mencari Silla lagi, atau ke kantor dulu?" tanyanya lirih, suaranya terdengar khawatir.Haikal berbalik, matanya lelah. "Sebenarnya, Papa mau langsung mencari Silla. Tapi Papa ada rapat penting yang sudah berkali-kali diundur dan tak bisa ditunda lagi." Suaranya terdengar lesu, penuh penyesalan.Herlin mengusap lembut lengan suaminya. "Biarkan Shaka yang mencari Silla, Pa. Nathan juga pasti ikut, kan?"Haikal menggeleng pelan. "Nathan tidak perlu ikut, Ma. Nanti Mama hubungi Nathan saja, suruh dia menghabiskan waktu seharian dengan Elsa. Kasihan Elsa, dia pasti merasa terabaikan karena kita sibuk mencari Silla."Rasa bersalah terpancar dari sorot matanya. Haikal telah berjanji akan lebih memperhatikan Elsa, anak kandungnya yang selama ini mungkin merasa kura
Sementara Nathan terpaku di sofa, seakan membeku oleh beban suasana."Elsa, jawab pertanyaan Mommy!" desis Dahlia, tak sabar menunggu penjelasan dari menantunya. Suaranya bergetar, menahan amarah yang membuncah.Air mata Elsa berlinang. Suaranya terbata-bata, "Aku... aku minta maaf, Mom. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Daddy. Semuanya... semuanya terjadi karena Daddy yang memaksaku."Dahlia mengerutkan dahi, tak percaya. "Memaksa? Rekaman itu tidak menunjukkan hal itu, Elsa. Sudahlah, berhenti berkelit. Lebih baik jujur saja."Tangis Elsa semakin menjadi. "Aku sudah jujur, Mom! Tapi bagaimana caranya agar Mommy dan Mas Nathan percaya? Dad ...." Pandangannya mencari Darwin yang sedari tadi hanya diam. "Dad, tolong bicaralah. Katakan pada Mommy dan Mas Nathan bahwa semuanya tidak benar. Daddy yang memaksaku, kan?"Semua mata tertuju pada Darwin. Keheningan mencekam ruangan.Pria itu menarik napas panjang, berat. "Elsa, ku sangka."Mata Elsa melebar, bingung. "Salah san
Dahlia menatap Elsa, matanya berkaca-kaca, menahan gelombang emosi yang hampir membanjiri dirinya. Dia berusaha keras memberikan ruang bagi Elsa untuk berbicara, untuk menjelaskan, meskipun hatinya remuk berkeping-keping."Bukti yang Mommy maksud... rekaman yang Nathan lihat," suara Dahlia bergetar, jari-jarinya gemetar saat dia membuka laptop dan memutar rekaman itu kembali. Adegan ciuman Elsa dan Darwin terputar di layar, menusuk jantungnya seperti sebilah pisau. Dia sengaja memutarnya lagi, agar tak ada yang bisa mengelak, tak ada yang bisa bersembunyi di balik kebohongan."Apa... apa ini?!" Elsa tersentak, matanya melebar tak percaya. Dia buru-buru menutup laptop, mencoba menghentikan tayangan yang begitu memalukan."Harusnya Mommy yang bertanya begitu." Suara Dahlia tercekat, suaranya bercampur amarah dan kepedihan. "Apa yang membuat kalian tega melakukan ini pada kami? Kenapa kalian begitu kejam?" Air matanya jatuh membasahi pipinya. Tatapannya tajam, menusuk ke dalam jiwa Elsa
Rekaman video itu menampilkan kamar Nathan. Elsa terbaring di tempat tidur, namun yang membuat jantung Nathan berdebar kencang adalah pakaiannya.Elsa mengenakan lingerie sutra berwarna merah marun, sejenis lingerie yang belum pernah dilihat Nathan sebelumnya. Sepertinya lingerie baru. Nathan terpaku. Untuk apa Elsa mengenakan pakaian seperti itu di rumah orang tuanya? Pertanyaan itu menusuk-nusuk pikirannya.Pikiran Nathan melayang. Saat Elsa berada di sana... bukankah itu saat Nathan seharusnya bersama Silla? Kecurigaan itu mulai mengakar kuat dalam benaknya, semakin menguat saat sosok Darwin muncul dari balik pintu.'Daddy?? Kenapa Daddy masuk ke kamarku, dan Elsa...?' Batin Nathan. Matanya membulat sempurna saat menyaksikan adegan yang tak terbayangkan: Darwin mencium bibir Elsa dengan penuh g*irah, dan Elsa menyambutnya dengan sebuah pelukan yang erat.Sebuah amarah membara membakar seluruh tubuh Nathan. "Brengsek!!" teriaknya, suara itu pecah dan penuh kepedihan. Rek
"Bagaimana, Pa? Apa kabar dari polisi? Sudah ada kabar tentang Nathan dan Silla?" tanya Herlin, suaranya dipenuhi kecemasan. Sinar matahari siang yang terik menyinari halaman rumah, namun tak mampu menghangatkan hati yang dipenuhi kekhawatiran.Haikal baru saja menutup telepon dengan petugas kepolisian yang ditugaskan mencari Nathan. Sejak petir menyambar dan memisahkan mereka dari menantunya di tengah guyuran hujan kemarin, Haikal belum berhasil menemukan Nathan. Hanya mobilnya yang tertinggal di tempat kejadian."Belum ada, Ma," jawab Haikal, menggelengkan kepala frustasi. Keringat membasahi dahinya, meski udara terasa panas."Sebaiknya kita beri tahu orang tua Nathan, Pa?" usul Herlin, suaranya sedikit gemetar. Dia tampak lelah, namun tetap tegar."Tunggu dulu, Ma. Kita usahakan dulu hari ini. Kalau sampai sore belum ada kabar… baru kita hubungi mereka." Haikal tak ingin menambah beban kekhawatiran orang tua Nathan, apalagi dengan kabar keberadaan Silla yang belum menemukan titi
Beberapa detik Silla membiarkan bibirnya menyatu dengan bibir Nathan, sebelum akhirnya membalas kecupan itu dengan penuh perasaan. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara dengkuran halus yang keluar dari bibir Nathan. Pria itu tertidur begitu cepat, tanpa diduga.'Tidak mungkin, Kak Nathan tidur secepat ini? Baru saja dia menciumku. Kukira tadi dia benar-benar ingin berciuman,' batin Silla, rasa kecewa menusuk hatinya. Namun, melihat Nathan tidur dengan tenang dan tanpa beban, sebuah rasa lega dan bahagia pun menyusup hatinya.'Ya sudahlah, tak apa. Anggap saja tadi adalah kecupan perpisahan kita. Karena besok, jika Kak Nathan sudah diizinkan pulang dari rumah sakit... otomatis dia akan pulang ke rumah dan tidak akan bertemu denganku lagi,' batin Silla pilu. Kepalanya bersandar di dada Nathan, air mata mulai membasahi pipinya.***Seperti yang Silla duga semalam, pagi ini dokter mengizinkan Nathan pulang. Kabar itu membawanya pada kelegaan yang begitu dalam, sebuah beban se
"E-eh!! Eemm ... Terima kasih, Kak." Wajah Silla memerah, malu-malu. Pandangannya tertunduk.Nathan berusaha bangun dari ranjang, ingin menuju kamar mandi. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut hebat."Aaww!!" ringis Nathan, menahan rasa sakit yang menusuk."Kakak kenapa? Kenapa bangun?" Silla dengan sigap mengulurkan tangan, menyentuh dahi Nathan saat pria itu memegangi kepalanya."Aku mau kencing, Sil. Tapi kepalaku sangat sakit." Suaranya terdengar lemah."Kencing di sini saja, Kak. Sebentar ... aku carikan botol." Silla menawarkan solusi yang spontan, tanpa berpikir panjang."Jangan, Sil! Masa pakai botol?" Nathan menahan tangan Silla yang hendak mencari botol. Bayangannya saja sudah membuatnya merasa malu."Tadi Kakak bilang kepalanya sakit," Silla mengingatkan dengan nada lembut, namun tetap bersikeras."Memang sakit. Tapi tidak perlu sampai kencing di botol juga, Sil." Wajah Nathan memerah menahan malu. "Tolong bantu aku saja, antar ke kamar mandi." Suaranya terdengar lir
"Karena aku men …," ujar Nathan, suaranya terputus. Rasa malu membanjiri dirinya, dua pipinya memerah padam.Silla mengamati wajah Nathan yang memerah. "Lho, Kakak demam lagi?" tanyanya, jari-jari lentiknya menyentuh dahi sang suami. Kulit Nathan memang terasa panas, namun ini bukan karena demam. "Sebentar, aku panggil dokter, ya, Kak. Tunggu—"Silla berdiri, hendak melangkah pergi, namun Nathan menahan lengannya."Tidak usah, ini bukan demam. Aku baik-baik saja.""Tapi badan Kakak panas," Silla menyentuh leher Nathan, sentuhannya membuat jantung Nathan berdebar-debar semakin kencang. Wajahnya memerah semakin dalam."Iya, tidak apa-apa. Nanti juga hilang sendiri. Duduklah lagi.""Eemmm… baiklah," Silla duduk kembali, raut wajahnya masih dipenuhi keraguan. "Jadi, alasan Kakak tidak mau cerai denganku apa?"Nathan menarik napas dalam-dalam. "Tidak ada alasan. Intinya, aku ingin terus bersamamu.""Elsa? Bagaimana dengan Elsa?" Silla mengerutkan dahi, kebingungan mencengk