"SENJA!" "Apa sih, Fi?" Senja merasa tidak ada yang janggal sementara Fifi justru tidak enak hati diperhatikan Restu sambil senyum sedari tadi."Ini Pak Restu bos aku. Bisa sopan nggak sih?"Senja membelalak sempurna. Urat malunya seolah putus, ia mati-matian sksd dengan lelaki ini di depan pos satpam. Ternyata lelaki yang dimaksud adalah bos di kantor ini. Menarik napas panjang, ia mengukir senyuman semanis madu."Selamat pagi Pak Restu," ucap Senja dibuat sebisa mungkin tidak gugup. Sambil memberi kode dua jarinya yang diangkat. Sontak saja Fifi menyikut sahabatnya yang sudah membuatnya malu benar."Kamu karyawan baru, bukan?" tanya Restu masih dengan mengul*m senyum. Tatapannya mengarah ke Fifi yang reflek menunduk. Senja justru mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan Restu. Tentu saja ini mengingatkannya saat di kantor Opa Zein."Iya, Pak. Saya Fifi. Ini teman saya Senja Kamila yang ingin mengisi lowongan sebagai cleaning service." Fifi menoel lengan Senja yang pandangann
Senja berangkat mengikuti kajian di salah satu masjid besar di kota Bandung. Ia sudah janjian dengan Fifi seperti biasa mengikuti kajian ustad Akbar idolanya."Hai, Ja. Di sini." Fifi terlihat melambaikan tangan setelah Senja memarkirkan motor."Naik apa tadi, Fi?""Dianter Andre. Dia langsung ke kafe.""Kalian ini nempel terus. Buruan dihalalin, takut kelamaan bosan nanti," celetuk Senja."Nunggu tabungan ngumpul dulu lah," balas Fifi cekikikan sambil merapikan pasminanya. Ia membuka tas selempangnya lalu menyerahkan satu lagi pasmina yang dipinjam Senja. Keduanya mencoba merapikan di sisi samping masjid dekat toilet."Ini kan pasmina mahal. Apa Fifi sebenarnya orang kaya? Kenapa ngaku orang nggak punya," batin Senja. Ia jelas tahu pasmina bermerk yang dibawa Fifi. Pasmina yang juga sering dipakai mama sama omanya."Gimana sih, susah amat pasminamu, Fi.""Ckk, kamu aja yang belum terbiasa, Ja." "Kayaknya besok beli jilbab yang langsung pakai aja, Fi. Repot pakai beginian. Yang kemari
Seminggu berlalu terasa cepat. Senja sudah mewanti-wanti dirinya agar tetap tenang. Namun, apa saja yang dikerjakan serba salah karena gugup. Ucapan Adam terngiang-ngiang di telinganya. "Ja. Yang ini belum lengkap snacknya. Nah ini malah dobel," tegur Fifi. "Maaf, Fi. Maaf." "Kamu kenapa salah-salah terus dari tadi. Biasa ceroboh tapi nggak ceroboh juga kalau soal makanan," ledek Fifi. Reflek Senja menyengir kuda. "Habisnya Pak Adam bikin otakku buntu tahu, nggak? Mana hari ini beliau minta aku ke rumahnya." Tawa Fifi seketika meledak. Senja pun bertambah kesal dibuatnya. "Kamu malah ikutan meledek sih, Fi." "Siapa suruh buat kesepakatan konyol sama Pak Adam?" "Uang, Fi. Demi uang buat bayar utang." "Iya-iya. Terima aja kalau gitu. Toh cuma pura-pura juga. Kalau beneran ya rejeki kamu, Ja." "What?! Rejeki apaan, yang ada aku rugi tahu nggak. Rugi waktu dan tenaga ditambah dosa berbohong sama orang tuanya." "Ya udah niatin yang baik aja biar nggak jadi dosa." "Gimana caran
"Hah?!" Dua kakak adik reflek matanya membola. Sementara itu, Senja hanya berkomat kamit sambil menunduk. Salah sendiri, ia menerima kesepakatan dua laki-laki muda di depannya hanya demi sejumlah uang untuk melunasi utang modal bisnis. Kesepakatan untuk menjadi kekasih bayaran. Ternyata lelaki itu kakak adik. "Sini, mana calon yang mau kalian kenalin ke Umi? Katanya hari ini mau kalian ajak ke rumah." "Ini Mi calonnya," tunjuk Adam dan Restu bersamaan ke arah Senja. Umi Nayla pun terperanjat mendengar ungkapan kedua putranya. "Astaga, kenapa aku terlibat masalah rumit begini. Ingin rasanya bumi menelan bulat-bulat hingga aku menghilang dari dua laki-laki yang menyusahkanku." Senja meringis sambil menangkupkan kedua tangan. Ia melihat Umi Nayla syok. "Siapapun tolong bawa aku kabur dari sini!" "Ckk, kalian ini nggak usah mengarang. Ayo Sela ikut saya!" Baik Adam dan Restu hanya melongo sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Nayla dengan santainya mengajak masuk Senja ke rumah.
"Antar saja saya ke kafe." Adam tertegun mendengarnya. "Mau ngapain di sana? Meluapkan emosi? Nggak! Nanti kamu malah minum-minum nggak jelas. Udah pulang aja ke kos." "Pak Adam nggak ngerti perasaan saya. Saya bilang antar ke kafe. Kalau nggak mau, saya turun saja." Senja mencoba membuka pintu mobil tapi terkunci otomatis. Ia menggedor-gedor sambil marah-marah. Adam lalu menepikan mobilnya. "Bilang dulu kamu mau ngapain di sana? Baru saya antar. Saya nggak mau hal buruk terjadi menimpa kamu." Senja menoleh ke samping menatap lelaki yang baru saja mengucapkan kalimat perhatian. "Pak Adam nggak usah pura-pura perhatian sama saya. Itu nggak masuk dalam skenario tahu, nggak?" sungut Senja. Adam pun tergelak melihat raut wajah lucu Senja yang tidak pernah ia duga. "Kenapa tertawa? Meledek, ya?" "Habisnya kamu lucu persis kayak anak kecil yang nggak dibelikan es krim ibunya." "Ckkk, menyebalkan." Semakin Senja marah, Adam justru semakin terhibur. Tawa lepasnya tak terbendung me
"Pak Adam," lirih Senja. Ia membetulkan pasmina yang melorot ke lehernya."Apa? Pakainya yang bener biar nggak lepas. Bisa pakai bros untuk mengaitkan," seloroh Adam. Ia sendiri tidak menyangka sampai mengomeli Senja masalah penampilan pasminanya. Senja hanya bersungut mendengarnya."Itu," tunjuk Senja ke arah eskalator. Adam mengikuti arah yang ditunjuk Senja."Itu Mbak Reva, kan? Perempuan gaun merah yang jalan sama laki-laki." Tubuh Adam menegang, mata tak berkedip memastikan objek yang dilihatnya."Reva.""Pak Adam nggak apa-apa?" tanya Senja ragu. Namun, begitu melihat wajah Adam santai, Senja malah heran."Benar itu Mbak Reva kan, Pak?""Iya, Reva sama atasannya."Senja hanya ber oh ria. Ia melihat Adam menjauh dari kedai es krim lalu menempelkan benda persegi ke telinganya. Senja masih mengamati dari jauh sambil menikmati es krim yang tersisa."Halo Rev, kamu lagi off?""Ah iya, Dam. Bos ada urusan jadi aku dikasih off untuk menemani bertemu koleganya.""Oh. Kenapa nggak ngabari
"Reva?!""Hmm, Adam! Kenapa ke sini nggak bilang-bilang dulu?" Dengan mengucap terbata, Reva tetap berusaha tenang."Kamu berharap bukan aku yang datang, Rev?""Oh ini tadi kunci mobil.""Rev, kunci mobil saya ketinggalan." Suara lelaki dari arah samping Adam berdiri membuatnya menoleh."Oh ada tamu, ya?" ungkap bos Reva lalu menyapa Adam.Sementara itu, Adam tersenyum simpul emmbalas sapaan lelaki yang ditaksirnya lebih tua sedikit darinya. Melihat dari jari tangannya terdapat cincin, pastilah lelaki itu bukan single."Iya, Ma...hmm Pak. Kuncinya ketinggalan di meja.""Makasih, Rev. Jangan lupa besok filght siang on time, ya.""Siap, Pak.""Senang bertemu dengan....""Adam.""Ya, Pak Adam. Temannya Reva, kan?""Ya, lebih tepatnya calonnya Reva."Bos Reva beroh ria lalu melambaikan tangan berpamitan."Adam, kenapa kamu bilang begitu sama bosku?""Bilang apa?" tanya Adam balik ke Reva. Ia bersikap santai lalu masuk dan duduk di sofa."Ini buat sarapan kamu, Rev.""Iya makasih banyak.""
"S*alan, Seno mau menjebakku.""Bos, Senja mau bayar utang," seru Seno sembari menunjuk ke Senja. Bos Seno pun tertawa kencang membuat Senja siaga. Ia bisa melihat raut wajah lelaki botak itu menatapnya penuh hasr*t. Senja mau tak mau memutar otaknya. Dia jelas bisa melawan jika orangnya sedikit. Namun saat ini ada empat orang laki-laki di sana. Ia tidak bisa menaksir seberapa kuat lawannya."Tunggu! Saya transfer dulu utang saya biar semua clear," ucap Senja mantap."Oh dengan senang hati Nona cantik. Tapi jangan lupa bunganya.""Seno nggak bilang kalau ada bunganya. Iya, kan?" Senja kesal sambil menatap tajam ke arah Seno."Dia memang nggak bilang. Tapi aku yang minta bunganya. Tidak usah di transfer, bunganya langsung saja di sini," ucap lelaki itu dengan seringai licik."Katakan berapa nomernya, saya transfer sekarang juga."Seno memberikan nomer rekening bosnya. Dengan lincah jemari Senja segera melakukan
Semua yang hadir di ruang keluarga menepuk dahi kecuali Adam dan Senja yang masih tak percaya."Kalian berdua memang sudah bikin heboh. Tunggu sanksi dari Abi dan Umi," ungkap Aryo."Hah?!" Senja tersipu malu. Ia tak enak hati pada keluarga Adam dan juga keluarganya."Pokoknya kita adakan resepsi secepatnya. Siap ya, Al, Syad," usul Opa Zein."Siap, Pa, Ma," balas Alea dan Irsyad bersamaan."Kan ada Rendra sama Galang yang jadi PJnya," sahut Alea yang disambut tawa kedua keluarga."Walah, kalau tahu begini, Umi sama Abi nggak susah-susah nyariin jodoh kamu biar nggak nyari-nyari Senja. Kamu nggak ingat dulu waktu kecil, kamu suka main sama Senja?" Nayla mencoba menceritakan masa kecil putranya saat diajak Aryo membahas bisnis kerja sama dengan perusahaan Zein."Yang mana ya, Ma?" tanya Adam mencoba mengingat-ingat."Itu lho yang dulu gadis berkuncir dua."Seolah ingatannya terbang ke masa lalu, Adam malah senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya."Senja." Adam me
"Aku menyayangimu, Ja. Percayalah, aku mulai menyukaimu sejak lama. Sejak kita bertemu pertama kali di kampus. Sejak kamu menjadi mahasiswa bimbinganku." Senja tidak bisa berkata-kata. Hanya bulir bening yang mewakili rasa harunya. Ternyata cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia merasa kurang sabar memahami lelaki yang dikasihinya. "Mas Adam. Maafkan aku!" Adam meletakkan telunjuknya di bibir Senja. "Sttt, kamu tidak pantas meminta maaf. Seharusnya aku yang berjuang." Tangan kanan Adam mencoba merapikan rambut poni Senja. "Senja, maukah kita memulai semuanya dari awal? Aku mau kita menjalin hubungan serius sebagai pasangan halal bukan pasangan kontrak." Senja mengangguk tanpa kata. Adam pun membalas dengan senyuman. Tanpa aba-aba, Adam melabuhkan sebuah kecupan dikening Senja. Meleburkan rasa rindu yang menggebu. Kini kesalah pahaman itu telah berlalu menyisakan kerinduan yang ingin terbayarkan. "Aku mencintaimu Senja Kamila Rahmawan." "Aku juga, Mas Adam Syail
"Ough. Sakit, Ja! Kenapa kamu pukul suamimu?!" "Hah?! Pak Adam?" Senja syok mendapati Adam yang ada di kamarnya. Namun, kesadarannya langsung pulih dengan ekspresi marah dan berkacak pinggang. "Pak Adam sengaja menakuti saya?! Kenapa masuk ke kamar ini diam-diam?" Adam yang terjungkal ke lantai karena tak siap dilawan Senja hanya bisa mengaduh. Ia berdiri lalu mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kamu gimana sih, Ja. Suami sendiri malah dih4jar gini? Untung kamu nggak nendang...." Belum selesai Adam mengucap, Senja sudah terkikik geli sambil memegang perutnya. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah datar lagi. "Mau apa kemari? Bukannya Pak Adam udah balikan sama mantan?!" ucapnya seraya mendecis. Ia pun mendaratkan pant*tnya ke r4njang. "Maksud kamu apa, Ja?" "Kenapa Pak Adam tanya sama saya? Tanya saja pada diri sendiri." Lagi, Senja masih berbicara dengan nada ketus. Hal itu membuat Adam semakin tak mengerti. "Sebentar, Ja! Jangan bilang kalau kamu selama ini salah
"Ya Rabb, kenapa harus ketemu dia di rumah ini?" "Sudah pulang, Pa." Suara Sekar terdengar di telinga Senja yang masih mematung. "Senja, ini Mas Ardian suamiku. Yang ini Adam Syailendra adikku." "Hah, Adik?" Senja membatin sambil mengerutkan dahi. Ia juga mengerjapkan mata berulang, berharap itu hanya mimpi." "Kenapa jadi Pak Adam adik Mbak Sekar? Lalu Andika? Gawat, nih." "Yuk, masuk, Dam. Mbak kenalin kolega dari Yogya. Ada Senja sama Andika." "Ma, diajak duduk dulu lah. Adam dari tadi suntuk tuh. Kelaparan kayaknya. Papa ajak makan nggak mau," celetuk Ardi. Senja hanya bisa menelan ludahnya kala tatapan tajam Adam mengarah padanya. Sedetik kemudian ia justru tidak menggubris ucapan Sekar. Memilih duduk di Sofa, Adam bersikap tak acuh pada Senja maupun Andika. "Lho ternyata Pak Adam adiknya Mbak Sekar, ya? Dunia ini sempit sekali," ucap Andika santai. Namun tidak dengan Senja yang ketar-ketir sedari tadi. Ia berharap Andika tidak membuat rencana kerja samanya dengan Sekar gat
"Fifi?! Kanget tahu, nggak? Kenapa nggak bilang kalau pindah ke sini, sih?" Senja berlari lalu mem3luk tubuh Fifi. Ia tidak pernah berubah. Dilihat oleh Fifi, sahabatnya itu masih saja sama seperti saat kuliah. Suka teriak heboh sendiri. "Udah nyer0cosnya? Kayak kereta aja," sahut Fifi sambil bersungut. Senja melepas p3lukannya sambil terkikik geli. "Lagian kamu nih nggak ada kabarnya." "Yeay, siapa yang ga ada kabar. Nggak kebalik? Kamu kan yang super sibuk. Sejak jadi bos, lupa deh sama sahabat sendiri," cibir Fifi. Keduanya berjalan menuju ruang tunggu stasiun. Sebab kedatangan orang tua Fifi untuk menjenguk cucu sekaligus liburan masih sejam lagi. "Sini, ceritakan tentang kabarmu! Katanya mau nikah? Kapan? Jangan-jangan udah ya? Sejak terakhir ketemu Pak Adam di restoran, aku sudah nggak dapat kabarmu lagi, Ja. Gimana hubungan kalian?" "Nih, gini nih. Tadi aja ngatain aku myerocos kayak kereta. Giliran nanya, kamu juga nggak ada jedanya sama sekali, Fi." Fifi terbahak disusul
Seminggu berlalu, pagi-pagi sekali Senja sudah berangkat menuju kantor Sekar. Ia menginap di hotel tak jauh dari kantor. Padahal Sekar sudah menawarinya menginap. Senja merasa belum akrab, alhasil hanya mengiyakan kalau masa tinggal di hotel telah habis. "Andre!" Senja sudah sampai di kantor Sekar karena permintaan bos besar itu sendiri. "Hah, aku nggak salah lihat?" Andre mengucek matanya dengan salah satu tangan. Sementara tangan lain memegang berkas. "Ini Senja, Ndre." "Astaga! Kamu beneran Senja? Kok kamu bisa sampai sini, Ja?" "Ishh, sini aku yang harusnya tanya kenapa kamu bida di sini, Ndre?" "Aku memang pindah ke sini sudah tiga bulan, Ja." "Apa?! Fifi juga?" Senja menarik lengan Andre lalu celingukan mencari tempat duduk yang nyaman. "Sini lho kalau mau ngobrol. Memangnya kamu sudah hafal tempat-temapat di sini?" celetuk Andre. Senja hanya meringis. Dia terlalu pede dan tidak ingat kalau sedang di perusahaan orang. "Kamu pindah sama Fifi nggak kasih kabar sih, Ndre. A
"Pak. Apa mobilnya sudah siap?" tanya seorang perempuan dengan pakaian modis berhijab. "Siap, Bu. Itu dia mobilnya," seru satpam. Senja mengikuti arah pandang lelaki paruh baya itu ke perempuan tadi. "Ndre tolong handel kerjaan yang di kantor dulu. Saya harus meeting dengan klien." "Siap, Bu Sekar." Senja m3mbelalak sempurna saat percakapan itu tertangkap indera pendengarannya. "Bu Sekar?" Senja menoleh lalu mencari sumber suara tadi. "Hah, Andre? Eh apa itu Bu Sekar." Senja kelabakan melihat Andre suami sahabatnya ada di sini. Antara ingin mengejar Andre atau Bu Sekar, ia bimbang. "Duh, gimana nih?" "Hmm, tunggu, Bu." "Maaf, Mbak. Jangan sembarangan mendekat! Itu bos besar perusahaan ini," cegah seorang satpam yang tadi melayani Senja. Brukk. "Ough." "Maaf, Mbak." Satpam sedikit merasa bersalah karena Senja terpeleset. Lelaki itu segera membantu berdiri karena tidak enak terlihat buruk di mata bosnya. "Hufh. Untung bukan bahuku yang membentur lantai," keluh Senja. Ia meno
Di dalam kereta jurusan Tugu-Gubeng, Senja hanya melamun. Pikirannya tertuju pada Adam. Suaminya bertemu lagi dengan masa lalunya. "Ah, aku kenapa lagi. Harusnya aku fokus memikirkan perusahaan. Bukan malah memikirkan mereka berdua." Senja berusaha menghibur diri. Ia tidak mau gara-gara masalah cinta perusahaan turun temurun milik keluarga hancur. "Sudahlah yang penting aku sudah meninggalkan pesan dan cincin itu di laci. Belum tentu Pak Adam menemukannya juga. Mungkin dia nggak begitu mempedulikan kalaupun aku cerita tentang perjanjian itu. Pasti dia semakin semangat kembali berhubungan dengan Mbak Reva." Lima jam perjalanan akhirnya Senja sampai di stasiun Gubeng. Siang hari yang terik tidak menyurutkan semangatnya menginjakkan kaki di kota pahlawan ini. "Semangat Senja. Kamu pasti bisa." Menghirup udara kota Surabaya, Senja akan memulai petualangan barunya. Dari stasiun, ia naik taksi menuju alamat perusahaan yang diberikan oleh Restu. Sampai di depan sebuah gedung bertingkat
Bab 44 Wanita Spesial"Pak Adam kapan datang?" tanya Senja seraya berbisik saat sudah duduk di sebelah suaminya. Adam mengerutkan dahi mendengar panggilan Senja padanya berubah."Kapan datang?" ulang Senja sedikit kesal karena tidak segera dijawab."Senja buruan sarapan. Papa sama Mama mau berangkat dulu. Kalian selesaikan sarapannya ya.""Iya, Ma," sahut Adam diikuti Senja. Kini di meja makan tinggal ada dua orang yang terdiam. Mereka menikmati sepiring nasgor spesial buatan Papa Irsyad."Kamu....""Ough." Senja m3mekik saat tangan Adam menyentuh bahunya yang sakit."Kenapa, Ja?""Nggak papa, hanya sedikit cidera." Raut wajah Adam berubah khawatir. Ia meletakkan sendok di tangan lalu duduk menghadap Senja."Kamu kemana semalam? Kenapa tidak pulang?" tanya Adam dengan wajah serius. Tatapan tajamnya menyelami manik mata Senja membuat gadis itu beringsut. Memilih fokus dengan nasgornya, Senja tidak tahan ditatap seperti itu. "Saya ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Senja mencoba b