"Udah dulu ya, Ma. Nanti malam Senja telpon lagi.""Telpon dari siapa, Ja?" Suara Adam yang berdiri di ambang pintu mengagetkan Senja. Dipikirnya tidak ada siapa-siapa tadi di kamar itu. Ternyata tanpa Senja sadari Adam sudah berdiri di luar pintu kamar."Eh Pak Adam. Tadi ibu saya telpon dari kampung, Pak." Adam menautkan alisnya lalu Senja mengalihkan topik."Saya mau pulang sekarang, Pak.""Saya antar.""Nggak usah, Pak. Saya bisa naik ojek atau taksi.""Siapa yang suruh menolak? Lagian Umi udah kasih izin. Bahaya kalau kamu naik ojek atau taksi kondisi begini.""Ckk, lebih bahaya kalau diantar Bapak.""Yang antar bukan saya tapi sopir. Saya cuma nemenin aja. Nggak usah geer."Senja membelalakan mata. Sudah kepalang malu karena kepedean mau diantaf Adam. Ia merutuk dalam hati."Sudah tahu sakit gini malah dibully, hufh nyebelin, kan. Tadi aja bersikap manis.""Senja!" "Eh iya, Pak. Siap." Senja berjalan hati-hati seraya mengambil tas dan ponsel yang ada di nakas. Kepalanya masih s
Waktu berlalu tak terasa hari tergerus oleh minggu. Senja melewati hari-hari terakhir bimbingan dengan Adam."Lusa siapkan draft skripsinya. Saya cek sekali lagi. Setelah itu bisa daftar sidang!""Beneran, Pak?""Nggak percaya? Ya sudah, saya tarik kembali ucapan saya barusan.""Eh nggak boleh begitu, Pak. Iya-iya saya siapkan draftnya."Senyum terukir di bibir Senja. Ia tidak sabar mengabari orang tuanya bahwa sidang sudah dekat. Mempersembahkan kelulusan kepada orang tuanya menjadi kebahagiaan tersendiri baginya."Oya, Ja. Nanti siang ikut saya ke butik." Adam seperti bukan sekedar memberi info tetapi lebih ke memberi titah."Buat apa, Pak?""Buat fitting seragam acara lamaran.""Hah? Lamaran apa, Pak? Kita kan hanya pura-pura.""Ya, siapa tahu beneran. Saya bisa saja serius kalau kamu mau."Reflek Senja tersedak ludahnya. Entah kenapa jantungnya memompa darah dengan cepat.
"Cantik." "Pak Adam," ucap Senja terbata. Keduanya larut dalam keheningan dengan menyelami pikiran masing-masing. Sampai-sampai ada pengunjung yang datang menyapa membuat keduanya tergagap. "Kalian berdua pasangan serasi.""Pak Adam. Maaf." Senja berusaha menjauh sambil mengucap terbata. Kegugupan pun melanda. Saat suasana canggung hadir saat itu juga ada Reva yang mendadak di depan mata."Reva?! Katamu belum off kenapa datang?" Terlihat Adam berujar santai. Senja heran apa ini bukan sebuah kebetulan. Bisa jadi Adam sudah membuat janji dengan Reva. "Mengenaskan sekali nasibku," batin Senja merutuki diri sendiri."Aku kan mau bikin kejutan, Dam." Reva tersenyum sambil melirik sinis Senja yang tiba-tiba salah tingkah."Mbak, tolong bantu ambil ukuran badannya," titah Adam pada pelayan yang dipanggilnya."Perlu diukur lagi, Dam? Katanya udah cukup dia aja," ujar Reva sambil mengucap dengan nada dibuat-buat. "Ya, siapa tahu beda ukurannya, Rev.""Oh ada lagi yang perlu diukur, Mas?" t
Seminggu berlalu, hari yang dinantikan Senja pun tiba. Ia telah bersiap dengan pakaian bawahan rok hitam, atasan kemeja lengan panjang warna putih. Dandanannya natural dibantu Fifi.Ya, sejak terakhir bertemu Reva di mall, ia memutuskan berbaikan dengan Fifi. Sahabatnya pasti butuh dukungannya menyelesaikan masalah. Seperti dirinya yang sejatinya juga sedang ada masalah yang ingin diungkapkan. Namun, Senja tahu bukan saat yang tepat curhat dengan Fifi. Ia justru ingin mengurangi beban sahabatnya."Sini, aku bantu make up.""Ishh, udah gini aja kenapa?"."Kurang menarik. Nanti pengujinya nggak betah lihatin kamu, Ja."Senja berdecak. Ia berpikir mau sidang skripsi bukannya seleksi model."Jangan menor-menor, Fi!" teriak Senja. Fifi pun terkikik geli.Sepanjang sidang, Senja melewatinya dengan sukses dan terhitung lancar. Ia perlu berterima kasih pada dosen pembimbingnya. Siapa lagi kalau bukan Adam Syailendra. Andai saja dia kekeh tidak mau revisi, sudah dipastikan dosen penguji membant
Seolah tidak mendengar ucapan Adam, Senja hanya melirik paper bag berisi dasi untuk Adam. Ia menyodorkan tangan yang memakai gelang supaya Adam melepaskannya sendiri. Bibirnya sudah terkunci seolah hatinya pun ikut mati untuk mengenal kata cinta. Satu tangan lainnya meraih paper bag di meja lalu disembunyikan di kursinya."Terima kasih, Ja."Hanya sebuah anggukan, Senja sudah merasakan matanya mulai berembun. Ia harus segera pergi dari ruangan yang menyesakkan dadanya. Seumur-umur, ini sebuah kejutan yang menyedihkan baginya."Senja! Paper bag nya?""Oh, itu buat teman saya, Pak. Maaf saya permisi mau mengurus yudisium." Lega rasanya, Senja bisa mengucap kalimat itu meski dengan tenggorokan tercekat.Senja buru-buru pamit keluar dari ruangan dosennya. Matanya sudah berkaca-kaca dan napas terasa sesak. Ia berlari masuk ke kamar mandi di sudut koridor kampus."Eh, maaf, Mbak.""Hati-hati kalau jalan.""Iya." Senja hampir menabrak petugas kebersihan karena tangannya sempat mengucek matan
"Ckk dasar Senja. Kenapa kartunya dibalikin segala." Adam menggelengkan kepala. Ia berniat mengecek saldo kartu yang diisinya sesuai kesepakatan dengan Senja. Begitu lincah jarinya mengetik di layar ponsel. Matanya membulat sempurna. Nominal yang ada di kartu itu masih utuh sesuai saldo awal. "Senja! Apa-apaan ini?"Mau marah, seketika ponsel Adam berdering. Tertera Umi Nayla di layar benda persegi itu. "Halo, Mi. Gimana?""Adam jadi bisa antar Umi ke butik? Hantarannya juga sudah siap. Kita ambil hari ini.""Ya, Mi. Setengah jam lagi Adam jemput. Umi siap-siap, ya."Adam memasukkan kembali kartu yang dikembalikan oleh Senja. Bahkan ia tidak berniat membuka kota kecil yang ada di paper bag. Dibiarkan saja benda itu di meja kerjanya. Ia bergegas menyelesaikan tanda tangan berkas supaya bisa mengantar uminya.Setengah jam berlalu, Adam sudah sampai rumah dan menjemput Nayla."Ayo, Dam!" Adam yang duduk di sofa hanya bergeming."Adam!""Eh, iya, Mi." Adam menyadari lamunannya. Entah ken
Untuk beberapa menit, Adam masih bertahan di dalam bersama orang tua Reva. Berkali-kali pasangan yang memasuki usia senja itu mengucap maaf pada Adam. "Tidak apa-apa, Pak, Bu. Saya sudsh hafal sifat Reva. Saya hanya berniat membantu untuk kebaikannya. Tapi sepertinya dia memilih jalan lain yang dianggapnya baik dan benar.""Sekali lagi maafkan kami Nak Adam. Kami harus bilang apa pada kedua orang tua Nak Adam?""Tidak perlu, Pak. Biar saya yang menjelaskan pada Umi dan Abi."Adam akhirnya keluar juga. Nayla yang sudah tidak sabar lalu beranjak mendekati putranya."Ada apa, Dam?""Apa ada masalah?" imbuh Aryo."Tidak ada, Bi, Mi. Kita pulang saja. Lamarannya ditunda. Reva ternyata ada flight mendadak.""Hah? Kenapa bisa begini?" ujar Nayla sedikit syok. Baru sekali melamarkan putranya tetapi berujung batal."Apa Mbak Reva bikin ulah, Mas?" bisik Restu masih bisa ditangkap oleh indra pendengaran Aryo. Lelaki berusia kepala lima itu sedikit mendecis."Maafkan kami Pak Aryo, Bu Nayla. An
Satu tahun berlalu, Adam berdebat dengan uminya di ruang keluarga."Mi, Adam harus balik ke Yogya. Di sana tempat sementara yang nyaman untuk Adam.""Sayang, nggak harus begini. Di sini rumahmu. Kamu nggak harus pergi hanya gara-gara gagal menikahi Reva.""Bukan karena Reva, Mi. Adam memang mau membuka lembaran baru di kota itu. Adam mau....""Mas Adam mau mencari cintanya yang hilang, Mi. Biarin aja, Umi tinggal kasih dukungan doa."Nayla terperangah. Gegas ia mengusap bulir bening di pipinya. Lalu ia mendekati Adam dan mengusap lengannya."Kamu nyari Reva sampai ke Yogya? Buat apa? Umi khawatir kamu malah semakin terpuruk.""Umi nih nggak tahu. Mas Adam nyari Senja, bukannya Reva," imbuh Restu sambil terkikik. Lalu ia kabur sebelum ditimpuk barang apa saja oleh Adam."Awas kamu, Res! Nggak bisa tutup mulut apa?" ucap Adam seraya mendengkus."Mi, kata Mas Adam semboyannya. Walau ke ujung dunia dia akan menemukan Senja." Tawa Restu membahana membuat Adam kesal setengah mati. Wajahnya s
Semua yang hadir di ruang keluarga menepuk dahi kecuali Adam dan Senja yang masih tak percaya."Kalian berdua memang sudah bikin heboh. Tunggu sanksi dari Abi dan Umi," ungkap Aryo."Hah?!" Senja tersipu malu. Ia tak enak hati pada keluarga Adam dan juga keluarganya."Pokoknya kita adakan resepsi secepatnya. Siap ya, Al, Syad," usul Opa Zein."Siap, Pa, Ma," balas Alea dan Irsyad bersamaan."Kan ada Rendra sama Galang yang jadi PJnya," sahut Alea yang disambut tawa kedua keluarga."Walah, kalau tahu begini, Umi sama Abi nggak susah-susah nyariin jodoh kamu biar nggak nyari-nyari Senja. Kamu nggak ingat dulu waktu kecil, kamu suka main sama Senja?" Nayla mencoba menceritakan masa kecil putranya saat diajak Aryo membahas bisnis kerja sama dengan perusahaan Zein."Yang mana ya, Ma?" tanya Adam mencoba mengingat-ingat."Itu lho yang dulu gadis berkuncir dua."Seolah ingatannya terbang ke masa lalu, Adam malah senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba sebuah ide melintas dibenaknya."Senja." Adam me
"Aku menyayangimu, Ja. Percayalah, aku mulai menyukaimu sejak lama. Sejak kita bertemu pertama kali di kampus. Sejak kamu menjadi mahasiswa bimbinganku." Senja tidak bisa berkata-kata. Hanya bulir bening yang mewakili rasa harunya. Ternyata cintanya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Ia merasa kurang sabar memahami lelaki yang dikasihinya. "Mas Adam. Maafkan aku!" Adam meletakkan telunjuknya di bibir Senja. "Sttt, kamu tidak pantas meminta maaf. Seharusnya aku yang berjuang." Tangan kanan Adam mencoba merapikan rambut poni Senja. "Senja, maukah kita memulai semuanya dari awal? Aku mau kita menjalin hubungan serius sebagai pasangan halal bukan pasangan kontrak." Senja mengangguk tanpa kata. Adam pun membalas dengan senyuman. Tanpa aba-aba, Adam melabuhkan sebuah kecupan dikening Senja. Meleburkan rasa rindu yang menggebu. Kini kesalah pahaman itu telah berlalu menyisakan kerinduan yang ingin terbayarkan. "Aku mencintaimu Senja Kamila Rahmawan." "Aku juga, Mas Adam Syail
"Ough. Sakit, Ja! Kenapa kamu pukul suamimu?!" "Hah?! Pak Adam?" Senja syok mendapati Adam yang ada di kamarnya. Namun, kesadarannya langsung pulih dengan ekspresi marah dan berkacak pinggang. "Pak Adam sengaja menakuti saya?! Kenapa masuk ke kamar ini diam-diam?" Adam yang terjungkal ke lantai karena tak siap dilawan Senja hanya bisa mengaduh. Ia berdiri lalu mengusap bagian tubuhnya yang sakit. "Kamu gimana sih, Ja. Suami sendiri malah dih4jar gini? Untung kamu nggak nendang...." Belum selesai Adam mengucap, Senja sudah terkikik geli sambil memegang perutnya. Namun, beberapa detik kemudian wajahnya berubah datar lagi. "Mau apa kemari? Bukannya Pak Adam udah balikan sama mantan?!" ucapnya seraya mendecis. Ia pun mendaratkan pant*tnya ke r4njang. "Maksud kamu apa, Ja?" "Kenapa Pak Adam tanya sama saya? Tanya saja pada diri sendiri." Lagi, Senja masih berbicara dengan nada ketus. Hal itu membuat Adam semakin tak mengerti. "Sebentar, Ja! Jangan bilang kalau kamu selama ini salah
"Ya Rabb, kenapa harus ketemu dia di rumah ini?" "Sudah pulang, Pa." Suara Sekar terdengar di telinga Senja yang masih mematung. "Senja, ini Mas Ardian suamiku. Yang ini Adam Syailendra adikku." "Hah, Adik?" Senja membatin sambil mengerutkan dahi. Ia juga mengerjapkan mata berulang, berharap itu hanya mimpi." "Kenapa jadi Pak Adam adik Mbak Sekar? Lalu Andika? Gawat, nih." "Yuk, masuk, Dam. Mbak kenalin kolega dari Yogya. Ada Senja sama Andika." "Ma, diajak duduk dulu lah. Adam dari tadi suntuk tuh. Kelaparan kayaknya. Papa ajak makan nggak mau," celetuk Ardi. Senja hanya bisa menelan ludahnya kala tatapan tajam Adam mengarah padanya. Sedetik kemudian ia justru tidak menggubris ucapan Sekar. Memilih duduk di Sofa, Adam bersikap tak acuh pada Senja maupun Andika. "Lho ternyata Pak Adam adiknya Mbak Sekar, ya? Dunia ini sempit sekali," ucap Andika santai. Namun tidak dengan Senja yang ketar-ketir sedari tadi. Ia berharap Andika tidak membuat rencana kerja samanya dengan Sekar gat
"Fifi?! Kanget tahu, nggak? Kenapa nggak bilang kalau pindah ke sini, sih?" Senja berlari lalu mem3luk tubuh Fifi. Ia tidak pernah berubah. Dilihat oleh Fifi, sahabatnya itu masih saja sama seperti saat kuliah. Suka teriak heboh sendiri. "Udah nyer0cosnya? Kayak kereta aja," sahut Fifi sambil bersungut. Senja melepas p3lukannya sambil terkikik geli. "Lagian kamu nih nggak ada kabarnya." "Yeay, siapa yang ga ada kabar. Nggak kebalik? Kamu kan yang super sibuk. Sejak jadi bos, lupa deh sama sahabat sendiri," cibir Fifi. Keduanya berjalan menuju ruang tunggu stasiun. Sebab kedatangan orang tua Fifi untuk menjenguk cucu sekaligus liburan masih sejam lagi. "Sini, ceritakan tentang kabarmu! Katanya mau nikah? Kapan? Jangan-jangan udah ya? Sejak terakhir ketemu Pak Adam di restoran, aku sudah nggak dapat kabarmu lagi, Ja. Gimana hubungan kalian?" "Nih, gini nih. Tadi aja ngatain aku myerocos kayak kereta. Giliran nanya, kamu juga nggak ada jedanya sama sekali, Fi." Fifi terbahak disusul
Seminggu berlalu, pagi-pagi sekali Senja sudah berangkat menuju kantor Sekar. Ia menginap di hotel tak jauh dari kantor. Padahal Sekar sudah menawarinya menginap. Senja merasa belum akrab, alhasil hanya mengiyakan kalau masa tinggal di hotel telah habis. "Andre!" Senja sudah sampai di kantor Sekar karena permintaan bos besar itu sendiri. "Hah, aku nggak salah lihat?" Andre mengucek matanya dengan salah satu tangan. Sementara tangan lain memegang berkas. "Ini Senja, Ndre." "Astaga! Kamu beneran Senja? Kok kamu bisa sampai sini, Ja?" "Ishh, sini aku yang harusnya tanya kenapa kamu bida di sini, Ndre?" "Aku memang pindah ke sini sudah tiga bulan, Ja." "Apa?! Fifi juga?" Senja menarik lengan Andre lalu celingukan mencari tempat duduk yang nyaman. "Sini lho kalau mau ngobrol. Memangnya kamu sudah hafal tempat-temapat di sini?" celetuk Andre. Senja hanya meringis. Dia terlalu pede dan tidak ingat kalau sedang di perusahaan orang. "Kamu pindah sama Fifi nggak kasih kabar sih, Ndre. A
"Pak. Apa mobilnya sudah siap?" tanya seorang perempuan dengan pakaian modis berhijab. "Siap, Bu. Itu dia mobilnya," seru satpam. Senja mengikuti arah pandang lelaki paruh baya itu ke perempuan tadi. "Ndre tolong handel kerjaan yang di kantor dulu. Saya harus meeting dengan klien." "Siap, Bu Sekar." Senja m3mbelalak sempurna saat percakapan itu tertangkap indera pendengarannya. "Bu Sekar?" Senja menoleh lalu mencari sumber suara tadi. "Hah, Andre? Eh apa itu Bu Sekar." Senja kelabakan melihat Andre suami sahabatnya ada di sini. Antara ingin mengejar Andre atau Bu Sekar, ia bimbang. "Duh, gimana nih?" "Hmm, tunggu, Bu." "Maaf, Mbak. Jangan sembarangan mendekat! Itu bos besar perusahaan ini," cegah seorang satpam yang tadi melayani Senja. Brukk. "Ough." "Maaf, Mbak." Satpam sedikit merasa bersalah karena Senja terpeleset. Lelaki itu segera membantu berdiri karena tidak enak terlihat buruk di mata bosnya. "Hufh. Untung bukan bahuku yang membentur lantai," keluh Senja. Ia meno
Di dalam kereta jurusan Tugu-Gubeng, Senja hanya melamun. Pikirannya tertuju pada Adam. Suaminya bertemu lagi dengan masa lalunya. "Ah, aku kenapa lagi. Harusnya aku fokus memikirkan perusahaan. Bukan malah memikirkan mereka berdua." Senja berusaha menghibur diri. Ia tidak mau gara-gara masalah cinta perusahaan turun temurun milik keluarga hancur. "Sudahlah yang penting aku sudah meninggalkan pesan dan cincin itu di laci. Belum tentu Pak Adam menemukannya juga. Mungkin dia nggak begitu mempedulikan kalaupun aku cerita tentang perjanjian itu. Pasti dia semakin semangat kembali berhubungan dengan Mbak Reva." Lima jam perjalanan akhirnya Senja sampai di stasiun Gubeng. Siang hari yang terik tidak menyurutkan semangatnya menginjakkan kaki di kota pahlawan ini. "Semangat Senja. Kamu pasti bisa." Menghirup udara kota Surabaya, Senja akan memulai petualangan barunya. Dari stasiun, ia naik taksi menuju alamat perusahaan yang diberikan oleh Restu. Sampai di depan sebuah gedung bertingkat
Bab 44 Wanita Spesial"Pak Adam kapan datang?" tanya Senja seraya berbisik saat sudah duduk di sebelah suaminya. Adam mengerutkan dahi mendengar panggilan Senja padanya berubah."Kapan datang?" ulang Senja sedikit kesal karena tidak segera dijawab."Senja buruan sarapan. Papa sama Mama mau berangkat dulu. Kalian selesaikan sarapannya ya.""Iya, Ma," sahut Adam diikuti Senja. Kini di meja makan tinggal ada dua orang yang terdiam. Mereka menikmati sepiring nasgor spesial buatan Papa Irsyad."Kamu....""Ough." Senja m3mekik saat tangan Adam menyentuh bahunya yang sakit."Kenapa, Ja?""Nggak papa, hanya sedikit cidera." Raut wajah Adam berubah khawatir. Ia meletakkan sendok di tangan lalu duduk menghadap Senja."Kamu kemana semalam? Kenapa tidak pulang?" tanya Adam dengan wajah serius. Tatapan tajamnya menyelami manik mata Senja membuat gadis itu beringsut. Memilih fokus dengan nasgornya, Senja tidak tahan ditatap seperti itu. "Saya ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Senja mencoba b