Malam itu, rumah terasa sunyi. Nadia duduk di tepi ranjang, tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena pekerjaan rumah yang menumpuk, tetapi juga karena tekanan emosional yang semakin hari semakin menghimpit dadanya. Pikirannya terus berputar memikirkan peristiwa pagi tadi, saat Indra marah di depan Reza. Setiap kali bayangan itu muncul, rasa sesak kembali menghantam.
Di ruangan lain, Reza sudah tertidur dengan damai di kamar tidurnya, tidak menyadari badai yang sedang melanda rumah tangga kedua orang tuanya. Nadia memandang ke arah pintu kamar yang setengah terbuka, memperhatikan napas anaknya yang teratur. Dia bersyukur setidaknya Reza belum benar-benar memahami apa yang terjadi. Tapi Nadia tahu, jika situasi ini terus berlanjut, anak itu akan merasakan dampaknya lebih cepat daripada yang dia harapkan.
Nadia mendesah panjang. Ia memandang keluar jendela kamar, ke langit malam yang dipenuhi bintang. Selama ini, ia selalu percaya bahwa keluarga adalah tempat berlindung
Keesokan harinya, langit Jakarta diselimuti awan kelabu, seolah mencerminkan suasana hati Nadia. Ia terbangun dengan perasaan hampa, namun tetap menjalani rutinitas paginya seperti biasa. Suara gemericik air dari dapur terdengar samar ketika Nadia menyiapkan sarapan untuk Reza. Pikirannya masih dipenuhi oleh percakapan dengan Indra semalam. Kata-kata Indra yang tajam dan dingin terus terngiang di telinganya, membuatnya sulit untuk fokus.Reza, dengan celoteh khas anak-anaknya, berusaha menarik perhatian ibunya. Nadia mencoba tersenyum di hadapan putranya, berusaha menyembunyikan kegundahan hatinya. Ia ingin sekali memberikan kebahagiaan dan ketenangan untuk Reza, meskipun di dalam dirinya ada badai yang tak kunjung reda. Namun, Nadia tahu bahwa anak kecil pun bisa merasakan perubahan suasana di sekitarnya, terutama ketika orang tua mereka sedang bermasalah."Bu, nanti kita main ke taman lagi, ya?" tanya Reza dengan semangat, menggigit roti di tangannya.Nadia me
Malam itu, rumah terasa begitu sunyi, hanya diisi oleh suara kipas angin yang berputar lembut di langit-langit. Nadia duduk di sofa ruang tamu dengan pandangan kosong. Reza sudah tidur, dan jam menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Indra belum juga pulang. Televisi yang menyala di depannya hanya menjadi latar tanpa suara, sebuah usaha sia-sia untuk mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran yang terus menghantuinya.Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat. Nadia tahu, ini bukan pertama kalinya Indra pulang larut malam tanpa memberi kabar. Tapi tetap saja, rasa cemas itu tak pernah hilang. Telepon genggam di tangannya sudah beberapa kali ia lihat, berharap ada pesan dari Indra yang mengatakan ia akan segera pulang. Namun, layar tetap gelap, tanpa notifikasi.Hati Nadia semakin gelisah. Ia mencoba menenangkan diri dengan berbagai pemikiran, mungkin Indra sedang sibuk dengan urusan pekerjaan, mungkin ada rapat mendadak, atau mungkin jalanan macet. Namun, jauh di l
Pagi itu, sinar matahari menembus gorden kamar, menciptakan bayangan lembut di dinding. Namun, suasana hati Nadia sama sekali tidak selaras dengan kehangatan pagi yang menyapa. Di sampingnya, Indra masih tertidur lelap, wajahnya tampak damai, seolah tak ada beban dalam pikirannya. Berbeda sekali dengan Nadia, yang sudah terjaga sejak lama, berkutat dengan pikirannya yang tak kunjung tenang.Nadia bangkit perlahan dari tempat tidur, memastikan tidak membangunkan Indra. Tubuhnya terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban mental yang semakin menghimpit. Ia berjalan menuju kamar Reza, dan saat membuka pintu, ia melihat anaknya masih terlelap di tempat tidurnya yang kecil. Wajah polos Reza selalu membuat hati Nadia tersentuh, seolah segala masalah yang ia hadapi hilang sejenak setiap kali melihat senyum anaknya.Nadia berjalan mendekat, duduk di samping tempat tidur Reza. Dengan lembut, ia menyelipkan rambut anaknya yang berantakan ke belakang telingany
Pagi hari berikutnya terasa sama, seolah tak ada yang berubah di rumah mereka. Sinar matahari masuk melalui jendela, menyorot sudut-sudut ruangan dengan lembut. Namun, bagi Nadia, setiap detik terasa berat, seolah waktu berjalan lambat dan penuh dengan kesedihan yang sulit dihapus. Nadia bangun lebih awal dari biasanya, mencoba mencari ketenangan di saat rumah masih sunyi.Ia duduk di meja makan, memandangi cangkir teh yang baru saja ia buat. Uap yang naik dari cangkir itu sedikit mengaburkan pandangannya, seolah mencerminkan pikirannya yang kacau. Nadia mencoba untuk menikmati pagi ini, tapi bayang-bayang percakapan kemarin dengan Indra terus menghantui."Kenapa semua jadi begini?" Nadia bertanya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tak terdengar. Rumah yang dulu ia impikan sebagai tempat perlindungan, kini berubah menjadi penjara tak kasat mata. Setiap hari ia merasa semakin jauh dari Indra, dan semakin sulit untuk menghidupkan kembali perasaan yang dulu pernah ada
Hari-hari berlalu tanpa banyak perubahan. Nadia masih bertahan, meski setiap langkahnya terasa semakin berat. Indra, seperti biasa, lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Ketika dia di rumah, kebanyakan waktunya dihabiskan dalam keheningan atau dengan komentar tajam yang kerap kali menusuk perasaan Nadia. Hubungan mereka semakin dingin, seakan sudah tidak ada lagi ruang untuk perasaan cinta yang pernah mereka rasakan dulu.Pagi ini, Nadia kembali menyiapkan sarapan untuk Reza. Dia sudah terbiasa bangun lebih awal, mengurus segala kebutuhan anaknya, sementara Indra sering kali masih tertidur atau sudah bergegas pergi tanpa banyak kata. Reza, dengan keceriaan khas anak-anak, tetap menjadi satu-satunya cahaya yang membuat Nadia mampu bertahan.Saat Reza duduk di kursinya, Nadia melirik ke arah jam dinding. Sudah lewat jam tujuh, dan Indra masih di kamar. Biasanya, ia sudah bersiap berangkat kerja. Tapi kali ini, langkah kaki Indra baru terdengar mendekati meja
Nadia bangun pagi dengan rasa yang tidak nyaman. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak. Kartu nama yang ia temukan di saku kemeja Indra terus menghantuinya, seperti bayang-bayang gelap yang tak mau hilang. Pikirannya berputar-putar, menimbang setiap kemungkinan. Apakah ia harus langsung bertanya pada Indra lagi? Tapi melihat reaksi suaminya kemarin, Nadia ragu apakah konfrontasi akan membuat segalanya lebih baik atau malah semakin buruk.Nadia menghela napas panjang dan menatap langit-langit kamar. "Aku harus tetap tenang," bisiknya pada diri sendiri. Reza masih tertidur di kamarnya, dan Nadia tidak ingin suasana pagi ini rusak hanya karena perasaannya yang bercampur aduk. Ia tahu bahwa jika ia memperlihatkan kekhawatirannya, Reza mungkin akan merasakannya juga. Anak itu terlalu peka terhadap perubahan suasana hati ibunya.Setelah mempersiapkan sarapan untuk Reza, Nadia duduk di meja makan, menatap piring kosong di depannya. Tidak ada nafsu makan, hanya pikiran yang me
Pagi yang datang tidak memberikan banyak perubahan pada perasaan Nadia. Matahari menyinari kamar tidurnya dengan lembut, tetapi cahaya itu seakan tidak mampu menembus kegelapan hatinya. Ia bangun lebih awal dari biasanya, namun tubuhnya terasa berat. Setiap langkah menuju dapur terasa seperti beban tambahan. Perasaannya campur aduk, dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dan kebingungan yang semakin merajalela.Saat Nadia menyiapkan sarapan untuk Reza, pikirannya melayang jauh. Ia masih memikirkan kartu nama itu, restoran yang ia lihat kemarin, dan wajah dingin Indra yang seolah tak lagi menunjukkan kehangatan sedikit pun. Apakah semua ini ada hubungannya? Ataukah perasaannya hanya terlalu sensitif, terlalu cepat mengambil kesimpulan?Reza muncul dari kamarnya, tersenyum sambil membawa mainan kesayangannya. Wajah anak itu seperti secercah cahaya yang selalu berhasil membuat hati Nadia sedikit tenang, meskipun hanya untuk sesaat. "Mama, hari ini aku ad
Malam itu berlalu dengan dingin, dan pagi berikutnya tidak memberikan harapan lebih baik bagi Nadia. Setelah malam yang penuh ketegangan, Indra tetap bersikap dingin. Bahkan, saat Nadia berusaha untuk memulai percakapan saat sarapan, suaminya hanya menjawab dengan anggukan atau sepatah dua patah kata yang tidak berarti.Nadia menghidangkan teh hangat untuk Indra, berharap setidaknya ada jeda dalam keheningan yang terus menguasai mereka. Namun, seperti yang sudah-sudah, Indra tidak bereaksi. Ia menyesap tehnya dengan cepat, sambil terus memeriksa ponselnya, tampak tak peduli dengan kehadiran Nadia di meja makan.“Mungkin sore ini kita bisa jalan-jalan bersama Reza, Indra? Dia akan senang sekali kalau kamu bisa meluangkan waktu untuknya,” ujar Nadia dengan suara pelan, hampir seperti permohonan.Indra mendengarkan sambil menatap layar ponselnya, tidak sepenuhnya fokus. Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, ia akhirnya mendongak dan berkata
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be