Malam itu berlalu dengan dingin, dan pagi berikutnya tidak memberikan harapan lebih baik bagi Nadia. Setelah malam yang penuh ketegangan, Indra tetap bersikap dingin. Bahkan, saat Nadia berusaha untuk memulai percakapan saat sarapan, suaminya hanya menjawab dengan anggukan atau sepatah dua patah kata yang tidak berarti.
Nadia menghidangkan teh hangat untuk Indra, berharap setidaknya ada jeda dalam keheningan yang terus menguasai mereka. Namun, seperti yang sudah-sudah, Indra tidak bereaksi. Ia menyesap tehnya dengan cepat, sambil terus memeriksa ponselnya, tampak tak peduli dengan kehadiran Nadia di meja makan.
“Mungkin sore ini kita bisa jalan-jalan bersama Reza, Indra? Dia akan senang sekali kalau kamu bisa meluangkan waktu untuknya,” ujar Nadia dengan suara pelan, hampir seperti permohonan.
Indra mendengarkan sambil menatap layar ponselnya, tidak sepenuhnya fokus. Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, ia akhirnya mendongak dan berkata
Malam itu, Nadia terbangun karena suara pintu depan yang berderit. Ia melirik jam di nakas—pukul dua dini hari. Indra baru pulang. Nadia menghela napas panjang dan menarik selimut lebih rapat, pura-pura tidak mendengar. Di hatinya, ada perasaan perih yang sudah terlalu sering ia rasakan. Ia sudah terbiasa dengan kembalinya Indra di tengah malam seperti ini, tanpa penjelasan dan tanpa kata-kata.Langkah kaki Indra terdengar menuju kamar mereka. Pintu terbuka perlahan, cahaya dari lorong masuk, memperlihatkan sosoknya yang masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia langsung menuju kamar mandi, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Nadia. Seakan-akan keberadaan Nadia sama sekali tidak penting.Setelah beberapa menit, Indra keluar dari kamar mandi dan merebahkan diri di sisi lain tempat tidur. Nadia masih memunggunginya, pura-pura tertidur. Namun dalam hatinya, ia merasakan gelombang emosi yang tak terbendung lagi. Kesunyian yang terus-menerus ini, rasa dingin yang tak
Pagi berikutnya, suasana di rumah masih sama dinginnya. Indra sudah bangun lebih dulu, duduk di meja makan dengan pandangan lurus ke depan, matanya terpaku pada layar ponselnya. Sesekali jari-jarinya bergerak cepat di atas layar, entah mengetik pesan atau membalas email pekerjaan. Nadia baru saja selesai menyiapkan sarapan, namun ia bisa merasakan ketegangan di udara. Setiap pagi terasa seperti pengulangan, seperti roda yang terus berputar tetapi tidak pernah maju ke mana pun."Reza, ayo sarapan," panggil Nadia lembut, mencoba menghidupkan suasana meski ia tahu akan sia-sia. Reza yang baru selesai mandi muncul dari kamarnya dengan rambut masih basah, senyum polosnya seakan belum mengerti betapa beratnya beban yang dirasakan ibunya.Anak kecil itu duduk di kursi, menatap piring yang sudah terisi dengan nasi dan telur dadar, makanan favoritnya. “Papa sarapan juga, kan?” tanyanya, menatap Indra dengan mata penuh harapan.Indra tidak mengangkat wajahnya
Pagi kembali datang dengan rutinitas yang sama. Nadia bangun lebih awal, mempersiapkan sarapan untuk Reza dan Indra, meskipun ia tahu Indra mungkin akan meninggalkan rumah sebelum sempat menyentuh makanan yang disiapkannya. Beberapa hari terakhir, suasana di rumah semakin suram. Nadia bisa merasakan jarak yang kian lebar antara dirinya dan Indra, dan meski ia terus berusaha mempertahankan pernikahannya, semuanya terasa sia-sia.Saat Nadia meletakkan piring di meja makan, Indra muncul dari kamar. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan ke arah pintu, mengambil jas dan tas kerjanya. Nadia menatap suaminya dengan hati yang berat. Hari demi hari, percakapan di antara mereka semakin sedikit, dan setiap kali mereka berbicara, kata-kata Indra selalu terasa tajam, seolah apa pun yang ia katakan hanya akan menambah jarak di antara mereka."Indra, kamu nggak sarapan dulu?" tanya Nadia dengan nada hati-hati.Indra menghentikan langkahnya sejenak, menoleh dengan ekspresi datar.
Beberapa minggu berlalu dengan rutinitas yang sama—Nadia tetap berusaha mempertahankan keluarganya, sementara Indra semakin terbenam dalam dunianya sendiri. Walau mereka tinggal di rumah yang sama, hati mereka seperti terpisah oleh tembok yang tinggi. Indra tidak lagi menunjukkan minat untuk memperbaiki keadaan, dan Nadia semakin sering merasa kesepian di rumah yang dulunya terasa hangat.Indra mulai pulang lebih larut dari biasanya. Setiap kali Nadia menanyakan alasannya, ia hanya menjawab singkat, “Kerjaan banyak,” atau “Ada urusan kantor.” Pada awalnya, Nadia mencoba memahaminya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Indra benar-benar sibuk. Ia tahu pekerjaan suaminya menuntut waktu dan tenaga, tapi seiring berjalannya waktu, Nadia mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda.Kali ini, Indra pulang hampir tengah malam. Nadia yang menunggu di ruang tamu mulai merasa cemas. Biasanya, walaupun Indra sering pulang larut, ia akan memberikan kabar m
Pagi yang biasa dimulai dengan keheningan. Nadia terbangun lebih awal dari Indra, seperti biasa, mempersiapkan sarapan dengan harapan bisa mengembalikan kehangatan yang semakin hilang di antara mereka. Suara panci yang bergemerincing pelan mengisi ruang dapur, sementara sinar matahari pagi perlahan masuk melalui jendela, menerangi sudut-sudut ruangan yang sepi.Setelah menyiapkan secangkir kopi dan roti panggang, Nadia duduk di meja makan, menatap kosong ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Ia tahu, ketika Indra bangun, suasana dingin akan kembali menyelimuti mereka. Ia merindukan saat-saat ketika Indra dulu menyapa paginya dengan senyum dan perhatian. Namun sekarang, yang ada hanyalah keheningan yang menyesakkan.Perlahan, pintu kamar terbuka. Indra muncul dengan langkah malas, wajahnya terlihat lelah. Ia hanya melirik ke arah Nadia tanpa sepatah kata pun, lalu duduk di meja makan. Nadia tersenyum tipis, mencoba membuka percakapan."Selamat pagi," katanya l
Keesokan harinya, pagi datang dengan atmosfer yang sama—sunyi dan dingin. Seperti biasa, Nadia bangun lebih dulu, mempersiapkan sarapan dan mencoba menebar sedikit kehangatan yang mungkin bisa menembus dinding tak kasat mata antara dirinya dan Indra. Namun, di dalam hatinya, rasa gelisah terus tumbuh, semakin kuat seiring berjalannya waktu. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya, tapi cukup untuk membuat pikirannya tidak tenang.Indra keluar dari kamar dengan langkah yang terburu-buru. Pagi itu, raut wajahnya terlihat lebih tegang dari biasanya, matanya sesekali melirik ponsel yang digenggamnya. Ia mengabaikan sarapan yang sudah disiapkan Nadia di meja dan hanya meraih cangkir kopi sambil sesekali mengetik di ponselnya.Nadia mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya berkecamuk. Ia tahu, sesuatu sedang terjadi, tapi ia masih belum memiliki keberanian untuk langsung bertanya. Setiap kali ia ingin membuka mulut, lidahnya terasa kelu
Pagi berikutnya, ketika cahaya matahari mulai masuk dari celah-celah jendela, Nadia terbangun dengan perasaan yang berat. Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus-menerus memikirkan perubahan sikap Indra, bagaimana suaminya semakin menjauh tanpa alasan yang jelas. Ada perasaan ganjil yang tak bisa ia singkirkan, seolah ada sesuatu yang disembunyikan oleh Indra, tapi ia tak tahu apa itu.Ketika Nadia turun ke dapur untuk mempersiapkan sarapan, pikirannya masih tertuju pada kejadian semalam. Ponsel Indra yang selalu bersamanya, pesan-pesan yang tampaknya begitu penting, dan sikap dingin yang tidak bisa ia pahami. Nadia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namun perasaan gelisah itu tetap membekas.Tak lama, terdengar suara langkah kaki Indra menuruni tangga. Ia berjalan menuju meja makan dengan wajah yang sedikit lebih segar dari semalam, tapi tetap saja dingin dan tak bersahabat. Nadia menatapnya sekilas, berharap ada kehangatan dalam int
Nadia pulang dari rumah ibunya dengan pikiran yang semakin kalut. Meskipun saran Bu Ningsih terdengar bijak, kecurigaan yang semakin menggerogoti hatinya sulit untuk diredam. Ia mencoba memfokuskan pikirannya pada saran untuk menunggu momen yang tepat untuk bicara dengan Indra, tetapi setiap kali mengingat tatapan dingin dan sikapnya yang selalu tergesa-gesa untuk menghindar, hatinya semakin sesak.Malam itu, seperti biasa, Indra pulang larut. Nadia sudah menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang dingin di tangannya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan Nadia hampir tertidur di sofa ketika ia mendengar suara pintu utama terbuka.Indra melangkah masuk dengan gerakan cepat dan tak memedulikan keadaan di sekitarnya. Nadia menatapnya dengan cemas, mencoba menilai suasana hati suaminya. Ada kelelahan yang jelas di wajahnya, tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak bisa diuraikan Nadia.“Indra, kamu sudah pulang...”
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi di langit. Di dalam rumah, suasana tak kalah dingin. Nadia menghabiskan sarapannya sendirian di ruang makan, dengan suara sendok beradu dengan piring yang menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Reza sedang bermain di ruang tamu, tertawa sendiri dengan mainan mobil-mobilannya, tak menyadari ketegangan yang mengisi udara di sekitarnya.Sudah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan terakhirnya dengan Indra, dan tak ada tanda-tanda perubahan. Indra masih dingin, sikapnya semakin acuh tak acuh, seakan tak ada yang bisa menggugah hatinya lagi. Nadia mencoba tetap tegar, berpura-pura bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, bahwa ada jalan keluar dari keterpurukan ini.Namun, takdir seakan semakin menantangnya. Hari ini, sesuatu yang jauh lebih menyakitkan akan terjadi.Siang menjelang, saat Nadia sedang membereskan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Nadia tak ter
Malam itu kembali terasa panjang bagi Nadia. Setelah berminggu-minggu tanpa kejelasan, hubungannya dengan Indra hanya terus memburuk. Tidak ada percakapan yang panjang, tidak ada perhatian, dan yang paling menyakitkan—tidak ada cinta. Setiap kali Nadia mencoba untuk mendekat, yang ia dapatkan hanya sikap dingin dan acuh dari suaminya. Bahkan senyum Reza yang biasanya membawa kehangatan ke rumah kini seringkali berlalu tanpa disadari oleh Indra.Nadia duduk di depan meja riasnya, menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah, menunjukkan betapa berat beban yang ia bawa. Rambutnya yang biasanya ditata rapi kini sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menghilangkan kegelisahan yang melanda.Di ruangan sebelah, Nadia mendengar langkah kaki Indra yang terdengar berat, seperti biasa, tanpa sepatah kata. Suaminya baru saja pulang setelah seharian bekerja. Namun, Nadia sudah tahu, bukan pekerjaan yang membuat Indra pulang larut malam. Sejak beberapa w
Malam itu terasa begitu panjang bagi Nadia. Setelah perbincangan terakhir dengan Indra, keheningan yang menyelimuti rumah semakin mempertebal perasaan sepi yang ada di hatinya. Reza tertidur pulas di kamarnya, tapi Nadia tak bisa memejamkan mata. Di dalam dirinya, perasaan berkecamuk antara sakit hati, kesedihan, dan kebingungan.Ia bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju dapur. Setiap langkah terasa berat, seperti beban yang tak kasat mata menekan bahunya. Air di teko mendidih, Nadia menuang secangkir teh hangat dan membawanya ke ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandang kosong ke jendela, ke arah pekarangan yang remang-remang oleh cahaya bulan."Kenapa semua ini harus terjadi?" pikirnya dalam diam. "Apa yang salah dengan diriku? Apa yang kurang dalam rumah tangga ini?"Ia memutar kembali setiap memori, sejak pertemuan pertamanya dengan Indra di rumah sakit hingga sekarang. Nadia tidak pernah membayangkan bahwa hubungan mereka akan berakhir seperti ini
Nadia duduk terpaku setelah telepon dari Indra berakhir. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, sementara pikirannya melayang-layang tanpa arah. Kata-kata Indra terus terngiang di telinganya—pengakuan yang dingin dan penuh kepastian bahwa ia tak lagi bisa mencintainya. Seolah-olah pernikahan mereka yang selama ini ia perjuangkan hanya tinggal serpihan-serpihan memori yang perlahan memudar.Hari mulai beranjak senja, dan langit di luar jendela perlahan berubah warna menjadi jingga. Nadia tahu bahwa waktu terus berjalan, tapi ia merasa seolah-olah terperangkap dalam kekosongan yang tak berujung. Ia berusaha memahami, mencerna, dan menerima kenyataan bahwa apa yang ia takutkan selama ini telah menjadi kenyataan.Indra benar-benar mencintai Dina. Bukan dirinya.Namun, bagaimana dengan Reza? Pikiran tentang anaknya kembali menelusup masuk, membuat hatinya terasa semakin sesak. Reza tidak pantas tumbuh dalam rumah yang hancur, tapi Nadia juga tidak yakin bisa
Siang itu, rumah terasa lebih hampa daripada biasanya. Indra belum pulang sejak malam sebelumnya, dan Nadia hanya bisa menduga-duga di mana suaminya berada. Ketika ia mencoba menghubunginya pagi tadi, ponselnya tidak aktif. Ini bukan pertama kalinya Indra menghilang seperti ini, tapi entah mengapa, kali ini rasanya lebih menyakitkan. Seperti ada sesuatu yang sedang berubah secara perlahan tapi pasti—sesuatu yang membuat Nadia merasa semakin jauh dari suaminya.Ia duduk di ruang tamu, menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Udara siang yang panas membuat tirai berkibar pelan, membawa suara bising dari jalan di luar masuk ke dalam rumah. Nadia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah itu, hanya kesunyian yang membentang di sekitarnya.Pikirannya kembali melayang pada percakapan mereka beberapa malam yang lalu, ketika Indra dengan terang-terangan mengakui cintanya pada Dina. Saat itu,
Pagi hari di rumah besar itu terasa sunyi, tidak seperti biasanya. Matahari yang menembus tirai jendela ruang tamu tak mampu mengusir dinginnya suasana hati Nadia. Ia duduk di meja makan, memandangi secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang jauh, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak malam sebelumnya.Indra sudah berangkat lebih awal pagi itu, seperti biasa. Sejak pengakuannya tentang cintanya kepada Dina, tidak ada lagi yang tersisa dari kehangatan suami istri di antara mereka. Percakapan yang dulunya akrab, sekarang hanya berupa basa-basi tanpa arti. Nadia menghela napas panjang, tangannya menggenggam cangkir teh itu erat-erat, seolah berharap ada kehangatan yang bisa ia dapatkan dari benda mati itu.Reza yang masih tertidur di kamar atas adalah satu-satunya alasan Nadia tetap berdiri tegak di tengah puing-puing rumah tangganya. Setiap kali ia melihat wajah putranya, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya
Malam itu, setelah kejadian di siang hari, suasana rumah semakin sunyi. Indra belum pulang, dan Nadia duduk sendirian di ruang tamu, merenung. Pikiran-pikiran yang sudah lama ia coba singkirkan kini datang kembali. Apakah ia masih bisa terus bertahan dalam situasi ini? Atau, apakah ia harus mulai menerima bahwa mungkin, mempertahankan rumah tangga ini hanya akan menghancurkan dirinya sendiri?Nadia melirik jam di dinding, sudah hampir pukul sembilan malam. Reza sudah tidur setelah Nadia menceritakan dongeng favoritnya. Setidaknya, putra kecilnya belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Nadia tahu, waktu itu pasti akan tiba, saat Reza mulai bertanya mengapa ayahnya tidak pernah pulang tepat waktu, atau mengapa ayahnya sering kali menghabiskan waktu dengan Dina daripada dengan mereka.Ketukan pintu terdengar pelan, memecah keheningan malam. Nadia terdiam sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Perlahan, ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Di sana ber
Pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suasana rumah yang biasanya penuh dengan keheningan yang menenangkan, kini terasa berat di hati Nadia. Meski Indra sudah mengatakan dengan jelas bahwa perasaannya telah hilang, Nadia masih mencoba bertahan, berpegang pada alasan yang sama—Reza. Demi anak mereka, ia merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan, meski hatinya semakin hancur setiap harinya.Seperti biasa, Nadia bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Reza dan memastikan segala keperluannya siap sebelum dia berangkat sekolah. Sementara Indra, sejak pengakuan itu, hanya semakin menjauh. Pria itu bahkan hampir tidak berbicara padanya, seolah-olah Nadia hanyalah bayangan di rumah mereka, hadir tapi tidak dilihat.Nadia duduk di ruang makan, melihat piring-piring yang masih tersusun rapi di meja. Sudah lama Indra tidak menyentuh makanan yang ia buat. Sebelum ia sempat merapikan meja, terdengar langkah kaki berat mendekat.Indra muncul dari arah
Pagi itu, Nadia terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak tenang. Semalaman ia tidak bisa tidur, meski tubuhnya sudah begitu lelah. Percakapan dengan Indra semalam masih bergema di pikirannya. Ada janji untuk mengakhiri hubungan dengan Dina, ada harapan kecil yang ia coba genggam demi Reza, namun ada juga ketakutan yang terus menghantuinya—bagaimana jika Indra tak benar-benar berkomitmen? Bagaimana jika cinta Indra pada Dina sudah terlalu dalam?Nadia duduk di tepi ranjang, memandang wajah Indra yang masih tertidur di sampingnya. Raut wajahnya yang tenang dalam tidur seakan tidak mencerminkan pergolakan batin yang mereka hadapi. Tapi Nadia tahu, di balik ketenangan itu, ada rasa dingin yang semakin nyata terasa di antara mereka. Indra bukan lagi pria yang sama seperti ketika mereka pertama kali menikah.Setelah beberapa saat memandangi suaminya, Nadia memutuskan untuk bangun dan memulai hari seperti biasa. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan untuk Reza, be