Siang ini Olivia hanya berdiam diri di kamar. Karena kuliahnya sudah selesai dan hanya tinggal menunggu jadwal wisuda. Olivia asik membaca novel-novel romantis kesukaannya di salah satu platform bewarna merah itu. Tak jarang, Olivia top up koin dengan jumlah yang fantastis. Hanya demi memenuhi kepuasan membacanya. Olivia memang sangat hobby membaca. Entah itu komik, novel atau puisi.
Para pelayan di mansion tak heran lagi, jika Olivia berkurung diri di kamar seharian. Paling-paling, dia hanya turun saat waktu makan atau meminta cemilan dan minum. Agar lebih menikmati waktu membacanya.
Olivia juga tak segan-segan memberikan kiriman uang kepada penulis yang menurut Olivia karyanya sangat bagus dan disukai oleh Olivia. Seperti wujud dari apresiasi agar semakin semangat berkarya dan terus menghasilkan karya-karya yang berkualitas.
Setelah membaca beberapa judul novel, Olivia berhenti membaca karena matanya terasa mengantuk. Belum sempat ia memejamkan matanya, seb
Di sisi lain, Albert ternyata mendadak harus terbang keluar kota bersama Mike. Dan karena terburu-buru mereka lupa membawa ponsel yang saat itu memang terletak di atas meja dalam ruangan Albert. Itu sebabnya, tidak satu pun dari mereka yang tau dan mengangkat panggilan telepon dari Olivia tadi. Setelah satu jam mengurus klien penting, mereka segera kembali. Untuk urusan mendadak dan darurat seperti ini, Albert selalu menggunakan jet pribadinya. Saat tiba kembali di Kantornya, Albert dan Mike menyadari bahwa ponsel mereka tertinggal. Saat melihatnya, Albert dan Mike saling berpandangan. Karena ada masing-masing tiga panggilan tak terjawab dari nomor Olivia. "Mike, ayo segera pulang," ucap Albert memberi perintah. "Baik, Tuan Muda." sahut Mike patuh. Mereka kembali ke parkiran dan Mike dengan cepat mengemudikan mobil, melaju di tengah-tengah kemacetan yang sedang melanda. Ya, jam tujuh malam memang rawan sekali dengan kemacetan. Berkat keahlian Mi
Di saat Olivia merasa hidupnya tak berharga lagi, ia ingin kembali ke rumah orang tuanya. Namun, saat di perjalanan mobil Olivia mengalami kecelakaan. Ada mobil yang sengaja menabraknya. Kondisi jalan yang sepi, membuat tak ada seorang pun yang tau tentang kecelakaan itu. Di saat Olivia hampir saja kehilangan kesadarannya, terdengar suara pria memanggil namanya dengan panik. "Olive, bangun lah. Sayang, aku akan menyelamatkanmu dan membawamu pergi jauh darinya." ucap pria yang tak lain adalah Tristan. "Al-bert..." lirihnya sebelum akhirnya Olivia kehilangan kesadaran. Meski terluka, karena di saat kritisnya pun Olivia masih menyebutkan nama Albert, namun Tristan tetap sigap membantu Olivia dari kecelakaan maut itu. Dengan bekal ilmu medis yang ia miliki, Tristan berhasil melakukan pertolongan pertama pada Olivia, hingga ia di bawa ke Rumah Sakit yang terpencil. Tristan yang kebetulan lewat hendak mengunjungi orang tua Olivia, melihat kecelakaan itu. Da
Tak terasa, waktu semakin cepat berlalu. Saat ini, usia kandungan Olivia sudah sembilan bulan. Dan menurut perkiraan Dokter Kandungan, bayi-bayi itu akan lahir sekitar satu minggu lagi. Olivia yang sudah sulit berjalan dan bernapas, karena besarnya perut yang berisi dua bayi itu, tak bisa melakukan aktifitas apapun lagi. Tristan dengan sabar dan tulus merawat Olivia. Para tetangga juga sangat baik pada mereka. Tinggal di sebuah desa terpencil, memang membosankan. Tapi di sini Olivia merasa sangat nyaman dan tenang. Itu juga bagus untuk masa-masa kehamilannya. Penduduk desa sangat ramah dan sopan. Mereka sering mengunjungi Olivia saat Tristan sudah berangkat Dinas. Takut jika Olivia sendirian di rumah dan terjadi apa-apa, tapi tidak ada yang mengetahuinya. Jadi para tetangga sering sekali berkunjung secara bergantian. Mereka juga membawakan makanan yang memang sengaja dibuatkan untuk menambah asupan gizi Olivia selama masa mengandung. Sikap warga yang baik dan ramah p
Setelah seminggu pasca melahirkan, Olivia sudah bisa menggendong dan menyusui bayi-bayinya. Meski ASI-nya tak pernah cukup untuk si kembar yang ternyata sangat lahap dan ingin terus menyusu. Akhirnya, Olivia menyerah pada niatnya yang ingin memberikan full ASI pada si kembar sampai usia enam bulan. Atas saran Bibi Ane dan juga Tristan, juga memikirkan kesehatan bayi-bayinya, Olivia memberikan susu formula sebagai asupan tambahan selain ASI. Setelah Tristan berangkat ke klinik, Bibi Ane akan datang untuk membantu Olivia merawat bayinya. Bibi Ane sudah seperti Ibunya sendiri, Olivia bebas mengatakan dan mencurahkan apa saja pada Bibi Ane. Begitu pula dengan Bibi Ane, ia merasa bahagia bisa dekat dengan Olivia dan di izinkan untuk turut merawat bayi mungil itu. "Zack, sambung dengan susu formula saja ya, Nak. Adikmu juga ingin ASI Mami. Kalian harus saling berbagi." ucap Olivia pada bayi laki-laki dalam dekapannya itu. Olivia melepaskan pagutan gus
Sementara itu Albert, menatap semua wanita yang di jumpainya dengan kebencian. Ia menganggap tak ada wanita yang tulus di dunia ini. Semuanya hanya mengejar harta dan tahta. Kekejamannya pun semakin bertambah, ia menjadi pria yang lebih kejam dan menakutkan dari sebelumnya. Bahkan, wanita yang berbicara dengannya harus berjarak tiga meter darinya. Jika berani melewati batas, maka bersiap lah menjadi gembel di jalanan. Albert melakukan semua itu, karena sebenarnya dia marah pada dirinya sendiri. Ia menyesal telah membiarkan Olivia pergi dari hidupnya. Bahkan, ia tak mencegah sama sekali saat Olivia meninggalkan mansion-nya malam itu. Sejak hari itu, Albert menjadi semakin dingin dan kaku pada siapa pun. Para pelayan di mansion menatap iba pada majikannya itu. Ia tau, sebenarnya Albert sangat merindukan Olivia. Tapi, ia menutupi semua itu dengan sikap angkuh, arrogant dan kekejamannya. Gengsi masih terlalu melekat pada dirinya. "Jane, dimana Darwin? Ken
Tiga tahun berlalu. Olivia sedang menyuapi sepasang bocah kembar itu makan siang, saat Tristan datang dengan wajah yang tak bersahabat. "Wah... Lihat itu Papi sudah pulang." seru si kembar. "Tumben, kau pulang untuk makan siang!" Olivia tersenyum menatap Tristan. "Iya.. ada sesuatu yang harus kau tau, Olive!" wajah Tristan ragu dan pucat, tak seperti biasanya. "Katakan!" Pinta Olivia singkat. "Ibumu... Ibumu baru saja meninggal." baru saja kalimat itu keluar dari rongga mulut Tristan, piring yang di pegang Olivia terlepas dari tangannya begitu saja. Menimbulkan suara pecahan kaca yang nyaring. "I-Ibuku? Kau bilang Ibuku meninggal?" tanya Olivia mengulangi perkataan Tristan. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa yang baru saja di dengarnya adalah hal lain. Namun, sebuah anggukan kepala dari Tristan berhasil membuat butiran bening jatuh bebas dari kelopak matanya. Olivia terduduk lemas. Si kembar menatap pada Ibunya yang tak pernah t
Setelah selesai berkemas dan berpamitan pada Bibi Ane, mereka memulai perjalanan. Untuk mempersingkat waktu di perjalanan, Tristan memilih untuk mengendarai mobil saja dan melewati tol. Karena, jika harus menggunakan pesawat akan memakan waktu yang lama dengan segala prosedurnya. Mungkin berbeda, jika Tristan adalah seorang CEO yang kaya dan terkenal seperti Albert. Segalanya akan mudah dan cepat bagi pria arrogant itu. Di dalam perjalanan, tiba-tiba Olivia bertanya dengan nada heran sekaligus penasaran, "Tristan, apa boleh aku bertanya sesuatu padamu?" "Ya, katakan saja." jawab Tristan masih dengan keadaan fokus mengemudi mobilnya. "Darimana kau tau, kabar tentang Ibuku meninggal dunia? Bukan kah selama ini kita tidak memiliki satu pun kontak informasi tentang keluargaku di sana?" "Ah, ya. Aku lupa memberitahumu, aku mendapat kabar itu dari salah seorang Dokter di Rumah Sakit Pusat. Tadi saat kami melakukan meeting, pembahasan tentang penyakit
Keesokan harinya, jenazah Clara sudah masuk ke dalam mobil Ambulance yang akan mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir. Diiringi oleh isak tangis keluarga dan kerabat dekat. Begitu pun dengan Olivia, matanya sudah bengkak karena menangis tak henti sejak semalam. Ia masih tak menyangka, secepat ini Clara meninggalkannya. Mobil Tristan mengiringi Ambulance dari belakang. Di dalamnya ada Willson yang duduk di samping Tristan. Di belakang mereka, ada Olivia dan si kembar, Zacky dan Zahra. Suasana berkabung terasa sangat menyayat hati. Semua berpakaian serba hitam. Pemakaman berjalan dengan sangat hikmat. Para pelayat satu persatu berangsur pulang. Kini hanya tertinggal Willson dan Olivia, beserta Tristan dan juga si kembar. Olivia masih menangis pilu, sambil memeluk batu nisan bertuliskan nama Ibunya itu. Rasanya, belum puas ia bermanja dan memberikan kebahagiaan pada Ibunya itu. Tapi kini harus menghadapi kenyataan bahwa Clara telah tiada. Pergi
“King! Aku yakin dia bisa membawamu ke jalan yang seharusnya kau tempuh,” jawab Zahra dengan keyakinan penuh.“Jangan konyol, Moms. Dia tidak sebanding denganku! Aku ini kakaknya, meski kami tidak sedarah. Aku tidak akan pernah tertarik dengan bocah ingusan seperti dia,” bantah Dayana dengan sangat tegas di depan Zahra dan wajahnya tampak sangat kesal.Dia segera pergi dari hadapan Zahra dan tidak ingin lagi membahas masalah yang sensitif itu. Bagaimanapun juga, Dayana menyadari bahwa dia sudah salah jalan. Namun, dia juga tidak meminta dirinya menjadi seperti itu. Semuanya terjadi dan mengalir apa adanya tanpa diminta dan dipaksa. Jadi, apa yang harus dia lakukan selain pasrah dan menerima semua keadaan itu dengan hati luas?Dayana memang gadis yang berasal dari keluarga terpandang dan bisa dikatakan semua yang dia lakukan pasti akan menjadi konsumsi publik. Akan tetapi, dia juga tidak bisa berpura-pura demi membuat orang lain senang dan puas. Dia ingin tetap menjadi dirinya sendiri,
Zahra tidak bisa berkata-kata saat baru saja mendengar pengakuan dari putrinya itu. Dadanya terasa penuh dan sangat sesak sehingga tidak bisa bernapas dengan baik. Dia tidak menduga bahwa Dayana akan mengakui hal besar dan sangat mengejutkan itu padanya dan Gerald.Saat ini Zahra bisa melihat perubahan warna pada wajah Gerald. Pria itu jelas sedang marah besar pada Dayana dan dia masih diam saja berusaha menahannya. Hal itu tentu saja mengingat bahwa Dayana adalah putri mereka satu-satunya.“Sayang ... tolong ralat lagi kata-katamu itu. Katakan padaku kalau kau hanya bercanda dan semua itu mungkin hanya sebuah prank atau kejutan untuk kami. Kau ingin membuat daddy marah seperti saat Mami marah ketika kalian bersekongkol membuatku cemburu dan marah besar saat itu kan?” tanya Zahra dengan menguatkan hati dan mencoba tetap tenang.“Tidak. Kali ini aku sangat serius dan aku memiliki pacar wanita. Dia adalah Jeslyn yang sering datang ke sini dan aku sering menginap di apartemennya,” jawab
Zahra kembali ke kediamannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Dia baru saja mengunjungi pemakaman keluarganya dan kemudian mendapati fakta bahwa King menaruh hati pada Dayana. Dia tidak akan mempermasalahkan hal itu jika memang sudah begitu takdirnya.“Ada apa, Sayang? Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Gerald yang menatap istrinya dengan pandangan heran.“Bukan apa-apa, Sayang. Aku hanya merasa lucu saat seorang pria menyukai gadis, tapi mereka selalu bertengkar tiap kali bertemu,” jawab Zahra kepada Gerald.“Siapa yang kau maksud? Apakah itu kisah kita dulu?” tanya Gerald dan langsung melingkarkan tangannya di pinggang Dayana.“Tidak. Aku mengatakan tentang King. Eh ... tapi, ternyata kisah kita juga hampir sama seperti itu. Dulu aku dan kau juga selalu saja berdebat dan bertengkar tiap kali bertemu.”“Kau benar, Sayang. Kau tahu? Semua itu membuatku senang dan hidupku menjadi lebih berwarna.”“Jadi, kau suka bertengkar denganku?”“Hem ... sepertinya aku lebih suka berteng
“Apa benar kau tidak masalah sendirian, Nak?” tanya Zahra pada King dengan suara yang sangat lembut.“Aku tidak sendiri, Moms. Masih ada mamiku juga di sini,” jawab King saat melihat Auriel turun dari tangga.“Kakak. Kapan kau datang?” tanya Auriel yang langsung menyapa Zahra dengan sangat ramah.“Belum lama. Aku bahkan sudah mengunjungi Zacky, Mami, dan Daddy bersama King.” Zahra menjawab sopan dan kemudian keduanya bercium pipi kanan dan pipi kiri.Zahra memang sudah menerima kehadiran Auriel dan King sejak lama. Mereka sudah sangat baik satu sama yang lainnya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk saling berselisih lagi. Lagi pula, semuanya sudah cukup jelas dan tidak ada hal besar yang harus diperdebatkan lagi.“Silakan duduk, Kak. Aku akan membuatkanmu minum,” ucap Auriel dengan sangat ramah.“Tidak perlu, Sayang. Aku tidak tamu di sini dan jangan memperlakukanku seperti tamu,” tolak Zahra dengan senyum lebar.“Tapi, tidak ada salahnya seorang adik menjamu kakaknya yang datang
“Dad, aku dan Mami datang.”“Zack! Apa kau bahagia di sana bersama Bianca? Apa kau bertemu dengan Mami dan Daddy juga? Kalian pasti bahagia sudah berkumpul di sana bukan? Kenapa kalian semua meninggalkan aku sendiri di sini? Kalian tidak ingin mengajakku? Apakah aku masih begitu menyebalkan bagi kalian?”“Moms ...,” lirih King dengan nada pilu saat mendengar Zahra bertanya beruntun seperti itu di depan makam saudara kembarnya – Zacky.“Tuan Muda Zacky yang terhormat. Apa kau liat dengan siapa aku datang hari ini? Kau pasti senang melihatnya bukan? Lihatlah, dia begitu mirip denganmu saat kau masih muda. Aku bahkan merasa seperti usiaku baru dua puluh tahun saat berada di sampingnya,” ungkap Zahra yang sengaja menghibur diri dengan berkelakar seperti itu.King hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar candaan Zahra pada Zacky yang kini hanya bisa mereka temui dalam bentuk batu nisan yang indah dan elegan itu. Meskipun begitu, Zahra tampak sangat bahagia dan seperti dia memang sedang be
Auriel sangat bahagia saat melihat putranya sudah kembali tersenyum dan tertawa seperti itu. Sudah sejak lama dia tidak melihat tawa King yang begitu lepas, bahkan dulu dia nyaris tak pernah tersenyum sama sekali. Hal itu membuat hati Auriel merasa sedih dan juga merasa bersalah karena tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dalam hati putranya itu.“Aku berpikir, Mami akan memberikan syarat yang luar biasa dan membuatku sedikit takut,” ucap King kepada Auriel yang masih menatap putranya yang dulu kecil itu tertawa bahagia.“Aku mana mungkin memberikan syarat yang membuatmu menderita, Nak. Kau adalah sumber kebahagiaanku dan kau adalah segalanya dalam hidupku. Karena kau ada, makanya aku masih ada dan berdiri di depanmu saat ini, Sayang.” Auriel mengungkapkan isi hatinya kepada King dengan sungguh-sungguh.“Oh, Moms. Jangan bicara seperti itu lagi dan membuat aku sedih.”“No, Sayang. Kau tidak boleh lagi bersedih setelah banyaknya kesedihan yang sudah kita lalui bersama dengan hebat.
“Apa kau benar-benar tidak akan datang, Sam?” tanya Queen yang saat ini masih membuka jendela kamarnya dan menunggu kedatangan sang kekasih.Dia berharap, Samuel bisa segera menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan kembali menemui dirinya. Cinta baru saja bersemi di antara mereka. Tentu saja hati berbunga bunga dan masih tetap ingin bersama lebih lama. Akan tetapi, sepertinya semua itu tidak akan terjadi malam ini dan Queen tidak bisa lebih lama menunggu.Gadis itu terlelap setelah jam dinding berada di angka satu. Dia tidak bisa lagi menahan kantuknya dan dia sadar bahwa Samuel tidak akan datang malam ini.“Selamat malam, Sayang. Apa kau menungguku datang?” tanya sebuah suara yang berbisik di telinga Queen saat ini.Perlahan, Queen membuka matanya dan wajah seorang pria tampak samar-samar di hadapannya saat ini. Pria itu tersenyum dengan sangat manis padanya dan memberikan sebuah kecupan di bibirnya. Dari kecupan itu saja, Queen tahu bahwa Samuel telah datang malam ini.“Aku menun
Charlos tidak pernah menyangka jika hidupnya akan didatangi oleh seorang gadis ingusan seperti Thabita. Dia tidak hanya menyebalkan, tapi juga sangat menganggu sehingga Charlos kehilangan waktu istirahatnya karena gadis itu terus saja mengusik ketenangannya.“Berhentilah bermain-main, Thabita. Aku tidak suka bercanda untuk masalah pernikahan!” tegur Charlos sekali lagi kepada Thabita dengan wajah yang masam.“Aku juga tidak pernah main-main soal pernikahan. Bukankah pernikahan itu adalah impian semua orang? Aku selalu bermimpi mempunyai suami yang usianya lebih tua dariku,” sahut Thabita yang tidak mau kalah.“Kalau begitu, kau carilah sugar daddy yang mau mengurusmu! Aku belum terlalu tua asal kau tahu!”“Usiamu bahkan sudah menginjak kepala 4 bukan? Apa itu belum terlalu tua namanya?” tanya Thabita dan jelas ucapan gadis itu membuat Charlos kehilangan kendalinya saat ini.Bagaimanapun juga, Charlos adalah pria biasa yang masih memiliki emosi tak terkontrol. Dia sudah biasa dilatih d
Namun, meskipun Thabita senang mendengarnya dia tentu juga merasa bingung dengan pernyataan Charlos tadi. Apakah benar pria itu akan membawanya pulang bersama rombongan tuan besarnya? Bukankah Charlos hanyalah seorang ajudan dan semua itu pasti tidak mudah baginya untuk berhasil meyakinkan bos untuk membawa wanita asing bersama mereka pulang.“Apa lagi yang kau pikirkan? Jangan banyak bergerak dan tetaplah tenang di atas ranjang ini. Aku tidak akan mengobati lukamu lagi jika kau masih tidak mendengarkan aku!” ancam Charlos pada Thabita dengan tegas dan terdengar tidak main-main.“Baiklah, Sayang. Apapun yang kau katakan,” sahut Thabita sengaja menggoda Charlos dengan sebutan sayang.Benar saja, wajah Charlos langsung memerah seperti merasa malu dan tidak bisa tenang di depan Thabita. Bagaimana bisa dia menjadi tidak konsen saat Thabita memanggilnya sayang seperti tadi? Apa yang gadis itu pikirkan dan Charlos membalikkan badan untuk membuang kecanggungannya dengan alasan akan meletakka