"Apa Tuan Carlen tidak pernah bercerita?" tanya Pandu hati-hati.
"Pernah, sih. Tapi tidak lengkap," sahut Anike. Sebenarnya, dia ingin bercerita banyak pada Pandu. Namun, tiba-tiba Anike mendengar suara percakapan lain di sekitarnya. "Nanti saya hubungi lagi ya, Pak. Terima kasih," ucapnya seraya mengakhiri telepon.
Anike lalu berjalan mengendap menuju arah suara. Di sisi lain dapur, terdapat ruangan kecil yang khusus digunakan untuk membersihkan peralatan makan dan memasak.
Anike melongok ke dalam sana. Tampaklah Lula yang sedang bertelepon sambil tertawa kecil. Gadis cantik asli Jerman itu duduk di sebelah bak pencuci piring sambil menggerak-gerakkan kakinya.
Diam-diam, Anike menajamkan pendengaran demi mendenagr percakapan Lula dengan seseorang. Saat itu, Lula tidak menggunakan bahasa Jerman, melainkan bahasa Indonesia. Hal itu membuat Anike terheran-heran.
Tak dapat lagi menyembunyikan rasa ingin tahu, Anike bergegas menghampiri adi
Anike tak segera menjawab. Dia hanya menatap Carlen dengan mata berkaca-kaca. "Pantas anda tidak pernah mengatakan cinta padaku," gumamnya pelan, tapi Carlen dapat mendengarnya dengan jelas. "Bicaralah yang jelas, Anike. Jangan membuatku gemas," ujar Carlen. Diperhatikannya wajah cantik Anike yang murung dengan bibir cemberut. "Hei," panggil Carlen lembut seraya merengkuh tubuh sang istri. Setengah memaksa dirinya menarik Anike agar mendekat. "Berapa lama aku tertidur? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?" tanya Carlen seraya mendekap Anike. Dia tak peduli meskipun istrinya itu berusaha memberontak. Carlen malah mendekapnya semakin erat. "Anda mabuk! Pantas kalau tidak ingat apa-apa!" jawab Anike ketus. "Mabuk?" Carlen mulai mengendurkan pelukannya. "Aku tidak mabuk, Anike. Sudah kubilang kalau aku bertemu Marten di butik perhiasan milik Diana. Dia lalu menembakku dengan sesuatu," ujarnya sambil membuka T-shirt hingga terlihat bagian dadanya. Anike ragu, antara percaya atau tidak. Sete
Carlen yang sudah berada beberapa langkah di depan Anike, langsung menoleh menyadari bahwa istrinya itu masih berdiri mematung di belakangnya. "Hei, sedang apa kau, Sayang?" Anike menanggapi pertanyaan Carlen dengan mengarahkan telunjuk ke arah Lula bersama kekasihnya. "Indra! Beraninya kamu, ya!" sentak Anike tiba-tiba. Sontak Carlen dan Anike terkejut mendengarnya. Terlebih saat Anike berlari turun. Dia melewati Carlen begitu saja, lalu menghampiri pria yang ternyata adalah mantan tunangan Anike yang sudah menipu dan menguras seluruh tabungannya. "Mau apa kamu ke sini, hah!" Anike bergerak menerjang dan menjambak rambut kekasih Lula. Hampir saja dia memukul pria itu andai Carlen tak buru-buru mencegah istrinya yang menggila. "Hentikan!" cegah Carlen. "Apa yang kau lakukan, Anike? Apa kau sudah gila?" seru Lula yang spontan melindungi kekasihnya seraya merentangkan tangan. "Minggirlah, Lula! Aku ingin menghajarnya!" Anike berteriak seperti orang kesetanan, sampai-sampai Carlen ke
Beberapa hari ini Carlen terlihat sibuk di ruang kerja. Dia serius mencari tahu latar belakang Rangga. Carlen bahkan menyewa beberapa orang untuk menyelidiki siapa kekasih Lula tersebut sebenarnya. Dia bahkan menyewa beberapa orang untuk mengungkap identitas asli kekasih Lula tersebut. "Aku tidak berbohong, Tuan. Dia memang benar Indra, orang yang sudah menipuku," ujar Anike. Sikapnya seperti anak kecil yang merajuk supaya orang tuanya percaya. "Aku tidak pernah mengatakan kalau kau berbohong, Anike," sahut Carlen lembut, sambil serius mengetikkan sesuatu di keyboard laptop. Anike turut memperhatikan apa yang Carlen lakukan. Dia menyeret kursi lalu duduk di samping sang suami. "Apa anak buah anda sudah menemukan sesuatu? Mungkin tempat tinggal atau nama aslinya," tanya Anike. "Ya, tenang saja. Semuanya sedang bekerja," jawab Carlen tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. "Anda sedang apa, sih?" tanya Anike lagi. Saat itulah, Carlen menghentikan aktivitasnya, lalu mengal
"Lantas, kenapa kita harus diam saja di sini? Ayo, kita datangi kamar kosnya!" cetus Carlen tak sabar. "Tenang dulu, Tuan," sergah Doni. "Di jam-jam seperti ini, Irawan belum pulang kerja. Biasanya dia masuk rumah pukul lima sore. Kita tunggu sampai dia datang," sarannya. "Wah, berarti kita harus menunggu satu jam lagi, dong," gerutu Anike. Belum apa-apa dia sudah dua kali memeriksa waktu yang tertera di layar ponsel. "Saya hanya khawatir jika dia menyadari keberadaan kita di sini. Bisa-bisa Irawan melarikan diri secara diam-diam," terang Doni. "Wah, terus bagaimana, dong?" tanya Anike was-was. "Kita bersembunyi dulu di tempat yang aman sampai dia datang," jelas Doni. "Sembunyi di mana?" sahut Carlen. "Saya punya seorang kenalan di kampung ini selama mengintai Irawan. Rumahnya tepat di belakang kos-kosan," papar Doni. "Ya, sudah. Kita ke sana saja," ajak Anike. "Lewat sini, Nyonya." Doni kembali bersikap sebagai penunjuk jalan. Dia mengarahkan pasangan suami istri itu ke jala
"Saya punya akses ke banyak jaringan, Pak Irawan. Pasti akan sangat mudah bagi saya untuk mencari siapa saja korban anda, yang saya yakin sudah berjumlah puluhan, salah satunya adalah Nyonya Anike," ujar Doni yang turut mengintimidasi Irawan."Aku punya bukti transfer ke rekening atas nama Indra!" sahut Anike dengan nada tinggi."Nah, apalagi begitu. Dari rekening tersebut sudah bisa diselidiki, apakah memang datanya palsu atau asli. Bisa bertambah lagi nanti tuduhan yang akan anda terima," ancam Doni."Ya, ampun." Indra alias Irawan menggeleng lemah. Dia benar-benar terdesak dan tidak bisa mengelak. Ditambah sorot mata tajam nan mengerikan yang dilayangkan Carlen untuknya."Akui semua perbuatanmu pada Lula, atau kau akan menerima akibatnya," ancam Carlen."Kalau anda tidak dapat diajak bekerja sama, terpaksa kami akan memberitahu istri dan keluarga besar anda. Apa anda mau jika mereka turut dimintai pertanggungjawaban?" sambun Doni."Jangan
"Ulang tahun?" Mata indah Anike terbelalak lebar. "Astaga, Tuan. Kenapa anda tidak memberitahuku jauh-jauh hari? Biar aku bisa menyiapkan kado untuk anda!" ujarnya panik. "Santai saja, Anike. Aku jarang sekali mendapat kado di hari ulang tahunku," timpal Carlen kalem. Dia kemudian beranjak dari duduknya, lalu berdiri di hadapan Anike. Telunjuknya meraih beberapa helai rambut lurus Anike, lalu memainkan dan memilinnya. "Lagipula, aku sudah mendapat kado terindah," ucap Carlen. Nada bicaranya terdengar amat berat, seksi dan begitu menggoda. "Aku bahagia di bertambahnya usiaku, ada seseorang yang ikut merayakan bersamaku." Hembusan napas Carlen hangat menerpa wajah Anike, menimbulkan sensasi luar biasa dalam diri wanita cantik itu. "Bagaimana dengan keluarga anda? Saudara-saudara anda, Tuan Marten dan Lula. Apakah mereka tidak pernah merayakan ulang tahun bersama anda?" "Jangan sebut nama Marten menggunakan bibirmu, Anike!" Carlen segera menempelkan telunjuknya di bibir ranum istrin
Dua hari berlalu sejak Irawan mengirim pesan pada Lula. Selama waktu itu, Lula tak jua membalas pesannya. Akhirnya dengan terpaksa, Irawan harus tinggal di kediaman Carlen sedikit lebih lama."Aku tidak ingin istriku kepikiran, Tuan. Ini jadwal aku pulang ke Surabaya," pinta Irawan mengiba."Aku tidak bisa mengabulkan hal itu. Sesuai perjanjian awal, kau tetap tinggal di sini sampai Lula menanggapi pesanmu," tegas Carlen. Mendengar hal itu, Irawan hanya bisa menunduk lesu. Dia lalu mencoba menghubungi Lula untuk kesekian kali, dan berakhir sia-sia."Tunggu saja sampai besok atau lusa," tutur Anike sambil memasang raut gelisah. Carlen menangkap bahasa tubuh sang istri yang tampak sedikit berbeda itu."Kau kenapa? Apa ada yang kau pikirkan?" tanya Carlen."Sebenarnya ... iya," jawab Anike ragu. Dia meringis saat Carlen terus memperhatikannya."Katakan padaku." Carlen sama sekali tak canggung saat menampakkan kemesraan bersama sang istri di depan Irawan. Dia membelai pipi Anike seraya
"Teh! Ada di mana?" tanya Anike melalui panggilan telepon."Kamu di mana?" Tiara balas bertanya. "Lagi di taksi online. Kita ketemuan di mana, nih?" Anike kembali melontarkan pertanyaan."Langsung di cafe saja, ya. Sebentar lagi kukirim lokasinya," jawab Tiara sebelum mengakhiri percakapan.Setelah telepon dari sang kakak berakhir, Anike kembali tercenung untuk sesaat. Kalimat Lula yang mengatakan bahwa Carlen hanya memanfaatkan dirinya untuk mengusir kesepian, benar-benar mengganggu pikiran."Apa memang benar begitu?" gumam Anike pada diri sendiri. "Pantas saja dia tidak pernah membalas ucapan cintaku."Perlahan, Anike mengusap air mata yang meleleh di pipi. Dia memalingkan muka ke arah jendela ketika sopir taksi online sempat melirik dirinya dari kaca spion tengah. Di tengah kegalauannya, ponsel Anike tiba-tiba bergetar. Terdapat satu pesan masuk yang dia kira berasal dari Tiara. Namun ternyata hanya sebuah pesan tak jelas dari nomor tak dikenal. Dalam hati, Anike berharap Carlen
"Anike!" seru Carlen seraya melemparkan pistol yang berhasil dia rebut dari Diana, ke arah Marten. Marten sigap menangkap pistol tersebut dan menyembunyikannya di balik pinggang. Sementara Maya berteriak histeris melihat Anike yang terkulai. Dia menghambur bersamaan dengan Carlen yang mengangkat tubuh istrinya. Diana sendiri hanya bisa berdiri terpaku. Tubuhnya membeku melihat Anike yang bersimbah darah. "Awasi Diana! Aku akan membawa Anike ke rumah sakit!" titah Carlen yang tak memedulikan apapun lagi. Dia membopong sang istri yang tak sadarkan diri menuju mobil mewah yang masih terparkir di halaman."Ya, Tuhan! Ada apa ini, Tuan?" Yanto berlari tergopoh-gopoh mendekati majikannya. "Siapkan mobil! Antarkan aku ke rumah sakit!" seru Carlen. Tanpa membuang waktu, Yanto segera membukakan pintu mobil dan membantu membaringkan Anike di jok belakang. Dia meletakkan kepala Anike di pangkuan Carlen. Setelah memastikan bahwa Carlen dan Anike berada pada posisi nyaman, Yanto bergegas duduk
"Kenapa, Tuan?" tanya Anike curiga. Diperhatikannya wajah tampan sang suami yang seolah tengah menyembunyikan sesuatu. "Kita harus pulang sekarang," ucap Carlen tanpa menjawab pertanyaan Anike. "Kamu juga Maya. Kemasi barang-barangmu sekarang juga. Kita akan kembali ke Jakarta sekarang sebelum bertolak ke Jerman," ajak Marten. Anike dan Maya tak membantah sama sekali. Setelah memberi pengertian pada Saodah dan Abdul Manaf, serta berpamitan pada para tamu, dua pasang mempelai itu bergegas meninggalkan gedung resepsi. Carlen dan Anike kembali ke rumah Abdul Manaf, sedangkan Marten membantu Maya bersiap-siap. Satu jam kemudian, sopir pribadi Carlen datang menjemput. Mereka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa, membuat Anike semakin was-was. "Sebenarnya ada apa ini, Tuan?" desaknya. Carlen yang duduk di samping Anike, hanya bisa menarik napas panjang. Butuh waktu lama baginya untuk menjawab pertanyaan sang istri. "Ini tentang Diana," ucap Carlen pada akhirnya. "Kenapa lagi dia?"
Maya ragu-ragu menatap Marten. Pria di hadapannya itu sungguh bersikap di luar dugaan. Pertemuan mereka yang singkat sama sekali tak membuat Marten ragu untuk melamar Maya. "Apa anda yakin, Tuan?" tanyanya hati-hati. "Seratus persen!" jawab Marten tegas. "Meskipun kita baru saja bertemu dan berkenalan?" tanya Maya lagi, sekadar untuk memastikan. "Aku bukan pria plin-plan. Sekali 'iya', maka selamanya akan tetap seperti itu. Aku ingin menikahi dan membawamu pergi," jelas Marten. "Nanti kalau anda tidak cocok dengan sifat dan kebiasaanku, bagaimana? Saya orangnya suka ngambekan," ungkap Maya. "Suka kentut juga," sahut Tatang. "Makannya banyak!" Engkos Kusnandar juga tak mau kalah. "Itu semua adalah resiko yang harus kuterima dengan lapang dada," ucap Marten. "Aku sudah mempunyai modal awal, yaitu perasaan jatuh cinta padamu. Seharusnya rasa itu saja sudah cukup untuk mengatasi semua hal-hal tak menyenangkan yang mungkin muncul di masa yang akan datang," lanjutnya. "Tuan ...." Ma
"Aku pergi dulu," ucap Marten. Dia tak memedulikan tugasnya sebagai pendamping Carlen di pelaminan. Marten malah berlari turun mengejar Maya. "Hei, sedang apa?" sapanya pada gadis cantik itu.Maya sedikit terkejut dan langsung menoleh. "Eh, Tuan," jawabnya balas menyapa. "Sedang membantu menghidangkan makanan untuk para tamu."Buat apa? Sudah ada wedding organizer yang mengurus segalanya. Ikut aku saja," ajak Marten. Dia menggandeng Maya keluar dari gedung, menuju ke taman belakang. "Mau apa ke sini, Tuan?" tanya Maya keheranan."Tidak ada. Hanya ingin mengobrol saja. Di dalam terlalu banyak orang. Selain itu, aku tak suka dipajang seperti patung," gerutu Marten."Itu namanya bukan dipajang, Tuan. Anda itu mewakili keluarga Tuan Carlen,' tutur Maya."Ah, ribet sekali. Aku tidak suka. Seharusnya cukup dua orang itu saling mencintai. Kalaupun menikah, tidak perlu mengundang banyak orang seperti ini. Merepotkan saja." Marten terus mengungkapkan rasa kesalnya."Nanti kalau anda menikah,
"Berikan aku alamatnya!" desak Diana. "Maaf, saya sendiri juga tidak tahu," jawab Yanto. "Jangan bohong kamu, ya!" Diana nekat maju, mendekati Yanto. Tanpa ragu, dia menarik krah seragam satpam yang Yanto kenakan. "Cepat berikan alamat mertua Carlen! Atau aku akan ...." "Ada ribut-ribut apa ini?" tanya seseorang, memotong kalimat Diana begitu saja. Wanita itu segera melepaskan cengkeramannya dari Yanto dan menoleh ke arah suara. "Oh, Pak Pandu rupanya." Diana tersenyum sinis. "Silakan anda pergi dari sini kalau tidak ingin saya panggilkan polisi," ancam Pandu dengan raut datar. "Anda tidak bisa memaksa saya!" Diana malah mengangkat dagu, seolah menantang Pandu. "Anda sudah cukup banyak membuat masalah, Bu Diana. Mulai dari menjebak Tuan Carlen, melukai, menipu serta terlibat dalam penculikan terhadap Nyonya Anike. Jika Tuan Carlen berkenan memproses kasus ini ke jalur hukum, maka saya dapat memastikan bahwa anda akan mendekam lama di penjara. Apalagi koneksi Tuan Carlen terhada
Beberapa hari telah berlalu, kini Marten telah terbiasa melakukan segala pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyapu, mengepel dan mencuci piring. Dia bahkan bisa mencuci bajunya sendiri dengan cara manual. Selama waktu itu, dia juga semakin akrab dengan Maya. Seperti siang itu saat mereka berdua berbincang santai di teras depan. "Kapan teh Anike datang?" tanya Maya basa-basi. "Kabarnya sih hari ini. Tadi dia meneleponku," jawab Marten. "Anda sampai kapan di sini?" tanya Maya lagi. "Mungkin sampai selesai resepsi. Kenapa?" Marten balik bertanya. Dia mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Maya dan menatap paras cantik itu dengan sorot penuh kekaguman. "Tidak apa-apa." Maya menggeleng pelan seraya memalingkan muka. Dia sama sekali tak terbiasa beradu pandang dalam jarak yang sedekat itu. "Apa kamu mau ikut denganku?" tawar Marten tiba-tiba, membuat Maya langsung menoleh ke arahnya. "Ikut? Ke ... kemana?" tanya gadis lugu itu terbata. "Kita ke Jakarta dulu, setelah itu aku akan men
Tanpa memedulikan celotehan Abdul Manaf, Marten langsung berdiri dan meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Pisau yang digunakan untuk membersihkan sisik ikan, Marten lemparkan ke atas tanah. "Hei, Nak Marten! Mau ke mana?" tanya Abdul Manaf keheranan. Tak hanya dirinya, bapak-bapak yang lain pun bingung melihat tingkah pria asli Jerman itu. "Ikannya masih banyak yang belum dibersihkan!" teriaknya. Akan tetapi, Marten tetap tak memedulikan panggilan itu. Fokus utamanya hanyalah Maya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan segar dalam balutan daster merah. Wajahnya terlihat amat menawan meskipun tak berpoleskan make up sama sekali. "Hei! Ayo, bantu aku memutilasi ikan," ajak Marten sesaat setelah dirinya berhasil menyusul Maya dan mencekal lengannya. "Hah?" Maya langsung menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Itu, membuang sisik ikan dan membelah perutnya," ujar Marten seraya mengarahkan telunjuknya pada Abdul Manaf bersama sekum
Kegiatan menguras kolam ikan berlangsung sampai jam delapan pagi. Mereka baru berhenti setelah semua ikan berhasil ditangkap. Kolam tersebut menyisakan lumpur hitam yang semburat tak beraturan, akibat perang lumpur yang sempat berlangsung. "Aku merasa badanku gatal-gatal," gerutu Marten yang lebih dulu melompat keluar dari kolam. "Nak Marten mau mandi?" tanya Saodah. "Itu sudah pasti. Aku tidak tahan baunya," jawab Marten sambil bersungut-sungut. "Kalau begitu, harus antri. Di sini emak yang berhak masuk ke kamar mandi lebih dulu!" ujar Abdul Manaf. "Kalian punya berapa kamar mandi?" Marten menautkan alisnya. "Satu." Abdul Manaf tersenyum lebar seraya menepuk pundak Marten. "Apa! Jadi, aku harus antri?" Marten menunjuk batang hidungnya yang mancung. "Kau urutan terakhir," sahut Carlen enteng. Dia melangkah santai melewati Marten sambil merangkul Anike. "Sialan!" umpat Marten. Dia sudah tak taha
Anike dan Carlen tengah berkencan di ruang tamu. Mereka berdua asyik bercengkerama. Tak jarang Carlen mencuri-curi ciuman dari sang istri. Sementara Anike membalasnya dengan cubitan mesra di pipi dan pinggang. Namun, kemesraan itu harus terjeda ketika Marten masuk ke dalam rumah sambil senyum-senyum sendiri. "Kenapa berhenti? Lanjutkan pacarannya. Anggap saja aku tak ada di sini," ucap Marten santai saat pasangan suami istri itu menatap heran ke arahnya. "Darimana, Marten? Perasaan tadi kau masuk ke dalam kamar?" tanya Carlen bingung. "Kau tidak perlu tahu." Marten mengedipkan sebelah mata, kemudian berlalu begitu saja menuju kamarnya, membuat Carlen dan Anike semakin bertanya-tanya. Dua sejoli itu saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali bermesraan. Tanpa terasa, waktu berjalan begitu cepat. Malam datang menjelang. Di kampung Anike, jam sembilan malam terasa seperti tengah malam. Warga lebih suka bergelung di balik selimut di kamar masing-masing. Seperti halnya Mar