Halo semuanya, terima kasih sudah membaca cerita ini. Mohon maaf karena tanggal 5 saya sudah mudik, sepertinya akan sedikit kesulitan untuk melanjutkan cerita Minna. >.< Jadi dengan berat hati, saya memutuskan untuk rehat sementara selama libur lebaran. Saya akan kembali aktif di tanggal 17 April 2024. Terima kasih, salam hangat semuanya. :*
Aku pernah tenggelam.Aku tau rasanya saat kehilangan kemampuan untuk bernapas.Nyeri yang menyeruak masuk, air yang menerobos, mengisi setiap rongga dalam paru-paru, meninggalkan sensasi terbakar yang begitu mengerikan.Dan saat ini, pelukkan pria itu menimbulkan reaksi yang sama.Ia membuat napasku tercekat. Seakan seluruh organ pernapasanku kehilangan fungsi untuk meraup udara.Di dalam pelukan kasarnya, aku membeku tak mengerti.Apa yang sebenarnya terjadi?Bukankah seharusnya ia menamparku? Memukuliku? Mengusirku?Tapi mengapa ia justru membenamkan tubuhku dalam pelukannya?Atau, apa jangan-jangan ia menyelipkan belati yang akan mengoyak tubuhku di balik pelukannya?“Sialan, Minna, syukurlah kau baik-baik saja.”Pelukan itu semakin melingkar erat. Tubuh kasarnya, lengan kokohnya, bahkan desah napasnya, membelenggu tubuhku yang membatu.Hangat.Pelukannya terasa amat hangat. Seolah ia datang setelah berlari kencang hanya untuk melindungiku.Namun dadaku mengerut dalam pahit. Aku m
Tiga hari setelah malam itu, aku benar-benar hidup bagai tahanan.Arlo memang tidak sampai mengikat kedua tanganku, tapi mereka tidak membiarkanku keluar dari kamar sama sekali.Selama waktu yang panjang itu, aku hanya duduk di sisi jendela, menatap bagaimana Lilly menikmati kesehariannya dengan Martha dan pelayan yang lain.Ia tampak sudah melupakan kejadian mengerikan yang kulakukan tempo hari. Tawa renyahnya melengking indah di antara bunga-bunga yang merekah, saat aku harus terkunci di dalam kamarku sendiri.Rasanya seperti kembali ke masa lalu.Saat aku melihat Ayah, Ibu, Kak Jasmine, dan Lilly tertawa bersama di pekarangan rumah kami, sedangkan aku meringkuk sendirian, kesakitan, dan kelaparan di dalam kamar loteng yang terkunci.Tapi setidaknya, meski pria itu sangat membenciku, di sini aku tidak akan kedinginan dan kelaparan.Tiga kali sehari, seorang pelayan akan datang mengantarkan makanan dan kudapan. Secara teratur, Dokter Fabian juga mengunjungiku untuk melakukan pemeriks
“Penthouse ini memiliki dua private lift yang bisa digunakan. Di area foyer, terdapat area powder yang bisa digunakan sebelum masuk ke dalam penthouse Dan di kedua sisi ini juga terdapat storage yang cukup luas.” Seorang wanita berseragam biru tua menjelaskan setiap detail tempat yang kami datangi. Saat tidak mendapatkan respon apa pun dariku, ia melirik Windi dan Arlo yang menyertai. “Silakan dilanjutkan, Bu Erika,” senyum Windi sopan. Windi memang sudah terlatih dalam berbagai situasi. Jika ia bisa mengatasi air matanya yang terlalu sering menetes, mungkin ia biasa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik di luar sana. “Ba… baik,” ujar wanita itu sedikit kikuk, tapi tetap membukakan pintu untuk kami. “Silakan masuk,” katanya, menempelkan kartu di pintu ganda berwarna hitam itu. “Luas penthouse ini 506 meter persegi. Dengan satu master bedroom, dan dua kamar anak, serta satu kamar asisten rumah tangga. Area foyer bagian dalam ini terhubung dengan guest room dan balcony yang men
Ada satu masa ketika aku sangat merindukan kematian, saat rasanya dunia ini terlalu luas untuk genggaman tanganku yang ringkih, saat kupikir tak ada lagi yang tertinggal untukku di tempat yang asing ini. Mungkin… akan lebih mudah untuk melangkah mundur. “Fa Minna La Rosse?” Panggilan itu mengalun di telingaku, mengetuk seluruh memori yang kutinggalkan di masa lalu karena terlalu pahit. “Kamu… benar-benar Minna?” Dengan mata yang terbuka lebar, penuh ketidak percayaan seakan ia baru saja menemukan harta karun yang tersembunyi jauh di dalam lautan, ia bertanya hal yang sama berkali-kali. “Minna…” Namaku bagai jampi yang terulang di mulutnya. “Minna…” Lalu saat tatapan itu melebur dalam lega bersama genang tipis yang bergumul di pelupuk mata, rasanya hatiku hampir saja remuk oleh perasaan aneh. Kupikir tidak ada lagi yang tersisa untukku. “Nona kenal orang ini?” Dengan sikap waspada, Arlo maju selangkah, seakan melindungiku dari sesuatu yang mengancam. Aku tidak tau apa saja y
Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat keluar dari mobil Kak Ronan. Dan meski sudah meminta Kak Ronan pergi dari tempat itu, ia tetap mengikutiku keluar dari mobil sambil berkali-kali meneriaki namaku.Aku melirik ke belakang, memintanya pergi dengan tatapan putus asa. Namun, meski aku tau aku harus menjelaskan sesuatu kepadanya, aku tidak memiliki waktu.Lapangan parkir yang tidak sebesar halaman rumah keluarga Ravimore itu mendadak begitu lenggang. Hingga napasku mulai terengah menghampiri mobil yang terparkir beberapa ratus meter dari tempat Kak Ronan memarkirkan mobilnya.Selama beberapa saat Hugo tampak berbicara dengan seseorang di dalam mobil, sebelum kembali menutup pintunya lagi.“HUGO!”Ia melirikku sekilas, mengangguk dalam satu kedipan mata, lalu menyelinap masuk ke mobil.“Tunggu!”Tepat sebelum aku berhasil menggapai mereka, mobil itu melaju begitu saja, meninggalkanku yang ternganga tak percaya.“Minna!”Tangkapan tangan Kak Ronan di lenganku tepat waktu. Karena jik
Waktu terus berjalan.Kini tepat 7 hari sejak aku mendapatkan kabar itu melalui Windi dan Arlo. Dan selama itu pula, tidak ada kabar lain yang datang.Entah itu suatu hal yang baik atau tidak.Namun, setiap hari, rasanya seperti sedang menunggu hukuman mati. Kecemasan menguar di udara, menyatu di dalam setiap desah napas kami.Setiap ketukan yang muncul dari balik pintu, dan dering ponsel yang terdengar membuat tingkat kecemasanku bertambah semakin tinggi. Dan kurasa, baik Windi maupun Arlo merasakan hal yang sama.Tapi ada satu hal yang patut kusyukuri, meski awalnya begitu keras menentang, akhirnya Windi dan Arlo membiarkanku bekerja. Toh, walau bagaimana pun kami akan berpisah. Aku harus bisa hidup di atas kedua kakiku sendiri saat semuanya benar-benar berakhir.Dan kafe Kak Ronan adalah pilihan terbaik.Mungkin karena terbawa euphoria saat pertama kali bertemu dengannya, aku sama sekali tidak menyadari Kak Ronan menggunakan apron berwarna hijau tua di atas kemeja kremnya. Ia adala
“Nona Minna?”Panggilan Windi membuat tatapan kosongku berpaling.Wajah gadis itu tebungkus senyum tipis yang tak menyentuh sudut matanya.“Nona bisa istirahat hari ini,” gumamnya pelan. “Saya sudah meminta izin kepada Pak Ronan.”“Aku baik-baik saja, Windi.”Lagi-lagi gadis itu tak mau melihat mataku, tapi aku bisa melihat bagaimana ia meremas rok cokelat yang ia kenakan.“Nona…” bisiknya lebih pelan. “Mengenai rencana penjualan apartment ini…”Kata-kata itu sedikit mengejutkan. Aku memang berniat menjual apartment ini saat semuanya berakhir. Karena menurut Windi, mustahil mengembalikan apa yang sudah diberikan keluarga Ravimore.Namun, saat mendengar gagasan itu, Windi lah yang menentang keras. Menurutnya, ini adalah tempat tinggal terbaik untukku.“Sudahlah, aku tidak akan—”“Saya akan membantu berbicara ke Bu Erika.”Apa?Bukankah ia yang menentangku sebelumnya.“Saya dan Arlo juga akan membantu Nona mencari rumah lain yang lebih nyaman untuk Nona.”Getar di suara gadis itu membua
“Anda harus tidur.”“Berikan berkas perjanjiannya.”Saat berkas itu diserahkan, aku mendongak, sejak kapan ia menggantikan tugas Joachim sebagai sekretaris.“Joachim sakit.” Fabian berbicara tanpa ekspresi, saat aku mencari Joachim di dalam kantor. “Dan, kalau bisa saya tambahkan, semua sekretaris Anda jatuh sakit.”“Manusia lemah.”Helaan napas Fabian terdengar gusar. “Kalau terus begini, Anda juga akan sakit. Anda sudah tidak tidur selama berhari-hari.”“Berhenti bicara omong kosong. Urus saja pekerjaanmu.”“Dan pekerjaan saya adalah mengurusi kesehatan Anda, Pak Killian.”Saat-saat seperti ini, aku sangat ingin menyingkirkannya.Pria itu tidak berbicara lagi. Tapi matanya menatap cangkir-cangkir kopi yang kosong dan lusinan puntung rokok di atas meja.Brak.Ia berjalan ke pintu, membuka lebar-lebar pintu itu.Remy langsung berjalan mendekat.“Alarm kebakaran akan berbunyi karena asap-asap rokok ini,” jelas Fabian kepada Remy. Yang tentu saja itu hal yang sangat berlebihan.“Hatchi!
1 bulan sebelumnya.“Stockholm syndrome.”Kata-kata Laura kembali terngiang.“Apa?”“Itu adalah gangguan psikologis pada korban penculikan. Di mana korban justru mengembangkan perasaan simpati, bahkan kasih sayang terhadap pelakunya.”“Saya tau! Tapi itu tidak mungkin! Mana mungkin ada orang yang memiliki perasaan seperti itu kepada orang yang sudah menyakitinya?” Joachim, dengan seluruh upayanya menyangkal keras.Aku sedikit khawatir menempatkan mereka di satu ruang yang sama. Namun, wanita itu menepati janjinya. Ia mengabaikan Joachim seakan obsesinya tidak pernah ada sama sekali. “Kamu pikir apa alasan gadis berusia 22 tahun tetap berada di tempat yang menyakitkan seperti itu?!”“Karena dia dikurung!”“Jangan membuatku tertawa, Joachim. Dia tidak dipasung. Dia bebas. Dia memiliki akses luas. Terlepas dari seluruh perlakuan keluarga tirinya, dia dibiarkan bebas di dalam rumah. Dia bukan lagi gadis kecil berusia 6 tahun! Dia gadis dewasa berusia 22 tahun. Dia bisa meminta bantuan ke
Apa arti luka?Apakah itu ketika kau pecah, tergores, bersimbah darah, hingga kau berpikir itu akan menjadi sambutan kematianmu?Aku sudah berkali-kali berada di ambang rasa sakit itu.Kupikir aku sudah merasakan semuanya, tapi ternyata, itu hanyalah sebagian kecil dari potongan rasa sakit yang diciptakan segores luka.Klik.Pintu terbuka perlahan. Mengusik keheningan yang memenuhi jiwaku.“Kak Minna? Ke-kenapa Kakak bisa ada di sini?!”Aku selalu bertanya-tanya, mengapa dulu aku tidak memepertahankan apa yang Ibu tinggalkan? Mengapa aku membiarkan mereka membakar seluruh potret Ibu? Mengapa aku tidak menyembunyikan salah satunya di antara celah yang hanya aku sendiri yang mengetahuinya?Mengapa aku membiarkan mereka menghilangkan seluruh jejak Ibu?Mengapa aku membiarkan mereka membuatku melupakan Ibu?“Kak Minna! Apa yang Kakak lakukan di sini?! Pergi!”Aku bergeming. Menatap hampa ruang kelas yang kosong. Kesempatan yang tak pernah kudapatkan. Kesempatan yang mereka rebut dengan kej
Laskala.Nama itu terasa asing dan familiar secara bersamaan.Aku melewati malam tanpa terpejam hanya untuk mencari jejak di mana aku pernah mendengar nama Laskala sebelumnya.Dua malam yang lalu, setelah mendengar nama itu, aku bisa merasakan perubahan drastis pada sorot matanya.Ia menurunkanku dengan hati-hati dari dekapan, mengambil ponsel yang tersimpan di atas meja, lalu pergi setelah mengecup singkat keningku.Dalam hitungan detik, semua orang yang kupikir menghilang, tiba-tiba saja kembali memenuhi apartment, meskipun pada akhirnya mereka kembali pergi mengikuti langkah pria itu.“Jaga tempat ini sampai aku kembali.”Hanya pesan itu yang tinggalkan. Lalu ia pergi begitu saja, tanpa penjelasan, tanpa kabar. “Nona?” Windi muncul dengan senyuman cerah seperti biasa. Ia meletakkan sepiring stroberi segar yang sudah dipotong rapi ke atas meja. “Nona, Pak Gerad akan berbelanja bahan makanan. Apa ada makanan tertentu yang Nona inginkan untuk makan malam nanti?”Aku menurunkan cangk
“Kemana semua orang?”Dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka, aku mengintip diam-diam.“Sedang apa kau?” tanya pria itu, berdiri di belakang punggungku.“Di luar… tidak ada siapa pun.”Tangan panjangnya mendorong pintu hingga terbuka, lalu ia melangkah keluar kamar begitu saja, tanpa memperdulikan keberatanku.Ia berjalan santai ke dapur yang kosong. Bahkan meja makan yang tadi amat ramai, kini hanya menyisakan makanan-makanan lezat tanpa sisa piring yang tertinggal.Aku menatap ke sekeliling apartment. Di mana semua orang? Mengapa mereka bisa lenyap seperti ini?“Makanlah yang banyak.” Pria itu mengelilingi meja dapur, mengambil sebuah apel, menggigitnya sambil menarik kursi meja makan. “Minna? Kau bilang kau lapar.”Mataku mengerjap cepat. Aku memang lapar, tapi ini sangat aneh.“Kemana semua orang?”Aku hampir tidak pernah melewati waktu tanpa Windi dan Arlo. Mereka tidak pernah meninggalkanku sendiri.“Apa terjadi sesuatu?” tanyaku cemas.“Tidak terjadi apapun. Sekarang duduk
Tidak seperti saat menggendong, setidaknya saat ia mendudukanku di sisi ranjang, gerakannya jauh lebih manusiawi, walaupun tidak bisa dikatakan lembut sama sekali.“Aww.” Aku meringis pelan saat ia membuka serbet yang sekarang sudah dipenuhi darah dari tanganku.Sebenarnya lukanya tidak terlalu dalam, darahnya juga sudah berhenti menetes, tapi karena cukup panjang, darahnya hampir memenuhi salah satu sisi serbet, bahkan sampai merembes ke kemeja hitam pria itu.Ketukan di pintu mengiringi kedatangan Dokter Fabian yang membawa kotak P3K.“Maaf, ternyata tidak ada first aid kit di apartment.”Itu menjelaskan keringat yang memenuhi keningnya. Ia pasti harus mengambil kotak itu di mobil.Pria itu menudingku dengan tatapan sengitnya, seakan ketidakberadaan kotak P3K di apartment adalah sebuah kejahatan yang fatal dan sengaja kulakukan. Dokter Fabian menarik kursi di depan meja rias, lalu duduk di hadapanku, memeriksa lukaku dengan seksama.“Apa perlu dijahit?”Pria itu bersidekap, menatap
“Pak Kenan sudah mengirimkan email, Pak. Saya juga sudah meminta tim finance untuk melengkapi data sales periode pertama. Haruskah saya menghubungi bagian operator?”“Tidak perlu. Persiapkan saja datanya, kita akan meeting 15 menit lagi.”“15 menit? Tapi itu…”Ia menoleh, membuat sekretarisnya menelan keberatan apa pun yang tadi sempat tergantung di lidahnya.“Ya, 15 menit lagi. Saya akan siapkan link meetingnya, dan mengirim undangan.”“Bagus. Dan minta juga bagian marketing mengirimkan bahan marketing yang sudah direvisi. Pastikan manager pengembang hadir. Poin yang perlu direvisi dari MoU sudah kusertakan, bereskan itu sekarang, dan segera email kembali.”Dari balik counter dapur, aku tidak bisa berhenti menatap ruang keluarga yang kini sudah diubah menjadi ruang kerja sementara pria itu. Sebenarnya, apartment ini memiliki ruang khusus yang bisa digunakan sebagai ruang kerja, tapi pria itu memilih ruang keluarga.Sekarang, melihat berkas-berkas yang tersebar, aku jadi mengerti.Tap
Part 47“Nona Minna?” Windi berbisik gelisah di sampingku. Sesekali ia melirik ke lantai dua, sebelum kembali menundukkan wajah sambil menelan ludah susah payah.Aku melirik pintu The Oak Tree yang tertutup. Di kejauhan, aku bisa melihat beberapa mobil terparkir di depan toko. Salah satu mobil itu berisi Dokter Fabian, Hugo, dan Jeremy yang diusir oleh pria itu.“Nona yakin ini tidak apa-apa?”Apanya yang tidak apa-apa, semuanya benar-benar kacau sekarang.Meksi aku sudah menempatkan pria itu di meja yang paling jauh dari pengunjung lain karena kondisi gynophobianya, tapi entah bagaimana hanya dengan keberadaannya sendiri saja, perhatian semua orang sangat mudah tertuju kepadanya.Entah karena kemeja hitam yang lebih cocok digunakan ke pemakaman itu, atau karena ekspresi wajahnya ayng menyebalkan, atau entah apa pun itu, tapi rasanya semua wanita di tempat itu terus melirik ke meja mereka.Beberapa gadis muda bahkan secara terang-terangan memotret dengan ponsel.Ah. Aku bisa gila rasan
“Cara menaburkan bubuk cabai diam-diam ke mulut atasan.”Deg.Aku langsung memasukkan ponsel Windi yang tertinggal di ruang staf. Setelah memastikan tidak ada siapa pun di sana, buru-buru aku menghapus riwayat pencarian yang baru saja kubaca dari ponselnya.Atasan siapa yang dia maksud? Apakah itu Kak Ronan? Atau…Astaga, membayangkannya saja sudah membuatku merinding.“Minna, bisa bantu serve table 3?”“Ya!” jawabku dari ruang staf sebelum berlari menuju area kasir. Salah satu rekan seniorku sudah menanti dengan baki berisi dua burger, tiga gelas kopi, dan sepiring kentang goreng.“Table 3,” katanya, sekali lagi. Padahal aku juga bisa melihatnya dari nota pesanan yang tersemat di bawah salah satu gelas kopi. “Trims, Minna.”Aku tersenyum dan mengangguk sebelum membawa pesanan itu ke lantai dua.Di kejauhan, aku bisa melihat Windi yang tengah berbicara dengan seorang gadis kecil di depan rak buku anak-anak, sedangkan Arlo sibuk meracik kopi untuk sepasang kekasih yang mengenakan pakai
“Ehm.” Dokter Fabian berdeham beberapa kali di hadapanku. “Mohon maaf, Nona Minna, tapi… yang tadi itu… cukup… mm… berbahaya…” katanya, sambil mengusap tengkuk dengan kikuk.Tanganku terlipat di dada, wajahku berpaling ke sembarang arah, tapi aku bisa merasakan semburat panas menjalar di kedua pipiku.“Sa… saya mengerti kalau Nona marah, tapi tolong… jangan pukul bagian… i…itu.”Argh, gila!Apa tidak bisa dia berhenti bicara saja?! Kepalaku benar-benar terasa akan meledak karena malu!“Itu pasti sangat menyakitkan.” Jeremy bergumam serius.“Pukulannya keras.” Arlo menjawab, dengan wajah yang jauh lebih serius lagi.Entah sadar atau tidak, ia merapatkan kakinya, meletakkan tangan di depan celana, seakan melindungi sesuatu yang berharga.Aku ternganga tak percaya. Aku benar-benar ingin melemparkan mereka keluar apartment sekarang juga!Dan lagi pula, andai ia tidak mengejutkanku, aku tidak mungkin refleks memukul pria itu di sana! Harusnya ia ikut bertanggung jawab menanggung malu!“Ka…