Part2
Ayah mertua tidak menanggapi apapun, aku tetap terdiam dan memaksakan diri untuk makan malam, meski seleraku kini hilang.Seminggu telah berlalu, sikap Ibu Delima sedikit membaik padaku."Ndre, malam ini kita akan kedatangan tamu teman Ibu, kamu dan Elea bersiap- siap oke."Aku berada di dalam kamar, mendengar jelas ucapan Ibu pada Mas Andre. Tidak terdengar suara sahutan dari suamiku itu.Setelah langkah kaki Ibu Delima menjauh, aku mengajukan pertanyaan, yang begitu mengganggu pikiranku."Mas, apakah ini tentang wanita, yang akan menikah denganmu?" tanyaku pelan."Entahlah, nggak usah dibahas! Aku cukup pusing dan juga terbebani dengan ini," sahutnya dengan ekspresi malas.Aku menghela napas. "Sepertinya Ibu sangat serius dengan semua ini. Jujur, aku merasa keberatan," ungkapku pelan, membuat mas Andre menatapku."Utarakan saja pada Ibu, jangan padaku!" tegasnya lagi, kemudian merebahkan diri memunggungiku."Mas, Ibu Delima kan Ibu kamu, seharusnya kamu bisa berbicara dari hati ke hati sama dia. Kalau aku? Yang ada aku akan Ibu marahin," sahutku."Sudahlah, ikuti saja mau Ibu, aku capek jika terus berdebat dan tidak memiliki ketenangan lagi di rumah ini," jawabnya.Lagi- lagi aku hanya bisa menarik napas berat. Apakah memang aku yang harus tersisih? Bagaimana nasibku kedepannya, jika aku bercerai dari mas Andre.________"Kalian sudah siap?" terdengar suara Ibu Delima bertanya pada mas Andre, yang sudah lebih dulu keluar dari kamar.Lelakiku itu benar- benar rapi, dan menawan, di tambah dengan aroma parfume yang menyengat. Seakan dia begitu welcome dengan acara pertemuan malam ini.Meskipun rasa hati ini begitu sakit, aku tetap harus kuat, dan berusaha sabar menerima semua ini. Aku mencoba keluar kamar juga, perasaan hati ini sangat penasaran pada tamu Ibu malam ini."Elea, kamu kok terlihat kucel sekali, jangan bikin malu saya! Saya tidak mau kamu di anggap jelek selama menjadi menantu saya," tegas Ibu Delima tak suka menatap penampilanku yang memang sangat sederhana."Itu sama saja kamu menjelaskan ke mereka, bahwa menjadi bagian keluarga ini membuat kamu tidak bahagia," lanjutnya."Awalnya sih aku bahagia, Bu. Sebelum keputusan bodohku." Batinku meracau, namun mulutku tertutup rapat."Sekarang juga kamu ganti pakaian, cari yang mewah dan elegan, yang kamu miliki," titahnya dengan sorot mata tajam melihatku.Aku tak menjawab apapun, aku segera kembali masuk ke dalam kamar kami.Dengan hati hancur, serta perasaan terluka, aku memilih satu persatu koleksi baju yang aku punya. Jujur saja, selama hidup setahun ini bersama suamiku, aku memang terbuai dengan hidup serba cukup, bahkan lebih. Aku bisa membeli apapun yang aku mau dan aku sukai, aku bergantung penuh padanya. Tapi kini, aku sangat takut kehilangannya.Aku memilih baju paling mahal, yang memang menjadi baju kesayanganku.Baju ini, adalah hadiah dari Ibu Delima, saat aku ulang tahun.Beliau membelikannya dari LN, sebagai hadiah untukku menantunya. Dulu, sebelum kami satu rumah, Ibu begitu baik padaku walau hanya melalui sambungan telepon.Tapi, kini? Entahlah. Mungkin, aku yang terlalu polos, sehingga percaya bahwa Ibu memang baik. Faktanya, kini sangat jauh berbeda.Para tetangga dan kenalanku mengatakan aku adalah wanita yang paling beruntung. Memang, dulu aku merasa begitu, tapi sekarang semua berubah.Huh, aku menghela napas perlahan. Lalu kukenakan gaun mewah tersebut, kuoleskan make up tipis di wajah ini.
Setelah selesai, aku berjalan pelan keluar kamar.Ibu mertua dan Mas Andre yang duduk di ruang keluarga, seakan terpana akan kehadiranku. Ibu berdiri dari duduknya, lalu memelukku dengan senyum bahagianya."Begini dari tadi, Ibu akan sangat bangga memperkenalkan kamu pada mereka nantinya." Aku hanya tersenyum tipis menanggapi omongannya.Tak lama kemudian, yang kami tunggu telah tiba di halaman depan rumah.
Bi Inah asisten rumah tangga Ibu membukakan pintu depan, ia mempersilakan rombongan itu masuk.Ibu pun berdiri dari duduknya di ruang tamu, kemudian berjalan menuju mereka semua."Hei, kalian sudah pada datang," ujar Ibu langsung memeluk wanita muda yang lumayan cantik, rambut terurai panjang, kulit putih bersih, dan berlesung pipi."Andre, sini Nak, calon kamu sudah tiba." Ibu memanggil suamiku dengan raut wajah bahagia, ia seakan lupa keberadaanku.Degh!!Aku terkejut mendengar perkataan Ibu Delima. "Calon? Apakah aku tidak salah dengar?" batinku.Aku hanya terdiam mematung di tempat semula, aku menatap mas Andre yang berjalan pelan memenuhi panggilan Ibunya itu."Nak, ini calon kamu, Delia!" ujar Ibu sambil memamerkan wanita itu pada suamiku. Hatiku rasanya sakit, hancur dan tidak rela. Tapi apalah dayaku, melawan pun percuma, yang ada aku hanya akan tersingkir."Ha, Delia ...." Terdengar suara terkejut suamiku."Andre ...." wanita itu pun ikut bersuara.Apakah mereka saling mengenal?"Kalian saling mengenal?" tanya Ibu Delima."Iya, Bu. Delia ini, adalah sahabat Andre semasa SMP.""Wah, sepertinya kalian memang berjodoh," pekik Ibu kegirangan.Aku tidak mau tersingkir hanya karena sebuah alasan yang bahkan bukan aku yang salah, tapi aku juga tidak bisa jujur, aku tidak siap melihat suamiku terluka.Begitu dalamnya cintaku padamu, Mas.Tapi, sekarang ini bagaimana? Aku seakan terkena hukuman, atas kebohonganku sendiri."Kok cuma diam mematung di sana? Cepat bantu Bibi menyajikan makan malam!" titah Ibu berteriak dari ruang tamu, sedangkan aku sedari tadi hanya duduk di ruang keluarga. Tanpa menyahut, aku segera ke dapur, membantu Bibi menyiapkan hidangan kemeja makan.Bibi memandangku iba."Non, yang kuat, yang tabah! Akan selalu ada hikmah terbaik di setiap kesabaran." Ia menguatkanku, seakan mengerti apa yang saat ini kurasakan."Non, duduk aja di situ, sayang baju mahalnya nanti kotor, kalau ikut di dapur.""Tidak apa-apa, Bi.""Non, Bibi yakin, setiap masalah, pasti ada jalan keluarnya." Ia menggenggam erat tanganku.Aku hanya mengangguk, pelan kuseka air mata yang mulai menyeruak jatuh ke pipi.Setelah semua hidangan tertata rapi dimeja makan, Bi Inah ke ruang tamu untuk laporan.Mereka semua berjalan menuju dapur, sedangkan aku tengah sibuk membuat jus mangga untukku."Sayang! El, kemari Nak." Suara ibu memanggil namaku, aku berjalan pelan menuju meja makan.Nyeri, saat aku melihat wanita itu duduk di kursiku, dan aku tidak mendapatkan bagian kursi untuk kududuki."Iya, Bu, ada apa?" tanyaku pelan."Ini, Delia, calon Istrinya Andre," ujar Ibu memperkenalkan wanita itu kepadaku, dengan senyum sumringahnya.Wanita itu menatap datar kepadaku.Ia bahkan mengacuhkan senyumanku, entahlah, aku pun enggan peduli pada wajah itu."Mas Andre, cobain deh ini, enak banget," ujarnya sambil meraih potongan kecil kue brownies buatanku.Wanita itu terkesan sengaja menyakiti hatiku saat ini.Suamiku pun menerima suapan darinya dengan wajah tersenyum sumringah."Enak, kan?" tanya wanita itu dengan tersenyum manis kepada suamiku. Sungguh aku sangat terluka melihatnya, terlebih dari tadi aku hanya berdiri di tempat.Suami yang begitu kusayangi itu pun seakan menutup mata dengan keberadaanku. Ia bahkan tidak peduli pada pandanganku yang terluka melihat kemesraan mereka."El, ngapain masih berdiri begitu?" Mas Andre bertanya dengan wajah datarnya."Biar saja, Mas. Acuhkan saja," sahut Delia dengan mengalihkan pandangan suamiku.Belum menikah saja mereka sudah seperti ini memperlakukan aku, bagaimana jika wanita ini benar-benar jadi adik maduku? Akankah aku masih memiliki hak yang sama? Atau sebaliknya, aku akan menuai luka dan luka?Aku berniat meninggalkan tempat sedari tadi aku berdiri, aku tidak sanggup mengemban luka hati melihat pemandangan menyakitkan ini. Andai saja kamu tahu kenyataan yang aku sembunyikan, mungkinkah kamu dan Ibu masih sesombong ini, Mas?"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu Delima, menghentikan langkahku yang berniat meninggalkan ruangan penyiksa hati ini."Mau ke dalam," sahutku masih dengan nada sopan."Saya kan masih belum suruh," ucapnya dengan nada ketus. Untuk apa Ibu Delima menahanku, apakah dia memang sengaja membiarkan aku sakit hati melihat suamiku bercanda ria bersama wanita lain.Bahkan kini tatapan semua orang yang ada di ruang makan menuju ke arahku semua. Mereka seakan menatap remeh diri ini, rasa percuma pakaian mewah ini membalut diri, jika harga diri terus di injak-injak.'Mas Andre, Ibu Delima, kalian sukses mengukir luka dalam hatiku ini. Suatu saat jika aku melakukan hal sama, maka jangan pernah lupa akan hal ini, semua kalian yang memulainya,' batinku semakin terluka, namun saat ini aku tiada berdaya untuk melawan mereka."Kapan lamaran diadakan?" tanya laki-laki paru baya, yang sepertinya ayah wanita itu, sungguh mereka rombongan orang tidak berhati nurani."Secepatnya dong! Saya kan sudah tidak sabar pengen lihat anak saya menikah lagi, dan segera memberikan saya cucu." Ibu menyahut sambil melempar pandangan remeh kepadaku.Sayangnya, hatiku hanya bisa meringis, tanpa bisa melawan para bedebah sombong ini. Sakit rasanya, dipaksakan mendengar semua pembicaraan mereka yang seolah sengaja membakar jiwa ini.Namun, aku tetap bertahan dengan diamku, membiarkan mereka berbahagia di atas lukaku, hingga karma lah nantinya yang akan menyapa mereka.Para manusia tak berperasaan itu semakin gencar melukai hatiku."Kita akan menimang cucu secepat mungkin, kalau mereka menikah, kadang memang jadi perempuan mandul itu petaka ya, Bu." Ibu wanita itu menimpali.Ibu Delima dan seluruh yang duduk di meja makan tertawa lepas sambil menatapku sesekali.Mereka seakan semua tahu, bahwa aku adalah perempuan mandul yang tengah mereka sindir."Tapi saya berharap, anak saya akan menjadi pilihan Nak Andre satu-satunya." Ayah Delia kembali bersuara, apa maksud dari ucapannya, apakah dia ingin aku di ceraikan begitu saja. Jahat.Ibu Delima pun tertawa renyah. "Semoga saja yang mandul segera sadar diri, Pak!" sindirnya."Bu, Elea mau ke belakang!" ujarku, aku bosan sedari tadi jadi pendengar yang di hancurkan dengan kata-kata sindiran pedas dari mulut mereka semua."Ngapain? Berdiri aja di situ," sahut Ibu Delima. Tega sekali wanita ini mempermainkan hatiku dan mempermalukan aku di depan semua orang.Sedangkan suamiku? Dia benar- benar buta, bisu dan tuli terhadap kondisiku saat ini."Saya mau buang air kecil," ujarku lagi beralasan. Dia pikir enak apa berdiri menyaksikan mereka makan dan berbincang menyindir diri ini."Jangan lama-lama, setelah itu kembali berdiri di sini lagi," titahnya. 'Entah, aku sangat marah rasanya, suatu saat aku pastikan menghancurkan kalian.' aku membatin.Tunggulah sampai aku benar-benar muak dengan perlakuan kalian. Kesabaran yang sia-sia ini tak akan membuahkan kebaikan, justru saat ini pikiran jahat bergentayangan dalam benakku. Semua akibat perlakuan hina kalian.Part3"Apakah ini Istrinya Andre?" Salah satu dari rombongan itu bertanya, mungkin orang tua dari wanita itu."Benar sekali Jeng Mumun! Ini Istrinya Andre," jawab Ibu Delima santai, dia sambil meremehkanku. Entahlah apa maksud semua ini, aku semakin merasa tidak nyaman."Kenapa masih di pertahankan Jeng, lebih baik di ceraikan saja, dari pada harus berbagi suami dengan Delia." Ia berkata tanpa perasaan seperti itu pada Ibu, sambil memandangku dengan sinis.Ibu Delima masih terdiam. Lalu melanjutkan makannya, sambil terlihat berpikir keras."Maaf Tante, Andre tidak akan menceraikan Elea, biar bagaimanapun juga Andre yang sudah memilih El, sebagai pendamping." "Tapi kan percuma saja, menikahi wanita mandul itu sama sekali tidak berguna!" ujar wanita itu lagi, dia kekeuh mempengaruhi suamiku dan Ibu Delima. Sedangkan aku seolah mematung berdiri seperti orang bodoh yang menahan perih hati mendengarkan ucapannya."Maaf Jeng, jangan terlalu jauh terlibat, meskipun Elea mandul. Saya tetap t
Part4Lumayan lama kami hening, merasa canggung. Selama setahun lebih menjadi menantunya, baru kali ini aku tinggal bersama mertua dan melihat jelas wajah Ayah dan Ibu mas Andre.Dan untuk pertama kalinya, aku satu mobil dengan Ayah mertua."Yah, kita mau kemana?" Aku memberanikan diri bertanya pada Ayah, yang terlihat fokus menyetir mobilnya."Kita pergi berbelanja, kamu boleh membeli apapun yang kamu mau! Ayah yang bayarin!" ujarnya tetap dengan pandangan lurus kedepan."Serius, Yah??" tanyaku penuh keterkejutan."Serius!" balas Ayah singkat.Demi apa? Punya mertua ganteng dan baik hati seperti ini, meskipun istrinya begitu kejam, setidaknya ayah mertua baik padaku.Setidaknya aku masih memiliki harapan pada rumah tanggaku.Aku tersenyum sumbang, kala mengingat perlakuan Ibu yang begitu tega dan dingin kepadaku.Tanpa rasa tidak enak hati, aku membeli segala yang aku senangi bersama Ayah di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota kami."Yah, nanti kalau Ibu marah bagaimana?" tany
Bab5 "Bukan inginku seperti ini, tapi semua kemauan Ibu, kumohon kamu mengerti, El," pinta suamiku. Aku tidak mau menyahut sama sekali, dasar aku yang lemah, sehingga menerima rasa sakit pernikahan ini begitu saja. "Lagi pula, jika kamu tidak mandul, semua tidak akan terjadi seperti ini," ucap suamiku dengan lantang. Oh Allah, dia sungguh tidak tahu apa- apa, sehingga dengan santainya dia berkata. "Menikahlah, Mas, jika memang itu keputusanmu." "Ini bukan tentang keputusanku, tapi tentang masa depan kita. Aku ingin memiliki keluarga yang lengkap, dan pernikahan tanpa anak, ini bukan keluarga lengkap." Aku menghentikan isak tangisku, kemudian aku bangkit dan duduk menghadap mas Andre. "Benarkah pernikahan tanpa anak itu bukan keluarga lengkap?" tanyaku dengan suara serak. "Iya, maaf jika aku membuatmu tersinggung. Aku hanya ingin kamu mengerti," katanya lagi meyakinkanku. "Beri aku waktu satu bulan untuk menerima semua ini. Setelah itu, keputusan ada di tangan Mas," pintaku m
Bab6 "Mas, jika kamu yang mandul bagaimana?" tanyaku. Mas Andre menghela napas dan terlihat begitu malas berbincang denganku. "Apa'an sih, El. Sudahlah, faktanya sekarang kamu yang mandul. Mas terima kamu apa adanya," tegas mas Andre sembari mendengkus kemudian berdiri. "Mas." Aku memegang tangannya, agar dia tidak pergi begitu saja. "Apa?" Wajah mas Andre terlihat begitu malas menatapku. "Bagaimana jika kamu yang mandul, aku serius, Mas ...." "Aku?" Mas Andre tertawa, seolah meremehkanku. "El, sudahlah, nggak usah bahas hal ini lagi. Lagi pula jika aku mandul, Ibu pasti tetap akan menikahkan aku lagi." "Kenapa?" "Karena faktanya memang kamu yang mandul, dan tentang pertanyaan jika aku yang mandul, itu hanya omong kosong," tegas mas Andre, sembari melepaskan pegangan tanganku dan menjauh meninggalkan kamar. Beginilah dahsyatnya efek dari sebuah kebohongan, aku nyaris tersingkir. Aku menyesal rasanya. Tapi setidaknya aku tahu, rupanya tidak ada ketulusan dalam pernikahan kam
Bab7Entah mengapa, Ayah tiba- tiba kembali ke rumah lagi dan membuat Ibu semakin murka padaku.Bahkan, Ibu tidak keluar kamar sama sekali, hingga menjelang sore, Ayah dan mas Andre pulang kerja."Ibu mana El?" tanya Ayah ketika aku yang bukain pintu untuk mereka.Aku menyalami keduanya. "Ibu mengurung diri, Yah. Nggak mau keluar," sahutku."Memangnya Ibu kenapa, El?" tanya Mas Andre, yang memang tidak tahu apa- apa."Ada selisih paham sama Ayah," sahut ayah mertua.Mas Andre menatap dingin ke arahku. Kemudian tanpa bersuara, dia masuk ke dalam kamar.Aku menyusulnya, ketika Ayah menaiki anak tangga.Ketika mas Andre memasuki kamar mandi, ponselnya yang terletak di atas nakas terus bergetar. Aku melirik dan menemukan nama Delia terus melakukan panggilan telepon.Aku meraih benda pipih itu, dan menolak panggilan dari wanita itu. Dengan tangan gemetar, aku membuka ponsel mas Andre.Tujuanku langsung ke pesan W******. Lalu, nama Delia menjadi urutan atas dari W**** mas Andre. Dadaku be
Bab8Mas Andre berdehem. "Ehem, Ayah. Andre yakin, tidak mungkin itu terjadi."Ucapan mas Andre seakan meremehkanku.Kening Ayah mengernyit, nampaknya dia enggan menghentikan obrolan yang tidak nyaman ini."Kamu yakin, Ndre?" Ayah nampak memastikan."Yakinlah, Yah. Lagi pula, maaf. El ini terlalu biasa."Maksudnya apa? Aku melebarkan mata, menatap mas Andre tak percaya, bisa berkata seperti itu."Hidupnya di habiskan dengan memasak, mencuci dan mengurus Andre. Bau badannya, khas bau bawang dan bumbu dapur lainnya. Dan pakaiannya, seperti emak- emak anak 1," kekehnya membaca kekuranganku.Ayah tersenyum menanggapinya. "Setiap wanita itu cantik, jika dia berada di tangan yang tepat, contohnya Ibu kamu," sahut Ayah.Menarik, ini obrolan mereka semakin menarik.Biarlah aku layaknya patung tidak bertelinga, tidak bersuara, dan anggaplah aku setan, antara ada dan tiada.Mendengar Ayah mencontohkan Ibunya, mas Andre nampak tidak senang pada ayahnya itu."Ibu cantik dari dulu, jauh sebelum Ay
Menjadi Istri Kedua Mantan MertuaBab9"Apa maksud Ayah? Ayah mau anak kita selamanya tidak punya keturunan?" Ayah mendengkus. "Semua pasti karena pengaruh wanita ini. Itu makanya, Ibu tidak senang Ayah dekat sama dia," tunjuk Ibu kepadaku.Entah mengapa, apapun yang aku lakukan, maupun yang tidak aku lakukan, selalu salah saja di mata Ibu Delima."Jangan suka menyalahkan orang lain, seharusnya Andre bersukur memiliki Istri sebaik Elea. Selain ramah, Elea bahkan tidak pernah melawan Ibu."Ibu mendengkus, membuatku semakin tidak nyaman karena pembelaan Ayah."Ayah sudahlah, ini rumah tangga Andre, Andre bisa mengatasinya sendiri," timpal mas Andre menenangahi. Sedangkan aku? Masih saja diam membisu, menampung semua rasa sakit yang mereka ciptakan di hati ini."Kalau kamu merasa dewasa, bangunlah rumah tangga yang sehat. Rumah tangga yang sehat itu, tidak saling menyakiti. Jika saling menyakiti, itu bukan lagi rumah tangga, tapi tepatnya rumah duka. Tugas lelaki beristri, itu membahag
Bab10Langkahku urung menuju ke belakang rumah. Aku putuskan untuk ke ruang keluarga saja. Ingin sekali hati mengetuk pintu kamar Bibi dan bertanya. Mengapa tangisnya begitu terdengar pilu? Tapi hatiku saja sedang tidak baik. Aku tidak ingin bertanding nasib padanya saat ini. Biarlah kuputuskan untuk pergi dan seolah tidak tahu apa- apa.Bukan tidak perduli, tapi lebih kepada memberi waktu, untuk Bibi meluapkan perasaannya dengan menangis.Di ruang keluarga, kubiarkan diri di selimuti kegelapan. Tidak ada niat di hati untuk ke kamar, langkah ini terasa berat, untuk tidur di samping mas Andre.Terlalu dalam, diri ini dihina, diremehkan dan tidak di perdulikan olehnya."Allah, aku tidak meminta banyak hal dalam hidup, hanya memohon kuatkan diri ini." Ingin sekali rasanya aku menangis kencang, membiarkan segala rasa sakit dalam hati menguap keluar. Tapi itu tidak mungkin kulakukan, hingga hanya bisa terisak pelan, menikmati rasa sakit yang kuciptakan sendiri, karena diri begitu bodoh
Bab689"Selamat malam," ujar Abizar lagi."Ngapain kamu kemari? Setelah kamu membuat anak saya menderita, berani- beraninya kamu menampakkan batang hidung seolah tanpa dosa," bentak Kevin, yang langsung berdiri dengan emosi."Papah, sabar," pinta Elea, sambil memegang tangan Kevin."Manusia tidak tahu malu ini, dia datang ke rumah Galih dengan nyali besar, setelah menyia- nyiakan anak- anakku, aku tidak akan mengampuninya," pekik Kevin."Maaf, Pah. Saya datang kemari, hanya ingin kalian tahu, saya dan Cinta saling mencintai, kami ingin kalian restui hubungan kami lagi dan jangan menentang hubungan kami, cuma itu ...." "Apa?" Seluruh keluarga memekik.Cinta pun sangat syok, mendengar ucapan berani Abizar. Tiba- tiba Jelita tersandar, mendengar ucapan Abizar. "Jelita," pekik Abel. Wanita yang biasanya membenci Jelita itu, langsung memeluk Jelita yang nampak syok sekali."Brengsek!!" Cinta bangkit dari duduknya, menghampiri Abizar dan menampar keras wajah lelaki tidak tahu malu itu."D
Bab688Melihat begitu banyak panggilan telepon dari Bagus, Cinta pun memutuskan, untuk menghubungi balik nomor Bagus.Dan lelaki itu dengan cepat menjawab telepon Cinta."Assalamualaikum, Tante ....""Wa'alaikumsallam, Gus.""Maaf Tan, saya mau tanya, Tante ada bicara apa sama Ibu? Sampai- sampai Ibu pingsan.""Maafkan Tante, Gus. Tadi ada berita buruk, yang sempat mengguncang perasaan kami semua. Kejadian siang tadi cukup mengejutkan, pesawat menuju Bandung mengalami kecelakaan. Dan Nenek, juga Kakek ke Bandung hari ini, itu yang Tante sampaikan sama Ibu kamu ....""Inalillahi, jadi bagaimana kabarnya, Tan. Maaf Bagus tidak tahu apa- apa.""Kuasa Allah, Gus. Rupanya mereka selamat, karena Kakek pingsan, sebelum mereka naik pesawat. Nenek membawa Kakek ke rumah sakit, dan mereka ketinggalan pesawat, Gus. Luar biasa, diluar dugaan kami semua, Allah masih memberi kita kesempatan, untuk berbakti kepada mereka berdua," jelas Cinta."Alhamdulilah, Allahu akbar, masya Allah, luar biasa, Tan
Bab687"Allahu akbar, Abel, Kak Cinta ...." Galih menjerit, membuat orang yang kini di depannya jadi bingung.Mendengar jeritan Galih, mereka yang duduk di ruang keluarga pun berhamburan keluar menyusul Galih."Astagfirullah ...." pekikkan mereka semua terdengar bersamaan. Galih terlalu syok, membuatnya nyarus pingsan."Kalian jangan mengira Mamah setan ya," bentak Elea dengan kesal."Ini Mamah beneran?" Abel bertanya. Semua menjadi bingung, bahkan beberapa dari mereka terus- menerus mengusap mata dan wajah, memastikan yang di lihatnya adalah nyata, bukan halusinasi."Mamah sudah tahu, apa yang ada di dalam otak kalian. Jangan heran, jika Mamah datang dengan wajah acak- acakkan begini, bahkan tanpa menggunakan tas sama sekali. Mending bayarin taksi Mamah sana, orangnya dah nunggu," titah Elea."Ini Mamah kita," pekik Cinta yang langsung menghambur ke pelukan Elea, disusul Raisa dan lainnya memeluk Elea."Aduh ...." Elea pun memekik, melihat tingkah mereka semua yang langsung memelukny
Bab686"Jelita belum tahu kabar duka ini, tadi aku sudah coba hubungi, tapi belum juga dia jawab panggilan teleponku," lirih Cinta."Aku juga bingung, Kak. Apa yang harus aku katakan sama dia, entah bagaimana reaksi Jelita, jika tahu Mamah dan Papah sudah tiada. Pesawat itu terbakar, sebelum benar- benar jatuh," ujar Galih kembali menangis. Bayangan wajah tua kedua orang tuanya menari- nari di pikiran mereka semua."Pantas Mamah memelukku berulang kali, mengingatkan kita terus- menerus, bahwa sesama keluarga harus saling menyayangi dan tolong- menolong. Mereka juga selalu berbicara tentang kematian, yang aku sendiri tidak tahu, bahwa itu adalah pertanda, mereka berdua akan pulang bersama- sama, untuk selamanya."Cinta menangis kuat, Kamila memeluk Ibunya dengan erat, begitu juga Raisa, memeluk Abel dan menangis di pelukan Ibunya."Rasanya tidak pernah sesakit ini, kehilangan yang begitu mengejutkan, membuat hati ini tidak siap. Berpuluh tahun hidup bersama dengan keduanya, hingga Rai
Bab685"Nanti saja ah, malas. Lagian kita lagi makan gini, masa di gangguin hal- hal yang tidak jelas begitu," ujar Cinta, mengabaikan ucapan Galih tadi."Cinta, sudah 1 tahun kita bersama, tapi kenapa, kamu nggak pernah mau pertemukan aku dengan anak kita, Kamila?" tanya lelaki itu."Mas, tidak semudah itu. Kamila akan tahu segalanya, bahwa kamu pernah menikahi Jelita juga. Dan Enggar, juga Bagus, bagaimana tanggapan mereka pada kita? Kamu meninggalkan mereka, lepas tanggung jawab, dan malah bersamaku. Tentu saja, bukan cuma mereka yang akan kecewa sama kita, tapi Kamila juga.""Kemudian Mamah dan Papah, bisa- bisa aku mereka kutuk, Mas ....""Tapi mau sampai kapan, kita kucing- kucingan seperti ini? Aku juga ingin diakui, dan dianggap bagian keluarga kamu, Cin.""Belum waktunya, Mas.""Kapan waktunya, Ta? Aku dan Jelita, itu hanyalah kesalahan. Sedangkan aku sama kamu, itu cinta yang tulus. Aku mohon, pikirkan ini baik- baik, aku hanya ingin di akui, dan Kamila juga harus tahu, bahw
Bab684Perjalanan panjang Bagus lalui bersama Jelita, Ibu yang kini sangat dia sayangi, dan dia utamakan kebahagiaannya."Pulang dari umrah, kita ke rumah Nenek saja ya, Gus.""Terserah Ibu saja, Bagus ngikut saja. Bagus tidak punya siapa- siapa untuk di bahagiakan, jadi segala waktu dan apapun yang Ibu mau, asal Ibu bahagia, Bagus akan selalu turuti, insya Allah," ujarnya.Jelita terharu dan menatap penuh kasih sayang pada Bagus. Sementara Bagus dan Jelita melaksanakan ibadah umrah, rupanya rumah mewah Elea, sudah terjual sesuai kesepakatan dengan pembelinya.Penjualan rumah, di saksikan Galih, karena hasil dari penjualan rumah mewah tersebut, 50% milik Galih, 30% milik Cinta dan sisanya barulah milik Elea dan Kevin.Setelah semua beres, Elea dan Kevin, memutuskan untuk tinggal di hotel. Sebelum rumah impian mereka di desa selesai di bangun.Hanya sisa 10% saja, rumah di desa itu akan selesai dan bisa mereka tempati.Galih sudah menyarankan, agar Elea dan Kevin mau tinggal di rumah m
Bab683"Kenapa kamu terlambat?" tanya atasan Bagus, yang ada dibagian divisinya."Maaf pak Rahmat, saya menabrak orang tadi di jalan."Pak Rahmat, yang merupakan pengawas divisi pemasaran, tidak begitu berani bersikap keras pada Bagus, tapi dia tetap berusaha profesional, agar tidak terlalu nampak membeda- bedakan karyawan."Lain kali berhati- hati di jalan, Gus. Dan tolong jangan ulangi lagi, keterlambatan datang seperti ini. Hari ini saya maklumi, tapi kalau terulang lagi, saya akan berikan sangsi pemotongan gaji," jelas pak Rahmat memberi peringatan."Baik, Pak." Hanya itu jawaban Bagus. Sadar diri akan kesalahannya, Bagus tidak berani banyak bicara.Pak Rahmat meninggalkan divisi pemasaran, menuju ruangannya, untuk memeriksa laporan penjualan kemarin.Sementara Bagus duduk di meja kerjanya, dengan pikiran yang mulai tidak fokus. Bagus mulai memikirkan wanita yang di tolongnya tadi, dan itu sangat mengganggu kerjaannya.Tiba- tiba, HRD memasuki ruangan divisi pemasaran, bersama den
Bab682"Bu ...."Jelita menatap Bagus."Bagaimana kalau kita pergi umrah?"Jelita terpaku sejenak, mendengar usulan Bagus."Gimana, Bu?" tanya Bagus lagi, membuat Jelita tersadar dari keterkejutannya.Anak yang biasanya cuek, hanya memikirkan kesenangannya sendiri, kini mengajaknya pergi umrah. "Kamu serius pengen umrah, Gus?" tanya Jelita balik, memastikan keinginan Bagus."Iya, Bu. Mumpung kita ada rezeki lebih. Kita ajak Enggar dan Lina juga, mana tau mereka mau. Tapi jika mereka menolak juga tidak apa- apa, kita berdua saja yang pergi ke sana, Ibu mau kan?""Tentu saja Ibu mau, Gus. Masya Allah, niat kamu baik sekali anakku, mana mungkin Ibu menolak."Bagus tersenyum. Dan niat mereka pun, di sampaikan kepada Enggar dan Lina, ketika mereka makan malam bersama."Dalam waktu dekat ini belum bisa, Bu, Mas. Enggar masih harus fokus ke perusahaan," jawab Enggar.Wajar sih, belum ada 1 tahun dia bekerja, masih tidak enak hati jika terus izin libur, untuk urusan pribadi.Sebagai calon pe
Bab681"Tugas kita sudah selesai, nampaknya anak, cucu dan cicit tidak ada masalah, dengan pembagian harta warisan kita," ujar Elea, ketika dia dan Kevin merebahkan diri di atas kasur mereka."Kuharap juga begitu, agar kita berdua bisa menjalani kehidupan yang tenang," jawab Kevin."Kulihat Abel juga tidak membuat masalah lagi." Elea merasa lega, melihat sikap menantunya itu, yang semakin baik dari sebelumnya.Galih membelikan rumah yang cukup mewah, untuk dia tempati dan istrinya. Galih tidak ingin menyatukan istrinya lagi sama Ibunya. Karena bagi Galih, jika keadaan sudah tidak nyaman, dan terus di paksakan, maka mereka akan saling menyakiti.Demi menjaga rumah tangga dan hati orang tuanya, Galih memutuskan untuk memiliki rumah sendiri.Tetapi dia tetap memperhatikan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak satu rumah.______>_______Karena perjalanan yang cukup jauh, Jelita mulai jatuh sakit. Badannya meriang, nyaris semalaman, Lina tidak bisa tidur, karena khawatir dengan kond