Part3
"Apakah ini Istrinya Andre?" Salah satu dari rombongan itu bertanya, mungkin orang tua dari wanita itu."Benar sekali Jeng Mumun! Ini Istrinya Andre," jawab Ibu Delima santai, dia sambil meremehkanku. Entahlah apa maksud semua ini, aku semakin merasa tidak nyaman."Kenapa masih di pertahankan Jeng, lebih baik di ceraikan saja, dari pada harus berbagi suami dengan Delia." Ia berkata tanpa perasaan seperti itu pada Ibu, sambil memandangku dengan sinis.Ibu Delima masih terdiam. Lalu melanjutkan makannya, sambil terlihat berpikir keras."Maaf Tante, Andre tidak akan menceraikan Elea, biar bagaimanapun juga Andre yang sudah memilih El, sebagai pendamping." "Tapi kan percuma saja, menikahi wanita mandul itu sama sekali tidak berguna!" ujar wanita itu lagi, dia kekeuh mempengaruhi suamiku dan Ibu Delima. Sedangkan aku seolah mematung berdiri seperti orang bodoh yang menahan perih hati mendengarkan ucapannya."Maaf Jeng, jangan terlalu jauh terlibat, meskipun Elea mandul. Saya tetap tidak mengizinkan orang lain menghina dia, selama dia masih berstatus istri dari anak saya!" ucap Ibu Delima menatap dingin ke arah calon besannya.Tadi dia begitu antusias menghinaku, sekarang dia seakan tak terima orang lain ikut menghina, heran."Maaf Jeng, saya terbawa suasana!" ujar wanita tadi menyahut. Semua hening, bahkan aku sendiri jadi serba salah."Bu, saya pamit!" ujarku pelan. Ibu tidak menggubris ucapanku, aku segera melangkahkan kaki menuju ke kamar kami."El, mau kemana? Sudah rapi dan cantik," tanya Ayah yang baru datang dari kantornya.Ayah mertuaku ini memang terlihat masih muda, sepertinya umur Ibu dan Ayah begitu jauh berbeda. Kalau di visualisasikan sama artis, Ayah berwajah seperti Anjasmara, dan Ibu seperti Sophia Latjuba."Mau ke kamar, Yah." Aku menyahut dengan wajah datar."Ada tamu ya?" tanya Ayah sambil berjalan menghampiriku."Tamu Ibu, ada diruang makan!" jawabku pelan."Terus, ngapain kamu ke kamar? Gak gabung di meja makan?" tanya Ayah lagi."Gak ada kursi untukku, Yah. Nanti saja Elea makannya!" ujarku sambil tersenyum tipis.Ayah menghela napas pelan, dia lalu berjalan menuju dapur.Ia hanya menatap sebentar ke arah meja makan, lalu berbalik lagi menuju tangga. Selesai acara makan-makan, keluarga besar Delia pun berpamitan kepada Ibu dan mas Andre."Eleanor!!" Ibu berteriak memanggilku.Aku yang sedari tadinya merebahkan diri di kasur terlonjak kaget. Aku berlari menuju arah suara ibu berasal."Ada apa? Bu," tanyaku pelan."Sini duduk!" titahnya. Ayah yang mendengar suara Ibu pun menuruni anak tangga.Kami semua kumpul di ruang keluarga. Melihat ke datangan Ayah, ibu menyambutnya dengan senyuman, lalu mencium takzim tangan suaminya itu."Bu, siapa tadi yang datang rame-rame?" tanya Ayah sambil duduk di sampingnya."Calon istrinya Andre, Yah. Ibu gak mau Andre tidak memiliki keturunan, sebab El, dinyatakan mandul!" ujar Ibu sinis, ia terlihat sangat tidak menyukaiku sama sekali."Bu, harus begitu caranya? Emang El siap di poligami, kamu ikhlas gak El?" Ayah memberondongku dengan berbagai pertanyaan."Berat, Yah!" jawabku jujur."Kalau berat 'CERAI', jangan diam saja," ujar Ibu menekankan kata cerai padaku."Bu, jangan keterlaluan!" tegur Ayah.Ibu yang berang, akhirnya pergi meninggalkan ruang keluarga, dia berlari menaiki anak tangga dengan menghentak-hentakkan kaki. Terdengar suara bantingan pintu dengan keras. Ayah hanya menggeleng, kemudian menyusul Ibu ke dalam kamar."Mas, apakah kamu benar-benar akan menikah lagi?" tanyaku pelan."Nggak usah di bahas sekarang!" sahutnya dingin."Jujur aku belum siap, Mas! Jika itu benar terjadi, aku nggak sanggup," lirihku pelan.Suamiku tidak menyahut apapun, dia seakan tidak mendengar perkataanku sama sekali."Pikirkan lagi, mas. Aku mohon!" ucapku lagi sambil mengiba.Mas Andre tak bergeming, ia bahkan menatapku dengan dingin, semakin menambah luka di hatiku.Andai kamu tahu yang sebenarnya.Mas Andre pergi meninggalkanku masuk ke dalam kamar kami.Haruskah aku bercerai dan kembali miskin lagi, lalu si wanita pengganti posisiku itu akan tertawa terbahak-bahak melihat kehancuranku.Tidak, aku tidak mau tersingkir begitu saja.Aku berniat bicara pada Ibu, bahwa aku menerima akan menerima Delia sebagai madu, aku tidak mau Ibu membenciku.Lalu dia akan menyingkirkanku begitu saja, apalagi kini aku tahu, Mas Andre begitu akrab sama Delia.Aku yakin, sulit bagi mas Andre menolak perjodohan ini.Saat aku ingin mengetuk pintu kamar mereka.Terdengar keributan antara Ayah dan Ibu Delima."Bu, kamu jangan lupa, bahwa sampai saat ini, kamu juga tidak akan bisa memberikanku keturunan!" terdengar suara lantang Ayah menghardik Ibu.Degg ... Lalu Mas Andre anak siapa? Mengapa Ayah berucap seperti itu, aku penasaran dengan keributan mereka, kuputuskan untuk diam mendengarkan, di balik pintu kamar mereka."Mas, jangan sama kan aku dengan perempuan mandul itu! Sebab aku tidak mandul, semua terjadi itu karena ulahmu Mas!" jawab Ibu setengah berteriak."Elea," terdengar suara mas Andre memanggil namaku.Aku segera berlari kecil menuruni anak tangga, aku takut Mas Andre melihatku yang lagi menguping keributan orang tuanya."Ada apa, Mas?" Aku berlari tergopoh-gopoh."Ayo istirahat, sudah malam!" ujarnya lembut, sambil merangkul bahuku, kami bersama masuk ke dalam kamar.Di dalam kamar, Mas Andre menatapku lekat."Ada apa mas, menatapku seperti ini?" tanyaku pelan.Mas Andre tersenyum. "Aku rindu," bisiknya ke arah telingaku. Tangannya mulai meraba, perlahan suamiku mendekati wajahku dan mencium bibir ini.Ciuman yang semula lembut, kini berubah menjadi memburu, dengan tangannya yang mulai bergerak liar.Ting ....Panggilan telepon ke ponsel mas Andre menghentikan aktivitasnya mencium mesra bibirku.Suamiku dan aku pun itu melihat, tertera nama Delia sedang memanggil. Hatiku seketika perih melihatnya, ternyata mereka sudah bertukar nomor ponsel."Mas keluar dulu," kata suamiku. Aku hanya terdiam, ketika mas Andre menjawab panggilan Delia dengan menjauh dari kamar.Rasanya sakit sekali, tapi aku tidak berdaya melawan semua ini, oh Tuhan.__________Semenjak pertengkaran Ibu dan Ayah, mereka berdua terlihat dingin tak saling sapa, bahkan kini Ibu Delima semakin sinis terhadapku.Apapun yang aku lakukan, selalu salah di mata Ibu. Semakin aku bertahan, semakin gencar juga dia menyerang pertahananku. Andai saja Ibu tahu, mungkin Ibu akan merasakan sakit yang lebih dari saat ini kurasakan.Ia bahkan tidak lagi memanggilku dengan sebutan, Nak, sayang atau Elea, tapi wanita mandul. Betapa menyakitkannya sebutan itu.Delia kini datang berkunjung ke rumah ini, dia membawakan buah-buahan untuk Ibu, yang memang senang makan buah."Hai, sayang! Kamu bawa apa?" ujar Ibu menyambut manis ke datangan Delia, dia memeluknya lalu menggandeng wanita itu menuju ruang keluarga.Aku yang sedari tadi bersantai diruang keluarga, diacuhkan mereka, seakan aku tidak pernah terlihat ada di sana."Mas Andre kemana ya, Bu?" tanya Delia membuka obrolan saat mereka duduk."Andre masih di kantor sayang, bentar lagi pulang! Biasa makan siang di rumah sama Ayahnya," jawab Ibu dengan lembut, sangat berbeda sekali saat dia memperlakukanku.Delia hanya mengangguk dan memasang senyum bahagianya.Satu jam berlalu, mereka begitu asik dengan obrolan renyahnya, sedangkan aku hanya sibuk memainkan ponsel milikku. Sesekali kuseka pelan air mata yang begitu ingin sekali tumpah.Terdengar suara deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah. Sepertinya Mas Andre dan Ayah telah tiba di rumah. Seperti biasa, mereka selalu makan siang bersama."Ada tamu!" sapa Ayah yang memasuki pintu depan rumah, dia berjalan sambil tersenyum pada Delia dan Ibu, di susul Mas Andre yang berada di belakangnya.Aku yang dipojokan ruangan, hanya terdiam tanpa suara."Sayang! Ayo makan," ujar Mas Andre menyapaku yang sedari tadi hanya diam.Aku berjalan gontai, mengikutinya menuju meja makan, kutarik kursi biasa tempatku makan."Jangan disitu! Itu tempat Delia," ujar Ibu menegurku.Aku pindah ke sebelah kursi yang didekat Ayah.Kulihat Delia tersenyum mengejekku."Yah, ini calon menantu kita yang baru!" ujar Ibu memperkenalkan Delia.Ayah hanya tersenyum pada Delia, begitu pula Delia yang terlihat berbinar-binar di kenalkan sebagai menantu baru.Selama makan siang, aku tak sedikit pun bersuara, hanya Mas Andre, Delia dan Ibu yang terus menerus tertawa renyah disela makan siang mereka. Aku sama halnya dengan Ayah, kami hanya menyimak obrolan mereka, tanpa ikut terlibat.Selesai makan siang, aku kembali rebahan di ruang keluarga sambil memainkan ponselku, ponsel inilah teman sepiku. Sedangkan Ibu, Delia dan Mas Andre berkumpul di ruang tamu."El, kamu ngapain di sini sendirian?" Ayah yang tiba-tiba datang, sontak saja membuatku terkejut."Hhmmm, nggak apa- apa, Yah."Ayah mertua menghela napas berat."El, ikut Ayah!" titahnya, aku pun tanpa menjawab lagi, langsung berdiri mengekor Ayah."Mau kemana, Mas?" tanya Ibu yang terheran melihat Ayah yang berlalu keluar rumah tanpa bicara, disusul olehku yang berjalan di belakang Ayah mertua.Kami berdua masuk ke dalam mobil, tanpa bicara apapun, Ayah melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah.Ibu, Delia dan Mas Andre hanya terdiam menatap kepergian mobil Ayah.Part4Lumayan lama kami hening, merasa canggung. Selama setahun lebih menjadi menantunya, baru kali ini aku tinggal bersama mertua dan melihat jelas wajah Ayah dan Ibu mas Andre.Dan untuk pertama kalinya, aku satu mobil dengan Ayah mertua."Yah, kita mau kemana?" Aku memberanikan diri bertanya pada Ayah, yang terlihat fokus menyetir mobilnya."Kita pergi berbelanja, kamu boleh membeli apapun yang kamu mau! Ayah yang bayarin!" ujarnya tetap dengan pandangan lurus kedepan."Serius, Yah??" tanyaku penuh keterkejutan."Serius!" balas Ayah singkat.Demi apa? Punya mertua ganteng dan baik hati seperti ini, meskipun istrinya begitu kejam, setidaknya ayah mertua baik padaku.Setidaknya aku masih memiliki harapan pada rumah tanggaku.Aku tersenyum sumbang, kala mengingat perlakuan Ibu yang begitu tega dan dingin kepadaku.Tanpa rasa tidak enak hati, aku membeli segala yang aku senangi bersama Ayah di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota kami."Yah, nanti kalau Ibu marah bagaimana?" tany
Bab5 "Bukan inginku seperti ini, tapi semua kemauan Ibu, kumohon kamu mengerti, El," pinta suamiku. Aku tidak mau menyahut sama sekali, dasar aku yang lemah, sehingga menerima rasa sakit pernikahan ini begitu saja. "Lagi pula, jika kamu tidak mandul, semua tidak akan terjadi seperti ini," ucap suamiku dengan lantang. Oh Allah, dia sungguh tidak tahu apa- apa, sehingga dengan santainya dia berkata. "Menikahlah, Mas, jika memang itu keputusanmu." "Ini bukan tentang keputusanku, tapi tentang masa depan kita. Aku ingin memiliki keluarga yang lengkap, dan pernikahan tanpa anak, ini bukan keluarga lengkap." Aku menghentikan isak tangisku, kemudian aku bangkit dan duduk menghadap mas Andre. "Benarkah pernikahan tanpa anak itu bukan keluarga lengkap?" tanyaku dengan suara serak. "Iya, maaf jika aku membuatmu tersinggung. Aku hanya ingin kamu mengerti," katanya lagi meyakinkanku. "Beri aku waktu satu bulan untuk menerima semua ini. Setelah itu, keputusan ada di tangan Mas," pintaku m
Bab6 "Mas, jika kamu yang mandul bagaimana?" tanyaku. Mas Andre menghela napas dan terlihat begitu malas berbincang denganku. "Apa'an sih, El. Sudahlah, faktanya sekarang kamu yang mandul. Mas terima kamu apa adanya," tegas mas Andre sembari mendengkus kemudian berdiri. "Mas." Aku memegang tangannya, agar dia tidak pergi begitu saja. "Apa?" Wajah mas Andre terlihat begitu malas menatapku. "Bagaimana jika kamu yang mandul, aku serius, Mas ...." "Aku?" Mas Andre tertawa, seolah meremehkanku. "El, sudahlah, nggak usah bahas hal ini lagi. Lagi pula jika aku mandul, Ibu pasti tetap akan menikahkan aku lagi." "Kenapa?" "Karena faktanya memang kamu yang mandul, dan tentang pertanyaan jika aku yang mandul, itu hanya omong kosong," tegas mas Andre, sembari melepaskan pegangan tanganku dan menjauh meninggalkan kamar. Beginilah dahsyatnya efek dari sebuah kebohongan, aku nyaris tersingkir. Aku menyesal rasanya. Tapi setidaknya aku tahu, rupanya tidak ada ketulusan dalam pernikahan kam
Bab7Entah mengapa, Ayah tiba- tiba kembali ke rumah lagi dan membuat Ibu semakin murka padaku.Bahkan, Ibu tidak keluar kamar sama sekali, hingga menjelang sore, Ayah dan mas Andre pulang kerja."Ibu mana El?" tanya Ayah ketika aku yang bukain pintu untuk mereka.Aku menyalami keduanya. "Ibu mengurung diri, Yah. Nggak mau keluar," sahutku."Memangnya Ibu kenapa, El?" tanya Mas Andre, yang memang tidak tahu apa- apa."Ada selisih paham sama Ayah," sahut ayah mertua.Mas Andre menatap dingin ke arahku. Kemudian tanpa bersuara, dia masuk ke dalam kamar.Aku menyusulnya, ketika Ayah menaiki anak tangga.Ketika mas Andre memasuki kamar mandi, ponselnya yang terletak di atas nakas terus bergetar. Aku melirik dan menemukan nama Delia terus melakukan panggilan telepon.Aku meraih benda pipih itu, dan menolak panggilan dari wanita itu. Dengan tangan gemetar, aku membuka ponsel mas Andre.Tujuanku langsung ke pesan W******. Lalu, nama Delia menjadi urutan atas dari W**** mas Andre. Dadaku be
Bab8Mas Andre berdehem. "Ehem, Ayah. Andre yakin, tidak mungkin itu terjadi."Ucapan mas Andre seakan meremehkanku.Kening Ayah mengernyit, nampaknya dia enggan menghentikan obrolan yang tidak nyaman ini."Kamu yakin, Ndre?" Ayah nampak memastikan."Yakinlah, Yah. Lagi pula, maaf. El ini terlalu biasa."Maksudnya apa? Aku melebarkan mata, menatap mas Andre tak percaya, bisa berkata seperti itu."Hidupnya di habiskan dengan memasak, mencuci dan mengurus Andre. Bau badannya, khas bau bawang dan bumbu dapur lainnya. Dan pakaiannya, seperti emak- emak anak 1," kekehnya membaca kekuranganku.Ayah tersenyum menanggapinya. "Setiap wanita itu cantik, jika dia berada di tangan yang tepat, contohnya Ibu kamu," sahut Ayah.Menarik, ini obrolan mereka semakin menarik.Biarlah aku layaknya patung tidak bertelinga, tidak bersuara, dan anggaplah aku setan, antara ada dan tiada.Mendengar Ayah mencontohkan Ibunya, mas Andre nampak tidak senang pada ayahnya itu."Ibu cantik dari dulu, jauh sebelum Ay
Menjadi Istri Kedua Mantan MertuaBab9"Apa maksud Ayah? Ayah mau anak kita selamanya tidak punya keturunan?" Ayah mendengkus. "Semua pasti karena pengaruh wanita ini. Itu makanya, Ibu tidak senang Ayah dekat sama dia," tunjuk Ibu kepadaku.Entah mengapa, apapun yang aku lakukan, maupun yang tidak aku lakukan, selalu salah saja di mata Ibu Delima."Jangan suka menyalahkan orang lain, seharusnya Andre bersukur memiliki Istri sebaik Elea. Selain ramah, Elea bahkan tidak pernah melawan Ibu."Ibu mendengkus, membuatku semakin tidak nyaman karena pembelaan Ayah."Ayah sudahlah, ini rumah tangga Andre, Andre bisa mengatasinya sendiri," timpal mas Andre menenangahi. Sedangkan aku? Masih saja diam membisu, menampung semua rasa sakit yang mereka ciptakan di hati ini."Kalau kamu merasa dewasa, bangunlah rumah tangga yang sehat. Rumah tangga yang sehat itu, tidak saling menyakiti. Jika saling menyakiti, itu bukan lagi rumah tangga, tapi tepatnya rumah duka. Tugas lelaki beristri, itu membahag
Bab10Langkahku urung menuju ke belakang rumah. Aku putuskan untuk ke ruang keluarga saja. Ingin sekali hati mengetuk pintu kamar Bibi dan bertanya. Mengapa tangisnya begitu terdengar pilu? Tapi hatiku saja sedang tidak baik. Aku tidak ingin bertanding nasib padanya saat ini. Biarlah kuputuskan untuk pergi dan seolah tidak tahu apa- apa.Bukan tidak perduli, tapi lebih kepada memberi waktu, untuk Bibi meluapkan perasaannya dengan menangis.Di ruang keluarga, kubiarkan diri di selimuti kegelapan. Tidak ada niat di hati untuk ke kamar, langkah ini terasa berat, untuk tidur di samping mas Andre.Terlalu dalam, diri ini dihina, diremehkan dan tidak di perdulikan olehnya."Allah, aku tidak meminta banyak hal dalam hidup, hanya memohon kuatkan diri ini." Ingin sekali rasanya aku menangis kencang, membiarkan segala rasa sakit dalam hati menguap keluar. Tapi itu tidak mungkin kulakukan, hingga hanya bisa terisak pelan, menikmati rasa sakit yang kuciptakan sendiri, karena diri begitu bodoh
Bab11Langkahku tergesa, menuju ke kamar kami, agrrhhh, berani sekali dia.Sesampainya aku di depan pintu kamar kami yang terbuka, terlihat sosok wanita itu, berdiri di depan meja rias milikku."Ngapain kamu di kamar kami? Lancang sekali," ucapku, mengejutkan wanita itu.Aku memandangnya dari atas hingga bawah. Delia mengenakan celana leging hitam ketat, juga bra sport, dan jaket yang tidak dia kancing.Sepertinya dia ingin mengajak suamiku jogging."Aku ingin membangunkan calon suamiku," sahutnya santai, sembari berjalan, menuju ke arah kasur, tempat mas Andre masih terlelap."Keluar!" bentakku. "Dasar wanita tidak tahu malu," lanjutku tersulut emosi.Wanita itu bukannya keluar, malah tersenyum menyeringai, seolah sedang mengejekku."Mas," ucapnya sembari berniat duduk di kasur, samping suamiku terlelap.Dengan cepat, aku menarik lengannya dengan kasar dan mendorong wanita itu hingga terjatuh."Keluar! Dasar tidak tahu malu," teriakku lagi dengan keras, membuat mas Andre terbangun da
Bab689"Selamat malam," ujar Abizar lagi."Ngapain kamu kemari? Setelah kamu membuat anak saya menderita, berani- beraninya kamu menampakkan batang hidung seolah tanpa dosa," bentak Kevin, yang langsung berdiri dengan emosi."Papah, sabar," pinta Elea, sambil memegang tangan Kevin."Manusia tidak tahu malu ini, dia datang ke rumah Galih dengan nyali besar, setelah menyia- nyiakan anak- anakku, aku tidak akan mengampuninya," pekik Kevin."Maaf, Pah. Saya datang kemari, hanya ingin kalian tahu, saya dan Cinta saling mencintai, kami ingin kalian restui hubungan kami lagi dan jangan menentang hubungan kami, cuma itu ...." "Apa?" Seluruh keluarga memekik.Cinta pun sangat syok, mendengar ucapan berani Abizar. Tiba- tiba Jelita tersandar, mendengar ucapan Abizar. "Jelita," pekik Abel. Wanita yang biasanya membenci Jelita itu, langsung memeluk Jelita yang nampak syok sekali."Brengsek!!" Cinta bangkit dari duduknya, menghampiri Abizar dan menampar keras wajah lelaki tidak tahu malu itu."D
Bab688Melihat begitu banyak panggilan telepon dari Bagus, Cinta pun memutuskan, untuk menghubungi balik nomor Bagus.Dan lelaki itu dengan cepat menjawab telepon Cinta."Assalamualaikum, Tante ....""Wa'alaikumsallam, Gus.""Maaf Tan, saya mau tanya, Tante ada bicara apa sama Ibu? Sampai- sampai Ibu pingsan.""Maafkan Tante, Gus. Tadi ada berita buruk, yang sempat mengguncang perasaan kami semua. Kejadian siang tadi cukup mengejutkan, pesawat menuju Bandung mengalami kecelakaan. Dan Nenek, juga Kakek ke Bandung hari ini, itu yang Tante sampaikan sama Ibu kamu ....""Inalillahi, jadi bagaimana kabarnya, Tan. Maaf Bagus tidak tahu apa- apa.""Kuasa Allah, Gus. Rupanya mereka selamat, karena Kakek pingsan, sebelum mereka naik pesawat. Nenek membawa Kakek ke rumah sakit, dan mereka ketinggalan pesawat, Gus. Luar biasa, diluar dugaan kami semua, Allah masih memberi kita kesempatan, untuk berbakti kepada mereka berdua," jelas Cinta."Alhamdulilah, Allahu akbar, masya Allah, luar biasa, Tan
Bab687"Allahu akbar, Abel, Kak Cinta ...." Galih menjerit, membuat orang yang kini di depannya jadi bingung.Mendengar jeritan Galih, mereka yang duduk di ruang keluarga pun berhamburan keluar menyusul Galih."Astagfirullah ...." pekikkan mereka semua terdengar bersamaan. Galih terlalu syok, membuatnya nyarus pingsan."Kalian jangan mengira Mamah setan ya," bentak Elea dengan kesal."Ini Mamah beneran?" Abel bertanya. Semua menjadi bingung, bahkan beberapa dari mereka terus- menerus mengusap mata dan wajah, memastikan yang di lihatnya adalah nyata, bukan halusinasi."Mamah sudah tahu, apa yang ada di dalam otak kalian. Jangan heran, jika Mamah datang dengan wajah acak- acakkan begini, bahkan tanpa menggunakan tas sama sekali. Mending bayarin taksi Mamah sana, orangnya dah nunggu," titah Elea."Ini Mamah kita," pekik Cinta yang langsung menghambur ke pelukan Elea, disusul Raisa dan lainnya memeluk Elea."Aduh ...." Elea pun memekik, melihat tingkah mereka semua yang langsung memelukny
Bab686"Jelita belum tahu kabar duka ini, tadi aku sudah coba hubungi, tapi belum juga dia jawab panggilan teleponku," lirih Cinta."Aku juga bingung, Kak. Apa yang harus aku katakan sama dia, entah bagaimana reaksi Jelita, jika tahu Mamah dan Papah sudah tiada. Pesawat itu terbakar, sebelum benar- benar jatuh," ujar Galih kembali menangis. Bayangan wajah tua kedua orang tuanya menari- nari di pikiran mereka semua."Pantas Mamah memelukku berulang kali, mengingatkan kita terus- menerus, bahwa sesama keluarga harus saling menyayangi dan tolong- menolong. Mereka juga selalu berbicara tentang kematian, yang aku sendiri tidak tahu, bahwa itu adalah pertanda, mereka berdua akan pulang bersama- sama, untuk selamanya."Cinta menangis kuat, Kamila memeluk Ibunya dengan erat, begitu juga Raisa, memeluk Abel dan menangis di pelukan Ibunya."Rasanya tidak pernah sesakit ini, kehilangan yang begitu mengejutkan, membuat hati ini tidak siap. Berpuluh tahun hidup bersama dengan keduanya, hingga Rai
Bab685"Nanti saja ah, malas. Lagian kita lagi makan gini, masa di gangguin hal- hal yang tidak jelas begitu," ujar Cinta, mengabaikan ucapan Galih tadi."Cinta, sudah 1 tahun kita bersama, tapi kenapa, kamu nggak pernah mau pertemukan aku dengan anak kita, Kamila?" tanya lelaki itu."Mas, tidak semudah itu. Kamila akan tahu segalanya, bahwa kamu pernah menikahi Jelita juga. Dan Enggar, juga Bagus, bagaimana tanggapan mereka pada kita? Kamu meninggalkan mereka, lepas tanggung jawab, dan malah bersamaku. Tentu saja, bukan cuma mereka yang akan kecewa sama kita, tapi Kamila juga.""Kemudian Mamah dan Papah, bisa- bisa aku mereka kutuk, Mas ....""Tapi mau sampai kapan, kita kucing- kucingan seperti ini? Aku juga ingin diakui, dan dianggap bagian keluarga kamu, Cin.""Belum waktunya, Mas.""Kapan waktunya, Ta? Aku dan Jelita, itu hanyalah kesalahan. Sedangkan aku sama kamu, itu cinta yang tulus. Aku mohon, pikirkan ini baik- baik, aku hanya ingin di akui, dan Kamila juga harus tahu, bahw
Bab684Perjalanan panjang Bagus lalui bersama Jelita, Ibu yang kini sangat dia sayangi, dan dia utamakan kebahagiaannya."Pulang dari umrah, kita ke rumah Nenek saja ya, Gus.""Terserah Ibu saja, Bagus ngikut saja. Bagus tidak punya siapa- siapa untuk di bahagiakan, jadi segala waktu dan apapun yang Ibu mau, asal Ibu bahagia, Bagus akan selalu turuti, insya Allah," ujarnya.Jelita terharu dan menatap penuh kasih sayang pada Bagus. Sementara Bagus dan Jelita melaksanakan ibadah umrah, rupanya rumah mewah Elea, sudah terjual sesuai kesepakatan dengan pembelinya.Penjualan rumah, di saksikan Galih, karena hasil dari penjualan rumah mewah tersebut, 50% milik Galih, 30% milik Cinta dan sisanya barulah milik Elea dan Kevin.Setelah semua beres, Elea dan Kevin, memutuskan untuk tinggal di hotel. Sebelum rumah impian mereka di desa selesai di bangun.Hanya sisa 10% saja, rumah di desa itu akan selesai dan bisa mereka tempati.Galih sudah menyarankan, agar Elea dan Kevin mau tinggal di rumah m
Bab683"Kenapa kamu terlambat?" tanya atasan Bagus, yang ada dibagian divisinya."Maaf pak Rahmat, saya menabrak orang tadi di jalan."Pak Rahmat, yang merupakan pengawas divisi pemasaran, tidak begitu berani bersikap keras pada Bagus, tapi dia tetap berusaha profesional, agar tidak terlalu nampak membeda- bedakan karyawan."Lain kali berhati- hati di jalan, Gus. Dan tolong jangan ulangi lagi, keterlambatan datang seperti ini. Hari ini saya maklumi, tapi kalau terulang lagi, saya akan berikan sangsi pemotongan gaji," jelas pak Rahmat memberi peringatan."Baik, Pak." Hanya itu jawaban Bagus. Sadar diri akan kesalahannya, Bagus tidak berani banyak bicara.Pak Rahmat meninggalkan divisi pemasaran, menuju ruangannya, untuk memeriksa laporan penjualan kemarin.Sementara Bagus duduk di meja kerjanya, dengan pikiran yang mulai tidak fokus. Bagus mulai memikirkan wanita yang di tolongnya tadi, dan itu sangat mengganggu kerjaannya.Tiba- tiba, HRD memasuki ruangan divisi pemasaran, bersama den
Bab682"Bu ...."Jelita menatap Bagus."Bagaimana kalau kita pergi umrah?"Jelita terpaku sejenak, mendengar usulan Bagus."Gimana, Bu?" tanya Bagus lagi, membuat Jelita tersadar dari keterkejutannya.Anak yang biasanya cuek, hanya memikirkan kesenangannya sendiri, kini mengajaknya pergi umrah. "Kamu serius pengen umrah, Gus?" tanya Jelita balik, memastikan keinginan Bagus."Iya, Bu. Mumpung kita ada rezeki lebih. Kita ajak Enggar dan Lina juga, mana tau mereka mau. Tapi jika mereka menolak juga tidak apa- apa, kita berdua saja yang pergi ke sana, Ibu mau kan?""Tentu saja Ibu mau, Gus. Masya Allah, niat kamu baik sekali anakku, mana mungkin Ibu menolak."Bagus tersenyum. Dan niat mereka pun, di sampaikan kepada Enggar dan Lina, ketika mereka makan malam bersama."Dalam waktu dekat ini belum bisa, Bu, Mas. Enggar masih harus fokus ke perusahaan," jawab Enggar.Wajar sih, belum ada 1 tahun dia bekerja, masih tidak enak hati jika terus izin libur, untuk urusan pribadi.Sebagai calon pe
Bab681"Tugas kita sudah selesai, nampaknya anak, cucu dan cicit tidak ada masalah, dengan pembagian harta warisan kita," ujar Elea, ketika dia dan Kevin merebahkan diri di atas kasur mereka."Kuharap juga begitu, agar kita berdua bisa menjalani kehidupan yang tenang," jawab Kevin."Kulihat Abel juga tidak membuat masalah lagi." Elea merasa lega, melihat sikap menantunya itu, yang semakin baik dari sebelumnya.Galih membelikan rumah yang cukup mewah, untuk dia tempati dan istrinya. Galih tidak ingin menyatukan istrinya lagi sama Ibunya. Karena bagi Galih, jika keadaan sudah tidak nyaman, dan terus di paksakan, maka mereka akan saling menyakiti.Demi menjaga rumah tangga dan hati orang tuanya, Galih memutuskan untuk memiliki rumah sendiri.Tetapi dia tetap memperhatikan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak satu rumah.______>_______Karena perjalanan yang cukup jauh, Jelita mulai jatuh sakit. Badannya meriang, nyaris semalaman, Lina tidak bisa tidur, karena khawatir dengan kond