Rio terperanjat, sementara Shara merasa bahwa dirinya sedang berada di atas angin.“Maaf, aku mulai tidak percaya sama kamu.” “Mas, aku serius! Aku akan ....”“Janji ini juga yang dulu kamu ucapkan ke aku saat memaksakan ide menikah lagi,” tukas Rio tidak sabar. “Kenyataannya apa? Kamu tetap saja bertindak semaunya sendiri, bahkan sampai hati menyakiti bayi yang tidak bersalah seperti Nico.”Shara memegang keningnya.“Ya wajarlah, Mas. Memang Nico itu cengeng banget, sedikit-sedikit nangis ....”“Nico itu masih bayi, Ra!”“Iya, aku tahu. Aku capek, besok kita bicara lagi.”Shara melenggang pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, meninggalkan Rio yang tidak puas dengan hasil pembicaraan mereka.Malam itu Shara sengaja tidak mempedulikan tangis Nico yang terbiasa bangun tengah malam untuk minum susu.“Ra, itu Nico nangis ....”“Urus saja sana, tinggal bikinkan susu apa susahnya sih?”Enggan ribut di tengah malam buta, Rio mengalah dan turun dari tempat tidur untuk mem
“Rio, kamu sedang apa?” “Ini ... aku sedang bicara sama Via, Bu. Soal perceraian kami ....” “Tidak, jangan dulu!” “Memangnya kenapa, Bu? Kasihan Via juga kalau terus terikat sama aku.” Slavia memilih diam dan terus mendengarkan keributan itu. “Tutup dulu teleponnya, nanti ibu jelaskan!” Tut! Tanpa peringatan apa-apa lebih dulu, Rio tiba-tiba saja memutus pembicaraan yang sedang berlangsung dengan Slavia. “Kak Rio aneh, itu tadi suara ibunya kan?” gumam Slavia bingung, entah apa yang sebenarnya terjadi. Yang jelas lagi-lagi proses perceraiannya dengan Rio terpaksa ditunda lagi. “Ada apa, Bu? Tadi aku sudah hampir talak Via padahal ....” Di rumah ibunya, Rio sedang mempertanyakan interupsi yang baru saja dia dapatkan. “Jangan, ibu setuju kalau kamu menunda perceraian kalian.” “Apa? Tapi aku sudah telanjur janji sama Shara, Bu. Kami ingin memperbaiki rumah tangga kami, dan Shara mengajukan syarat itu.” Ibu Rio menarik napas dalam-dalam, dia merasa bimbang dengan apa yang bar
“Cie, cie ....” Raras nyengir menyambut Slavia setelah kepulangan Ardan. “Jadi gimana nih, pasti dia ngajak jalan-jalan ya?”Slavia tersenyum rikuh.“Jangan dibahas, itu urusan pribadi Ardan.” “Kok main rahasia-rahasiaan sama aku sih, Vi? Ardan itu pasti lagi pedekate sama kamu, aku bisa lihat dari sorot matanya setiap kali dia menatap kamu.”Slavia menarik napas, dia tetap pada pendiriannya.“Aku belum bisa menjalin hubungan sama siapa pun, Ras.”“Lho, memangnya kenapa?”“Kamu percaya seandainya aku bilang kalau aku sudah menikah?”Raras terbelalak lebar mendengar pengakuan Slavia.“Ah, kamu ini. Kalau bercanda suka kelewatan, nggak masuk akal begitu ... Nggak lucu ah, Vi!”“Aku nggak bercanda, Ras! Aku itu ....”“Sudah deh, aku ngerti kalau kamu melakukan itu cuma buat menghindari Ardan karena ... mungkin saja kamu belum siap atau kamu nggak suka sama dia?”Slavia menggeleng, tapi tetap saja Raras tidak mempercayai pengakuannya itu.Enggan berdebat, Slavia lebih memili
“Terus kenapa nggak kamu lakukan, hah? Kamu sengaja berkhianat?”“Aku cuma melakukan apa yang sudah kamu tentukan.”“Aku nggak percaya, pasti Via yang selama ini hasut kamu! Aku nggak akan tinggal diam, aku harus kasih pelajaran sama dia!”Rio sigap menahan tangan Shara sementara satu tangan lainnya meletakkan cangkir kopi.“Via tidak salah, Ra ....”“Lepaskan, Mas! Aku akan bikin dia menyesal!”“Ra, tenang dulu!” “Nggak ada! Aku nggak akan bisa tenang sebelum Via pergi dari kehidupan kita! Kalau perlu aku akan membuat hidupnya hancur, seperti dia yang sudah menghancurkan rumah tangga kita!”Rio terpaksa menarik Shara dan membenamkan bahunya dalam pelukan erat.“Ra, aku masih sayang kamu. Berubah lah, kita masih bisa memperbaiki rumah tangga kita ....”“Kalau begitu ceraikan Via, Mas!” isak Shara memaksa. “Aku nggak mau dimadu, apalagi sama adik sendiri!”Rio membelai puncak kepala Shara. “Berubah lah, aku yakin kamu bisa menerima Nico dan Via. Aku janji akan berbuat adil
“Bu, Via pergi ke mana sih?” tanya Shara melalui sambungan telepon.“Ibu tidak tanya, terakhir dia pamit itu katanya mau ke luar kota.” “Luar kota mana? Luar kota kan luas, Bu!”“Mana ibu tahu? Kan kamu sendiri yang suruh Via untuk pergi sejauh mungkin dari keluarga kecil kamu.”“Iya sih, tapi aku takutnya justru ternyata Via ada di dekat-dekat kami ....”“Nggak mungkin, dia pasti tahu diri. Lagian kamu masih di rumah Rio kan, jadi pasti luar kota yang dimaksud Via itu adalah luar kota yang biasanya jauh itu lho! Masa ibu harus jelaskan panjang lebar?”“Oke, aku ngerti. Via pernah telepon Ibu lagi nggak setelah dia pergi?”“Pernah, tanya kabar ibu sama ayah kamu. Ibu bilang saja biar dia fokus menata hidup di sana, jangan ganggu keluarga kakaknya lagi.”Shara tersenyum lega, setidaknya sang ibu masih mendukung sampai sekarang.“Ya sudah. Kalau nanti Via telepon ibu lagi, bilang sama dia untuk kasih tahu alamat domisili dia sekarang. Aku minta tolong ya, Bu?”“Tapi buat apa
Di satu sisi, Slavia ingin terbebas dari prasangka buruk Shara yang semakin ke sini semakin membencinya. Namun, di sisi lain dia juga tidak mungkin menolak kesempatan emas untuk bisa bertemu lagi dengan anak kandungnya.“Ra?” panggil Rio begitu dia tiba di rumah.“Ibu di belakang sama Nico, Pak!” sahut Bik Tata yang sibuk memasak.“Oke, Bik!” Rio langsung menyusul istrinya ke taman belakang rumah.“Eh lihat, Papa sudah pulang!” Shara kebetulan melihat kedatangan Rio dan bergegas menyambutnya.“Ra, aku akan secepatnya jemput Via pulang. Tidak apa-apa kan?”Shara sontak membeku.“Kamu serius, Mas? Kamu dan Via tetap akan bersama biarpun aku sudah berusaha jadi ibu yang baik untuk Nico?”Rio menatap Shara lembut. “Biar bagaimanapun keadaannya, aku akan tetap mempertahankan kamu selama kamu bersedia hidup bersama-sama mereka.”Shara menyeka matanya.“Aku nggak keberatan kalau sama Nico, tapi Via? Aku nggak sanggup, Mas!”“Ra, Via bukan orang lain bagi kamu kan? Kalian kakak ber
Tanpa sepengetahuan Rio, diam-diam Shara meninggalkan rumah pagi-pagi buta. Dia sengaja berangkat lebih awal supaya semua urusan bisa selesai hanya dalam satu hari saja.Untuk sementara, nomor kontak Rio terpaksa dia blokir agar tidak menghambat pertemuannya dengan Slavia.Berbekal alamat yang berhasil didapatkan temannya, Shara akan memisahkan Rio dan Slavia sebelum mereka berdua bertemu.Beberapa jam kemudian, Shara berhasil mencapai kota yang menurut informasi adalah tempat domisili Slavia selama ini.Sembari menahan panasnya terik matahari, Shara segera menepi ke dalam salah satu kafe yang sudah ramai pengunjung.“Terpaksa harus aku aktifkan dulu nomorku,” gumam Shara setelah dia memesan segelas jus jeruk dan seporsi kentang goreng.Begitu nomor diaktifkan, beberapa notifikasi langsung muncul dan Shara dengan sabar menunggu hingga berhenti.Setelah itu, mengabaikan panggilan dan juga pesan dari Rio, Shara memilih untuk langsung menghubungi adiknya.Di tempat yang berbeda,
Slavia geleng-geleng kepala. Kalimat-kalimat yang Shara lontarkan selalu berujung kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Sedikit pun Shara tidak merasa bersalah padahal ide pernikahan antara dirinya dan Rio adalah ide Shara sendiri. “Aku nggak bisa lama-lama di sini karena Mas Rio nggak tahu kalau aku pergi,” kata Shara. “Aku minta kali ini kamu punya pendirian, Vi. Aku sama Mas Rio akan bahagia kalau kamu pergi.” “Aku sudah ambil keputusan, tapi Kak Rio yang nggak mau talak aku. Kenapa Kakak nggak paham juga? Sebagai istri Kak Rio, seharusnya Kakak lebih tahu karakter suami Kakak itu gimana kan?” Shara menatap tajam Slavia, dia sangat tidak suka kalau adiknya itu membantah. “Seharusnya Kakak yang usaha untuk membujuk Kak Rio, percuma aku minta talak kalau Kak Rio sendiri nggak mau.” Slavia mengingatkan. “Ah sudahlah, memang kamu ini nggak becus! Percuma juga aku jauh-jauh datang ke sini, buang waktu aku saja.” “Aku pulang duluan, aku juga sudah mengorbankan waktu dengan datang k