Tanpa sepengetahuan Rio, diam-diam Shara meninggalkan rumah pagi-pagi buta. Dia sengaja berangkat lebih awal supaya semua urusan bisa selesai hanya dalam satu hari saja.Untuk sementara, nomor kontak Rio terpaksa dia blokir agar tidak menghambat pertemuannya dengan Slavia.Berbekal alamat yang berhasil didapatkan temannya, Shara akan memisahkan Rio dan Slavia sebelum mereka berdua bertemu.Beberapa jam kemudian, Shara berhasil mencapai kota yang menurut informasi adalah tempat domisili Slavia selama ini.Sembari menahan panasnya terik matahari, Shara segera menepi ke dalam salah satu kafe yang sudah ramai pengunjung.“Terpaksa harus aku aktifkan dulu nomorku,” gumam Shara setelah dia memesan segelas jus jeruk dan seporsi kentang goreng.Begitu nomor diaktifkan, beberapa notifikasi langsung muncul dan Shara dengan sabar menunggu hingga berhenti.Setelah itu, mengabaikan panggilan dan juga pesan dari Rio, Shara memilih untuk langsung menghubungi adiknya.Di tempat yang berbeda,
Slavia geleng-geleng kepala. Kalimat-kalimat yang Shara lontarkan selalu berujung kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Sedikit pun Shara tidak merasa bersalah padahal ide pernikahan antara dirinya dan Rio adalah ide Shara sendiri. “Aku nggak bisa lama-lama di sini karena Mas Rio nggak tahu kalau aku pergi,” kata Shara. “Aku minta kali ini kamu punya pendirian, Vi. Aku sama Mas Rio akan bahagia kalau kamu pergi.” “Aku sudah ambil keputusan, tapi Kak Rio yang nggak mau talak aku. Kenapa Kakak nggak paham juga? Sebagai istri Kak Rio, seharusnya Kakak lebih tahu karakter suami Kakak itu gimana kan?” Shara menatap tajam Slavia, dia sangat tidak suka kalau adiknya itu membantah. “Seharusnya Kakak yang usaha untuk membujuk Kak Rio, percuma aku minta talak kalau Kak Rio sendiri nggak mau.” Slavia mengingatkan. “Ah sudahlah, memang kamu ini nggak becus! Percuma juga aku jauh-jauh datang ke sini, buang waktu aku saja.” “Aku pulang duluan, aku juga sudah mengorbankan waktu dengan datang k
“Nakal kamu ya! Sudah ngompol, pipisnya buat mainan, terus ini nggak bisa anteng! Kamu sengaja ya kalau sama mama suka bikin emosi?” Suara omelan Shara akhirnya sukses memantik tangis Nico hingga berlinang air mata, tapi dia justru semakin dibuat jengkel. “Nangis terus, bisanya kamu memang cuma nangis, nangis, sama nangis!” Shara terus mengomel sambil mengepel sisa-sisa pipis Nico. “Bayi kerjaannya kok menyusahkan begini, hei bisa diam nggak kamu?” "Shara!" Suara lain tiba-tiba muncul di tengah tangisan Nico dan juga omelan Shara. "Apa sih—Mas Rio?" Mata Shara terbelalak ketika bertatapan mata dengan suaminya. "Kamu kok sudah pulang?" Tanpa menjawab pertanyaan Shara, Rio memilih untuk langsung mengangkat Nico yang masih menangis kencang. "Itu Nico kena pipis, jangan langsung gendong!" Shara memperingatkan. "Jangankan pipis, dia pup saja aku tidak masalah." "Tapi lihat ini! Nico ngompol sembarangan, kenapa dia nggak pakai popok instan sih, Mas? Jadi aku nggak perlu repot-rep
"Aku nggak mau dipecundangi lagi untuk yang kesekian kalinya." Slavia menggeleng. "Aku tahu posisiku serba salah, Tante." Nico merengek-rengek lagi, membuat ibu Rio memutuskan untuk mengambilnya dari gendongan Slavia. "Sepertinya kamu juga perlu menenangkan diri," kata ibu Rio. "Suasana hati kamu sedang tidak bagus, makanya Nico jadi rewel." Slavia membiarkan saja saat ibu Rio membawa Nico keluar dari kamarnya. Shara dan ibunya sudah menyambut di depan ketika mobil yang dikemudikan Rio tiba di halaman rumah mereka. Slavia tersenyum kepada kedua mertuanya begitu turun dari mobil Rio. “Lama nggak bertemu, Vi.” Ibu memeluk Slavia begitu Rio menggandengnya mendekat. “Ibu juga,” balas Slavia sambil tersenyum. Shara kelihatan tidak ingin berlama-lama basa-basi menyambut pasangan adik dan suaminya. “Kita mulai saja makan malamnya,” kata Shara sambil menarik lengan Rio. “Ayo Vi,” ajak ibu sambil membimbing anaknya masuk ke dalam rumah. Di meja makan sudah telah terhidang b
"Aku akan bicara sama Shara secepatnya," janji Rio. "Aku harap tidak ada yang merasa dirugikan, biar bagaimanapun aku cuma manusia biasa yang terjebak ide gila dari istriku sendiri ...." "Sabar Kak, sudah ada Nico yang membutuhkan kita. Semoga Kak Shara menerima," timpal Slavia. "Apa? Kamu sama Via mau tinggal seatap?" Shara tidak bisa menahan rasa terkejutnya ketika Rio pulang ke rumah dan mengutarakan niatnya. "Ra, aku kan sudah kasih tahu kamu tentang niat aku untuk tetap mempertahankan kalian berdua ...." "Kamu egois, Mas!" "Aku bisa apa, Ra? Situasi saat ini benar-benar tidak memungkinkan aku untuk memilih salah satu di antara kalian berdua, apalagi Via ternyata bukan adik kandung kamu. Itu artinya aku tidak harus menceraikan salah satu dari kalian." Shara menghela napas berat. Inilah yang paling dia takutkan di kemudian hari, rahasia keluarga besarnya terungkap ke publik. Bahkan sampai detik ini pun Shara tidak mengetahui siapa orang yang telah memberi tahu Rio tentang k
“Maaf Pak, saya sudah salah bicara?” Bik Tata enggan meneruskan ucapannya, setelah itu buru-buru pergi ke dapur untuk mencicipi masakannya yang baru saja matang.“Kamu sudah pulang, Mas?” sambut Shara lembut.“Sudah, itu Bik Tata kenapa sih? Tumben sikapnya aneh sama aku.”Shara hanya tersenyum misterius, dia melakukan tugasnya sebagai istri yang baik dengan menawarkan secangkir kopi dan kue.“Mungkin Bik Tata kecapekan saja, Mas. Dia kan habis beres-beres kamar tamu buat Via,” ucap Shara akhirnya. “Jadi nanti kalau Via datang, dia sama Nico bisa langsung istirahat di kamar.”Rio menatap Shara dengan intens. “Apa aku tidak salah dengar? Kamu suruh Bik Tata mempersiapkan kamar buat Via?”“Iya Mas, apa aku salah? Atau mungkin kamar tamu harus didesain jadi kamar anak-anak, gimana?”“Tidak, bukan itu maksudku ....”“Terus apa, Mas? Jangan sampai Via merasa nggak nyaman karena harus mengasuh Nico juga kan?”“Soal Nico, kita bisa mengasuhnya sama-sama. Aku cuma ... tidak menyangka
“Kita tunggu saja,” sahut Rio sambil duduk di sofa.Tidak berapa lama kemudian, ibu Rio muncul sambil membawa Nico yang baru saja bangun tidur.“Nenek pasti kangen sekali sama kamu,” bisik ibu Rio, dia kecup kepala Nico sebelum menyerahkannya kepada Slavia. “Sering-sering ke rumah nenek ya?”Rio mengangguk. “Bu, aku pulang sekarang ya?”“Hati-hati, ingat kamu harus bisa adil.”Slavia berpamitan kepada ibu mertuanya, setelah itu dia mengikuti Rio yang melangkah menuju mobilnya di halaman.“Nico sudah adaptasi sama kamu kan?” tanya Rio seraya mengemudi.“Sudah, aku sempat takut kalau dia menolakku karena sudah lama kami terpisah ....”“Itu namanya ikatan batin.”Slavia terdiam ketika jarak mobil yang ditumpanginya semakin dekat dengan rumah pribadi Rio. Hatinya mulai ketar-ketir tidak keruan membayangkan bagaimana reaksi Shara nanti seandainya mereka berdua akhirnya bertemu.“Nah, kita sudah sampai.”Suara Rio sukses menyadarkan lamunan Slavia, dia membelokkan mobil tepat ke
“Terima kasih, Bik.” Shara menoleh ke arah asisten rumah tangga itu dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. “Lho, Ibu kenapa? Diapain sama Pak Rio?” Bik Tata langsung berjongkok di depan Shara karena meras khawatir. “Nggak diapa-apain, Bik. Kan Bapak nggak ada di sini ....” “Pak Rio pergi ke mana?”Shara menyeka matanya dan meraih cangkir berisi teh herbal yang dibuatkan Bik Tata untuknya.“Bu, Pak Rio ke mana?” tanya Bik Tata ingin tahu.“Bapak ada di ... kamar sebelah,” jawab Shara dengan nada berat.“Jadi ... Pak Rio sedang sama istri mudanya? Kok Ibu biarkan?”“Terus saya harus apa, Bik? Melarang Pak Rio? Nggak mungkin lah, Bik. Mereka itu suami istri, jadi sah-sah saja kalau Pak Rio ada di kamar istrinya yang lain.”Bik Tata hanya bisa menghela napas berat.“Ibu yang sabar ya? Bibik tidak tega rasanya lihat Ibu diperlakukan seperti ini sama Pak Rio.”“Tidak apa-apa, Bik. Doakan saja semoga kami bisa hidup rukun bertiga—maksudnya berempat karena Nico juga haru
Slavia lantas menaruh foto terakhir dan sukses membuat Shara terperanjat. “Kenapa kamu menaruh foto Mas Rio di situ?” “Memangnya salah kalau foto ayah kandung ditaruh dekat dengan anak-anak kandungnya?” Shara melotot. “Anak-anak kandung ...? Anak Mas Rio dengan kamu cuma Nico!” “Coba perhatikan lagi, yang ini mamanya Luna. Bibir dan hidungnya sangat mirip sama Mas Rio.” Dengan napas yang menderu cepat, Shara mengamati foto Rio dan Lunara bergantian. Semakin dilihat, semakin kemiripan itu menjelma nyata. “Nggak ... ini nggak mungkin! Mas Rio punya anak lagi ... selain Nico?” Slavia mengangguk tenang. “Kamu bohong, Vi. Kapan kamu hamil lagi? Itu pasti anak dari laki-laki lain kan? Anak dari suami baru kamu!” “Aku belum pernah menikah lagi sampai sekarang,” kata Slavia jujur. “Seharusnya kamu berpikir, gimana ceritanya aku tinggal berjauhan sama Mas Rio, tapi masih bisa hamil anaknya?” Shara menatap Slavia dengan penuh dendam. “Aku nggak percaya ini ....” “Tanya saja sama Mas
Sebuah mobil asing ternyata sudah menunggu ketika Ardan tiba di rumah Slavia. “Itu mobilnya Pak Rio, Dan!” “Mau aku antar sampai rumah?” “Nggak usah, aku akan hadapi Pak Rio sendiri.” “Apa kamu yakin, Vi? Kalau dia menyakiti kamu gimana?” “Aku sudah mempekerjakan asisten rumah tangga, Dan. Setidaknya aku nggak benar-benar sendirian di rumah,” jawab Slavia. “Kamu pulang saja, kamu juga harus istirahat karena ada air in kamu sama Raras sibuk banget bantu aku.” Mau tak mau Ardan mengangguk. “Kalau ada apa-apa, kamu harus cepat hubungi aku atau Raras.” “Pasti, aku turun ya?” Dengan berat hati, kartun terpaksa mengganggu dan membiarkan Slavia turun dari mobilnya. “Lama sekali, sengaja?” sambut Rio datar ketika akhirnya Slavia muncul di hadapannya. “Aku kan harus jaga-jaga, takutnya kamu coba-coba menyerangku karena aku sudah melaporkan istri kamu ke polisi.” “Bisa kita bicara baik-baik?” “Oke, masuk saja ke rumahku.” Tanpa menunggu jawaban Rio, Slavia segera meninggal pergi mem
“Kenapa, Bik?” “Ada polisi di depan, Pak ....” “Polisi? Mereka cari siapa?” Rio terbelalak kaget. “Cari ibu, Pak ... Saya nggak berani bilang Bu Shara, makanya saya langsung bilang Bapak saja.” Rio mengusap wajahnya dengan kalut. Ada masalah apa lagi ini? “Selamat malam, Pak!” “Selamat malam, ada perlu apa ya Pak?” tanya Rio sopan. “Kami datang ke sini sambil membawa perintah surat penangkapan untuk Bu Shara,” jawab salah seorang petugas yang datang. “Memangnya istri saya kenapa, Pak?” “Istri Bapak ditangkap atas laporan pengayaan terhadap Bu Slavia.” Rio terperanjat kaget, terlebih ketika petugas polisi menyebut nama mantan istri keduanya. “Mas, ini kita mau ke mana?” tanya Shara ketika Rio menjemputnya di kamar. “Ada yang mau bertemu sama kamu ....” “Siapa?” Rio tidak menjawab. Bukannya dia seorang suami yang tega, justru dia sangat ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Polisi? Kok mereka ada di sini sih, Mas?” Shara langsung menghentikan langkahnya s
Shara manggut-manggut, dia sangat yakin jika Slavia tidak akan seberani itu untuk melapor. Atau dia akan membuat namanya kembali viral, dan berimbas ke bisnis online yang digelutinya. “Gimana keadaan kamu, Vi?” “Ya beginilah, Ras ... Luna gimana?” “Ardan yang jemput Luna, kamu tenang saja.” Slavia menarik napas panjang. “Kamu harus dirawat ingat di sini ya?” tanya Raras. “Sebenarnya aku mau pulang, tapi tapi kepalaku pusing banget dan sama dokter diminta untuk observasi di klinik dulu sementara ....” “Atau kamu pindah ke rumah sakit saja?” “Nggak usah lah Ras, aku kan dianiaya bukan sakit kronis.” Raras menghela napas. “Tapi menurutku perbuatan mereka itu sudah sangat keterlaluan, mereka nggak Cuma mempermalukan kamu, Vi. Mereka juga menganiaya kamu, entah apa yang akan terjadi seandainya aku sama Ardan nggak datang ....” “Oh ya, kalian berdua kok bisa tahu posisiku sama apa yang aku alami?” tanya Slavia penuh rasa syukur. “Bukannya kamu yang nelepon pakai aplikasi pesan?”
Jantung Slavia berpacu dengan cepat ketika para wanita itu merundungnya baik verbal maupun fisik, dari mulai menjambak rambut, menampar wajah, dan menarik telinganya beramai-ramai. “Hentikan ini, aku nggak sepenuhnya salah!” teriak Slavia sambil menutupi wajahnya. “Banyak omong, aku viralkan kamu ya!” “Dasar pelakor hina!” Slavia berusaha melawan, tapi tentu saja dia kalah jumlah. Orang-orang mulai berdatangan untuk melihat apa yang terjadi, bahkan ada yang berusaha untuk menghentikan penganiayaan itu. “Stop, Ibu-Ibu! Ini ada apa?” “Tolong jangan main hakim sendiri!” “Anda ini kan sesama perempuan, kenapa menyakiti perempuan?” Teman-teman Shara menghentikan sejenak aksi bar-bar mereka. “Dia ini pelakor!” “Betul, dia adalah orang ketiga dalam rumah tangga teman kami!” “Haahh? Jadi dia itu pelakor?” Slavia menurunkan tangannya dan berteriak. “Bohong, itu semua fitnah!” “Wah, berani juga pelakor ini!” “Iya nih, dasar nggak punya malu!” “Aku memang bukan pelakor, istri perta
Mana bisa begitu,” tolak Shara. “Nico itu anak Mas Rio, dan aku adalah istrinya.” “Aku nggak peduli, aku ini ibu kandung Nico.” “Nggak bisa, Vi. Sesuai perjanjian, Nico harus kamu serahkan kepada Shara dan Rio untuk dirawat.” Rini menengahi. “Ibu lupa kalau perjanjian itu sudah enggak berlaku lagi?” tanya Slavia mengingatkan. “Mas Rio dan ibunya sendiri yang datang untuk bujuk aku supaya melanjutkan pernikahan itu, sedangkan uang ganti rugi yang sudah Kak Shara bayarkan juga diganti sama Mas Rio.” “Jadi kamu mau uang?” sentak Shara. “Tolong deh, bisa nggak jangan pakai teriak-teriak?” Slavia mengingatkan. “Di sini itu tempat umum, bukan tempat buat marah-marah ....” Rini mengusap tangan Shara. “Tenang.” Slavia menarik napas. “Sejak awal aku sudah bilang sama mas Rio Kalau aku cuma mau mengurus masalah hak asuh Nico, aku nggak peduli lagi sama kalian berdua. Asal aku nggak diusik, aku juga nggak akan mengusik kamu ataupun Mas Rio.” “Kamu nggak usah bohong, Vi. Buktinya kamu int
Aku mungkin menyesalkan ide kamu, tapi ... aku tidak menyesali kehadiran Nico sedikit pun.” “Kamu bikin aku sakit hati, Mas. Kamu tega ....” “Kamu sendiri tega memaksaku menduakan pernikahan kita, sampai kamu mencoba bunuh diri dan membuatku tersudut bersama Via. Ingat?” Shara mati kutu. Semua yang Rio ucapkan terasa seperti beberapa anak panah yang meluncur bersamaan dan menancap tepat di ulu hatinya. “Justru itu aku minta kamu untuk memperbaiki pernikahan kita, Mas. Aku nggak mau ada Via lagi di tengah-tengah kita, cukup Nico saja yang akan jadi pelengkap kebahagiaan ... Belum lagi anak kita nanti seandainya aku diberi kepercayaan untuk hamil anak kamu.” Rio memijat keningnya, rasa pusing kini seringkali mampir sejak dia bertemu kembali dengan Slavia dan juga bocah perempuan itu. “Mas, apa ucapan aku ada yang salah? Kok kamu diam saja?” tanya Shara khawatir. “Aku terlalu pusing dengan semua ini ....” “Oke, kita sebaiknya jangan membicarakan soal Via atau perjanjian masa lalu
“Istri satu-satunya ya, sungguh membanggakan. Akan jauh lebih membanggakan lagi kalau kamu bisa kasih keturunan sama suami kamu,” sindir Slavia tepat sasaran. “Kamu ....” “Atau jangan-jangan kamu juga sudah berhasil punya anak? Kalau begitu, kembalikan Nico sama aku. Bukankah kamu bisa merawat anak kandung kamu sendiri?” tanya Slavia pura-pura. “Mulut kamu itu ya, Vi. Pengin aku robek-robek rasanya!” Slavia tersenyum kecil. “Kamu masih nggak berubah juga ya, suka emosian.” “Diam kamu, aku sudah kasih kamu peringatan. Jangan sampai aku bikin mental kamu hancur untuk yang kedua kalinya.” Mendengar ancaman itu, Slavia seketika berdiri dan membuat Shara terperanjat kaget saat melihat sorot matanya yang tajam membunuh. “Coba saja, kamu pikir aku masih sama seperti Via yang dulu?” “Apa maksud kamu?” “Pikir saja sendiri, kamu masih bisa mikir kan?” “Jangan kurang ajar kamu!” Shara ikut berdiri dan bersiap melayangkan tamparan ke wajah Slavia, tapi tangan itu tidak pernah mendarat d
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh