“Sudah selesai,” tegas Slavia. “Sejak kamu bilang kata cerai di telepon saat itu, hubungan kita sudah berakhir dan kamu nggak perlu repot-repot mencari aku lagi. Bukankah selama bertahun-tahun ini kamu sudah bisa hidup bahagia?” Rio tidak menjawab. “Seharusnya kamu lanjutkan saja hidup kamu dan tidak usah mencari tahu urusan aku lagi,” lanjut Slavia, setelah itu dia berbalik pergi untuk menyusul Ardan yang sudah berada di rumah bersama Lunara. Slavia masuk ke rumah dan menutup pintunya rapat-rapat, kemudian dia menoleh saat Ardan keluar dari kamar Lunara. “Aku pulang ya, Vi?” katanya. “Nggak ada masalah kan?” “Sebentar Dan, biar Pak Rio pulang dulu.” Slavia mencegah. “Aku nggak mau kalau sampai ada keributan malam-malam begini.” “Harusnya sih Pak Rio sudah lihat aku sejak turun dari mobil,” ujar Ardan tenang. “Kalau dia berniat ribut, pasti sudah dari tadi kita ribut.” “Tapi tetap saja kamu jangan terlibat apa pun sama Pak Rio,” sahut Slavia muram. “Istrinya sangat menyeramkan,
“Siapa yang minta cerai? Bukankah kamu yang memutuskan untuk menceraikan aku secara sepihak?” Rio mengernyitkan keningnya mendengar jawaban Slavia. “Aku menceraikan kamu secara sepihak?” “Nggak usah pura-pura bingung kamu, Mas.” Slavia menggeleng tidak percaya. “Kamu yang dengan sadar menceraikan aku, memisahkan aku dari Nico, lalu tiba-tiba kamu datang dan bersikap seolah-olah kamu adalah korban dari keegoisan aku ... Nggak habis pikir aku.” Rio diam. Andai dia tidak sedang menyetir, kemungkinan besar dia sudah mencecar Slavia dengan banyak pertanyaan yang selama ini bercokol di kepalanya. “Ini kita mau ke mana?” tanya Slavia mencegah kebisuan. “Ke resto.” Mendengar jawaban Rio, Slavia tidak lagi bertanya karena ingin mengikuti permainan ini dulu. “Lho, ini kan ...?” Gunadi terbelalak ketika melihat Rio muncul di depan ruangannya bersama Slavia. “Halo, Mas Gun?” sapa Slavia sambil tersenyum ramah. “Eh, halo Vi?” Rio menatap Gunadi dengan dahi berkerut. “Kamu ke depan dulu,
“Soal perceraian aku dan Via beberapa tahun yang lalu.” Shara terdiam bisu setelah mendengar ucapan Rio. “Perceraian kamu sama Via? Untuk apa lagi kamu membahas soal itu, Mas?” “Banyak hal yang menurut aku janggal, Ra!” “Apanya yang janggal? Berapa tahu perceraian kalian sudah berlalu? Via bahkan nggak pernah menampakkan diri sekadar untuk menengok Nico, ibu macam apa dia itu?” Rio menjatuhkan dirinya di sofa. Melihat wajah suaminya yang tampak keruh, Shara sudah bisa menebak jika ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. “Mas, ada apa sih? Cerita sama aku.” Sebagai istri yang baik, Shara berusaha untuk tetap menanggapi kegelisahan yang Rio rasakan. “Apa betul Via yang minta pisah duluan?” tanya Rio sambil menatap Shara. “Aku kan sudah bilang berkali-kali, Mas ....” “Jawab saja, iya atau tidak.” Shara tahu jika saat ini kepercayaan Rio sedang berada di titik goyah, sehingga dia tidak ingin menjawab sembarangan. “Bukti surat permohonan itu sudah cukup membuktikan kalau Vi
“Tumben, kamu tidak berencana untuk membuat keributan sama Via kan?” “Enggaklah, Mas! Aku mau lebih bertanggung jawab saja sama Nico,” bantah Shara buru-buru. “Ya sudah, jangan lupa bawa payung untuk jaga-jaga karena sudah musim hujan.” Rio mengingatkan. “Aduh, ribet Mas! Nanti aku minta sopir taksi untuk parkir mepet di halaman gedung saja.” “Terserah kamu, pokoknya jangan sampai Nico kehujanan.” “Iya,” sahut Shara pendek, lalu segera memutuskan sambungan telepon. Kadang perhatian Rio yang begitu besar terhadap Nico membuatnya merasa iri. Andai saja aku punya anak yang terlahir dari rahim aku sendiri, batin Shara penuh harap. Rasanya sudah lelah hatinya untuk menunggu keajaiban yang tidak kunjung datang. Setibanya di tempat les, Shara langsung pergi ke kelas Nico meskipun jam pulang les masih beberapa saat lagi. “Di mana perempuan itu, belum datang kah?” Shara celingukan mencari keberadaan Slavia karena berpikir jika bocah yang bersamanya belajar di kelas yang sama dengan Nic
“Masih sepi, Ra. Tapi nggak sepi banget juga ....” “Pasti gara-gara resto baru itu ya? Kenapa nggak protes saja sama pemiliknya?” Rio dan Gunadi saling pandang. “Bukan hal yang sulit kan?” lanjut Shara sementara Nico sudah berlari masuk ke dalam rumah. “Bukan hal yang gampang juga, karena setiap orang berhak untuk membuka usaha apa pun meski di bidang yang sama.” Rio berpendapat. “Lagian lokasinya juga bukan di samping resto kita persis,” timpal Gunadi, membuat Shara merasa tidak puas. “Tapi buktinya resto kalian jadi kena dampak, kan?” “Namanya juga persaingan, Ra.” “Persaingan sih persaingan, Gun. Tapi ya setidaknya mereka pakai otak sedikit lah kalau mau saingan, bukan kayak sengaja cari lokasi yang dekat.” “Ya ampun, Bu Shara ini omongannya pedas sekali. Untung Nico sudah masuk rumah,” komentar Gunadi sambil senyum-senyum. Rio melirik istrinya. “Aku benar kan?” tukas Shara sembari menatap balik suaminya. “Jangan mau disaingi orang dengan cara nggak sportif, Mas.” “Darip
“Nico tidak bisa kamu ambil begitu saja setelah kamu mengabaikannya selama bertahun-tahun,” desak Rio sembari membuntuti langkah Slavia. “Aku ibu kandungnya, kalau kamu lupa.” “Aku ayah kandungnya, kamu juga jangan lupakan itu.” “Aku nggak lupa, tenang saja.” Rio akhirnya habis kesabaran, dia tarik tangan Slavia menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung les. “Lepaskan tanganku, Mas!” “Tidak sebelum kita bicara serius.” Slavia yang tadinya ingin pergi, akhirnya memilih untuk memanfaatkan situasi ini. “Sudah aku bilang kita lewat jalur hukum saja, aku nggak mau repot.” Rio menghentikan langkah dan membuka pintu mobilnya. “Masuk.” “Aku nggak mau, nanti istri kamu salah paham ....” “Shara tidak berhak salah paham karena aku hanya mau membahas masalah anak kita,” bantah Rio. “Cepat masuk, aku tidak ingin kita bicara sambil berdiri seperti ini.” “Kita ke resto saja,” usul Slavia. “Restoran tempat kita bertemu kemarin, gimana?” Rio mengangguk dengan berat hati. Situasi anta
“Vi?” Suara seorang pria menegur dan sukses mengalihkan perhatian Slavia. “Ardan?” Rio menyipitkan matanya, seumur-umur baru sekali inilah dia melihat sosok Ardan yang sesungguhnya. Ardan sendiri baru pertama kali bertemu dengan Rio, mantan suami Slavia. “Maaf kalau aku ganggu. Raras nitip pesan, kamu disuruh cek inbox.” Ardan memberi tahu. Slavia mengangguk. “Toko sama gudang gimana, lancar?” “Masih aman terkendali, ya sudah—aku ke sana dulu.” “Oke, Dan.” Rio beralih menatap Slavia ketika Ardan sudah berlalu ke meja yang masih kosong. “Jadi selama ini kamu sama dia ...?” “Aku sama Ardan kenapa?” tanya Slavia tanpa berbelit-belit. “Kalian sudah menikah dan bocah perempuan kemarin adalah hasil dari pernikahan kamu sama dia?” “Ha ha, terserah apa pendapat kamu, Mas.” Betapa herannya Rio ketika melihat Slavia yang malah tertawa menanggapi pertanyaannya. “Mudah sekali kamu menyepelekan sesuatu yang aku tanyakan.” “Aku menjawab jujur pun percuma, mana mungkin kamu percaya sa
“Daripada Nico tahu dari orang lain, nanti dia malah bingung. Kasihan,” ucap Rio sembari memejamkan mata. “Kita tetap harus kasih tahu dia, Ra.” “Aku mohon pertimbangkan lagi keputusan kamu, Mas. Bukankah Via punya niat jelek untuk merampas Nico dari tangan kamu?” “Aku akan membujuknya supaya tidak melakukan hal itu.” “Membujuk gimana?” Shara menyipitkan mata. “Jangan bilang kalau kamu diam-diam menemui Via di belakang aku, ya?” “Ngapain aku harus diam-diam? Aku tidak harus minta izin kamu buat bicara sama Via kan?” tukas Rio, tampak tidak senang. “Bukan begitu juga maksud aku, Mas ....” “Aku bisa lihat kalau Via dendam sekali sama kita, seolah kita sudah melakukan kesalahan besar di masa lalu.” Rio menambahkan, membuat wajah Shara memucat. “Aku tidak habis pikir sama Via, dia benar-benar sudah berubah.” Shara menelan ludah, dia merasa harus segera berbuat sesuatu. “Terus apa rencana kamu?” “Seperti yang aku bilang tadi, aku akan minta Via untuk tidak meributkan soal hak asuh