Sepertinya permainan akan semakin menarik, pikir Slavia sambil menahan senyum misteriusnya di ujung bibir. Pembalasan akan segera kamu dapatkan, Mas Rio. Dengan tenang, Slavia mendatangi Gunadi yang mengangguk singkat ke arahnya. “Pasti Mas Rio yang menyuruh kamu untuk menyelidiki aku, kan?” tanya Slavia begitu dia tiba di hadapan pria muda itu. “Aku hanya menjalankan perintah saja, Vi.” Gunadi beralasan. “Apa yang diinginkan rekan bisnis kamu?” tanya Slavia lagi. “Setahu aku, aku sudah nggak ada urusan lagi sama Rio. Jadi buat apa dia menyuruh kamu menyelidiki aku? Apa dia khawatir aku sempat mengambil harta bendanya yang ada di rumah itu?” “Bukan begitu, Vi. Aku hanya mau menyampaikan pesan,” ujar Gunadi dengan nada biasa. “Kamu nggak perlu khawatir ...” “Apa yang Mas Rio inginkan?” potong Slavia tegas. “Mantan suami kamu minta untuk bertemu,” jawab Gunadi. “Aku rasa dia ingin membahas permasalahan yang terjadi di masa lalu.” Slavia menunjukkan sikap seakan dia tidak ingin la
Tiba-tiba ponsel Slavia berdering. “Halo, Ras?” “Aku lagi di resto nih, coba tebak siapa yang datang!” Di sebuah restoran yang belum lama ini dibuka, riuhnya para pengunjung yang antre makanan diskon seolah menyambut kedatangan Rio sekeluarga. “Mas, kalau begini caranya sama saja dengan kita mempercepat bangkrutnya restoran kita sendiri!” celetuk Shara kesal. “Kenapa kita nggak makan di resto sendiri sih?” “Hati-hati kamu kalau bicara,” tukas Rio tidak senang. “Aku masih ingin menginvestigasi rasa masakan di sini, biar aku tahu apa yang jadi daya tarik restoran baru ini—rasa yang berkualitas atau demi potongan harga semata.” Shara mendengus pelan, dia dan Rio memang seringkali berbeda pendapat. “Kalian mau makan apa?” tanya Shara setelah mereka mendapatkan meja. “Aku mau udang goreng tepung lagi, Ma!” “Oke, Mas Rio apa?” “Cah kangkung dan ikan goreng saja.” Shara mengangguk. “Minumnya apa?” “Es jeruk, dan es susu cokelat untuk Nico. Kamu sendiri pesan apa?” “Nasi goreng saj
“Luna!” panggil Nico keras. “Kak Nic!” Lunara menoleh lalu berlari sebelum Ardan sempat mencegahnya. Kedua bocah itu kini berhadapan dan saling menumpahkan kerinduan layaknya sepasang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. “Kenapa aku nggak pernah ketemu kamu lagi di tempat les?” “Aku sibuk, Kak Nic. Aku kerja sama ibu ....” Shara berdecak sebal. “Siapa lagi bocah ini?” Rio melempar pandang memperingatkan kepada Shara, entah kenapa hatinya merasa terenyuh ketika melihat kebersamaan antara Nico dan teman perempuannya. “Nih, ambil!” Shara membanting udang di atas meja Slavia setelah dia pergi membayar dan ternyata udang itu merupakan pemberian untuknya. Sontak saja semua orang langsung memekik kaget. “Kamu jangan seenaknya menghina, udang segini saja masih bisa aku bayar berkali-kali lipat dari harga aslinya!” Sebagian pengunjung yang masih tersisa sontak menatap ke arah Shara, membuat Rio didera oh rasa malu yang teramat sangat. “Saya berikan ini khusus untuk anaknya tadi ...
“Sudah selesai,” tegas Slavia. “Sejak kamu bilang kata cerai di telepon saat itu, hubungan kita sudah berakhir dan kamu nggak perlu repot-repot mencari aku lagi. Bukankah selama bertahun-tahun ini kamu sudah bisa hidup bahagia?” Rio tidak menjawab. “Seharusnya kamu lanjutkan saja hidup kamu dan tidak usah mencari tahu urusan aku lagi,” lanjut Slavia, setelah itu dia berbalik pergi untuk menyusul Ardan yang sudah berada di rumah bersama Lunara. Slavia masuk ke rumah dan menutup pintunya rapat-rapat, kemudian dia menoleh saat Ardan keluar dari kamar Lunara. “Aku pulang ya, Vi?” katanya. “Nggak ada masalah kan?” “Sebentar Dan, biar Pak Rio pulang dulu.” Slavia mencegah. “Aku nggak mau kalau sampai ada keributan malam-malam begini.” “Harusnya sih Pak Rio sudah lihat aku sejak turun dari mobil,” ujar Ardan tenang. “Kalau dia berniat ribut, pasti sudah dari tadi kita ribut.” “Tapi tetap saja kamu jangan terlibat apa pun sama Pak Rio,” sahut Slavia muram. “Istrinya sangat menyeramkan,
“Siapa yang minta cerai? Bukankah kamu yang memutuskan untuk menceraikan aku secara sepihak?” Rio mengernyitkan keningnya mendengar jawaban Slavia. “Aku menceraikan kamu secara sepihak?” “Nggak usah pura-pura bingung kamu, Mas.” Slavia menggeleng tidak percaya. “Kamu yang dengan sadar menceraikan aku, memisahkan aku dari Nico, lalu tiba-tiba kamu datang dan bersikap seolah-olah kamu adalah korban dari keegoisan aku ... Nggak habis pikir aku.” Rio diam. Andai dia tidak sedang menyetir, kemungkinan besar dia sudah mencecar Slavia dengan banyak pertanyaan yang selama ini bercokol di kepalanya. “Ini kita mau ke mana?” tanya Slavia mencegah kebisuan. “Ke resto.” Mendengar jawaban Rio, Slavia tidak lagi bertanya karena ingin mengikuti permainan ini dulu. “Lho, ini kan ...?” Gunadi terbelalak ketika melihat Rio muncul di depan ruangannya bersama Slavia. “Halo, Mas Gun?” sapa Slavia sambil tersenyum ramah. “Eh, halo Vi?” Rio menatap Gunadi dengan dahi berkerut. “Kamu ke depan dulu,
“Soal perceraian aku dan Via beberapa tahun yang lalu.” Shara terdiam bisu setelah mendengar ucapan Rio. “Perceraian kamu sama Via? Untuk apa lagi kamu membahas soal itu, Mas?” “Banyak hal yang menurut aku janggal, Ra!” “Apanya yang janggal? Berapa tahu perceraian kalian sudah berlalu? Via bahkan nggak pernah menampakkan diri sekadar untuk menengok Nico, ibu macam apa dia itu?” Rio menjatuhkan dirinya di sofa. Melihat wajah suaminya yang tampak keruh, Shara sudah bisa menebak jika ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. “Mas, ada apa sih? Cerita sama aku.” Sebagai istri yang baik, Shara berusaha untuk tetap menanggapi kegelisahan yang Rio rasakan. “Apa betul Via yang minta pisah duluan?” tanya Rio sambil menatap Shara. “Aku kan sudah bilang berkali-kali, Mas ....” “Jawab saja, iya atau tidak.” Shara tahu jika saat ini kepercayaan Rio sedang berada di titik goyah, sehingga dia tidak ingin menjawab sembarangan. “Bukti surat permohonan itu sudah cukup membuktikan kalau Vi
“Tumben, kamu tidak berencana untuk membuat keributan sama Via kan?” “Enggaklah, Mas! Aku mau lebih bertanggung jawab saja sama Nico,” bantah Shara buru-buru. “Ya sudah, jangan lupa bawa payung untuk jaga-jaga karena sudah musim hujan.” Rio mengingatkan. “Aduh, ribet Mas! Nanti aku minta sopir taksi untuk parkir mepet di halaman gedung saja.” “Terserah kamu, pokoknya jangan sampai Nico kehujanan.” “Iya,” sahut Shara pendek, lalu segera memutuskan sambungan telepon. Kadang perhatian Rio yang begitu besar terhadap Nico membuatnya merasa iri. Andai saja aku punya anak yang terlahir dari rahim aku sendiri, batin Shara penuh harap. Rasanya sudah lelah hatinya untuk menunggu keajaiban yang tidak kunjung datang. Setibanya di tempat les, Shara langsung pergi ke kelas Nico meskipun jam pulang les masih beberapa saat lagi. “Di mana perempuan itu, belum datang kah?” Shara celingukan mencari keberadaan Slavia karena berpikir jika bocah yang bersamanya belajar di kelas yang sama dengan Nic
“Masih sepi, Ra. Tapi nggak sepi banget juga ....” “Pasti gara-gara resto baru itu ya? Kenapa nggak protes saja sama pemiliknya?” Rio dan Gunadi saling pandang. “Bukan hal yang sulit kan?” lanjut Shara sementara Nico sudah berlari masuk ke dalam rumah. “Bukan hal yang gampang juga, karena setiap orang berhak untuk membuka usaha apa pun meski di bidang yang sama.” Rio berpendapat. “Lagian lokasinya juga bukan di samping resto kita persis,” timpal Gunadi, membuat Shara merasa tidak puas. “Tapi buktinya resto kalian jadi kena dampak, kan?” “Namanya juga persaingan, Ra.” “Persaingan sih persaingan, Gun. Tapi ya setidaknya mereka pakai otak sedikit lah kalau mau saingan, bukan kayak sengaja cari lokasi yang dekat.” “Ya ampun, Bu Shara ini omongannya pedas sekali. Untung Nico sudah masuk rumah,” komentar Gunadi sambil senyum-senyum. Rio melirik istrinya. “Aku benar kan?” tukas Shara sembari menatap balik suaminya. “Jangan mau disaingi orang dengan cara nggak sportif, Mas.” “Darip