Hayooo Rafael sudah bertindak gimana jadinya tuh si Monika? Jangan lupa vote author yaa unutk bab selanjutnya thank youu
Chalista duduk termenung sambil menatap layar komputer di depannya. Dia duduk tenang di meja sekretaris yang memang lebih spesial tapi masih ada di ruangan yang sama dengan meja beberapa karyawan inti perusahaan.Ting!Sebuah pesan dari hpnya masuk membuat Chalista langsung menoleh dengan cepat apalagi nama yang muncul di sana adalah nama orang yang tengah dia pikirkan saat ini.Pak Rafael : jangan lupa tambahkan jadwal makan malam saya dengan pacar sayaChalista hanya bisa senyam senyum seperti orang gila saat dia melihat pesan yang dikirim Rafael itu karena saat ini ia sedang merancang jadwal padat bosnya itu untuk dinasnya ke Singapura selama 5 hari itu dengan dirinya tentunya.Tepat saat ia sedang memikirkan apa lagi jadwal yang dikirim Rafael leway email tiba-tiba pria itu mengirimnya pesan yang berlagak seakan Chalista bukan orang yang akan dia ajak untuk makan malam di sana nanti. Tak henti-hentinya ia tersenyum saat melihat beberapa pesan Rafael kepadanya karena rasanya seperti
“Eitt mau kemana? Bukannya mau masuk tadi?” goda Abian sambil mencekal tagan kanan Chalista yang hendak langsung kabur dari dekat mobil Abian itu namun gagal karena kini pria itu mencegahnya untuk pergi.Sial! Chalista mengumpat dalam hatinya saat Abian tak mengizinkannya pergi karena ada banyak sekali rekan kerjanya yang berlalu lalang di depan gedung perusahaan ini karena memang sudah jam pulang.“Lepas!” bentak Chalista dengan nada kesal saat ekspresi Abian sudah berubah menjadi sangat menyebalkan membuat Chalista ingin memukul wajah pria itu. “Bian, banyak yang lihat kamu gila?” kesal Chalista karena jika ia berdiri di luar pintu dengan setngah badan di dalan mobil maka orang orang akan curiga, buktinua ada banyak orang yang memandang Chalista hingga ia harus tersenyum kikuk sebagai balasannya.“Kenapa kalau banyak yang lihat? Bagus dong, mereka pasti langsung tau siapa aku,” ucap Abian dengan entengnya membuat Chalista menutup matanya sambil menghembuskan napasnya pelan untuk mene
BRAK!!Abian keluar dari mobil mewahnya dengan membanting pintu membuat semua pegawai dan orang yang melintas syok melihat siapa yang keluar dari mobil mewah itu.“HAH ITU ABIAN ALEXANDER!!”“Wah!! Dia benar benar tampan!”“Ya ampun apa yang dia lakukan di daerah perusahaan Adijaya?”“Apa mereka bertengkar?”Suasana menjadi semakin ricuh karena sampai ada kerumunan saat Abian keluar dari mobil ditambah ada yang smapai merekam kejadian itu membuat Chalista ingin kabur tapi tak ada gunanya lagi karena dia sudah dikelilingi orang-orang yang mengerumuninya mmebentuk lingkaran.Sudah tak ada jalan untuk kabur lagi. “Ahh sial ini hari yang benar-benar buruk!” keluh Chalista sambil sedikit menunduk untuk menyembunyikan wajahnya walau dia tau itu tak berguna lagi karena semua ornag sudah melihat wajah Chalista.“HAH??? PAK- PAK RAFAEL!” Seseorang berteriak lebih kencang saat Rafael juga memutuskan keluar dari mobilnya yang tadi menabrak mobil Abian entah dengan sengaja atau tidak tapi melihat
Brak!Chalista memegang dadanya karena jantungnya hampir copot saat Rafael menutup pintu mobilnya dengan kasar lalu berjalan kembali ke kursi kemudi kemudian membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah kerumunan pegawai yang langsung bubar karena melihat bos mereka sedang tidak dalam suasana hati yang bagus.Chalista terdiam, dengan tubuh yang masih menghimpit ke arah pintu mobil, wanita itu mencuri pandang sekilas ke arah Rafael yang terlihat masih cukup emosi terbukti dari urat lehernya yang terlihat dan cengkeraman tangannya yang erat di kemudi.Chalista hanya bisa menelan ludahnya susah payah. Suasana di dalam mobil menjadi mencekam apalagi Rafael tak mengucapkan apapun selain melaju cepat membelah perkotaan yang sangat padat sore ini.“Ehmm,” dehem Chalista untuk memecah keheningan yang melanda karena dia juga tak tau harus mengatakan apa, walau sejak tadi Chalista sangat ingin mengomeli Rafael karena ia menabrak mobil Abian tapi kini nyalinya sudah hilang menciut entah kema
Krtttt!!Rafael mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimum apalagi saat berbelok menuju ke kompleks kawasana apartement Chalista, dia sudah tak peduli dengan hal lain selain menikmati waktunya dengan Chalista.“Raf…pelan pelana aja kenapa sih?” heran Chalista saat Rafael bergerak begitu cepat menuju basement dan memarkir mobilnya hanya dengan sekali hentakan, membuat Chalista keheranan.Mendengar itu Rafael tak berbicara, dia langsung memakai masker dan topi hitamnya lalu melepas jas yang dia pakai dengan gerakan cepat sebelum akhirnya menatap Chalista. “Aku tidak bisa membuang waktu walau sedetikpun jika itu denganmu, sayang, cepat turunlah!” titah Rafael dengan suara beratnya kadang Chalista lupa kalau suara itu juga yang selalu menyuruh nyuruhnya di kantor, hal ini membuat Chalista tersenyum manis.Wanita itu berjalan mengekor di belakang Rafael yang walau memakai masker dan topipun tetap terlihat seperti dirinya apalagi dari belakang, siluet Rafael sangat unik dan sangat gamp
“RAF! BAGAIMANA KITA BISA LUPA?” pekik Chalista langsung bangkit dari tidurnya dan berdiri sambil menatap Rafael yang juga terlihat cukup terkejut.“Aku memang tidak ingat,” jawab Raafel santai.Mayang langsung mematikan panggilannya saat Rafael mengatakan iya. Jangan tanya kenapa Mayang langsung menyemprot dan mengomeli Rafael saat mereka berbicara melalui telpon karena memang Mayang punya mata mata sendiri di kantor untuk dia tanyai sendiri apakah Rafael sudah pulang atau belum jadi dia selalu tau kapan Rfael tiba dan pulang hanya untuk memastikan putranya itu menghabiskan waktu lebih lama dengan istrinya, tanpa tau dia meluangakn waktu sebisa mungkin agar bisa bersama CHalista.“Tenang, pakai baju dulu,” ucap Rafael dengan wajah tenangnya sementara Chalista yang memang dasarnya panikan orangnya hanya bisa mnegacak rambutnya frustasi karena dia perlu waktu lama untuk bersiap-siap.“Argh tidak bisa apa yang harus aku pakai sekarang? Aku belum man
Rafael langsung dengan sigap melihat ke arah kemejanya, dan wajahnya terlihat terkejut tapi setelahnya dia dengan tenang mengancingkan jas biru dongkernya hingga kancingnya tadi tidak terlihat hilang.“Kamu ini malu maluin aja, kok bisa sampek hilang gitu kancingnya kamu habis ngaapin sih?” tanya Mayang sambil menatap kesal ke arah putranya itu, membuat Chalista yang berdiri di sana menjadi tegang.Entah apa yang akan Rafael katakan tapi saat ini CHalista benar benar tidak bisa membantunya karena posisinya hanya sebagai seorang adik yang tidak terlalu dekat dengan kakaknya, bahkan tingkah keduanya pun sering menyita perhatian MAyang karena seeblumnya Rafael memang tak pernha mengakui CHalista sebagai adiknya sendiri, apalagi sekarang saat hubungan mereka sudah berubah menjadi sepasah kekasih.“Nyangkut di hendel pintu,” jawab Rafael seadanya tapi wajahnya yang memang datar tak terlihat mencurigakan sama sekali, tapi alasannya kurang masuk
Rafael langsung melenggang pergi dari kamarnya dan Monika dengan wajah yang sangat menyeramkan. Urat urat lehernya bahkan terlihat saking kerasnya dia menahan emosinya.Pria itu berjalan cepat bukan untuk menuju ke lantai bawah tempat pesta ulang tahun pernikahan mama dan papanya diadakan. Dia menarik kasar dasinya yang serasa mencekik lehernya itu dan malah berjalan menuju ke ruang kerjanya yang ada di lantai 3.Brak!Rafael menendang pintunya dengan kakinya hingga membuat pintu itu hampir rusak. Tatapannya setajam serigala yang siap memakan mangsanya.Bugh!Bugh!Rafael memukul mejanya dengan tangannya secara bertubi tubi hingga mengeluarkan darah segar yang mengalir karena sobekan kulit tangannya. Tapi itu tak membuat pria itu berhenti. Rafael terus melakukannya hingga emosinya mereda dan tangannya terluka cukup parah.Rafael mengacak rambutnya frustasi. Sudah lama sekali dia menahan semua ini dan dia belum berbicara dengan papanya selama ini karena itu hanya membuat keinginannya un
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena
Rafael menghela napas panjang ketika akhirnya kembali ke kamarnya setelah hari yang melelahkan. Namun, saat pandangannya mengarah ke bar hotel, ia terkejut melihat sosok Tara. Wanita itu berdiri dengan anggun di dekat meja bar, mengenakan gaun merah mencolok yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rafael tahu bahwa Tara mengenakan warna itu bukan tanpa alasan—merah adalah warna favoritnya, dan ia tahu bahwa Tara melakukan ini untuk memikatnya.Tanpa bisa menahan dirinya, pandangan Rafael tertuju pada Tara, yang sudah memperhatikannya dengan tatapan penuh makna. Rafael terdiam, pandangannya tak lepas dari sosok Tara. Ia terlihat menarik malam ini, penuh percaya diri dan sedikit menggoda. Sesaat, Rafael merasakan dorongan untuk mendekat, ingin sekali tenggelam dalam pesona Tara. Namun, bayangan Chalista muncul begitu saja di pikirannya. Chalista dengan sikapnya yang dingin dan acuh, namun selalu berhasil membuat hatinya bergejolak. Dorongan itu seakan memudar, berganti dengan kegel
Rahang Rafael sontak mengeras. Tubuh Chalista yang hanya tertutupi pakaian renang terlalu terbuka untuk pandangannya, dan yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa orang lain juga bisa melihatnya.Rafael dengan segera merogoh bungkus rokok yang ada di kantong celananya, memantik koreknya dan mengisapnya dengan kuat, matanya tak pernah beralih barang sedetikpun dari wanita itu.Hembusan asak rokok itu semakin intens saat melihat beberapa orang bahkan mengambil gambar dari foto tubuh seksi Chalista dengan seenak jidat.Rafael sungguh tak punya tenaga lagi untuk kesal, pertama Tara sekarang Chalista. Darahnya semakin mendidih saat melihat lekuk tubuh wanita itu yang menari nari diatas air seakan akan dia tak punya urusan sama sekali dengannya.“Sial!” umpat Rafael sembari mematikan rokoknya dan melemparnya asal. Rokok itu tidak membantunya sama sekali untuk merasa lebih tenang malahan sekarang sekujur tubuhnya rasanya semakin memanas.“Chalista…kau sungguh hebat. Bisa membuatku
Chalista berdiri di depan cermin besar dengan perasaan campur aduk. Kru pemotretan sibuk mempersiapkan segalanya, tapi matanya terpaku pada bikini yang diletakkan di kursi sampingnya. Ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan."Maaf Tuan, tapi aku tidak akan memakai ini," katanya, suaranya tegas walau ada getaran tipis yang tak bisa ia sembunyikan.Semua orang di ruangan terdiam, termasuk Rafael yang kini berjalan mendekat, wajahnya dingin. Tatapannya menusuk, membuat Chalista merasa seperti terpojok meski belum ada kata yang terucap dari bibirnya."Nona Marone," Rafael memanggil namanya dengan nada rendah namun mengancam, "Jika kau tidak memakainya, mungkin kau mau semua orang tau disini tentang status kita yang sesungguhnya?”Chalista terpaku. Kalimat itu menghantamnya seperti gelombang yang tak terduga. "Kau tidak mungkin..." gumamnya, namun kata-katanya terpotong oleh tatapan tajam Rafael yang tak memberinya ruang untuk bernapas.Sial!Entah kesialan dari mana, dia harus kembali ber
Chalista berusaha menahan emosinya saat Rafael menekannya lebih dekat ke dinding toilet. "Tuan Rafael, biarkan aku pergi," katanya dengan suara bergetar, berusaha menahan marahnya yang menggelegak di dalam. “Aku bukan Chalista yang sama lagi, jika kau lupa.”Mendengar itu tatapan Rafael menggelap. Ada kilatan amarah yang membara dari tatapan matanya saat mendengar itu, seakan Chalista barusaja membangkitkan sisi tergelap pria itu.“Awhhh!” Chalista memekik dengan suara tertahan tatkala tangan kekar Rafael menarik pinggang rampingnya hingga tubuhnya menabrak tubuh tinggi janggung pria itu.HIngga kini tak ada jarak tersisa, hanya deru napas keduanya yang beradu.Tangan Chalista berusaha mendorong dada bidang Rafael agar dia bisa menghindar tapi Rafael semakin mengeratkannya seakan akan dia menyalurkan semua emosinya.Rafael kemudian menunduk, membiarkan matanya menatap manik mata Chalista dengan nyalang. Hal itu membuat wanita itu benar benar mati kutu tak bisa berkata kata.“Sekarang k
Chalista melangkah perlahan menuju area kedatangan bandara, mengikuti arahan tim manajemennya yang sibuk mengatur segala sesuatunya. Hatinya berdegup kencang saat ia melirik ke arah kerumunan orang di depan.Pandangannya langsung terhenti pada seorang pria yang berdiri dengan tegap, mengenakan jas hitam elegan yang sangat cocok dengan postur tubuh tingginya. Rafael.“Tidak mungkin,” bisiknya dalam hati. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rafael, pria yang dulu sangat dikenalnya, kini terlihat jauh lebih tampan dan gagah. Wajahnya begitu tegas dengan rahang yang semakin tajam. Mata cokelatnya tetap setajam dulu, hanya saja sekarang ada kilatan dingin di sana."Nona Marone? Wah, sebuah keberuntungan sekali bisa bertemu anda di sini.” Ucapan pria yang berdiri di belakang Rafael itu membuyarkan tatapan antara Chalista dan Rafael.Chalista tersenyum, namun belum sempat dia menjawab, asisten pribadinya, Lucy menariknya dan berbisik. “Nona….ya ampun kau mengenal Tuan Rafael? Tidak