Balqis menggeleng cepat. “Nak, kamu anak ummah sama Abah. Maafin Abah ya, Abah lagi emosi. Abah cuman gak mau kamu kenapa-kenapa, kamu sangat berharga untuk kami,” ucap Balqis sambil mengelus pipi Fatah.“Humairah, jangan selalu dibela dan dimanja. Dia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi,” larang Ashraf kembali ke tempat duduknya.Sementara Fahri dan Kemal masih berdiri mematung. Mereka tak ada hak untuk membela sang kembaran, mereka hanya terdiam melihat semua hal yang telah terjadi.“Mas, sudah mas, dia anak kita. Dan anak itu titipin, gak ada yang sempurna. Mungkin ini kekurangan Fatah, aku yakin kalau dia bisa berubah,” kata Balqis terus saja mengelus pipi sang anak yang sudah kemerahan.“Tidak ummah, Fatah bukan anak baik. Fatah gak pantas berada disini, ummah,” kata Fatah menatap sang ummah yang begitu tulus menyayanginya.“Jangan seperti itu nak, ummah mengandung kamu selama sembilan bulan. Menyusui kamu, merawat kamu sampai sebesar ini. Setelah itu kamu merasa karena kekuranga
Fahri memarkirkan motornya di parkir perpustakaan. Dia baru selesai jam mata kuliahnya dan sekarang mau mencari beberapa buku untuk rujukan tugasnya. Terlihat Adiva yang baru keluar dari perpustakaan. Fahri pun menghampiri Adiva yang mau menuju ke parkiran untuk mengambil motornya.“Adiva, ada salam dari ustadzah Ratna. Nanti jam empat sore ada tambahan jam mengajar untuk kamu,” kata Fahri.“Iya,” jawab Adiva lalu menyalakan motornya.“Adiva tunggu! Saya mau bicara sama kamu. Ini penting,” Adiva mematikan motornya, laku membuka Helm yang sudah dia kenakan. “Kenapa Gus?” tanyanya.“Ada yang perlu saya bicarakan sama kamu,” kata Fahri.“Maaf Gus, saya sedang terburu-buru, ada urusan,” kata Adiva lalu memakai kembali helmnya dan langsung melajukan motornya dengan kecepatan sedang.Fahri hanya berdecak pelan melihat Adiva yang sepertinya menjauhi dirinya. Sementara dari belakang tiba-tiba ada yang menepuk bahu Fahri dengan pelan.“Gimana Gus?” Farhan terlihat tersenyum miring menatap Fah
Tujuh belas hari berlangsung semenjak kecelakaan, Kemal belum tersadarkan juga dari komanya. Yang biasanya menangis dengan histeris, namun sekarang berbeda. Balqis terduduk di samping sang putra dengan tatapan kosong, bahkan sudah dua hari ini dia tidak mau menyentuh makanan sedikitpun.“Humairah, Ayo makan, kamu jangan seperti ini sayang. Disini ada mas, kamu harus kuat. Anak kita pasti baik-baik saja, percaya sama mas,” Ashraf selalu saja membujuk sang istri. Namun tak ada respon. Sang istri hanya termenung dengan tatapan kosong dengan sesekali air matanya mengalir. Dengan setia sang ibu menemani putra keduanya itu.“Abah,” panggil Fahri.“Coba kamu bujuk ummah kamu, dia nanti bisa sakit kalau gak mau makan kayak gini, Fahri,” “Baik Abah, Fahri coba,”Fahri mendekati Ummahnya, Fahri menangis memeluk sang ummah. “Ummah, ayo makan. Ummah udah dua hari loh belum makan. Nanti ummah sakit, nanti siapa yang mau jaga Kemal lagi kalau ummah sakit. Kemal pasti sedih banget liat ummah kaya
Fahri tersenyum penuh arti. Akhirnya keinginannya dapat terwujud. “Gus Fahri , kenapa senyum-senyum sendiri?”Suara Adiva menyadarkan lamunan Fahri. “Alhamdulillah kamu sudah menerimanya,” ujar Fahri menunduk malu.“Maksudnya menerima apa ya Gus,” ucap Adiva kebingungan. Padahal sedari tadi dia hanya minat Fahri yang melamun menatap lurus ke depan.“Loh, barusan kamu ngomong apa emang,” “Lah, ga ngomong apa-apa kok, Gus, justru Gus Fahri itu yang bengong. Lagi ngelamunin apaan coba!” gelak Adiva. Fahri memukul-mukul kepalanya pelan. Bisa-bisanya dia berkhayal sampai kesitu. Karena sudah terlanjur malu, akhirnya Fahri meninggalkan meja itu dan menuju ke mejanya sendiri. Nasib sudah, harapannya hanya sebatas khayalan saja.***Setelah hampir dua minggu- an, pesantren Al Muhajirin pasca berduka. Kini aktivitas belajar mengajar di pesantren Al Muhajirin kembali konsisten lagi. Jadwal kegiatan santri dan santriwati sudah seperti biasanya.Terlihat dua perempuan memakai jilbab pasmina den
Balqis dan Ashraf menuju ke rumah sakit, didampingi oleh Gibran dan istrinya. Mereka langsung menemui dokter yang menangani kemal.“Keadaan saudara Idris tidak baik-baik saja, Dia mengalami benturan yang cukup keras di kepalanya. Saudara juga mengeluarkan cukup banyak darah. Kami sedang mengusahakan yang terbaik untuknya,” ujar dokter laki-laki itu.“Apakah anak saya akan baik-baik saja dok?” tanya Ashraf begitu khawatir.“Insya Allah. Doakan selalu untuk saudara Idris,”“Terima kasih, dok,” ucap Ashraf menjabat tangan dokter itu.“Sudah Humairah, jangan sedih berlarut seperti ini. Anak kita selamat, Alhamdulillah,” Ashraf mendengarkan sang istri dengan memeluknya erat.“Tapi Mas, Kemal itu cengeng kalau luka sedikit. Terakhir waktu dia masih Mts, disuntik aja dia nangis-nangis semalaman,” kata Balqis sambil sesenggukan. Tangisnya pecah semenjak mendengar anak keduanya kecelakaan.“Humairah, dia sudah dewasa. Kamu lupa ya, dia sudah kuliah semester empat. Dia sudah jadi anak kuat, sab
“Nak Balqis, Begini nak, alasan-alasan nak Balqis barusan itu saya rasa tidak berpengaruh sama sekali. Semuanya bisa diubah, baik itu pemikiran atau menseid. Entah itu tidak pantas atau tidak cocok, itu sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap keberlangsungan kita. Toh ini juga bukan keinginan saya, ini keinginan Gus Fahri sendiri,” ucap Balqis memegangi kedua bahu Adiva.Adiva mengangkat kepalanya, matanya berkedip beberapa kali. Sedikit kaget dengan pertanyaan Nyai Balqis. “Benarkah Bu Nyai, ini permintaan Gus Fahri?” tanyanya dengan wajah melongo.Fahri yang berada diluar, yang tadinya badmood sekarang juga ikutan kaget. Apakah rasa sukanya dengan Adiva sementara itu sampai Ummahnya berpikiran demikin. ‘Ummah gak bisa diajak kompromi, ish,’ gumam Fahri dalam hatinya.***Suasana pesantren Al Muhajirin sedang hening. Semua aktivitas dihentikan terlebih dahulu oleh pengasuh. Sebab Abi Lukman, yang merupakan ayah dari Ashraf, sedang sakit. Para santri diminta untuk beraktivitas sen
Adiva sedari tadi mendengar setiap kata dari ceramah Fahri di Masjid asrama putra. Dari ruang khusus pengajar begitu terdengar jelas suara Fahri. Sembari mengisi absen data santriwati yang diajarnya. “Ustadzah Adiva,” panggil seorang perempuan mendekati Adiva membawa kumpulan berkas ber map pink.“Na’am ya ustadzah Ratna,” sapa Adiva dengan senyum simpul.“Hihi, lagi data absen santri putri kan. Ini saya ada contoh beberapa berkasnya, bisa ustadzah salin sembari diubah beberapa data yang belum sama,” perempuan berkerudung panjang itu duduk di samping Adiva yang tengah mengotak atik laptopnya.“Iya ini, Syukron, Us,” kata Adiva menerima dengan penuh senang. Sebab dari tadi dia memang kebingungan membuat data yang diminta pihak pesantren sementara contoh detailnya saja dia belum punya.“Eh, Ustadzah Adiva satu kampus ya sama Gus Fahri. Gus Fahri kalau di kampus gimana sih orangnya,” celetuk Ratna dengan rasa penasaran tinggi.Adiva menoleh ke samping, memperhatikan raut penasaran Ratna
“Ini beneran kita dijodohin. Abah Ashraf lupa dengan ucapannya dulu waktu awal kita mau masuk kuliah,” ucap Kemal memandangi lantai bawah. Melihat sekitar area lapangan asrama putra. Banyak santri yang sedang bermain sepak bola di sore hari. Mungkin sekarang waktunya lagi olahraga sore.“Tenang bang, Abah gak akan setega itu sama kita. Jadi jangan berpikir negatif dulu,” cegah Fatah menenangkan sang kembarannya. Ya meskipun dirinya lebih takut jika hal itu beneran terjadi.“Tapi kalau dilihat-lihat, Abah kali ini serius,” ujar Fahri sambil berjalan ke depan dan ke belakang di sebelah Kemal yang sedang berbaring. Kali ini mereka berada di ruang UKS santri. Setelah kejadian tadi yang membuat Kemal tak sadarkan diri. “Astaghfirullah,” ucap Kemal memijat pelipisnya. “Astaghfirullah,” Fatah pun juga ikut ber-istighfar.“Astaghfirullah,” Fahri yang juga mengucapkan hal yang sama. Ketiga saudara kembar itu benar-benar dibuat bingung dengan keputusan sang Abah. Pilihannya ada dua. Menerima
Selesai bermain dengan Rendi, mereka langsung keluar dari arena bermain itu. Layla menggendong Rendi, dia tampak bahagia hari ini."Terima kasih ya Rendi, sudah mau main sama kami." Layla menatap anak kecil itu dengan bahagia.Rendi hanya mengangguk, dia saking bahagianya. Sudah ada beberapa jenis makanan dan mainan yang dia dapat usai bermain bersama dengan Abidzar dan Layla."Kami pamit pulang dulu." Ucap Abidzar dan langsung menggandeng Layla. Anak kecil yang bernama Rendi itu langsung menarik pergelangan tangan ibunya, dia tampak sangat bahagia sekali.***Layla dan Abidzar sudah sampai di rumah nya. Mereka langsung membersihkan diri masing-masing. Tak lupa juga Layla menyiapkan makan malam untuk Abidzar. Abidzar terlihat bersantai di ruang tamu. Dia sedang membaca buku mengenai pelajaran ilmu Fiqh. Dia sedang menyiapkan materi untuk besok pagi, untuk diajarkan ke santrinya.Layla yang sudah selesai memasak langsung menghampiri Abidzar. Sambil membawa segelas teh hangat untuk Ab
Abidzar sudah terlihat siap dengan pakaian khas nya. Dia memakai sarung hitam polos, dengan hem lengan panjang berwarna dongker dan tak lupa kopyah hitamnya, yang bertuliskan santri.Begitu lah pakaian khas Abidzar, sejak mondok bahkan sampai sekarang pun. Berbeda dengan waktu mengajar, maka dia akan memakai searagam pengajar yang telah disediakan oleh pihak pesantren.Layla menghampiri Abidzar dengan sedikit melangkah pelan, sangat pelan hingga Abidzar tidak menyadari kedatangan istrinya itu."Duaaaar." Ucap Layla dengan raut tidak bersalah. Dia berhasil membuat Abidzar terkejut."Astaghfirullah, Mas kira apa. Hampir saja jantung Mas mau copot." Ucap Abidzar memegangi dadanya dengan deru nafas panjang."Kasian sekali Mas Abi, kaget gak? Pasti kaget ya." Ujar Layla dengan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.Abidzar yang melihat tingkah Layla langsung melajukan langkahnya meninggalkan Layla yang masih tertawa di ruang tamu.Abidzar berpura-pura marah terhadap Layla, d
Layla terdiam mendengar ucapan Abidzar. Pikiran nya menelusuri perkataan Abidzar, apa benar yang dikatakan Abidzar demikian adanya. Layla langsung menatap Abidzar dengan lurus."Tidak Mas, kita tidak ada rasa apapun. Aku bertemu dengan nya beberapa kali, kalaupun ada itu bukan rasa suka, melainkan hanya kagum biasa saja." Jawabnya lembut."Tapi dia tadi selalu memperhatikan mu, aku tidak suka." Kilah Abidzar berubah menatap ke lain arah menghindari tatapan Layla.Layla menarik bibirnya ke atas tersenyum senang, dia terlihat menjelajahi sikap Abidzar."Melihat belum tentu suka, memperhatikan juga belum tentu ada rasa. Mas Abi kalau cemburu bilang, tidak baik ditutupi." Canda Layla menarik lengan kanan Abidzar dan mengecupnya singkat."Bukankah diri ini sudah ada penghuninya, dan pemilik nya sudah jelas di depan mata. Buat apa cemburu, kalau Mas Abi sudah tahu kebenaran nya?" Imbuh Layla.Abidzar yang mendapat perhatian kecil dari istrinya langsung tersenyum lebar. Dia langsung mengecup
Layla merasa juga kalau wajahnya memanas. Dia kesusahan dengan cadarnya.Salah satu perempuan menegur Layla,"Di buka lah cadarnya, masa makan saja masih pakai cadar. Malu ya, takut dibilang jelek, takut dibilang gak cocok sama suaminya. Padahal kan suaminya itu ganteng banget loh."Dia Dewi, anak gadis nya pak Budi, anak dari ketua RT di lingkungan itu. Terlihat sangat ketus dan jutek.Namun meskipun seperti itu dia jadi gadis rebutan beberapa lelaki. Banyak yang menginginkan nya, tapi Dewi banyak menolak.Layla tidak menjawab, dia masih menahan wajahnya yang dirasa sudah terdapat beberapa benjolan itu."Iya Mbak Layla, kita kan di ruangan ini khusus para perempuan, kenapa masih memakai cadar. Apa segitunya ya kalau orang bercadar itu." Ucap Bu Asih-yang merupakan tetangga julit itu."Maaf Bu, sepertinya saya ada masalah sedikit, saya harus pamit dari sini terlebih dahulu." Ucap Layla langsung berdiri meninggalkan ruangan itu.Layla tidak menghiraukan tatapan beberapa ibu-ibu yang tid
Diana terkesiap ketika mendapati Arsya mendekati nya. Aldo yang melihat Arsya langsung tersenyum hangat, dia sangat merindukan adik dari sahabat nya yang sudah di anggap saudara ini."Halo Sya, lama tidak bertemu, gimana kuliahnya?" Sapa Aldo menyambut uluran tangan Arsya yang masih terdiam menelisik Diana."Alhamdulillah lancar Bang." Ungkap Arsya lemas, Arsya melihat kedekatan Diana dan Aldo langsung teringat perkataan waktu itu. Dimana Aldo bercerita kalau dijodohkan dengan seorang wanita yang sangat berbanding terbalik dengan nya. Arsya hanya menghembuskan nafas panjangnya."Loh, kamu tadi panggil nama Diana, memangnya kalian kenal?" Tanya Aldo sambil menatap Arsya dan Diana bergantian."Nggak!" Ucap Diana."Iya." Ucap Arsya.Aldo bingung dengan jawaban dari dua orang yang berada di hadapannya itu, yang satunya menjawab iya dan yang satunya menjawab tidak."Kami dulu pernah satu sekolah bang, aku kenal dengan Diana tapi mungkin Diana yang tidak kenal denganku." Jawab Arsya akhirny
"Tidak bisa begitu, ini semua bukan hak pengurus santri wati yang menentukan. Tapi sebelumnya dirembuk dulu, kalau seperti ini saya yang kecewa sama kalian. Bahkan untuk kegiatan selanjutnya bisa saja saya tidak mempercayai tugas ini lagi ke kalian, mau kalian begitu?" Tanya Aldo sangat tidak suka dengan cara pengurus santri wati yang terlalu bersikap disiplin. Padahal mereka sendiri juga sering telat dalam mengumpulkan tugas nya. Dasar para wanita, tidak pernah mau mengalah dah merasa salah.Para pengurus santri putri hanya menunduk, entah sedang merasa bersalah dengan Aldo atau dia tidak enak kepada Ustadz Bimo.Salsabila hanya diam, dia tidak ada niatan untuk meminta maaf kepada Aldo. Aldo jadi sedikit kesal, padahal dia mengira kalau Salsabila itu santri yang begitu disiplin, ternyata perkiraan nya salah.Memang benar, kita tidak bisa melihat orang hanya dari sisi luar saja. Terkadang mereka tidak sesuai dengan yang kita tafsirkan. Arsya hanya melihat kejadian itu tanpa ada niat
Jihan sedang berada di suatu tempat, tepatnya di taman tengah kota. Dia sedang menunggu kedatangan seseorang. Jihan sudah merencanakan sebuah rencana, dimana dia akan membuat ancaman terhadap Layla.Seorang laki-laki memakai topi hitam dan masker mendekati Jihan."Ada apa?" Tanya nya dengan nada serak."Aku butuh bantuan mu." Jawab Jihan dengan nada sangat serius."Itu sih gampang. Kalau ada cuan nya semua beres." Ungkap laki-laki itu.Namanya Kemal, dia teman kuliah Jihan. Jihan sedang kuliah di sebuah universitas swasta memasuki semester enam. Kemal merupakan teman satu jurusan dan satu angkatan juga.Entah apa yang sudah membuat Jihan hingga mempunyai rencana jahat terhadap Layla. Kebencian dan kedengkian sudah menguasai dirinya. Teman dekat Jihan pun sedikit menjauh darinya, mereka tidak ingin berurusan dengan kejahatan. "Teror wanita ini. Alamat nya sudah lengkap. Pakai ancaman apapun, buat dia takut. Buat dia sejauh-jauhnya dari laki-laki ini." Ungkap Jihan sambil menyodorkan
Abidzar mengikuti langkah Ryan, mereka jalan bersebelahan di lorong kelas santri putra. Abidzar sedikit penasaran dengan calonnya Ryan, karena tadi dengan jelas Abidzar melihat nama calonnya itu adalah Jihan. Abidzar sempat berpikir kalau Jihan yang di maksud mungkin Jihan yang itu, tapi kan nama Jihan itu banyak bukan cuma satu doang di muka bumi ini.Ketika sampai di parkiran luar, Ryan mengetuk kaca mobilnya dan menyuruh calonnya itu turun. Dan benar saja Abidzar sempat tertegun sebentar, bukan tertegun karena terpesona dengan Jihan tapi dia sangat syok kalau calonnya Ryan adalah Jihan. Jihan yang sangat dikenal oleh Abidzar, seseorang yang pernah dekat dengannya namun hanya dalam batas suka sesaat."Bang Abi, ini Jihan, calonku. Kami akan segera menikah dalam waktu cepat ini." Papar Ryan menjelaskan.Jihan pun juga syok, dia juga belum mengetahui kalau ternyata sepupu yang Ryan maksud adalah Abidzar. Jihan tidak berani menatap Abidzar, bahkan sedari tadi dia terus menunduk.Abidza
Layla sedang berada di kamar Abidzar. Kamar yang begitu rapi, dengan desain modern. Berwarna hitam lekat. Layla mendekati meja belajar Abidzar, terdapat beberapa buku islami dan juga beberapa kitab. Bahkan juga banyak komik di rak buku terbawah.Layla ingat, waktu itu Abidzar pernah bilang kalau dia suka komik. Beberapa komik best seller pun dia juga mengoleksi nya.Lalu Layla melihat sebuah lipatan kertas yang terselip di beberapa buku di rak kedua. Layla ingin tahu kertas itu, jadi dia mengambilnya dengan ragu.Aku mencintaimu, Jihan. Seperti itulah tulisan di kertas itu. Singkat, tapi bisa membuat hati Layla sakit.Meskipun Jihan adalah masa lalu Abidzar, tetap saja Layla merasa cemburu dengan tulisan Abidzar itu.Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar Abidzar, membuat Layla menaruh kembali kertas itu ke tempat semula.Ternyata Abidzar datang dari luar. Dia langsung menuju ke arah Layla dan memeluknya."Humaira ku belum tidur ya." Ucap Abidzar dengan nada serak nya."Apa sih