Dari dalam kamar Dominic, isakan Aletta masih terdengar. Wanita itu masih saja meratapi nasibnya. Ada kemarahan dalam dirinya, karena Dominic mencampakkannya. Namun, Aletta tidak bisa berbuat apa-apa. Pria itu terlalu kuat, dan sebenarnya bisa melenyapkan Aletta kapan saja. Akan tetapi, sekalipun Dominic membiarkannya seperti ini, bukan berarti pria itu telah mengampuni Aletta. Dominic justru membiarkan Aletta dimangsa oleh Kaisar! "Aku tidak mau mati!" teriak Aletta dalam hati. "Aku tidak boleh sengsara seperti itu!" Wanita itu mengusap air mata yang sudah mengalir di pipinya dan bangkit berdiri. "Aku harus segera pergi dari sini," gumam Aletta kemudian, sembari berjalan. "Bagaimanapun caranya, aku harus kabur!" Wanita itu segera melangkah keluar dari kediaman Dominic Romero, tanpa mengetahui bahwa mengetahui gerak-geriknya sejak tadi. "Tuan, saya mau melapor," ucap orang itu. "Wanita yang Anda cari baru saya menemui Tuan Dominic. Namun, sepertinya terjadi perdebatan di dala
"Paman? Sudah makan?" Kaisar mengecek jam dindingnya dan menghela napas pelan sebelum kemudian meluruskan punggungnya. Bukan karena ia menyadari bahwa ia kembali melewatkan waktu makan, tapi karena ia jatuh tertidur selama beberapa jam di sisi istrinya. "Berbaringlah di sofa sebentar, Paman. Biar aku yang menunggu Tante Embun," kata Nicholas lagi saat Kaisar tidak membalas. "Atau makanlah dulu. Aku beli sup dan nasi. Atau Paman mau roti?" Kaisar menatap Embun yang masih belum bangun dengan ekspresi sedih sebelum kemudian menoleh ke arah Nicholas. "Roti saja. Terima kasih, Nic." Nicholas segera membawakan roti dan sebotol air putih kepada sang paman setelahnya, khawatir kalau-kalau Kaisar berubah pikiran dan kembali melewatkan makan. Pandangan Nicholas kemudian tertuju pada bibinya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Dadanya naik turun dengan teratur dan seperti kata dokter sebelumnya, wanita itu terlihat lebih pantas jika disebut sedang tertidur dibandingkan sakit. Jika buka
"Itu jeruk dari siapa?" "Nic. Mau makan jeruk?" Embun bergumam sebentar, tampak berpikir sembari bersandar pada kepala tempat tidur pasien. Ia ingin makan camilan, tapi kalau makan jeruk, akan sedikit ribet baginya untuk mengupas dan melepehkan biji-bijinya. Oleh karena itu, Embun berniat menolak. Namun, Kaisar sudah mengambil satu jeruk dan mengupasnya dengan telaten sebelum mencoba memakan satu. "Manis, Embun. Mau?" Kaisar menyuap satu potong jeruk ke Embun. Mau tidak mau, Embun memakannya. "Manis," aku Embun, tersenyum tipis. Kepalanya kemudian menoleh ke sisi dan mencari tisu untuk melepeh biji di dalam mulutnya. Tapi tiba-tiba saja, tangan Kaisar sudah ada di depan bibir Embun, siap menampung. "Buang ke sini, Embun." Pria itu berkata lembut. Embun berkedip. "Eh, aku minta tisu saja, Kaisar." "Tidak apa-apa." Merasa sedikit tidak nyaman, Embun kemudian membuang biji jeruk di mulutnya ke telapak tangan Kaisar. Pria itu membuangnya tanpa tampak jijik sama sekali, lalu me
"Aku akan menjaga kalian, Embun. Aku janji." Embun mengangguk. Ia tersenyum pada sang suami. Tangannya bergerak untuk mengelus wajah Kaisar, kemudian memainkan rambutnya. "Kaisar. Berikan tanganmu." Dengan heran, Kaisar menuruti ucapan sang istri. Ia menyodorkan tangannya kepada Embun, tanpa bertanya apa pun. Embun kemudian membawa tangan Kaisar tersebut ke perutnya. Di balik pakaian longgar yang ia kenakan, sudah muncul baby bump atau perut Embun sudah sedikit membesar. Wanita itu tersenyum sembari meletakkan tangan Kaisar di perutnya. "Halo, Sayang." Ia berbisik pelan. "Ini ayahmu." Ekspresi Kaisar seketika melembut mendengarnya. Wajahnya beralih menatap perut Embun dan tersenyum saat mengelusnya pelan. "... Selamat siang," sapa pria itu kaku, membuat Embun tergelak. Teringat pertemuan-pertemuannya dengan Kaisar sebelumnya. Ah, mereka sudah sampai di tahap yang cukup jauh rupanya. *** "Aku dengar kamu belum sempat pulang sejak aku masuk rumah sakit?" Suatu hari, dengan
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb