Baru beberapa lama Embun ada di rumah sakit, tapi penampilan Kaisar memburuk secara drastis. Aura suram melingkupi pria itu lantaran istrinya tidak kunjung bangun. Tidak hanya itu, Kaisar Rahardja sekarang memiliki kantung mata, hasil kurang tidur menunggui sang istri. Dokter mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan Embun. Wanita itu seperti sedang tertidur. "Kamu belum mau bangun, Embun?" bisik Kaisar. Seperti yang selalu ia lakukan, pria itu tengah duduk di sisi tempat tidur Embun. Jemarinya tertaut dengan milik Embun. Sempat ia bertanya dalam hati mengapa sang istri tak kunjung sadar. Berpikir bahwa wanita itu masihlah kecewa padanya. Namun, pengakuan Mbok Dasimah tentang ke mana Embun berencana pergi malam itu langsung menyingkirkan pikiran buruk Kaisar. Untungnya. Embun sudah memaafkannya. Dan sedang di jalan untuk menemui Kaisar. Jika bukan karena Aletta, malam itu pastilah menjadi malam paling indah untuk Kaisar. "Nak." Tiba-tiba, bahu Kaisar ditepuk oleh seseorang,
"Pria itu memang ucapannya tidak manis." Aletta menggerutu saat menjalankan mobilnya menuju untuk menemui Dominic. Ia masih merasa ketakutan, tapi sudah tidak terlalu panik seperti saat ia baru saja menabrak Embun. Karenanya, Aletta bisa mengomentari sikap Dominic. Wanita itu yakin bahwa Dominic akan membantunya. Bayangkan saja. Aletta berhasil membantu Dominic menguasai Rahardja! Pasti pria itu akan bersikap baik padanya, bukan? Sekalipun memang itulah kesepakatan mereka sejak awal. Jadi, apa peduli Aletta jika Embun kecelakaan atau bahkan tewas? Persetan soal pengejaran Kaisar. Mereka tidak akan bisa menangkapnya! Selain karena kekuasaan Kaisar Rahardja akan kalah oleh Dominic Romero, Kaisar juga pastinya tidak punya bukti dan saksi yang bisa membuktikan bahwa Aletta lah dalang dari semua kejadian itu, terutama kecelakaan Embun. "Ya, pasti begitu." Aletta menghela napas lega dengan semua pemikirannya. Lalu, ia mencoba menyusun rencana. "Ck, tapi kalau sudah seperti ini, lebih
Dari dalam kamar Dominic, isakan Aletta masih terdengar. Wanita itu masih saja meratapi nasibnya. Ada kemarahan dalam dirinya, karena Dominic mencampakkannya. Namun, Aletta tidak bisa berbuat apa-apa. Pria itu terlalu kuat, dan sebenarnya bisa melenyapkan Aletta kapan saja. Akan tetapi, sekalipun Dominic membiarkannya seperti ini, bukan berarti pria itu telah mengampuni Aletta. Dominic justru membiarkan Aletta dimangsa oleh Kaisar! "Aku tidak mau mati!" teriak Aletta dalam hati. "Aku tidak boleh sengsara seperti itu!" Wanita itu mengusap air mata yang sudah mengalir di pipinya dan bangkit berdiri. "Aku harus segera pergi dari sini," gumam Aletta kemudian, sembari berjalan. "Bagaimanapun caranya, aku harus kabur!" Wanita itu segera melangkah keluar dari kediaman Dominic Romero, tanpa mengetahui bahwa mengetahui gerak-geriknya sejak tadi. "Tuan, saya mau melapor," ucap orang itu. "Wanita yang Anda cari baru saya menemui Tuan Dominic. Namun, sepertinya terjadi perdebatan di dala
"Paman? Sudah makan?" Kaisar mengecek jam dindingnya dan menghela napas pelan sebelum kemudian meluruskan punggungnya. Bukan karena ia menyadari bahwa ia kembali melewatkan waktu makan, tapi karena ia jatuh tertidur selama beberapa jam di sisi istrinya. "Berbaringlah di sofa sebentar, Paman. Biar aku yang menunggu Tante Embun," kata Nicholas lagi saat Kaisar tidak membalas. "Atau makanlah dulu. Aku beli sup dan nasi. Atau Paman mau roti?" Kaisar menatap Embun yang masih belum bangun dengan ekspresi sedih sebelum kemudian menoleh ke arah Nicholas. "Roti saja. Terima kasih, Nic." Nicholas segera membawakan roti dan sebotol air putih kepada sang paman setelahnya, khawatir kalau-kalau Kaisar berubah pikiran dan kembali melewatkan makan. Pandangan Nicholas kemudian tertuju pada bibinya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Dadanya naik turun dengan teratur dan seperti kata dokter sebelumnya, wanita itu terlihat lebih pantas jika disebut sedang tertidur dibandingkan sakit. Jika buka
"Itu jeruk dari siapa?" "Nic. Mau makan jeruk?" Embun bergumam sebentar, tampak berpikir sembari bersandar pada kepala tempat tidur pasien. Ia ingin makan camilan, tapi kalau makan jeruk, akan sedikit ribet baginya untuk mengupas dan melepehkan biji-bijinya. Oleh karena itu, Embun berniat menolak. Namun, Kaisar sudah mengambil satu jeruk dan mengupasnya dengan telaten sebelum mencoba memakan satu. "Manis, Embun. Mau?" Kaisar menyuap satu potong jeruk ke Embun. Mau tidak mau, Embun memakannya. "Manis," aku Embun, tersenyum tipis. Kepalanya kemudian menoleh ke sisi dan mencari tisu untuk melepeh biji di dalam mulutnya. Tapi tiba-tiba saja, tangan Kaisar sudah ada di depan bibir Embun, siap menampung. "Buang ke sini, Embun." Pria itu berkata lembut. Embun berkedip. "Eh, aku minta tisu saja, Kaisar." "Tidak apa-apa." Merasa sedikit tidak nyaman, Embun kemudian membuang biji jeruk di mulutnya ke telapak tangan Kaisar. Pria itu membuangnya tanpa tampak jijik sama sekali, lalu me
"Aku akan menjaga kalian, Embun. Aku janji." Embun mengangguk. Ia tersenyum pada sang suami. Tangannya bergerak untuk mengelus wajah Kaisar, kemudian memainkan rambutnya. "Kaisar. Berikan tanganmu." Dengan heran, Kaisar menuruti ucapan sang istri. Ia menyodorkan tangannya kepada Embun, tanpa bertanya apa pun. Embun kemudian membawa tangan Kaisar tersebut ke perutnya. Di balik pakaian longgar yang ia kenakan, sudah muncul baby bump atau perut Embun sudah sedikit membesar. Wanita itu tersenyum sembari meletakkan tangan Kaisar di perutnya. "Halo, Sayang." Ia berbisik pelan. "Ini ayahmu." Ekspresi Kaisar seketika melembut mendengarnya. Wajahnya beralih menatap perut Embun dan tersenyum saat mengelusnya pelan. "... Selamat siang," sapa pria itu kaku, membuat Embun tergelak. Teringat pertemuan-pertemuannya dengan Kaisar sebelumnya. Ah, mereka sudah sampai di tahap yang cukup jauh rupanya. *** "Aku dengar kamu belum sempat pulang sejak aku masuk rumah sakit?" Suatu hari, dengan
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
Beberapa tahun kemudian .... Seorang anak berusia 4 tahun tengah sibuk berlarian di dalam supermarket. Ia menjelajahi lorong dan sempat berhenti di estalase yang memampangkan makanan manis sebelum akhirnya kembali berlari. Pada akhirnya, anak itu berhenti di pojok ruangan dan berjongkok, bersembunyi di balik tumpukan kotak berisi stok makanan ringan. "Hehehe~" Anak itu tertawa kecil, sebelum kemudian menutup mulutnya sendiri. Ia tengah bersembunyi. Dan yakin bahwa tidak akan ada yang menemukannya di sini. Namun, sepertinya anak itu terlalu percaya diri. "Nathan." Tiba-tiba seorang pria yang tampaknya berada di usia tiga puluhan datang. Tubuhnya yang tinggi besar menjulang di depan tumpukan kardus yang dipakai bocah 4 tahun itu untuk bersembunyi. "Sudah main-mainnya. Ayo pulang." Si bocah yang dipanggil 'Nathan' itu langsung cemberut. "Papa kok tahu aku di sini si?" ucapnya. "Aku lagi main petak umpet, Pa." "Sama siapa?" tanya sang ayah. "Nala." Bocah itu menyebutkan nama saud
"Istriku memang cantik. Tidak perlu pengakuan orang lain lagi." Keheningan menyambut ucapan Kaisar tersebut, sementara Embun tersenyum kikuk akibat ulah sang suami. "Haha, saya setuju, Pak Kaisar. Saya setuju." Orang yang tadi berkomentar menanggapi dengan canggung. "... Bicara yang baik," bisik Embun pelan agar tidak didengar orang lain selain sang suami. "Memang aku sedang menjelekkan orang lain?" balas Kaisar sama pelannya. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu, Kaisar Rahardja." Kaisar menghela napas. "Baiklah." Keduanya kemudian kembali menghadapi para tamu di depan mereka. "Oh, saya dengar Nyonya Embun sedang hamil, Pak?" Salah seorang tamu mengalihkan topik pembicaraan. "Semoga sehat-sehat selalu ya, baik ibu dan bayinya." Mendapatkan doa baik untuk istri dan anaknya, Kaisar tampak lebih ramah. "Terima kasih. Mohon doanya untuk keluarga kecil kami." Pria itu berkata. Seperti mendapatkan sinyal aman, semua tamu langsung mengobrol mengenai kehamilan Embun. "Apakah
"Saya, Kaisar Rahardja, menjadikan Embun Prajaya sebagai istri saya," ucap Kaisar, lurus menatap Embun dengan sorot matanya yang lembut dan penuh kasih. "Pada hari yang istimewa ini, di hadapan semua tamu yang menjadi saksi, saya berjanji akan selalu berada di sisi Embun, setia kepada wanita ini." Ada debar asing dalam dada Embun saat ia mendengarkan janji pernikahan Kaisar. Sebelumnya, mereka hanya menikah di kantor catatan sipil, tanpa berpikir bahwa hubungan mereka akan berkembang seperti ini. Tanpa berekspektasi bahwa mereka akan sama-sama mengikrarkan janji suci sekarang ini. Tidak ada yang romantis, sebelumnya. Embun membutuhkan suami agar ia bisa keluar dari rumah iparnya, dan Kaisar ingin menuruti kata sang ayah. Namun, semuanya sudah berbeda sekarang. "Sebagai suami, saya berjanji dan bersedia akan selalu mencintai Embun. Selalu ada untuk Embun, dalam suka maupun duka, sedih dan senang, sakit dan sehat, dan mendampingi istri saya hingga maut memisahkan." Kaisar mencium
[Info Mengejutkan! Presdir Rahardja Group Ternyata Sudan Menikah Diam-Diam!] Berita itulah yang sedang menjadi perbincangan ramai di media. Banyak pihak yang terkejut dengan kenyataan bahwa Kaisar Rahardja ternyata sudah menikah dan mempunyai istri. Oleh karena itu, banyak wartawan dan rekan media massa lain yang menyesaki Ashtana Hotel, tempat Embun dan Kaisar akan melangsungkan pesta pernikahan, sekalipun mereka tidak diizinkan masuk karena Kaisar sudah mewanti-wanti ibunya agar tidak mengundang orang media. Sepertinya pria itu khawatir pemberitaan hanya akan membuat Embun stres dan berdampak pada kehamilan istrinya. "Kaisar, bukankah ini terlalu mewah?" tanya Embun. Wanita itu sedang didandani saat Kaisar mengunjunginya di ruang ganti hotel. "Berapa banyak tamu yang akan datang?" "Tidak banyak," jawab Kaisar, tanpa mengatakan informasi bahwa ibunya hampir mengundang 500 tamu. "Tapi nyaris semuanya teman-teman Mama." Embun menghela napas. "Meski begitu, Mama turut mengundang
"Meskipun terlihat main-main, Nic adalah anak yang baik dan bertanggung jawab. Saya bisa menjamin itu." Usai mengatakan itu, Kaisar menoleh pada keponakannya dan menepuk bahu Nicholas. Sementara Friska diam saja. Seperti sudah berhenti berfungsi. "Nic, bawa pacarmu duduk." Kaisar tiba-tiba berucap. Nicholas menoleh menatap Friska yang wajahnya masih merah, lalu menarik tangan gadis itu pelan. "Mau keluar dulu saja?" bisiknya menawarkan. Nicholas seperti memahami kalau Friska perlu waktu untuk memproses timbunan informasi yang baru saja jatuh di depan matanya. Samar, Friska mengangguk. "Paman. Aku keluar sebentar. Mau cari minum yang manis-manis. Haus." Nicholas langsung izin. "Mau titip sesuatu?" Kaisar menoleh pada Embun, bertanya tanpa kata-kata. "Tidak. Sedang tidak ngidam." Embun tersenyum kecil. "Yakin?" Kaisar mengusap perut Embun. "Kadang si kecil ini berulah tiba-tiba." "Tapi nanti kalau ada apa-apa, apakah aku boleh telepon?" Embun bertanya pada Nic kemudian. "Ap
"Kamu kenal dengan Nic?" Kini, Embun yang tampak heran. Meski begitu, ia mengangguk. "Kamu kenal juga?" balas istri Kaisar itu kemudian. "Dia keponakan suamiku." Friska makin terkejut saat mendengarnya. "Suamimu seorang Rahardja?" tanya Friska, campuran antara keterkejutan dan tidak percaya, karena ia baru tahu bahwa sahabatnya menikahi keluarga Rahardja. Sementara itu, Embun tampak bingung dengan reaksi Friska. "Hm? Ya?" tanggap istri Kaisar tersebut. "Memang aku belum pernah cerita? Nama suamiku Kaisar Rahardja." "Wah." Friska berdeham, lalu menoleh pada Nicholas yang baru bergabung dengan mereka. "Wah. Kebetulan macam apa ini?" "Aku juga sedikit terkejut saat menyadari ini," ungkap Nicholas. Pria itu menggenggam tangan Friska dengan kasual sembari tersenyum pada Embun. "Halo, Tante. Wajah Tante terlihat lebih segar sekarang." "Wah." Friska masih tampak terkesan, apalagi saat mendengar bagaimana Nicholas memanggil sahabatnya. Kalau begini, pria itu makin terdengar jauh leb
"Oh? Mau mengadakan pesta pernikahan?" Embun mendengar keterkejutan dalam suara Rindang. Ia berniat menyahuti sang kakak, tapi sebelum ia sempat mengucapkan apa pun, Rindang sudah melanjutkan. "Embun kurang suka pesta. Tapi saya setuju kalau akan diadakan pesta. Menikah hanya sekali. Sayang jika tidak membuat kenangan baik." Istri Kaisar itu akhirnya menyerah. Ia tidak menanggapi, sementara Lidya dan Rindang justru terlibat obrolan seru soal pesta pernikahan. Ia belum membicarakan hal ini pada Kaisar, sekaligus mendengar tanggapan pria itu. Hingga akhirnya, Lidya pamit karena ia ada janji dengan Surya. Wanita itu berniat menjemput suaminya di kantor. "Kamu istirahat yang cukup. Makan yang benar," ucap Lidya. "Jangan terlalu membebani dirimu. Soal pesta, biar aku yang urus." Tersenyum lemah karena pasrah, Embun mengangguk. "Terima kasih, Ma," ucapnya. Dalam beberapa hari saja, keduanya sudah cukup dekat. Embun harus akui ini semua berkat kegigihan dan keterbukaan Lid
"Embun anak baik. Dia tidak akan membencimu." Lidya teringat ucapan suaminya sebelum ia memutuskan untuk bertemu dengan Embun. Namun, sesaat sebelumnya, bukan hanya itu yang dikhawatirkan Lidya. Wanita itu juga ingin mengakui dosanya pada sang suami. Bahwa ia telah berselingkuh dengan Henri Pradana. Bahwa, sekalipun Lidya melakukan itu karena pernikahan mereka yang sudah dingin, sama sekali tidak membenarkan alasannya mengkhianati sang suami. "Mas Surya, aku--" Namun, sebelum Lidya sempat melakukannya, Surya sudah memotong kalimatnya. "Lidya." Tubuh Lidya membeku saat tiba-tiba Surya menangkup sisi wajahnya, membuat wanita itu menatap sang suami. Surya tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sudah kembali," ucapnya pelan. "Menjadi istri yang dulu kucintai." Tangis Lidya pecah. Baru kemudian ia terpikir, perubahan sikap sang suami bisa jadi karena tingkahnya yang tidak karuan; hobi berfoya-foya dan menghabiskan uang suaminya di luar negeri tanpa meluangkan waktu untuk suami dan para
"Selamat sore." Lidya melangkah lebih dekat ke tempat tidur Embun setelah memutus kontak mata dengan yang lebih muda. "Aku tunggu di luar ya," ucap Surya kemudian, membuat baik Embun maupun Lidya menoleh ke arahnya. "Kalau ada apa-apa, panggil saja." Embun melihat ayah mertuanya itu berbalik dan berniat melangkah pergi, sebelum kemudian Lidya menggenggam tangannya. "Pa," bisik ibu Kaisar tersebut. Surya menatap sang istri dan tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, dia anak baik," kata pria tua itu. "Bicaralah pada menantu kita. Semuanya akan baik-baik saja." Pria itu meremas tangan istrinya pelan sebelum kemudian melepaskan genggamannya dan berlalu keluar. Meninggalkan Embun berdua dengan Lidya. Hening. Lidya tidak mengatakan apa pun, dan Embun menunggu wanita itu memulai karena ia pikir, akan lebih baik jika ia memberikan kesempatan pada ibu mertuanya untuk menyampaikan niatnya lebih dahulu. Sekalipun Embun juga punya hal untuk dikatakan. Namun, saat Lidya tidak kunjung bi