Halo, Pembaca kesayangan sebagai permintaan maaf karena kemarin tidak upload hari ini author upload 2 BAB ya selamat membaca thankyou
"Cindy?" Amanda terkejut melihat adiknya. "Ngapain kamu di sini?"Cindy berjalan mendekat dengan langkah pelan. Penampilannya sangat berbeda dari setahun yang lalu. Gadis yang dulunya selalu tampil modis itu kini terlihat lebih sederhana, dengan rambut dikuncir sederhana dan wajah tanpa riasan."Aku tau Kakak bakal ke sini," Cindy berkata pelan. "Aku... aku udah denger semuanya dari Reggina.""Reggina?" Amanda mengerutkan kening. "Dia cerita ke kamu?""Iya," Cindy mengangguk. "Dia dateng ke rumah kemarin. Cerita semuanya. Gimana Kakak manfaatin dia buat balas dendam ke Viera.""Aku lakuin ini buat kamu!" Amanda berseru. "Dia yang udah bikin kamu...""Nggak, Kak," Cindy memotong. "
Viera yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara, "Guys, bisa diem nggak sih? Sebentar lagi Pak Ian masuk.""Eh, sori Ra," Renna nyengir. "Tapi serius nih, loe mau gak diajak nonton sama Felix?"Sebelum Felix sempat menyelesaikan kalimatnya, Ian masuk ke kelas dengan wajah yang dingin seperti biasa. Guru matematika yang terkenal killer itu berjalan dengan tegap menuju meja guru. Sepatu pantofelnya berketuk pelan di lantai keramik, menciptakan irama yang membuat jantung para siswa berdegup kencang."Selamat pagi," sapanya dengan nada datar yang khas, membuat seisi kelas langsung hening. Tatapannya menyapu seluruh ruangan, berhenti sejenak di barisan tempat Viera duduk."Pagi, Pak..." jawab murid-murid serempak, dengan nada yang lebih mirip bisikan.
"Emang harus gitu," Fanny menimpali dengan nada mengejek. "Kan murid kesayangan Pak Ian.""Apaan sih," Viera mendorong pelan bahu Fanny. "Gue cuma mau fokus belajar aja kok.""Jangan gitu dong Fan," Felix tersenyum. "Viera kan emang pinter dari dulu.""Eh bener juga," Renna tiba-tiba menjentikkan jari. "Nilai Matematika gue anjlok nih. Ajarin dong Ra.""Gue juga dong!" Fanny langsung menyahut. "Besok kan ada PR yang susah banget itu.""Sorry guys," Viera menggeleng pelan. "Gue beneran ada les besok.""Ya udah, kapan dong?" Renna merengek. "Minggu depan ada ulangan loh.""Hmm..." Viera pura-pura berpikir. "Lusa aja gimana? Sepulang seko
Viera merebahkan diri di tempat tidurnya, masih memikirkan percakapan saat makan malam tadi. Ponselnya bergetar - panggilan dari Ian."Halo," Viera menjawab dengan suara pelan."Udah di kamar?" suara Ian terdengar lembut di seberang sana."Udah. Baru aja selesai makan malam.""Terus? Papa kamu bilang apa?"Viera menghela napas. "Papa ingetin soal status kita. Katanya aku nggak boleh terlalu deket sama cowok lain.""Gara-gara Felix ya?""Iya," Viera memainkan ujung selimutnya. "Papa tau aku dibonceng Felix tadi."Ada jeda sejenak sebelum Ian menjawab. "Aku juga salah sih. Harusnya tadi aku b
Sore itu sekolah sudah tampak sepi. Viera masih sibuk mengerjakan beberapa soal yang belum selesai di kelasnya. Renna dan Fanny sudah pulang duluan, menyisakan hanya beberapa siswa yang masih bertahan di sekolah.Akhirnya selesai juga, Viera menghela napas lega sambil membereskan buku-bukunya. Pikirannya masih dipenuhi foto-foto yang dia temukan pagi tadi.Dia berjalan ke ruang loker. Koridor yang biasanya ramai kini terasa mencekam dalam kesunyian. Langkah kakinya bergema pelan di lantai keramik.Kenapa sepi banget? Harusnya tadi aku pulang bareng Renna sama Fanny aja...Saat membuka loker, Viera merasakan sensasi aneh - seperti ada yang mengawasinya. Dia menoleh ke kanan-kir
Viera menutup pintu kamarnya dan langsung menjatuhkan diri di kasur. Tangannya masih menggenggam foto-foto yang dia temukan pagi tadi. Matanya menelusuri setiap detail, mencoba mencari petunjuk tentang siapa yang mengambilnya. Beberapa foto tampak diambil dari sudut yang tersembunyi - dari balik pohon, dari dalam mobil, bahkan dari jendela kelas sebelah."Felix... apa mungkin dia pelakunya?" Viera masih tidak percaya jika mungkin saja Felix pelakunya. Hatinya menolak untuk menerima kemungkinan itu.Ingatan tentang kebaikan Felix selama ini bermunculan di benaknya. Bagaimana Felix selalu membantunya mengerjakan PR matematika dengan sabar, membelikannya makanan dan minuman saat dia sakit tanpa diminta, bahkan rela meluangkan waktunya berjam-jam untuk mengajari matematika sebelum ujian."Nggak mungkin..." Viera menggel
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Viera masih terjaga, duduk memeluk lutut di sudut kasurnya. Setiap suara - sekecil apapun - membuatnya terlonjak. Daun yang bergesekan di luar, kendaraan yang lewat, bahkan suara AC yang mendengung terasa mencurigakan.Ponselnya dia letakkan terbalik di meja. Dia tidak sanggup melihat notifikasi email yang mungkin masuk lagi. Tapi setiap beberapa menit, tangannya gatal ingin mengecek - memastikan apakah si penguntit mengirim pesan baru."Tenang, Viera..." dia berbisik pada diri sendiri. "Kamu aman di sini. Pintunya udah dikunci. Jendelanya juga. Pintu gerbang pasti juga udah ditutup sama Pak Abdul dan Pak Mamad."Tiba-tiba terdengar suara berderit dari arah jendela. Viera menahan napas. Matanya menatap horor ke arah tirai yang bergoyang pelan.
"Sekolah udah Papa hubungin," Papa mematikan teleponnya sambil menghela napas berat. Wajahnya menunjukkan campuran antara kemarahan dan kekhawatiran. "Kepala sekolah minta kita dateng sekarang buat bahas ini."Viera hanya bisa mengangguk lemah dalam pelukan Mama. Tubuhnya masih gemetar membayangkan kejadian semalam - bayangan di jendela, email-email mengerikan itu. Sepanjang perjalanan ke sekolah, dia terus menempel pada Mama di kursi belakang, mencari rasa aman yang sudah terenggut darinya.Papa mengemudi dalam diam, tapi dari cara dia mencengkeram setir dan sesekali melirik ke kaca spion, jelas terlihat kecemasannya. Setiap kali ada motor atau mobil yang terlalu lama mengikuti mereka, Papa akan mengambil jalan memutar atau mempercepat laju mobilnya.Setibanya di sekolah, mereka langsung diantar security ke ruang k
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa, ujian akhir hampir tiba. Viera dan teman-temannya tenggelam dalam buku-buku pelajaran dan kertas-kertas latihan. Kafe-kafe di sekitar sekolah penuh dengan siswa kelas dua belas yang belajar kelompok, menyesap kopi berlebihan, dan saling bertukar rumus dan catatan."Aku tidak bisa mengingat semua rumus ini," keluh Fanny, menutup buku fisikanya dengan frustasi. "Terlalu banyak.""Buat diagram dulu," saran Renna, yang dengan tenang membuat kartu-kartu kecil berisi poin-poin penting. "Lebih mudah mengingat secara visual."Viera mengangguk, tapi matanya terasa berat. Dia sudah belajar sejak pagi, dan hari sudah menjelang sore. Cangkir kopi ketiganya nyaris kosong."Kalian tahu," Viera berkata sambil meregangkan tubuhnya, "Ian sebenarnya punya metode bagus untuk mengingat rumus-rumus."Ada keheningan canggung sejenak sebelum Fanny tertawa kecil. "Viera, loe gak mau tanya gitu metode tunanganmu buat mengingat rumus?"Viera memutar matanya, tapi tidak
Seminggu berlalu dengan cepat. Viera dan Felix tetap pergi ke open house fakultas komunikasi, tapi suasananya tidak sama lagi. Ada jarak yang tidak terkatakan di antara mereka—sebuah tembok transparan yang tidak bisa ditembus oleh candaan atau obrolan ringan."Ini laboratorium multimedia mereka," Felix menjelaskan sambil menunjuk sebuah ruangan besar dengan peralatan canggih. "Katanya mahasiswa bisa menggunakannya untuk proyek-proyek mereka."Viera mengangguk, matanya berbinar melihat fasilitas kampus yang luar biasa. "Ini keren sekali. Aku bisa membayangkan berkuliah di sini."Felix tersenyum tipis, untuk pertama kalinya hari itu. "Kamu akan cocok di sini, Viera. Kamu selalu punya bakat bercerita."Ada ketulusan dalam kata-kata Felix yang membuat Viera merasa sedikit lebih baik. Mungkin persahabatan mereka tidak hancur sepenuhnya—hanya membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan realitas baru."Terima kasih, Felix," Viera tersenyum tulus. "Sungguh, terima kasih untuk semuanya."
Malam itu, Viera tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar antara Ian, Felix, dan masa depannya yang semakin kompleks. Dia mengambil ponselnya, memeriksa pesan terakhir dari Ian. Ada kehangatan aneh yang muncul saat membaca kembali percakapan mereka—percakapan yang jauh dari romantis, tapi penuh dengan kejujuran dan pengertian."Aku bingung, Ian," Viera akhirnya mengetik pesan baru. "Bagaimana menurutmu cara terbaik untuk memberitahu teman-temanku yang lain tentang... kita?"Balasan Ian tidak langsung datang. Viera membayangkan pemuda itu mungkin sedang bekerja atau bahkan sudah tidur. Tapi lima menit kemudian, ponselnya bergetar."Apa yang membuatmu tidak tenang, Viera?"Viera tersenyum kecil. Lagi-lagi, Ian dan kebiasaannya untuk langsung ke inti masalah."Felix, dia mengundangku ke open house fakultas komunikasi. Aku hampir saja keceplosan menyebut namamu. Dan... aku merasa... usaha Felix mendekatiku semakin besar."Ada jeda lama sebelum Ian membalas. Viera hampir bisa merasakan
Semakin malam, percakapan mereka semakin dalam. Ian bercerita tentang tekanan yang dirasakannya sebagai putra tunggal, tentang bagaimana dia kadang merasa terjebak dalam ekspektasi keluarga. Viera membagikan kekhawatirannya tentang masa depan, tentang mimpinya yang kadang terasa terlalu besar untuk diwujudkan."Kadang aku bertanya-tanya bagaimana rasanya hidup tanpa rencana yang sudah diatur," tulis Ian di suatu titik. "Bebas memilih jalan sendiri.""Aku juga," balas Viera. "Tapi mungkin tidak ada yang benar-benar bebas? Semua orang punya batasan dan tantangannya masing-masing.""Bijaksana sekali untuk gadis tujuh belas tahun," balas Ian, dan Viera bisa membayangkan senyum kecil di wajahnya saat mengetik itu."Aku hampir delapan belas, tau," Viera membalas, tersenyum pada dirinya sendiri. "Lagipula, umur hanya angka.""Memang. Tapi pengalaman bukan sekadar angka."Ada kebenaran dalam kata-kata Ian yang tidak bisa Viera bantah. Meski merasa dewasa dan siap menghadapi dunia, dia tau bah
"Apa... apa yang membuat Mama akhirnya mencintai Papa?" tanyanya penasaran.Mama terlihat melamun sejenak, matanya menerawang ke masa lalu. Ada senyum kecil yang bermain di sudut bibirnya."Kesabaran," Mama akhirnya menjawab. "Papa sangat sabar. Dia tidak pernah memaksa Mama untuk mencintainya, tapi dia selalu ada. Selalu mendukung. Dan, ya, dia ternyata sangat romantis dengan caranya sendiri."Viera tersenyum, membayangkan Papanya yang selalu terlihat tegas dan disiplin bisa bersikap romantis. "Romantis bagaimana, Ma?""Ah, banyak hal kecil. Mengingat tanggal-tanggal penting, memperhatikan apa yang Mama suka dan tidak suka, selalu membawakan oleh-oleh ketika pulang kerja..." Mama terkekeh. "Yang paling Mama ingat, saat Mama sakit, Papa rela tidak tidur semalaman hanya untuk mengompres Mama. Padahal besoknya dia ada rapat penting."Ada kehangatan yang menyebar di dada Viera mendengar cerita itu. Mungkinkah dia dan Ian juga bisa membangun kedekatan seperti itu suatu hari nanti?"Ma, me
"Kita bisa mencobanya," Viera berbisik. "Melanjutkan rencana pernikahan, tapi dengan catatan kita akan saling terbuka, saling mendukung karier dan mimpi masing-masing." Ian tersenyum, "Bukan sekadar merger bisnis, tapi partnership sejati." Keputusan itu tidak datang dengan drama atau ledakan emosi. Justru sebaliknya—dengan ketenangan dan pengertian yang mendalam. Mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan, tapi dengan komitmen untuk selalu berkomunikasi, untuk selalu memberikan ruang bagi pertumbuhan masing-masing. Ketika Viera pulang ke rumah malam itu, ada ketenangan aneh yang menyelimutinya. Mama—yang sepertinya selalu bisa membaca gerak-gerik putrinya—menunggu di ruang keluarga. "Bagaimana?" tanya Mama langsung, tanpa basa-basi. Viera duduk di samping Mama, merasa letih namun tenang. "Viera dan Ian memutuskan untuk tetap melanjutkan pernikahan." Mata Mama berbinar penuh tanya. "Coba sini cerita sama Mama." Dan Viera menceritakan semuanya—percakapan dengan Ian, ket
Kata itu—cinta—terasa berat dan asing di antara mereka. Ian tampak tidak nyaman, jari-jarinya mengetuk pelan sisi cangkir kopinya. "Cinta itu... rumit, Viera," dia akhirnya menjawab diplomatik. "Aku menyayangimu, menghormatimu. Aku yakin kita bisa membangun kehidupan yang baik bersama. Bukankah itu bentuk cinta juga?" Ada kejujuran dalam kata-kata Ian yang membuat hati Viera terasa sakit sekaligus lega. Setidaknya Ian tidak berpura-pura merasakan sesuatu yang tidak dia rasakan. "Mungkin," Viera menjawab pelan. "Tapi apakah itu cukup untuk kita? Apa kamu tidak pernah bertanya-tanya bagaimana rasanya... jatuh cinta? Benar-benar jatuh cinta?" Ian menghela napas panjang, untuk pertama kalinya topeng profesionalnya sedikit retak. "Tentu saja aku pernah. Aku bukan robot, Viera." "Lalu? Apa kamu tidak ingin merasakan itu sebelum berkomitmen untuk seumur hidup?" "Tidak semua orang punya kemewahan itu," Ian menjawab, ada nada getir dalam suaranya. "Kita punya tanggung jawab, kita punya ek
setidaknya mencoba belajar, karena pikirannya terus melayang ke pertemuan sore nanti. Jam demi jam berlalu dengan lambat, hingga akhirnya jam di ponselnya menunjukkan pukul 3:30 sore. Viera berdiri di depan cermin, memandang refleksi dirinya. Gadis tujuh belas tahun yang berdiri di persimpangan hidup. Dia mengenakan gaun biru muda sederhana. "Kamu siap?" Mama bertanya dari ambang pintu. Viera berbalik, tersenyum tipis. "Entahlah, Ma. Viera bahkan tidak tau apa yang akan Viera katakan pada Ian." Mama menghampirinya, merapikan rambut Viera yang sedikit berantakan. "Katakan yang ada di hatimu, sayang. Dengan jujur, tapi juga dengan bijak." "Dan jika itu melukai banyak orang?" "Kadang kita harus melukai beberapa orang untuk menghindari luka yang lebih besar di masa depan," Mama menjawab bijak. "Lebih baik jujur sekarang daripada hidup dalam kebohongan seumur hidup." Viera mengangguk, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Terima kasih, Ma." Dengan hati yang ma
"Viera?" Suara Mama terdengar dari balik pintu, diikuti ketukan lembut. "Kamu sudah bangun? Sarapan sudah siap.""Iya, Ma. Sebentar lagi Viera turun," jawabnya, melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi.Di meja makan, suasana terasa lebih hening dari biasanya. Papa sibuk dengan tabletnya, sesekali mengerutkan dahi membaca berita pagi. Mama dengan telaten menuangkan teh ke cangkir Papa sebelum duduk di sampingnya. Rutinitas pagi yang begitu familiar bagi Viera, namun entah mengapa pagi ini terasa berbeda."Viera akan bertemu Ian sore ini," Viera berkata pelan setelah menyesap susu hangatnya.Papa mengalihkan pandangan dari tabletnya. "Oh? Ada acara apa?""Tidak ada acara khusus," Viera menjawab, mengaduk-aduk bubur di mangkuknya tanpa nafsu. "Hanya... ingin bicara.""Tentang pernikahan?" tanya Papa, ekspresinya cerah. "Bagus. Kalian memang perlu lebih banyak waktu berdua untuk membicarakan detail-detail penting."Viera mengangguk lemah, tidak mengoreksi asumsi Papa. Ekor matan