Megan terbangun dengan sentuhan seringan bulu yang menyentuh sepanjang garis di punggungnya. Ia mengerang pelan, tak bisa menahan senyum tersungging di kedua ujung bibirnya. Merasakan sentuhan Mikail dan setiap sentuhan yang diberikan pria itu tadi malam. Semuanya terasa begitu melegakan. Beban di dadanya terasa diangkat dan terasa begitu ringan hingga rasanya seperti tubuhnya melahyang di awan saking ringannya. Mikail menyentuhnya dengan lembut. Memuja setiap inci tubuhnya dan setiap sentuhan pria itu mengungkapkan perasaan cinta pria itu yang begitu mendalam. ‘Aku mencintaimu, Megan. Selalu.’ Samar-samar kalimat itu membelai telinganya. Megan tak yakin apakah Mikail benar-benar mengucapkan kalimat itu tepat sebelum matanya terpejam. Di antara kesadaran dan mimpinya. Tak yakin apakah itu fakta atau sebuah mimpi indah, yang Megan yakin. Ia ingin kalimat itu menjadi sebuah kenyataan. Tubuh Mikail bergeser ke depan, menyelipkan tangannya ke balik selimut dan melingkarkan lengannya d
Mikail terdiam. Kontrasepsi? Apakah Megan ingin melakukan program pencegahan kehamilan? Dan seketika Mikail bisa memahami ketakutan dan ketidak siapan Megan untuk yang satu ini. Mungkin Megan sudah siap membiarkan dirinya menyentuh tubuh wanita itu. Tetapi kehamilan adalah hal yang berbeda. Wanita itu takut mereka menghadapi kehamilan tersebut dengan kekacauan. Walaupun sekarang ia lebih dari siap untuk memberi Kiano adik dan betapa tak sabarnya ia ingin mengikat Megan lebih kuat lagi. Mereka memeng perlu melangkah dengan perlahan. Ia harus melamban dan menunggu kesiapan Megan. “A-aku bukannya tak ingin memiliki anak denganmu lagi.” Megan buru-buru menjelaskan. Takut jika Mikail tersinggung dan berpikir ia tak ingin memiliki anak dengan pria itu lagi. “Aku … aku hanya …” “Ya, tentu saja.” Jawaban lembut Mikail menyela kegugupan Megan. Kedua tangannya terangkat dan merangkum wajah wanita itu dengan senyuman penuh kasih sayang. “B-benarkah?” “Ya.” Megan mendapatkan napasnya kembal
“Ya.” Megan mengangguk, menyamarkan kedipan matanya dengan anggukan singkatnya. “A-aku memiliki sedikit urusan di sana.” Ia bersyukur suaranya keluar tanpa getaran sedikit pun. Mikail terdiam. Tetapi kemudian teringat kalau Megan sedang menjalani pengobatan trauma wanita itu. Ia pun mengangguk. “Kenapa kau tidak membawa sopir?” Megan terdiam, bernapas dengan lega karena Mikail tak bertanya lebih tentang urusannya. “Aku hanya ingin sendiri. Rasanya aku tak memiliki banyak pekerjaan setelah berhenti dari pekerjaan lamaku.” Mikail manggut-manggut. “Kalau begitu pastikan kau menyetir dengan hati-hati, Megan.” Megan pun mengangguk. Sekali lagi bernapas dengan lega meski ia merasa bersalah karena berbohong tentang kepergiannya dengan Nicholas. Yang ia tahu pria itu tak akan menyukai pertemuannya dan Nicholas yang diam-diam seperti ini. Alicia tentu saja dikecewakan dengan jawaban Mikail. Bibirnya menipis tajam dan cengkeraman tangannya di sendoknya semakin menguat. Tentu saja ia tak ak
Sampai di rumah sakit, Mikail mengantar Alicia lebih dulu ke ruangan dokter. Janin wanita itu baik-baik saja. Menginjak usia enam bulan dan semua berkembang dengan baik. “Ah ya, tuan Marcel menghubungi saya dua hari yang lalu.” Mikail dan Alicia seketika terdiam, keduanya saling bertatapan dan kemudian kembali menatap sang dokter. “Ya, Dok.” Alicia mengangguk. “Beliau berpesan ingin melakukan tes DNA dengan janin dalam kandungan Anda. Beliau bertanya-tanya apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukannya.” Sekali lagi Alicia mengangguk. “Ya, kami memerlukannya. Apakah itu memungkinkan?” Dokter tersebut mengangguk. “Anda harus menjalani beberapa tes lebih dulu. Saya akan mulai mempersiapkannya.” “Ya, lakukan saja, Dok.” Dokter pun kembali menjelaskan tentang keadaan janin Alicia, menanyakan keluhan-keluhan, dan meresepkan vitamin ibu hamil. Setelah selesai, keduanya pun keluar bersama. “Kau yakin akan melakukannya?” Alicia mengangguk. “Aku sudah bicara dengannya. Da
“Kau datang?” Suara Alicia menyambut kedatangan Megan yang baru saja menyeberangi ruang tamu dan hendak naik ke lantai dua. Wajah Megan berputar, menemukan Alicia yang keluar dari kamar wanita itu dan berjalan mendekat. Senyum wanita itu benar-benar licik. Membuat Megan semakin muak. “Ya, ini rumah suamiku.” Megan menekan kata suamiku dengan sejelas mungkin. Tak peduli jika terdengar berlebihan. “Rumahku. Aku bisa datang dan pergi sesukaku. Tanpa perlu meminta ijin padamu, kan?” Alicia mendengus. “Seperti yang kau lakukan pada hidup Mikail dan Kiano, begitu?” Raut Megan membeku, kedua tangannya segera terkepal. Senyum licik Alicia benar-benar membuatnya mual. Tetapi ia segera menekan gelombang kemarahan yang datang karena kalimat itu. Ia tahu ini yang diinginkan oleh Alicia. Wanita itu sengaja menggunakan kelemahan itu untuk mengusiknya. Dan ia tak akan memberikan keinginan wanita itu dengan mudah. Kepalan tangan Megan perlahan melonggar. “Tutup saja mulutmu, Alicia. Kau tak tahu a
Mikail masih membeku. Jadi adiknya itu juga memberikan hasil tes DNA yang asli kepada Megan. Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel yang diletakkan Marcel di meja. Sejenak ia mencerna kalimat Marcel yang mencemooh kepercayaan Megan padanya, kemudian pandangannya bergerah ke wajah Marcel. “Aku tak tahu apa yang kau katakan, Marcel.” Mikail nyaris tak menggerakkan bibirnya. “Oh ayolah, Mikail. Kau tahu hasil yang kau berikan pada Megan adalah sebuah kebohongan. Dan kau mungkin bisa membodohi Megan, tapi denganku? Kau tahu itu adalah sebuah kekonyolan.” Mikail terdiam. “Sejak kau tahu Kiano bukan darah dagingmu, kau tahu dengan pasti milik siapa anak itu. Ya, Mikail tahu itu. Ia sendiri dibuat terkejut dengan hasil tes tersebut yang meruntuhkan segala kepercayaan dirinya sendiri. Mikail tak mengatakan apa pun. Saat ia mengetahui hasil tes sampel miliknya dan Kiano yang tidak cocok, ia sudah tahu kalau Kiano adalah darah daging Marcel. Fakta itu menamparnya keras-keras. Semua bena
Begitu mobil Megan memasuki area parkir di halaman depan restoran yang dikirim Nicholas, pandangan wanita itu langsung menemukan keberadaan pria itu di teras restoran. Berdiri menunggu dengan kruk yang terselip di ketiak. Pria itu tentu saja mencuri perhatian beberapa pengunjung restoran, yang sebagian besar berbisik-bisik setelah menatap Nicholas, dan lebih banyak yang menatap kagum ketampanan pria itu. Rasanya tak ada tempat bagi Nicholas selain menjadi pusat perhatian. Megan turun dan menghampiri Nicholas dengan langkah yang tidak terlalu tergesa juga tidak melambat. “Kenapa kau tidak menunggu di dalam, Nicholas?” Nicholas tersenyum. “Aku hanya ingin melihatmu datang.” Megan memilih tak menanggapi. “Kita masuk sekarang?” Megan mengangguk singkat. Nicholas memiringkan tubuhnya dan mempersilahkan Megan dengan salah satu lengannya. Megan berjalan lebih dulu. Saat wanita itu melintasinya, tiba-tiba senyum Nicholas membeku. Keningnya berkerut akan aroma tubuh Megan yang tidak sep
Marcel menarik tubuhnya ke belakang, menjauh dari tubuh Megan yang masih menempel di pintu mobil. Wanita itu tetap membeku selama beberapa saat. Megan masih tenggelam dalam ketercengangannya ketika telapak tangannya yang terlunglai diambil oleh Marcel dan meletakkan kunci mobil di telapak tangannya. Tangan Marcel bergerak menyentuh helaian rambut Megan, tetapi wanita itu beringsut menjauh. Membuat tangan Marcel melayang di samping wajah Megan. Marcel tersenyum miris, kemudian berkata, “Pulanglah.” Megan tak mengatakan apa pun. Marcel berjalan meninggalkannya. Menuju mobil pria itu yang terparkir tak jauh dari mobilnya. Melaju menuju jalanan. Butuh waktu lebih dari lima menit bagi Megan untuk menelaah apa yang baru saja terjadi dan masuk ke dalam mobil. Duduk di balik kemudi dan mulai meninggalkan halaman restoran. Sepanjang perjalanan, Megan tak berhenti memikirkan kata-kata Marcel yang bahkan lebih memengaruhinya ketimbang perbuatan berengsek pria itu di masa lalu. Megan menggel