Megan mengangguk pelan. “S-sejak kapan kau berdiri di sini, Nicholas?” “Sejak panggilan kita berakhir.” “Bagaimana kau tahu aku akan datang?” “Aku hanya yakin.” “Jika aku tidak datang?” “Aku akan tetap menunggu di sini.” Senyum Nicholas terlihat dipenuhi ketololan dan kepedihan yang bercampur aduk. Yang sengaja digunakan untuk memanfaatkan rasa bersala Megan kepadanya. Megan Ailee, di hadapan semua orang adalah wanita karir yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Pekerja keras dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Dengan semua jejak karirnya yang panjang dan banyak rintangan, tak hanya kesempurnaan tubuh yang wanita itu miliki. Cantik dan seksi. Megan juga terkenal sebagai wanita yang tangguh. Akan tetapi, semua itu tak lebih dari bungkus yang berusaha ditampilkan oleh Megan di hadapan siapa pun. Megan yang sesungguhnya adalah wanita yang lemah lembut dan rapuh. Membutuhkan sandaran untuk tangis yang wanita itu redam di setiap malam. Tentu saja Nicholas mengetahu
Setelah menjemput Kiano di sekolahnya, Megan dan bocah mungil tersebut langsung menuju kantor Mikail. Kiano terlihat riang seperti biasanya, setelah menceritakan tentang kegiatan selama di sekolah dengan gayanya yang polos. Megan sendiri mendengarkan dengan tak kalah bersemangatnya. Saat keduanya turun dari mobil, Mikail tampak menunggu di teras gedung. Membukakan pintu untuk Megan dan Kiano. “Kalian sudah datang?” Mikail langsung menarik Megan ke dalam pelukannya dan mendaratkan kecupan singkat di bibir sebelum berganti menggendong Kiano yang mengulurkan kedua lengan memanggilnya dengan penuh antusias. Megan masih tertegun di tempatnya setelah kecupan singkat tersebut. Jantungnya berdebar kencang, dan ia yakin seluruh wajahnya memerah. Jejak bibir Mikail masih membekas di bibirnya. Megan mengelengkan kepalanya, mengenyahkan pengaruh Mikail yang begitu familiar. “Gunakan ini untuk naik lift.” Mikail meletakkan sebuah kunci di telapak tangan Megan. “Kau tak akan berpapasan dengan
Mikail menghampiri Megan dan Alicia yang berdiri saling berhadap-hadapan, berhenti tepat di antara keduanya dan melepaskan tangan Megan dari lengan Alicia. Yang menyisakan bekas memerah di sana saking kuatnya cengkeraman Megan. “Apa yang kau lakukan, Megan?” Suara Mikail diselimuti kemarahan dan kedua mata pria itu mendelik pada Megan. Megan hanya tercenung. Merasa terjebak dengan situasi yang sulit. Pandangannya berpindah ke arah Alicia, yang seketika memulai kelicikan wanita itu dengan memasang raut merana yang dibuat-buat. Megan tak mengatakan apa pun, penjelasan apa pun yang coba ia berikan pada Mikail tak akan membuat pria itu percaya padanya. Ialah yang menyeret Alicia keluar dari ruangan pria itu dengan kedua tangannya sendiri. Dan tak mungkin ia mengatakan perdebatannya dan Alicia sebagai dalih untuk pembenaran apa yang dilakukannya pada Alicia. Alicia memegang pelipisnya dan memasang ekspresi semerana mungkin. Tubuh wanita itu terhuyung ke arah Mikail yang langsung menangka
Mikail membuka pintu kamar mandi yang tak dikunci dengan perlahan. Melangkah masuk dengan tanpa menciptakan suara. Lampu kamar mandi tidak dinyalakan, dan hanya ada kesunyian. Telapak tangannya meraba dinding dan menyalakan lampu. Pandanganya mencari ke setiap sudut kamar mandi dan langsung menemukan keberadaan Megan yang duduk meringkuk di dalam bath up yang kosong. Kepala wanita itu bersandar di dinding dan jatuh ke samping dengan kedua mata bengkaknya yang terpejam. Sepertinya wanita itu tertidur karena terlalu lelah menangis. Sudah setengah jam Mikail memberi Megan waktu untuk wanita itu sendiri, dan ia sendiri sibuk menenangkan emosi yang bergemuruh di dadanya. Duduk bersandar di depan pintu kamar mandi mendengarkan Megan yang terisak. Memastikan bahwa Megan tidak melakukan kekonyolan lain seperti saat di apartemen wanita itu. Sudah beberapa saat yang lalu isakan tersebut mereda dan benar-benar berhenti ketika Mikail memutuskan untuk melihat ke dalam. Kelegaan mengaliri tenggor
Megan terbangun kepala yang terasa berat. Matanya bergerak membuka dengan perlahan dan kehangatan yang ia rasakan bukan dari tubuh Mikail. Melainkan dari selimut tebal yang melilit tubuhnya. Tubuh Megan berguling ke samping dan tak ada Mikail di sisi tempat tidur. Sedikit kesal karena tak bisa melihat wajah pria itu.Sekaligus mengingatkannya akan apa yang terjadi tadi malam. Pelukan hangat dan nyaman Mikail masih terasa menyelimuti tubuhnya meski sekarang Mikail tak lagi ada di sisinya. Mimpi buruk itu datang kembali. Kedua mata Megan terpejam. Keberadaan Marcel benar-benar berpengaruh pada ketakutan yang masih bercokol di dalam dadanya. Entah apa yang akan dilakukannya jika tidak ada Mikail. Mendadak ia merindukan pria itu, pun dengan kejengkelan yang masih tersisa di hatinya karena perdebatan mereka tadi malam karena Alicia. Kepala Megan bergerak ke jam di dinding. Melompat turun dari tempat tidur begitu menyadari hari sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ia harus mengantar Ki
Megan ingin menggunakan mobil pemberian Mikail. Tetapi jika tiba-tiba Mikail secara kebetulan melihat mobil itu terparkir di halaman rumah sakit, tentu saja itu akan membuat masalahnya semakin runyam. “Mobilmu saja.” Nicholas terkekeh dengan salah satu alis yang terangkat. “Karena takut ketahuan Mikail?” Megan tersentak pelan, tetapi tetap berdalih. “Aku tak tahu apa yang kau katakan, Nicholas.” “Bukan pembicaraan yang penting. Aku tak peduli kita akan ketahuan atau tidak. Tak ada alasan bagi Mikail untuk marah padamu, kan? Kalian tidak lagi memiliki hubungan apa pun selain sebagai orang tua Kiano. Tidak lebih dan tidak kurang.” Raut wajah Megan membeku, dengan cepat ia mengambil kunci di tangan Nicholas dan menghindari tatapan pria itu. “Kita pergi sekarang.” Megan berbalik dan berjalan lebih dulu. Tetapi ia baru saja mendapatkan tiga langkahnya ketika menyadari kalau Nicholas masih tetap berdiri di ambang pintu apartemen. “Ada apa?” Nicholas mengangkat salah satu lengannya yan
“Aku sudah memperingatkanmu, kan? Beraninya kau masih memunculkan wajahmu di hadapanku, hah?” Tangan ibu Nicholas sudah terangkat dan hendak melayang ke wajah Megan. Tetapi Nicholas berdiri. sambil menahan rasa sakit yang masih ada di kaki kanannya. Pria itu menangkap pergelangan tangan ibunya. “Hentikan, Ma.” Wajah ibu Nicholas berputar, dengan kemarahan yang lebih besar lagi karena putranya sendiri yang mencegahnya. “Dia yang sudah membuatmu seperti ini. Apa kau tidak ingat, kau hampir mati karenanya?” “Nicholas sendiri yang memutuskan untuk menyelamatkannya.” Wajah ibu Nicholas memucat oleh kekecewaan akan pembelaan yang diberikan putranya pada Megan. “Kau benar-benar dibodohi olehnya, Nicholas. Apa gara-gara dia kau menolak mama dan Karen mengantarmu kontrol ke rumah sakit.” Nicholas menatap Karen yang berdiri di samping mamanya. “Bisakah kau membawa mama pulang? Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini.” “Kenapa? Kau tak ingin mempermalukannya di depan umu
“Megan?” Mikail membuka pintu kamar dan memanggil wanita itu yang tidak terlihat di kamar. Kiano sedang mandi dan dibantu oleh Helena ketika ia memeriksa. Pelayan juga mengatakan istrinya ada di kamar. Mikail melepas jas dan mengurai simpul dasinya sambil melihat pintu kamar mandi yang setengah terbuka. Ia bisa melihat baying-bayang Megan di dalam sana tetapi wanita itu tidak menjawab panggilannya. “Megan?” panggilnya sekali lagi dan tak mendapatkan balasan. Mikail pun menyusul dan melihat wanita itu yang tengah melamun di depan wastafel. Mikail berjalan mendekat dan menyentuh pundak istrinya. “Megan?!” Megan seketika tersentak dan menoleh. Terkejut menemukan Mikail tiba-tiba ada di sampingnya. “Mikail?” wajahnya seketika berubah pucat dan gugup. “K-kau datang?” Alis Mikail bertaut dengan heran. “Kau melamun? Aku memanggilmu beberapa kali.” Megan mengerjap dengan gugup. “Maaf. Aku … a-aku sedang memikirkan sesuatu. Apa kau ingin mandi?” Mikail tak menjawab, keningnya sibuk menat
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m