Pagi-pagi sekali, mobil suruhan Mikail sudah menunggu di depan lobi gedung apartemennya. Jelita mengantarnya sampai di teras gedung. Memeluk dan memastikan semua urusan apartemen berada di tangannya. “Aku akan menghubungimu dalam waktu dekat mengenai semua kontrak dan berbicara dengan …” “Aku sudah mengurusnya.” Suara Mikail menyela di antara permbicaran kedua wanita itu. Megan dan Jelita menoleh, dan terkejut menemukan Mikail yang melangkah keluar dari dalam mobil. Melangkah menghampiri mereka. Megan dan Jelita terpaku dengan kemunculan pria itu yang begitu tiba-tiba. Dan sengaja muncul hanya untuk mengejutkan keduanya. “Apa yang kau lakukan di sini, Mikail?” “Tentu saja untuk memastikanmu tidak melarikan diri.” Jawaban Mikail memang disengaja untuk membuat Megan jengkel. “Aku adadi sini, kan? Dengan semua barang-barang kebutuhanku.” “Tidak semuanya,” koreksi Mikail. Yang tentu saja menghitung berapa banyak koper yang dibawa Megan. “Aku sudah mengatakan akan mengurusnya, Megan
"Bawa barang-barang istriku ke kamar," perintah Mikail pada pelayan yang segera bergegas menghampiri ketika koper-koper Megan diturunkan dari dalam mobil. Dan perintah tersebut sempat mengalihkan perhatian Megan yang sedang sibuk berbincang dengan Kiano. Megan mengernyit ketika Mikail tak menjawab tanya dalam sorot matanya mengenai perintah pria itu pada para pelayan. Mengamati pelayan yang mulai membawa satu persatu kopernya masuk ke dalam rumah. Dan pria itu malah berjalan masuk ke rumah sambil merogoh ponsel dari dalam saku jas, dan langsung disibukkan oleh panggilan dengan seseorang di seberang. "Ayo, Ma." Kiano menarik tangan Megan dan membawa wanita itu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Alicia yang berdiri dengan wajah merah padam. Belum cukup satu jam Megan menginjakkan kaki di rumah ini, dan dengan begitu mudahnya semua orang melupakan keberadaannya. Kedua tangan Alicia mengepal di sisi tubuhnya, dengan bibir yang menipis keras dan mata yang memicing tajam. Megan Ailee, h
Megan baru saja selesai membersihkan dirinya ketika Kiano membuka pintu kamar dan melangkah masuk. Senyum semringah segera menghiasi wajahku mungil putranya begitu menemukan dirinya. Menghambur ke arahnya dengan lengan terbuka lebar. "Mama?" "Hai, jagoan." Megan membungkuk dan mengusap ujung kepala sangat putra sebelum membalas pelukan lengan mungil tersebut di pinggangnya. "Di mama papa?" tanya Kiano setelah mengedarkan pandangan dan tak menemukan sosok Mikail di mana pun. "Papamu sedang ada sedikit pekerjaan di ruangannya. Ada apa?" tanya Megan merangkum wajah mungil tersebut dengan telapak tangannya. "Ada om Marcel di bawah." Wajah Megan seketika memucat dan seluruh tubuhnya membeku. "Apa?" Kiano mengangguk, tangan Megan yang mendadak bergetar di wajahnya dan raut wajah sang mama yang tampak terpaku membuatnya terheran. "Ada apa, Ma?" Megan mengerjap cepat dua kali dan menguasai raut wajahnya dengan cepat ketika kembali menatap kedua mata bulat sang putra. Terutama dengan K
Megan tak berhenti berjalan mondar-mandir di tengah ruang kerja Mikail. Kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Kegelisahan tak berhenti menguasai dadanya. Kenapa pria itu masih saja datang mengganggu kehidupannya. Seolah semua derita yang menemani sepanjang perjalanannya menjauh dari kehidupan Mikail masih belum cukup dijadikan hukuman baginya. "Karena dia lebih segala-galanya dariku dan memutuskan untuk memilihnya, bukan?" "Kalian perlu belajar, bahwa apa yang kalian inginkan terkadang tak bisa didapatkan. Meski dengan cara yang sangat sulit sekalipun. Dan akulah yang akan mengajari dan memastikan kalian berdua memahami pelajaran yang satu ini." Megan membanting pantatnya dengan keras di sofa, remasan di kedua tangannya semakin menguat dan keduanya kakinya bergetar dengan hebat. Bayangan ketika tubuhnya dibanting dengan keras di dinding, kedua tangannya dicengkeram dengan keras hingga nyaris meremukkan tulang pergelangan tangannya. Dipaku di atas kepalanya dengan kekuatan
"Alicia!!!" Sekali lagi Mikail memanggil dan menggedor pintu kamar wanita itu dengan kekuatan yang lebih menggunakan kepalan tangannya. Hingga kepanikan dan kekhawatiran memucatkan wajah pria itu. Napas Mikail terengah, napasnya serasa direnggut dengan paksa, hingga semua kelegaan menjadi satu dan menerjang dadanya saat pintu di dorong membuka dari dalam. "Mikail?" Suara memanggil Alicia yang penuh keheranan muncul. "Apa yang terjadi?" Mikail melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Mencari sesuatu di lantai dan melihat pecahan kaca yang berhamburan di sekitar lantai tempat tidur Alicia. "Kau terluka?" Alicia mengikuti arah pandangan pria itu kemudian menatap kepucatan pria itu dalam-dalam. Tentu saja ia tersenyum dengan perhatian yang diberikan Mikail terhadapnya. "Tidak, Mikail. I- itu … aku tidak sengaja menyenggolnya dan terjatuh." Raut wajah Mikail seketika membeku. Mencerna satu kali lagi jawaban Alicia dan menatap pecahan gelas di lantai. Kemudian kedua tangan Alicia yang dit
Megan langsung memeluk Kiano begitu melihat sang putra yang menghambur ke arahnya saat pintu kamar ia dorong terbuka. Kedua kalinya berlutut, menyejajarkan posisi tubuhnya agar lengan mungil dan pendek Kiano bisa memeluk lehernya. "Apakah mama membuat Kiano menunggu lama?" tanya Megan sambil mendapatkan jarak di antara wajah mereka hingga saling berhadap-hadapan. Kiano menggeleng dengan senyum manis yang tak pernah membosankan untuk Megan lihat. Menularkan kebahagiaan di dalam hatinya. Apa pun itu yang akan ia dapatkan dalam pernikahan di masa depan bersama Mikail, semua itu akan sepada dengan apa yang didapatkannya bersama Kiano. Tak ada harapan sekecil apa pun di dalam hubungannya dengan Mikail. Dan Megan sendiri tak ingin berharap, apalagi kembali jatuh dalam kenaifannya untuk kedua kalinya. Mikail yang menyusul langkah Megan berhenti di ambang pintu. Interaksi ibu dan anak itu lagi-lagi membuat hatinya ditendang oleh sebuah perasaan yang begitu familiar. Yang tak pernah terbay
Megan terlihat sudah rapi saat keluar dari kamar mandi dengan mengenakan dress bunga-bunga berwarna peach. Rambut wanita itu juga sudah disisir rapi dan wajahnya dipoles make up tipis-tipis. Ada kepuasan sekaligus kekecewaan bercampur di raut wajah Mikail yang mengamati setiap langkah wanita itu. Puas karena melihat penampilan Megan yang tak pernah mengecewakan pemandangannya. Ya, ada alasan kenapa wanita itu memiliki karir yang begitu cemerlang. Dan kecewa karena pakaian itu menutupi tubuh Megan dan melakukan tugasnya dengan sangat baik untuk melindungi wanita itu dari tatapan menelisik Mikail terhadap tubuhnya. Seringai tersamar di kedua ujung bibir Mikail melihat wajah Megan, yang dengan sikap liciknya yang sama sekali tak sungkan untuk ditampilkan Terang-terangan. "Kenapa kau menatapku seperti itu, Mikail?" tanya Megan dengan kecewa yang menyelimuti raut wajah Mikail terhadap penampilannya. Mendadak merasa gugup dengan penampilannya sendiri. Mungkinkah ada helaian rambutnya y
Megan terdiam membaca nama Nicholas di layar ponselnya. Menarik napasnya dalam-dalam sebelum menggeser tombol hijau dan menjawab panggilan tersebut. Suaranya berhasil keluar tanpa getaran sedikit pun. "Ya, Nicholas?" Megan tak langsung mendengar jawaban dari seberang. Dalam keheningan tersebut, Megan masih bisa merasakan kemarahan Nicholas saat menemui pria itu di rumah sakit. Sehingga berpikir Nicholas benar benar tak sudi melihat wajahnya lagi dan menyangka pria itu akan menghubunginya lebih dulu. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Nicholas menjawab sapaannya. "Apa kau punya waktu malam ini?" Megan tak seharusnya menjawab ya, tetapi ia tetap mengatakan ya. "Ya." "Bisakah kau datang ke rumah sakit. Kau tahu kita butuh bicarakan, kan?" Megan menggigit bibir bagian dalamnya dan mengangguk. Meski tak tahu apa yang akan ia bicarakan dengan Nicholas selain kata maaf, sekali lagi Megan tetap mengiyakan pertanyaan Nicholas. "Datanglah ke ruang perawatanku." Megan tak langsung m
Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.
Alicia tak berhenti berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kedua tangannya saling meremas dengan gugup. Ia sudah membereskan CCTV, bukti kebusukannya. Tapi masih ada satu bukti yang akan memberatkannya. Bukti yang masih hidup itu harus ia lenyapkan. Janji Alicia pada dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal dengan kuat oleh kegugupan yang tak berhenti menghantui benaknya. Wanita itu mengambil ponselnya, sudah hampir tengah malam. Tapi ia jelas tak bisa tidur dengan semua kegelisahan ini. Tidak, malam ini adalah kesempatannya. Ia harus menutup mulut Megan sebelum wanita itu membuka mulut. Alicia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Membangunkan sopir untuk membawanya ke rumah sakit sambil memegang perut dan berpura kesakitan. Sopir pun bergegas membawa Alicia ke rumah sakit. Baru saja penjaga keamanan menutup pintu gerbang setelah mobil Alicia pergi, penjaga keamanan itu kembali membukakan pintu gerbang untuk Marcel. Sesampai di rumah sakit, Alicia turun
Akan tetapi, seringai itu hanya bertahan satu detik di ujung bibirnya. Ketika suara langkah kaki yang bergema dari lantai bawah memucatkan seluruh permukaan wajahnya. Dan dari atas ia bisa melihat Marcel yang tercengang menemukan tubuh Megan yang tersungkur di lantai. “Megan?!” Marcel melompat ke arah tubuh Megan yang tergeletak di lantai, tak bergerak dengan kepala yang berdarah. Pria itu terduduk di lantai, membawa kepala Megan dalam pangkuannya. Telapak tangannya menepuk pelan pipi Megan, berusaha menyadarkan wanita itu. “Ada apa ini? Megan?” Mikail muncul, tak kalah tercengangnya dengan Marcel dan ikut duduk di lantai memeriksa keadaan Megan. Marcel mendongak, tatapannya menajam ke ujung tangga. “Alicia?” Sekali lagi Mikail dikejutkan dengan Alicia yang juga tak sadarkan diri di tengah anak tangga. “Aku harus membawanya ke rumah sakit.” Marcel menyelipkan kedua lengannya di balik punggung dan lutut Megan. Menggendong tubuh Megan dan bergegas membawanya keluar. Mikail ingin m
Hari ini, Megan harus berhasil. Janji Megan pada dirinya sendiri yang tengah berdiri di depan cermin. Kedua tangannya saling meremas, memberikan dukungan dan semangat untuk dirinya sendiri. Setelah Mikail berangkat kerja dan ia mengantar Kiano ke sekolah, Megan menghabiskan waktu di lantai satu untuk mengintai kegiatan Alicia. Wanita itu hanya keluar untuk makan pagi, dengan memasang raut pucat yang ditampakkan semenyedihkan mungkin. Mikail terlihat ibat, tapi untuk pertama kalinya ia merasa Marcel memihaknya karena pria itu sama sekali tak terpengaruh dengan tampilan Alicia. Pria itu seolah bisa membaca mata batin Alicia yang sesungguhnya. Jika saja sedikit kecerdasan Marcel dimiliki oleh Mikail, tapi ia sendiri tak bisa menyalahkan Mikail. Dirinyalah yang menciptakan ketakutan itu pada Mikail saat hamil Kiano. Dan rupanya itu membekas begitu dalam di hati Mikail sehingga kebaikan hati pria itu dimanfaatkan oleh wanita licik seperti Alicia. Alicia tampak tak tenang ketika di meja m